728x90 AdSpace

Latest News

Jumat, 08 Juli 2011

Ulumul Hadits


A.          PENGERTIAN ILMU HADITS
      Ustadz Syamsuddin At-Tabrizy dalam kitab “Syarhu’d Di baji’l Mudzahhab mengatakan, bahwa kebanyakan Muhadditsin membagi ilmu ini kepada dua bagian, yakni:
1.         Ilmu Hadits
“ Ilmu pengetahuan tentang sabda, perbuatan, pengakuan, gerak-gerik, dan bentuk jasmaniah Rasulullah saw. Beserta sanad-sanad (dasar penyadarannya) dan ilmu pengetahuan untuk membedakan keshahihannya, kehasanannya, dan kedla’ifannya dari pada yang lainnya, baik matan maupun sanadnya.”
2.         Ilmu Ushuli’l Hadits
         “Suatu ilmu pengetahuan yang menjadi sarana untuk mengenal keshahihan, kehasanan, dan kedla’ifan hadits, matan maupun sanad dan untuk membedakan dengan yang lainnya.”
Setiap pengenalan dan pembedaan nilai hadits tersebut, harus dibina oleh ilmu pengetahuan tentang hal ihwal rawi mengenai keadilannya, kehafalannya, kelemahannya, kekurangadilannya manakala kita mengenal dan menguasai Ilmu Jahr dan Ta’dil (mencela dan menganggap adil rawi) dan mengetahuai tanggal lahir serta tanggal wafat para rawi untuk mengetahui bersambung atau putusnya sanad. Pembahasan ini semuanya, ma
suk dalam lapangan ilmu ushuli’l hadits.
Perbedaan kedua ilmu tersebut, bagaikan ilmu fiqhi dengan ilmu ushuli’l fiqhi. Kalau ilmu fiqhi itu suatu ilmu tentang hukum-hukum amal perbuatan manusia yang diistimbatkan dari dalil-dalil yang terperinci, maka pembinaan hukum fiqhi tersebut tidak akan berhasil kalau tanpa mengetahui cara-cara mengistimbatkan hukum dari dalil-dalilnya dan mengetahui hal ihwal dalil itu sendiri. Pengetahuan hal ihwal dalil dan cara mengistimbatkan hukum dari dalil-dalil ini, disebut ilmu ushuli’l fiqhi. Demikian juga seseorang tidak akan dapat memilih keshahihan atau kehasanan suatu hadits dan meninggalkan kedla’ifannya, tanpa mengetahui tentang cirri-ciri dan syarat-syarat hadits tersebut, yang dalam hal ini memerlukan penelitian mengenai hal ihwal rawi dan marwinya. Menurut kebanyakan Muhadditsin, ilmu hadits itu pada garis besarnya dibagi dua bagian, yakni:
a.       Ilmu Hadits-riwayah dan
b.       Ilmu Hadits-dirayah
A.          Ilmu Hadits-riwayah, ialah:
Menurut Ibn al-Akfani, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Suyuthi, bahwa yang dimaksud Ilmu Hadis Riwayah adalah: Ilmu Hadis yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi saw dan perbuatannya, serta periwayatannya, pencatatannya, dan penguraian lafaz-lafaznya. (Jalal al-din ‘Abd al-Rahman Ibn Abu Bakar al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi. Ed. ‘Abdul Al-Wahhab’ Abd al-Lathif (Madinah: Al-Maktabat al-‘Ilmiyyah.cet kedua. 1392 H/ 1972 M), h. 42; Lihat juga M. Jammaluddin al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdist min Funun wa Mushthalah al-Hadist (Kairo: Al-Bab al-Halabi, 1961). H. 75)
Sedangkan pengertian menurut Muhammad ‘ajjaj a-khathib adalah: Yaitu ilmu yang membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan atau pengakuan), sifat jasmaniah, atau tingkah laku (akhlak) dengan cara yang teliti atau terperinci. (Lihat M.’Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h.7.
Definisi yang hampir sama senada juga dikemukkan oleh Zhafar Ahmad ibn Lathif al-‘Utsmani al-Tahanawi di dalam Qawa’id fi ‘ulum al-Hadist, Ilmu hadis yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengan perkataan, perbuatan dan keadaan Rasulullah saw serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya. (Zhafar Ahmad ibn Lathif al-‘Utsmani al- Tahanawi, Qawa ‘id fi ‘ Ulum al-Hadist, Ed. ‘Abd al-Fattah Abu Ghuddah (Beirut: Maktabat al-Nahdhah, 1404 H/ 1984).h.22.).
Dari ketiga definisi di atas dapat dipahami bahwa Ilmu Hadis Riwayah pada dasarnya adalah membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadis Nabi saw.
Objek kajian ilmu Hadis Riwayah adalah Hadis Nabi saw dari segi periwayatan dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup:
1. Cara periwayatan Hadis, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga dari cara penyampaiannya dari seorang perawi ke perawi lain
2. Cara pemeliharaan Hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan, dan pembukuannya.
Ilmu Hadis Riwayah ini sudah ada semenjak Nabi saw masih hidup, yaitu bersamaan dengan dimulainya periwayatan dengan hadis itu sendiri. Para Sahabat Nabi saw menaruh perhatian yang tinggi terhadap Hadis Nabi saw. Mereka berusaha untuk memperoleh Hadis-Hadis Nabi saw dengan cara mendatangi Majelis Rasul saw serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan beliau. Sedemikian besar perhatian mereka, sehingga kadang-kadang mereka berjanji satu sama lainnya untuk bergantian menghadiri majelis Nabi saw. Tersebut, manakala di antara mereka ada yang sedang berhalangan. Hal tersebut seperti yang dilakukan Umar r.a., yang menceritakan, “Aku beserta tetanggaku dari kaum Ansar, yaitu Bani Umayyah ibn Zaid, secara bergantian menghadiri majelis Rasul saw. Apabila giliranku yang hadir, maka aku akan menceritakan kepadanya apa yang aku dapatkan dari Rasul SAW pada hari itu; dan sebaliknya, apabila giliran dia yang hadir, maka dia pun akan melakukan hal yang sama. (“Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, h. 67).
Demikianlah periwayatan dan pemeliharaan Hadis Nabi saw berlangsung hingga usaha penghimpunan Hadis secara resmi dilakukan pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz (memerintah 99 H/717 M- 124 H/ 742 M). Al-Zuhri dengan usahanya tersebut dipandang sebagai pelopor Ilmu Hadis Riwayah; dan dalam sejarah perkembangan Hadis, dia dicatat sebagai ulama pertama yang menghimpun Hadis Nabi saw atas perintah Khalifah ‘Umar ibn ‘abd al-Aziz.
Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan Hadis secara besar-besaran terjadi pada abad ke 3 H yang dilakukan oleh para ulama, seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam al-Tarmidzi, dan lain-lain. Dengan dibukukan Hadis-Hadis Nabi saw oleh para Ulama di atas, dan buku mereka pada masa selanjutnya telah jadi rujukan para Ulama yang datang kemudian, maka dengan sendirinya Ilmu Hadis Riwayah tidak banyak lagi berkembang.
Berbeda lagi dengan Ilmu Hadis Dirayah, pembicaraan dan perkembangannya tetap berjalan sejalan dengan perkembangan dan lahirnya sebagai cabang Ilmu Hadis. Dengan demikian, pada masa berikutnya apabila terdapat pembicaraan dan pengkajian tentang Ilmu Hadis Dirayah, yang oleh para Ulama disebut juga dengan ‘Ilm Mushthalah al-Hadist atau ‘Ilm Ushul al-Hadist.
Faedah mempelajari ilmu ini, ialah untuk menghindari adanya kemunkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.
Perintis pertama ilmu riwayah, ialah Muhammad bin Syihab Az-Zuhry yang wafat pada tahun  124 Hijriah.
B.           Ilmu Hadits-dirayah
Ibn al-Akfani memberikan Ilmu Hadis Dirayah sebagai berikut: dan Ilmu Hadis yang khusus tentang Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya (Lihat al-Suyuthi, Tadrb al-Rawi h. 40; Lihat juga al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdits, h.75.)
Uraian dan elaborasi dari definisi di atas diberikan oleh Imam al-Suyuthi, sebagai beikut: Hakikat riwayat, adalah kegiatan sunah (Hadis) dan penyandaran kepada orang yang meriwayatkannya dengan kalimat tahdits, yaitu perkataan seorang perawi “haddatsana fulan“, (telah menceritakan kepada kami si Fulan), atau Ikhbar, seperti perkataannya “akhbarana fulan”, (telah mengabarkan kepada kami si Fulan). (al-suyuthi. Tadrib al-Rawi, h. 40.)
Syarat-syarat riwayat, yaitu penerimaan para perawi terhadap apa yang diriwayatkannya dengan menggunakan cara-cara tertentu dalam penerimaan riwayat (cara-cara tahammul al-Hadits), seperti sama’ (perawi mendengarkan langsung bacaan Hadis dari seorang guru), qira’ah (murid membacakan catatan Hadis dari gurunya di hadapan guru tersebut), ijazah (memberi izin kepada seseorang untuk meriwayatkan suatu Hadis dari seorang ulama tanpa dibacakan sebelumnya), kepada seorang untuk diriwayatkan), kitabah (menuliskan Hadis untuk seseorang), munawalah, (menyerahkan suatu hadis yang tertulis kepada seseorang untuk diriwayatkan), kitabah, (menuliskan hadis untuk seseorang), i’lam (memberitahu seseorang bahwa Hadis-Hadis tertentu adalah koleksinya), washiyyat (mewasiatkan kepada seseorang koleksi hadis yang dikoleksinya), dan wajadah (mendapatkan koleksi tertentu tentang Hadis dari seorang guru). (M.M Azami, Studies ih Hadith Methologi and Literature.16: Mahmud al-thahhan. Taisir Mushthalah al-Hadist, h. 157-164)
Muttashil, yaitu periwayatan yang bersambung mulai dari perawi pertama sampai perawi terakhir, atau munqathi’, yaitu periwayatan yang terputus, baik di awal, di tengah, ataupun di akhir, dan lainnya.
Hukum riwayat, adalah al-qabul, yaitu diterimanya suatu riwayat karena telah memenuhi persyaratan tertentu, dan al-radd, yaitu ditolak, karena adanya persyaratan tertentu yang tidak terpenuhi.
Keadaan para perawi, maksudnya adalah, keadaan mereka dari segi keadilan mereka (al’adalah) dan ketidakadilan mereka (al-jarh). Syarat-syarat mereka, yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi ketika mereka menerima riwayat (syarat-syarat pada tahammul) dan syarat ketika menyampaikan riwayat (syarat pada al-adda’).
Jenis yang diriwayatkan (ashnaf al-marwiyyat), adalah penulisan Hadis di dalam kitab al-musnad, al-mu’jam, atau al-ajza’ dan lainnya dari jenis-jenis kitab yang menghimpun Hadis Nabi saw. Definisi yang lebih ringkas namun komprehensif tentang Ilmu Hadis Dirayah dikemukakan oleh M. ‘Ajjaj al-Khathib, sebagai berikut : Ilmu Hadis Dirayah adalah kumpulan kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marawi dari segi diterima atau ditolaknya. (M, ‘Ajjaj al-khathib, Ushul al- Hadits,h. 8 )
Al-khatib lebih lanjut menguraikan definisi di atas sebagai berikut: al-rawi atau perawi, adalah orang yang meriwatkan atau menyampaikan Hadis dari satu orang kepada yang lainnya; al-marwi adalah segala sesuatu yang diriwayatkan, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw atau kepada yang lainnya, seperti sahabat atau yang lainnya Tabi’in; keadaan perawi dari segi diterima atau ditolaknya adalah, mengetahui keadaan para perawi dari segi jarh dan ta’dil ketika tahammul dan adda’ al-Hadist, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dalam kaitannya dengan periwayatan Hadis; keadaan marwi adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan ittishal al-sanad (persambungan sanad) atau terputusnya, adanya ‘illat atau tidak, yang menentukan diterima atau ditolaknya suatu Hadis.
Objek kajian atau pokok bahasan Ilmu Hadis Dirayah ini, berdasarkan definisi di atas, adalah sanad dan matan Hadis.
Pembahasan tentang sanad meliputi:
(i) segi persambungan sanad (ittishal al-sanad), yaitu bahwa suatu rangkaian sanad Hadis haruslah bersambung mulai dari Sahabat sampai pada Periwayat terakhir yang menuliskan atau membukukan Hadis tersebut; oleh karenanya, tidak dibenarkan suatu rangkaian sanad tersebut yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya atau tersamar:
(ii) segi kepercayaan sanad (tsiqat al-sanad), yatu setiap perawi yang terdapat di dalam sanad suatu Hadis harus memiliki sifat adil dan dhabith (kuat dan cermat hafalan atau dokumentasi Hadisnya );
(iii) segi keselamatan dan kejanggalan (syadz);
(iv) keselamatan dan cacat (‘illat); dan
(v) tinggi dan rendahnya martabat suatu sanad.
Sedangkan pembahasan mengenai matan adalah meliputi segi ke-shahih-an atau ke dhaifan-nya. Hal tersebut dapat dilihat dari kesejalananya dengan makna dan tujuan yang terkandung di dalam al-quran, atau selamatnya:
(i) dari kejanggalan redaksi (rakakat al-faz);
(ii) dari cacat atau kejanggalan dari maknanya (fasad al- ma’na), karena bertentangan dengan akal dan panca indera, atau dengan kandungan dan makna Al-Qur’an, atau dengan fakta sejarah; dan
(iii) dari kata-kata asing (gharib), yaitu kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya yang umum dikenal.
Tujuan dan urgensi Ilmu Hadis Dirayah adalah untuk mengetahui dan menetapkan Hadis-Hadis yang maqbul (yang dapat diterima sebagai dalil atau untuk diamalkan) dan yang mardud (yang ditolak).
Ilmu Hadis Dirayah inilah yang pada masa selanjutnya secara umum dikenal dengan Ulumul Hadis, mushthalah al-Hadits, atau Ushul al-Hadits. Keseluruhan nama-nama di atas, meskipun bervariasi, namun mempunyai arti dan tujuan yang sama, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah untuk mengetaui keadaan perawi (sanad) dan marwi (matan) suatu Hadis, dari segi diterima dan ditolaknya. (Ibid., h. 9.)
Para ulama Hadis membagi Ilmu Hadis Dirayah atau Ulumul Hadis ini kepada beberapa macam, berdasarkan kepada permasalahan yang dibahas padanya, seperti pembahasan tentang pembagian Hadis Shahih, Hasan, Dan Dha’if, serta macam-macamnya, pembahasan tentang tata cara penerimaannya (tahmmul) dan periwayatan (adda’) Hadis, pembahasan al-jarih dan al-ta’dil serta tingkatan-tingkatannya, pembahasan tentang perawi, latar belakang kehidupannya, dan pengklasikasiannya antara yang tsiqat dan yang dha’if, dan pembahasan lainnya. Masing-masing pembahasan di atas dipandang sebagai macam-macam dari Ulumul Hadis, sehingga, karena banyaknya, Imam al-Suyuthi menyatakan bahwa macam-macam Ulumul Hadis tersebut banyak sekali, bahkan tidak terhingga jumlahnya. (Ibd, h. 11, lihat juga Tadrib al-rawi, h. 53 ). Ibn al-Shaleh menyebutkan ada 65 macam Ulumul Hadis, sesuai dengan pembahasannya, seperti yang dikemukakan di atas. (Abu ‘Amr Ibn al-Shaleh, ‘ulum al-hadits, ed. Nur al-Din ‘Atr (Madinah: Maktabat al-Ilmiyyah, 1972), h 5-10).
Sejarah pertumbuhannya dan perintisnya
Ilmu Hadits-dirayah sejak pertengahan abad III Hijriah sudah mulai dirintis oleh sebagian Muhadditsin dala garis-garis besarnya saja, dan masih tersebar dalam beberapa mushaf. Baru fann (Vak) yang berdiri sendiri, sejajar dengan ilmu-ilmu yang lain.
Perintis-perintisnya
1.            Al-Qadli Abu Muhammad Ar-Ramahhurmuzy (wafat 360 H), dengan kitabnya yang bernama ”Al-Muhadditsu’l Fashil.” Tapi kitab tersebut sukar diperolehnya.
2.            Al-Hakim Abu ‘Abdillah An-Nisabury (321 – 405 H), dengan susunan karyanya yang kurang baik dan tidak tertib.
3.            Abu Nu’aim Al-Ashfihany (336 – 430 H),
4.            Al-Khathib Abu Bakar Al-Baghdady (wafat 463 H) menyusun kitab kaidah periwayatan hadits yang diberi nama “Al-Kifayah” dan menyusun kitab tentang tata cara meriwayatkan hadits dengan diberi nama “Al-Jami’u Liadabi’sy Syaikhi wa’ssami‘.”
Selanjutnya para Muhadditsin setelah Al-Khatib pada menyusun ilmu itu dengan bentuk tersendiri, semisal Al-Qadli ‘Iyadi dengan kitabnya yang bagus bernama “Al-Ilma’” dan Abu Hafshin dengan satu juz karyanya yang bernama “Maa Yasa’u’l Muhadditsu jahlahu.”
Demikian selanjutnya bermunculan kitab-kitab Mushthalahu’l Hadits dengan bentuk dan system yang berbeda-beda. Ada yang berbentuk nadham (puisi) seperti kitab “Alfiyatu’s Suyuthy” ada yang berbentuk nasar (prosa); dan ada pula yang system penguraiannya luas, baik sebagai syarahdari kitab mushthalah yang bebbentuk nadham, seperti kitab Manhaj Dzawi’n Nadhar, karya M. mahfudh At-Tarmusy, maupun sebagai syarah dari kitab mushthalah yang berbentuk natsar seperti kitab At-Tadrib dan At-Taqrib, oleh Imam Suyuthy. Disamping itu ada pula sistem penguraiannya ringkas dan mudah dipahami, semisal kitab Nuhbatu’l Fikar karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalany
B.                 SEJARAH PENYUSUNAN HADITS
            Berita tentang prilaku Nabi Muhammad (sabda, perbuatan, sikap ) didapat dari seorang sahabat atau lebih yang kebetulan hadir atau menyaksikan saat itu, berita itu kemudian disampaikan kepada sahabat yang lain yang kebetulan sedang tidak hadir atau tidak menyaksikan. Kemudian berita itu disampaikan kepada murid-muridnya yang disebut tabi'in (satu generasi dibawah sahabat) . Berita itu kemudian disampaikan lagi ke murid-murid dari generasi selanjutnya lagi yaitu para tabi'ut tabi'in dan seterusnya hingga sampai kepada pembuku hadist (mudawwin).
Pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam masih hidup, hadits belum ditulis dan masih berupa hapalan yang ada dibenak para sahabat. Para sahabat belum merasa ada urgensi untuk melakukan penulisan, mengingat Nabi masih mudah dihubungi untuk dimintai keterangan-keterangan tentang segala sesuatu.
Diantara sahabat, tidak semuanya bergaul dengan nabi. Ada yang sering menyertai atau ada yang hanya beberapa kali saja bertemu Nabi. Oleh sebab itu, hadits yang dimiliki setiap sahabat itu tidak selalu sama banyaknya ataupun macamnya. Demikian pula ketelitiannya. Namun demikian, diantara para sahabat itu sering bertukar berita (hadist) sehingga perilaku Nabi Muhammad banyak yang diteladani, ditaati, dan diamalkan sahabat bahkan umat Islam pada umumnya pada waktu Nabi Muhammad masih hidup. 
Dengan demikian, pelaksanaan hadist dikalangan umat Islam pada saat itu selalu berada dalam kendali dan pengawasan Nabi Muhammad baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karenanya, para sahabat tidak mudah berbuat kesalahan yang berlarut-larut. Hadist yang telah diamalkan/ditaati oleh umat Islam dimasa Nabi Muhammad masih hidup, oleh ahli hadist disebut sebagai Sunnah Muttaba'ah Ma'rufah. Itulah setinggi-tinggi kekuatan kebenaran hadist.
Meski pada masa itu, hadist berada pada ingatan para sahabat, namun ada sahabat yang menuliskannya untuk kepentingan catatan pribadinya (bukan untuk kepentingan umum). Diantaranya ialah :
'Abdullah bin 'Umar bin 'Ash (dalam himpunan As Shadiqah)
'Ali bin Abi Thalib (dalam shahifahnya mengenai hukum-hukum diyat yaitu soal denda atau ganti rugi).
1.            Masa Penggalian
            Setelah Nabi Muhammad wafat (tahun 11 H / 632 M), pada awalnya belum menimbulkan masalah mengenai hadits, karena sahabat sebagian besar masih hidup dan seakan-akan menggantikan peran nabi sebagai tempat bertanya saat timbul masalah yang memerlukan pemecahan, baik mengenai hadist ataupun Al Quran. 
Sejak Kekhalifahan Umar bin Khaththab (tahun 13 - 23 H atau 634 - 644 M), wilayah dakwah Islamiyah dan Daulah Islamiyah mulai meluas hingga ke Jazirah Arab, maka mulailah timbul masalah-masalah baru khususnya pada daerah-daerah baru sehingga makin banyak jumlah dan jenis masalah yang memerlukan pemecahannya. Meski para sahabat tempat tinggalnya mulai tersebar dan jumlahnya mulai berkurang, namun kebutuhan untuk memecahkan berbagai masalah baru tersebut terus mendorong para sahabat untuk saling bertemu dan bertukar hadist.
Kemudian para sahabat kecil (berusia muda) mulai mengambil alih tugas penggalian hadits dari para sumbernya, yaitu para sahabat besar (senior). Kehadiran seorang sahabat besar selalu menjadi pusat perhatian para sahabat kecil terutama para tabi'in. Meski memerlukan perjalanan jauh, para tabi'in ini berusaha menemui seorang sahabat yang memiliki hadist. Maka, para tabi'in mulai banyak memiliki hadist yang diterima atau digalinya dari sumbernya yaitu para sahabat. Meski demikian, pada masa itu hadist belumlah ditulis apalagi dibukukan.
2.            Masa Penghimpunan
            Musibah besar menimpa umat Islam pada masa awal Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Musibah itu berupa permusuhan diantara sebagian umat Islam yang memakan banyak korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Pihak-pihak yang bermusuhan itu semula hanya memperebutkan kedudukan kekhalifahan kemudian bergeser kepada bidang Syari'at dan Aqidah dengan membuat hadist maudlu' (palsu) yang bertujuan untuk mengesahkan keinginan/ perjuangan mereka yang saling bermusuhan itu. 
Keadaan menjadi semakin memprihatinkan dengan terbunuhnya Khalifah Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala (tahun 61 H / 681 M). Para sahabat kecil yang masih hidup dan para tabi'in yang melihat kondisi seperti itu, kemudian mengambil sikap dengan tidak menerima lagi hadist baru, yaitu yang sebelumnya tidak mereka miliki. Kalaupun ada yang menerima, para sahabat kecil dan tabi'in ini sangat berhati-hati. Hadits kemudian diteliti dengan secermat-cermatnya mengenai siapa yang menjadi sumber dan siapa yang membawakannya. Sebab mereka ini tahu benar siapa-siapa yang melibatkan diri atau terlibat dalam persengketaan dan permusuhan masa itu. Mereka tahu benar keadaan pribadi-pribadi sumber / pemberita hadist. Misal, apakah dia seorang yang pelupa atau tidak, masih kanak-kanak atau telah udzur, benar atau tidaknya sumber dan pemberitaan suatu hadist dan sebagainya. Pengetahuan yang demikian itu diwariskan kepada murid-murid mereka (tabi’in), yaitu para tabi'ut tabi'in.
Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah dari Bani Umayah (tahun 99 - 101 H / 717 - 720 M) termasuk tabi'in yang memiliki jasa yang besar dalam penghimpunan hadist. Para kepala daerah diperintahkannya untuk menghimpun hadist dari para tabi'in yang terkenal memiliki banyak hadist. Seorang tabi'in yang terkemuka saat itu yakni Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin 'Abdullah bin Syihab Az Zuhri (tahun 51 - 124 H / 671 - 742 M) diperintahkan untuk melaksanakan tugas tersebut. Untuk itu, Az Zuhri menggunakan semboyannya yang terkenal yaitu al isnaadu minad diin, lau lal isnadu la qaala man syaa-a maa syaa-a (artinya : Sanad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah siapa saja tentang apa saja).
Az Zuhri melaksanakan perintah itu dengan kecermatan yang setinggi-tingginya, ditentukannya mana yang maqbul dan mana yang mardud. Para ahli hadits menyatakan bahwa Az Zuhri telah menyelamatkan 90 hadits yang tidak sempat diriwayatkan oleh rawi-rawi yang lain.
Di tempat lain pada masa ini, muncul juga penghimpun Al Hadist yang antara lain :
di Mekkah - Ibnu Juraid (tahun 80 - 150 H / 699 - 767 M)
di Madinah - Ibnu Ishaq (wafat tahun 150 H / 767 M)
di Madinah - Sa'id bin 'Arubah (wafat tahun 156 H / 773 M)
di Madinah - Malik bin Anas (tahun 93 - 179 H / 712 - 798 M)
di Madinah - Rabi'in bin Shabih (wafat tahun 160 H / 777 M)
di Yaman - Ma'mar Al Ardi (wafat tahun 152 H / 768 M)
di Syam - Abu 'Amar Al Auzai (tahun 88 - 157 H / 707 - 773 M)
di Kufah - Sufyan Ats Tsauri (wafat tahun 161 H / 778 M)
di Bashrah - Hammad bin Salamah (wafat tahun 167 H / 773 M)
di Khurasan - 'Abdullah bin Mubarrak (tahun 117 - 181 H / 735 - 798 M)
di Wasith (Irak) - Hasyim (tahun 95 - 153 H / 713 - 770 M)
- Jarir bin 'Abdullah Hamid (tahun 110 - 188 H / 728 - 804 M)
Yang perlu menjadi "catatan" atas keberhasilan masa penghimpunan hadist dalam kitab-kitab di masa Abad II Hijriyah ini, hadist tersebut belum dipisahkan mana yang marfu', mana yang mauquf, dan mana yang maqthu'.
3.            Masa Pendiwanan dan Penyusunan
Usaha pendiwanan (yaitu pembukuan, pelakunya ialah pembuku hadits disebut pendiwan) dan penyusunan hadits dilaksanakan pada masa abad ke 3 H. Langkah besar dalam masa ini diawali dengan pengelompokan hadits. Pengelompokan dilakukan dengan memisahkan mana hadits yang marfu', mauquf dan maqtu'. Hadits marfu' ialah hadits yang berisi perilaku Nabi Muhammad, hadits mauquf ialah hadits yang berisi perilaku sahabat dan hadits maqthu' ialah hadits yang berisi perilaku tabi'in. Pengelompokan tersebut diantaranya dilakukan oleh :
Ahmad bin Hambal
'Abdullan bin Musa Al 'Abasi Al Kufi
Musaddad Al Bashri
Nu'am bin Hammad Al Khuza'i
'Utsman bin Abi Syu'bah
 Karya yang mendapat perhatian besar dari ulama-ulama sesudahnya adalah Musnadul Kabir karya Ahmad bin Hambal (164-241 H / 780-855 M) yang berisi 40.000 hadits, 10.000 diantaranya berulang-ulang. Menurut ahlinya, sekiranya Musnadul Kabir ini tetap sebanyak yang disusun Imam Ahmad, maka tidak ada hadist yang mardud (tertolak). Mengingat musnad ini selanjutnya ditambah-tambah oleh anak Imam Ahmad sendiri yang bernama 'Abdullah dan Abu Bakr Qathi'i sehingga tidak sedikit tercampur dengan yang dha'if dan 4 hadist maudlu'.
Adapun pendiwanan hadits dilaksanakan dengan penelitian sanad dan rawi-rawinya. Ulama terkenal yang mempelopori usaha ini adalah :
Ishaq bin Rahawaih bin Mukhlad Al Handhali At Tamimi Al Marwazi (161-238 H / 780-855 M). Ia adalah salah satu guru Ahmad bin Hambal, Bukhari, Muslim, At Tirmidzi, An Nasai.
Usaha Ishaq ini kemudian dilanjutkan oleh Bukhari, kemudian diteruskan oleh muridnya yaitu Muslim. Akhirnya, ulama-ulama sesudahnya meneruskan usaha tersebut sehingga pendiwanan kitab hadits terwujud dalam kitab Al Jami'ush Shahih Bukhari, Al Jami’ush Shahih Muslim, As Sunan Ibnu Majah, dan seterusnya sebagaimana terdapat dalam daftar kitab masa abad 3 Hijriyah.
Perlu menjadi catatan pada masa ini (abad 3 H) ialah, telah diusahakannya untuk memisahkan hadits yang shahih dari Al Hadits yang tidak shahih sehingga tersusun 3 macam hadits, yaitu:
Kitab Shahih - (Shahih Bukhari, Shahih Muslim) - berisi hadits yang shahih saja
Kitab Sunan - (Ibnu Majah, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, Ad Damiri) - menurut sebagian ulama selain Sunan Ibnu Majah berisi hadit shahih dan hadits dla'if yang tidak munkar.
Kitab Musnad - (Abu Ya'la, Al Humaidi, Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) - berisi berbagai macam hadits tanpa penelitian dan penyaringan dan hanya digunakan para ahli hadits untuk bahan perbandingan.
Para ahli hadits abad ke- 3 Hijriyah, tidak banyak mengeluarkan atau menggali hadits dari sumbernya seperti halnya ahli hadits pada abad ke-2 Hijriyah. Ahli hadits abad ke-3 umumnya melakukan tashih (koreksi atau verifikasi) hadits yang ada, selain juga menghafalkannya. Sedangkan pada masa abad ke-4 Hijriyah, dapat dikatakan sebagai masa penyelesaian pembinaan hadist. Sedangkan abad ke-5 Hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab hadits, menghimpun yang berserakan dan mempermudah metode pembelajarannya.

C.          TOKOH-TOKOH PENGHIMPUN HADITS
Sumber dari segala sumber hukum yang utama atau yang pokok di dalam agama Islam adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selain sebagai sumber hukum, Al-Qur’an dan As-Sunnah juga merupakan sumber ilmu pengetahuan yang universal. Isyarat sampai kepada ilmu yg mutakhir telah tercantum di dalamnya. Oleh karenanya siapa yang ingin mendalaminya, maka tidak akan ada habis-habisnya keajaibannya.

Untuk mengetahui As-Sunnah atau hadits-hadits Nabi, maka salah satu dari beberapa bahagian penting yang tidak kalah menariknya untuk diketahui adalah mengetahui profil atau sejarah orang-orang yang mengumpulkan hadits, yang dengan jasa-jasa mereka kita yang hidup pada zaman sekarang ini dapat dengan mudah memperoleh sumber hukum secara lengkap dan sistematis serta dapat melaksanakan atau meneladani kehidupan Rasulullah untuk beribadah seperti yang dicontohkannya.

Untuk itu pada beberapa edisi kali ini, kami sajikan secara berturut-turut Profile Sejarah Hidup Enam Tokoh Penghimpun Hadits yang paling terkenal serta Sekilas Penjelasan Tentang Kitab Hadits-nya yang masyhur.
Abad ketiga Hijriah merupakan kurun waktu terbaik untuk menyusun atau menghimpun Hadits Nabi di dunia Islam. waktu itulah hidup enam penghimpun ternama Hadits Shahih yaitu:
· Imam Bukhari
· Imam Muslim
· Imam Abu Daud
· Imam Tirmidzi
· Imam Nasa’i
· Imam Ibn Majah      
1.      Imam Bukhari
Tokoh Islam penghimpun dan penyusun hadits itu banyak, dan yang lebih terkenal di antaranya seperti yang disebut diatas. Adapun urutan pertama yang paling terkenal diantara enam tokoh tersebut di atas adalah Amirul-Mu’minin fil-Hadits (pemimpin orang mukmin dalam hadits), suatu gelar ahli hadits tertinggi. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah. Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail, terkenal kemudian sebagai Imam Bukhari, lahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M), cucu seorang Persia bernama Bardizbah. Kakeknya, Bardizbah, adalah pemeluk Majusi, agama kaumnya. Kemudian putranya, al-Mughirah, memeluk Islam di bawah bimbingan al-Yaman al Ja’fi, gubernur Bukhara. Pada masa itu Wala dinisbahkan kepadanya. Kerana itulah ia dikatakan “al-Mughirah al-Jafi.”
Mengenai kakeknya, Ibrahim, tidak terdapat data yang menjelaskan. Sedangkan ayahnya, Ismail, seorang ulama besar ahli hadits. Ia belajar hadits dari Hammad ibn Zayd dan Imam Malik. Riwayat hidupnya telah dipaparkan oleh Ibn Hibban dalam kitab As-Siqat, begitu juga putranya, Imam Bukhari, membuat biografinya dalam at-Tarikh al-Kabir.
Ayah Bukhari disamping sebagai orang berilmu, ia juga sangat wara’ (menghindari yang subhat/meragukan dan haram) dan taqwa. Diceritakan, bahawa ketika menjelang wafatnya, ia berkata: “Dalam harta yang kumiliki tidak terdapat sedikitpun wang yang haram maupun yang subhat.” Dengan demikian, jelaslah bahawa Bukhari hidup dan terlahir dalam lingkungan keluarga yang berilmu, taat beragama dan wara’. Tidak hairan jika ia lahir dan mewarisi sifat-sifat mulia dari ayahnya itu.
Ia dilahirkan di Bukhara setelah salat Jum’at. Tak lama setelah bayi yang baru lahr itu membuka matanya, iapun kehilangan penglihatannya. Ayahnya sangat bersedih hati. Ibunya yang saleh menagis dan selalu berdo’a ke hadapan Tuhan, memohon agar bayinya bisa melihat. Kemudian dalam tidurnya perempuan itu bermimpi didatangi Nabi Ibrahim yang berkata:
“Wahai ibu, Allah telah menyembuhkan penyakit putramu dan kini ia sudah dapat melihat kembali, semua itu berkat do’amu yang tiada henti-hentinya.”
Ketika ia terbangun, penglihatan bayinya sudah normal. Ayahnya meninggal di waktu dia masih kecil dan meninggalkan banyak harta yang memungkinkan ia hidup dalam pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Dia dirawat dan dididik oleh ibunya dengan tekun dan penuh perhatian.
Keunggulan dan kejeniusan Bukhari sudah nampak semenjak masih kecil. Allah menganugerahkan kepadanya hati yang cerdas, pikiran yang tajam dan daya hafalan yang sangat kuat, teristimewa dalam menghafal hadits. Ketika berusia 10 tahun, ia sudah banyak menghafal hadits. Pada usia 16 tahun ia bersama ibu dan abang sulungnya mengunjungi berbagai kota suci. Kemudian ia banyak menemui para ulama dan tokoh-tokoh negerinya untuk memperoleh dan belajar hadits, bertukar pikiran dan berdiskusi dengan mereka. Dalam usia 16 tahun, ia sudah hafal kitab sunan Ibn Mubarak dan Waki, juga mengetahui pendapat-pendapat ahli ra’yi (penganut faham rasional), dasar-dasar dan mazhabnya.
Rasyid ibn Ismail, abangnya yang tertua menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberpa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia dicela membuang waktu dengan percuma karena tidak mencatat. Bukhari diam tidak menjawab. Pada suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan yang terus-menerus itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka. Tercenganglah mereka semua karena Bukhari ternyata hapal di luar kepala 15.000 haddits, lengkap terinci dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.
Pengembaraannya
Tahun 210 H, Bukhari berangkat menuju Baitullah untuk menunaikan ibadah haji, disertai ibu dan saudaranya, Ahmad. Saudaranya yang lebih tua ini kemudian pulang kembali ke Bukhara, sedang dia sendiri memilih Mekah sebagai tempat tinggalnya.
Mekah merupakan salah satu pusat ilmu yang penting di Hijaz. Sewaktu-waktu ia pergi ke Madinah. Di kedua tanah suci itulah ia menulis sebahagian karya-karyanya dan menyusun dasar-dasar kitab Al-Jami’as-Shahih dan pendahuluannya.
Ia menulis Tarikh Kabir-nya di dekat makam Nabi s.a.w. dan banyak menulis pada waktu malam hari yang terang bulan. Sementara itu ketiga buku tarikhnya, As-Sagir, Al-Awsat dan Al-Kabir, muncul dari kemampuannya yang tinggi mengenai pengetahuan terhadap tokoh-tokoh dan kepandaiannya bemberikan kritik, sehingga ia pernah berkata bahawa sedikit sekali nama-nama yang disebutkan dalam tarikh yang tidak ia ketahui kisahnya.
Kemudian ia pun memulai studi perjalanan dunia Islam selama 16 tahun. Dalam perjalanannya ke berbagai negeri, hampir semua negeri Islam telah ia kunjungi sampai ke seluruh Asia Barat. Diceritakan bahawa ia pernah berkata: “Saya telah mengunjungi Syam, Mesir, dan Jazirah masing-masing dua kali, ke basrah empat kali, menetap di Hijaz (Mekah dan Madinah) selama enam tahun dan tak dapat dihitung lagi berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits.”
Pada waktu itu, Baghdad adalah ibu kota negara yang merupakan gudang ilmu dan ulama. Di negeri itu, ia sering menemui Imam Ahmad bin Hambal dan tidak jarang ia mengajaknya untuk menetap di negeri tersebut dan mencelanya karena menetap di negeri Khurasan.
Dalam setiap perjalanannya yang melelahkan itu, Imam Bukhari senantiasa menghimpun hadits-hadits dan ilmu pengetahuan dan mencatatnya sekaligus. Di tengah malam yang sunyi, ia bangun dari tidurnya, menyalakan lampu dan menulis setiap masalah yang terlintas di hatinya, setelah itu lampu di padamkan kembali. Perbutan ini ia lakukan hampir 20 kali setiap malamnya. Ia merawi hadits dari 80.000 perawi, dan berkat ingatannya yang memang super jenius, ia dapat menghapal hadits sebanyak itu lengkap dengan sumbernya.
Kemasyhuran Imam Bukhari
Kemasyhuran Imam Bukhari segera mencapai bahagian dunia Islam yang jauh, dan ke mana pun ia pergi selalu di alu-alukan. Masyarakat hairan dan kagum akan ingatannya yang luar biasa. Pada tahun 250 H. Imam Bukhari mengunjungi Naisabur. Kedatangannya disambut gembira oleh para penduduk, juga oleh gurunya, az-Zihli dan para ulama lainnya.
Imam Muslim bin al-Hajjaj, pengarang kitab as-Shahih Muslim menceritakan: “Ketika Muhammad bin Ismail datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya.” Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (± 100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya az-Zihli berkata: “Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya. Esok paginya Muhammad bin Yahya az-Zihli, sebahagian ulama dan penduduk Naisabur menyongsong kedatangan Imam Bukhari, ia pun lalu memasuki negeri itu dan menetap di daerah perkampungan orang-orang Bukhara. Selama menetap di negeri itu, ia mengajarkan hadits secara tetap. Sementara itu, az-zihli pun berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang diberikannya. Ia berkata: “Pergilah kalian kepada orang alim yang saleh itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya.”

Imam Bukhari Difitnah
Tak lama kemudian terjadi fitnah terhadap Imam bukhari atas perbuatan orang-orang yang iri dengki. Mereka meniupkan tuduhannya kepada Imam Bukhari sebagai orang yang berpendapat bahawa “Al-Qur’an adalah makhluk.” Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, az-Zihli kepadanya, sehingga ia berkata: “Barang siapa berpendapat lafaz-lafaz Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid’ahh. Ia tidak boleh diajak bicara dan majlisnya tidak boleh di datangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majlisnya, curigailah dia.” Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.
Pada hakikatnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan, seorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya: “Bagaimana pendapat Anda tentang lafaz-lafaz Al-Qur’an, makhluk ataukah bukan?” Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali. Tetapi orang tersebut terus mendesaknya, maka ia menjawab: “Al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid’ah.” Yang dimaksud dengan perbuatan manusia adalah bacaan dan ucapan mereka. Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahawa Bukhari perbah berkata: “Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW. yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman kemudian Ali. Dengan berpegang pada keyakinan dan keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah.” Demikian juga ia pernah berkata: “Barang siapa menuduhku berpendapat bahawa lafaz-lafaz Al-Qur’an adalah makhluk, ia adalah pendusta.”
Az-Zahli benar-benar telah murka kepadanya, sehingga ia berkata: “Lelaki itu (Bukhari) tidak boleh tinggal bersamaku di negeri ini.” Oleh karena Imam Bukhari berpendapat bahawa keluar dari negeri itu lebih baik, demi menjaga dirinya, dengan hrapan agar fitnah yang menimpanya itu dapat mereda, maka ia pun memutuskan untuk keluar dari negeri tersebut.
Setelah keluar dari Naisabur, Imam Bukhari pulang ke negerinya sendiri, Bukhara. Kedatangannya disambut meriah oleh seluruh penduduk. Untuk keperluan itu, mereka mengadakan upacara besar-besaran, mendirikan kemah-kemah sepanjang satu farsakh (± 8 km) dari luar kota dan menabur-naburkan uang dirham dan dinar sebagai manifestasi kegembiraan mereka. Selama beberapa tahun menetap di negerinya itu, ia mengadakan majlis pengajian dan pengajaran hadits.
Tetapi kemudian badai fitnah datang lagi. Kali ini badai itu datang dari penguasa Bukhara sendiri, Khalid bin Ahmad az-Zihli, walaupun sebabnya timbul dari sikap Imam Bukhari yang terlalu memuliakan ilmu yang dimlikinya. Ketika itu, penguasa Bukhara, mengirimkan utusan kepada Imam Bukhari, supaya ia mengirimkan kepadanya dua buah karangannya, al-Jami’ al-Shahih dan Tarikh. Imam Bukhari keberatan memenuhi permintaan itu. Ia hanya berpesan kepada utusan itu agar disampaikan kepada Khalid, bahawa “Aku tidak akan merendahkan ilmu dengan membawanya ke istana. Jika hal ini tidak berkenan di hati tuan, tuan adalah penguasa, maka keluarkanlah larangan supaya aku tidak mengadakan majlis pengajian. Dengan begitu, aku mempunyai alas an di sisi Allah kelak pada hari kiamat, bahawa sebenarnya aku tidak menyembunyikan ilmu.” Mendapat jawaban seperti itu, sang penguasa naik pitam, ia memerintahkan orang-orangnya agar melancarkan hasutan yang dapat memojokkan Imam Bukhari. Dengan demikian ia mempunyai alas an untuk mengusir Imam Bukhari. Tak lama kemudian Imam Bukhari pun diusir dari negerinya sendiri, Bukhara.
Imam Bukhari, kemudian mendo’akan tidak baik atas Khalid yang telah mengusirnya secara tidak sah. Belum sebulan berlalu, Ibn Tahir memerintahkan agar Khalid bin Ahmad dijatuhi hukuman, dipermalukan di depan umum dengan menungang himar betina. Maka hidup sang penguasa yang dhalim kepada Imam Bukhari itu berakhir dengan kehinaan dan dipenjara.
Kewafatannya
Imam Bukhari tidak saja mencurahkan seluruh intelegensi dan daya ingatnnya yang luar biasa itu pada karya tulisnya yang terpenting, Shahih Bukhari, tetapi juga melaksanakan tugas itu dengan dedikasi dan kesalehan. Ia selalu mandi dan berdo’a sebelum menulis buku itu. Sebahagian buku tersebut ditulisnya di samping makan Nabi di Madinah.
Imam Durami, guru Imam Bukhari, mengakui keluasan wawasan hadits muridnya ini: “Di antara ciptaan Tuhan pada masanya, Imam Bukharilah agaknya yang paling bijaksana.”
Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari yang isinya meminta ia supaya menetap di negeri mereka. Maka kemudian ia pergi untuk memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah dsa kecil yang terletak dua farsakh sebelum Samarkand, dan desa itu terdapat beberapa familinya, ia pun singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi mereka. Tetapi di desa itu Imam Bukhari jatuh sakit hingga menemui ajalnya.
Ia wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H. (31 Agustus 870 M), dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahawa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Jenazahnya dikebumikan lepas dzuhur, hari raya Idul Fitri, sesudah ia melewati perjalanan hidup panjang yang penuh dengan berbagai amal yang mulia. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya.
Guru-gurunya
Pengembaraannya ke berbagai negeri telah mempertemukan Imam Bukhari dengan guru-guru yang berbobot dan dapat dipercaya, yang mencapai jumlah sangat banyak. Diceritakan bahawa dia menyatakan: “Aku menulis hadits yang diterima dari 1.080 orang guru, yang semuanya adalah ahli hadits dan berpendirian bahawa iman adalah ucapan dan perbuatan.” Di antara guru-guru besar itu adalah Ali ibn al-Madini, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma’in, Muhammad ibn Yusuf al-Faryabi, Maki ibn Ibrahim al-Bakhi, Muhammad ibn Yusuf al-Baykandi dan Ibn Rahawaih. Guru-guru yang haditsnya diriwayatkan dalam kitab Shahih-nya sebanyak 289 orang guru.
Keutamaan dan Keistimewaan Imam Bukhari
Kerana kemasyhurannya sebagai seorang alim yang super jenius, sangat banyak muridnya yang belajar dan mendengar langsung haditsnya dari dia. Tak dapat dihitung dengan pasti berapa jumlah orang yang meriwayatkan hadits dari Imam Bukhari, sehingga ada yang berpendapat bahawa kitab Shahih Bukhari didengar secara langsung dari dia oleh sembilan puluh ribu (90.000) orang (Muqaddimah Fathul-Bari, jilid 22, hal. 204). Di antara sekian banyak muridnya yang paling menonjol adalah Muslim bin al-Hajjaj, Tirmidzi, Nasa’i, Ibn Khuzaimah, Ibn Abu Dawud, Muhammad bin Yusuf al-Firabri, Ibrahim bin Ma’qil al-Nasafi, Hammad bin Syakr al-Nasawi dan Mansur bin Muhammad al-Bazdawi. Empat orang yang terakhir ini merupakan yang paling masyhur sebagai perawi kitab Shahih Bukhari.
Dalam bidang kekuatan hafalan, ketazaman pikiran dan pengetahuan para perawi hadits, juga dalam bidang ilat-ilat hadits, Imam Bukhari merupakan salah satu tanda kekuasaan (ayat) dan kebesaran Allah di muka bumi ini. Allah telah mempercayakan kepada Bukhari dan para pemuka dan penghimpun hadits lainnya, untuk menghafal dan menjaga sunah-sunah Nabi kita Muhammad SAW. Diriwayatkan, bahawa Imam Bukhari berkata: “Saya hafal hadits di luar kepala sebanyak 100.000 buah hadits shahih, dan 200.000 hadits yang tidak shahih.”
Mengenai kejeniusan Imam Bukhari dapat dibuktikan pada kisah berikut. Ketika ia tiba di Baghdad, ahli-ahli hadits di sana berkumpul untuk menguji kemampuan dan kepintarannya. Mereka mengambil 100 buah hadits, lalu mereka tukar-tukarkan sanad dan matannya (diputar balikkan), matan hadits ini diberi sanad hadits lain dan sanad hadits lain dinbuat untuk matan hadits yang lain pula. 10 orang ulama tampil dan masing-masing mengajukan pertanyaan sebanyak 10 pertanyaan tentang hadits yang telah diputarbalikkan tersebut. Orang pertama tampil dengan mengajukan sepuluh buah hadits kepada Bukhari, dan setiap orang itu selesai menyebutkan sebuah hadits, Imam Bukhari menjawab dengan tegas: “Saya tidak tahu hadits yang Anda sebutkan ini.” Ia tetap memberikan jawaban serupa sampai kepada penanya yang ke sepuluh, yang masing-masing mengajukan sepuluh pertanyaan. Di antara hadirin yang tidak mengerti, memastikan bahawa Imam Bukhari tidak akan mungkin mampu menjawab dengan benar pertanyaan-pertanyaan itu, sedangkan para ulama berkata satu kepada yang lainnya: “Orang ini mengetahui apa yang sebenarnya.”
Setelah 10 orang semuanya selesai mengajukan semua pertanyaannya yang jumlahnya 100 pertanyaan tadi, kemudian Imam Bukhari melihat kepada penanya yang pertama dan berkata: “Hadits pertama yang anda kemukakan isnadnya yang benar adalah begini; hadits kedua isnadnya yang benar adalah beginii…”
Begitulah Imam Bukhari menjawab semua pertanyaan satu demi satu hingga selesai menyebutkan sepuluh hadits. Kemudian ia menoleh kepada penanya yang kedua, sampai menjawab dengan selesai kemudian menoleh kepada penanya yang ketiga sampai menjawab semua pertanyaan dengan selesai sampai pada penanya yang ke sepuluh sampai selesai. Imam Bukhari menyebutkan satu persatu hadits-hadits yang sebenarnya dengan cermat dan tidak ada satupun dan sedikitpun yang salah dengan jawaban yang urut sesuai dengan sepuluh orang tadi mengeluarkan urutan pertanyaanya. Maka para ulama Baghdad tidak dapat berbuat lain, selain menyatakan kekagumannya kepada Imam Bukhari akan kekuatan daya hafal dan kecemerlangan pikirannya, serta mengakuinya sebagai “Imam” dalam bidang hadits.
Sebahagian hadirin memberikan komentar terhadap “uji cuba kemampuan” yang menegangkan ini, ia berkata: “Yang mengagumkan, bukanlah karena Bukhari mampu memberikan jawaban secara benar, tetapi yang benar-benar sangat mengagumkan ialah kemampuannya dalam menyebutkan semua hadits yang sudah diputarbalikkan itu secara berurutan persis seperti urutan yang dikemukakan oleh 10 orang penguji, padahal ia hanya mendengar pertanyaan-pertanyaan yang banyak itu hanya satu kali.”Jadi banyak pemirsa yang hairan dengan kemampuan Imam Bukhari mengemukakan 100 buah hadits secara berurutan seperti urutannya si penanya mengeluarkan pertanyaannya padahal beliau hanya mendengarnya satu kali, ditambah lagi beliau membetulkan rawi-rawi yang telah diputarbalikkan, ini sungguh luar biasa.
Imam Bukhari pernah berkata: “Saya tidak pernah meriwayatkan sebuah hadits pun juga yang diterima dari para sahabat dan tabi’in, melainkan saya mengetahui tarikh kelahiran sebahagian besar mereka, hari wafat dan tempat tinggalnya. Demikian juga saya tidak meriwayatkan hadits sahabat dan tabi’in, yakni hadits-hadits mauquf, kecuali ada dasarnya yang kuketahui dari Kitabullah dan sunah Rasulullah SAW.”
Dengan kedudukannya dalam ilmu dan kekuatan hafalannya Imam Bukhari sebagaimana telah disebutkan, wajarlah jika semua guru, kawan dan generasi sesudahnya memberikan pujian kepadanya. Seorang bertanya kepada Qutaibah bin Sa’id tentang Imam Bukhari, ketika menyatakan : “Wahai para penenya, saya sudah banyak mempelajari hadits dan pendapat, juga sudah sering duduk bersama dengan para ahli fiqh, ahli ibadah dan para ahli zuhud; namun saya belum pernah menjumpai orang begitu cerdas dan pandai seperti Muhammad bin Isma’il al-Bukhari.”
Imam al-A’immah (pemimpin para imam) Abu Bakar ibn Khuzaimah telah memberikan kesaksian terhadap Imam Bukhari dengan mengatakan: “Di kolong langit ini tidak ada orang yang mengetahui hadits, yang melebihi Muhammad bin Isma’il.” Demikian pula semua temannya memberikan pujian. Abu Hatim ar-Razi berkata: “Khurasan belum pernah melahirkan seorang putra yang hafal hadits melebihi Muhammad bin Isma’il; juga belum pernah ada orang yang pergi dari kota tersebut menuju Iraq yang melebihi kealimannya.”
Al-Hakim menceritakan, dengan sanad lengkap. Bahawa Muslim (pengarang kitab Shahih), datang kepada Imam Bukhari, lalu mencium antara kedua matanya dan berkata: “Biarkan saya mencium kaki tuan, wahai maha guru, pemimpin para ahli hadits dan dokter ahli penyakit (ilat) hadits.” Mengenai sanjungan diberikan ulama generasi sesudahnya, cukup terwakili oleh perkataan al-Hafiz Ibn Hajar yang menyatakan: “Andaikan pintu pujian dan sanjungan kepada Bukhari masih terbuka bagi generasi sesudahnya, tentu habislah semua kertas dan nafas. Ia bagaikan laut tak bertepi.”
Imam Bukhari adalah seorang yang berbadan kurus, berperawakan sedang, tidak terlalu tinggi juga tidak pendek; kulitnya agak kecoklatan dan sedikit sekali makan. Ia sangat pemalu namun ramah, dermawan, menjauhi kesenangan dunia dan cinta akhirat. Banyak hartanya yang disedekahkan baik secara sembunyi maupun terang-terangan, lebih-lebih untuk kepentingan pendidikan dan para pelajar. Kepada para pelajar ia memberikan bantuan dana yang cukup besar. Diceritakan ia pernah berkata: “Setiap bulan, saya berpenghasilan 500 dirham,semuanya dibelanjakan untuk kepentingan pendidikan. Sebab, apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal.”
Imam Bukhari sangat hati-hati dan sopan dalam berbicara dan dalam mencari kebenaran yang hakiki di saat mengkritik para perawi. Terhadap perawi yang sudah jelas-jelas diketahui kebohongannya, ia cukup berkata: “Perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam diri tentangnya.” Perkataan yang tegas tentang para perawi yang tercela ialah: “Haditsnya diingkari.”
Meskipun ia sangat sopan dalam mengkritik para perawi, namun ia banyak meninggalkan hadits yang diriwayatkan seseorang hanya karena orang itu diragukan. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahawa ia berkata: “Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan, dan meninggalkan pula jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatkan perawi yang dalam pandanganku, perlu dipertimbangkan.”
Selain dikenal sebagai ahli hadits, Imam Bukhari juga sebenarnya adalah ahli dalam fiqh. Dalam hal mengeluarkan fatwa, ia telah sampai pada darjat mujtahid mustaqiil (bebas, tidak terikat pendapatnya pada madzhab-madzhab tertentu) atau dapat mengeluarkan hukum secara sendirian. Dia mempunyai pendapat-pendapat hukum yang digalinya sendiri. Pendapat-pendapatnya itu terkadang sejalan dengan madzhab Abu Hanifah, terkadang sesuai dengan Madzhab Syafi’i dan kadang-kadang berbeda dengan keduanya. Selain itu pada suatu saat ia memilih madzhab Ibn Abbas, dan disaat lain memilih madzhab Mujahid dan ‘Ata dan sebagainya. Jadi kesimpulannya adalah Imam Bukhari adalah seorang ahli hadits yang ulung dan ahli fiqh yg berijtihad sendiri, kendatipun yang lebih menonjol adalah setatusnya sebagai ahli hadits, bukan sebagai ahli fiqh.
Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang alim, ia juga tidak melupakan kegiatan lain yang dianggap penting untuk menegakkan Dinul Islam. Imam Bukhari sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan bahawa sepanjang hidupnya, ia tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunah Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya. Tujuannya adalah untuk memerangi musuh-musuh Islam dan mempertahankannya dari kejahatan mereka.
Karya-karya Imam Bukhari
Di antara hasil karya Imam Bukhari adalah sebagai berikut :
· Al-Jami’ as-Shahih (Shahih Bukhari).
· Al-Adab al-Mufrad.
· At-Tarikh as-Sagir.
· At-Tarikh al-Awsat.
· At-Tarikh al-Kabir.
· At-Tafsir al-Kabir.
· Al-Musnad al-Kabir.
· Kitab al-’Ilal.
· Raf’ul-Yadain fis-Salah.
· Birril-Walidain.
· Kitab al-Asyribah.
· Al-Qira’ah Khalf al-Imam.
· Kitab ad-Du’afa.
· Asami as-Sahabah.
· Kitab al-Kuna.

Sekilas Tentang Kitab AL-JAMI’ AS-SHAHIH (Shahih Bukhari)
Diceritakan, Imam Bukhari berkata: “Aku bermimpi melihat Rasulullah SAW.; seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebahagian ahli ta’bir, ia menjelaskan bahawa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadits Rasulullah SAW. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami’ as-Shahih.”
Dalam menghimpun hadits-hadits shahih dalam kitabnya, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Beliau telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti keshahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya. Beliau senantiasa membanding-bandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan yang lain, menyaringnya dan memlih has mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: “Aku susun kitab Al-Jami’ ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun.” Dan beliau juga sangat hati-hati, hal ini dapat dilihat dari pengakuan salah seorang muridnya bernama al-Firbari menjelaskan bahawa ia mendengar Muhammad bin Isma’il al-Bukhari berkata: “Aku susun kitab Al-Jami’ as-Shahih ini di Masjidil Haram, dan tidaklah aku memasukkan ke dalamnya sebuah hadits pun, kecuali sesudah aku memohonkan istikharoh kepada Allah dengan melakukan salat dua rekaat dan sesudah aku meyakini betul bahawa hadits itu benar-benar shahih.”
Maksud pernyataan itu ialah bahawa Imam Bukhari mulai menyusun bab-babnya dan dasar-dasarnya di Masjidil Haram secara sistematis, kemudian menulis pendahuluan dan pokok-pokok bahasannya di Rawdah tempat di antara makan Nabi SAW. dan mimbar. Setelah itu, ia mengumpulkan hadits-hadits dan menempatkannya pada bab-bab yang sesuai. Pekerjaan ini dilakukan di Mekah, Madinah dengan tekun dan cermat, menyusunnya selama 16 tahun.
Dengan usaha seperti itu, maka lengkaplah bagi kitab tersebut segala faktor yang menyebabkannya mencapai kebenaran, yang nilainya tidak terdapat pada kitab lain. Kerananya tidak menghairankan bila kitab itu mempunyai kedudukan tinggi dalam hati para ulama. Maka sungguh tepatlah ia mendapat predikat sebagai “Buku Hadits Nabi yang Paling Shahih.”
Diriwayatkan bahawa Imam Bukhari berkata: “Tidaklah ku masukkan ke dalam kitab Al-Jami’ as-Shahih ini kecuali hadits-hadits yang shahih; dan ku tinggalkan banyak hadits shahih karena khawatir membosankan.”
Kesimpulan yang diperoleh para ulama, setelah mengadakan penelitian secara cermat terhadap kitabnya, menyatakan bahawa Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan yang paling tinggi, dan tidak turun dari tingkat tersebut kecuali dalam beberapa hadits yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab, seperti hadits mutabi dan hadits syahid, dan hadits-hadits yang diriwayatkan dari sahabat dan tabi’in.
Jumlah Hadits Kitab Al-Jami’as-Shahih (Shahih Bukhari)
Al-’Allamah Ibnus-Salah dalam Muqaddimah-nya menyebutkan, bahawa jumlah hadits Shahih Bukhari sebanyak 7.275 buah hadits, termasuk hadits-hadits yang disebutnya berulang, atau sebanyak 4.000 hadits tanpa pengulangan. Perhitungan ini diikuti oleh Al-”Allamah Syaikh Muhyiddin an-Nawawi dalam kitabnya, At-Taqrib.
Selain pendapat tersebut di atas, Ibn Hajar di dalam muqaddimah Fathul-Bari, kitab syarah Shahih Bukhari, menyebutkan, bahawa semua hadits shahih mawsil yang termuat dalam Shahih Bukhari tanpa hadits yang disebutnya berulang sebanyak 2.602 buah hadits. Sedangkan matan hadits yang mu’alaq namun marfu’, yakni hadits shahih namun tidak diwasalkan (tidak disebutkan sanadnya secara sambung-menyambung) pada tempat lain sebanyak 159 hadits. Semua hadits Shahih Bukhari termasuk hadits yang disebutkan berulang-ulang sebanyak 7.397 buah. Yang mu’alaq sejumlah 1.341 buah, dan yang mutabi’ sebanyak 344 buah hadits. Jadi, berdasarkan perhitungan ini dan termasuk yang berulang-ulang, jumlah seluruhnya sebanyak 9.082 buah hadits. Jumlah ini diluar haits yang mauquf kepada sahabat dan (perkataan) yang diriwayatkan dari tabi’in dan ulama-ulama sesudahnya.
2.      Imam Muslim
Penghimpun dan penyusun hadits terbaik kedua setelah Imam Bukhari adalah Imam Muslim. Nama lengkapnya ialah Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi. Ia juga mengarang kitab As-Shahih (terkenal dengan Shahih Muslim). Ia salah seorang ulama terkemuka yang namanya tetap dikenal hingga kini. Ia dilahirkan di Naisabur pada tahun 206 H. menurut pendapat yang shahih sebagaimana dikemukakan oleh al-Hakim Abu Abdullah dalam kitabnya ‘Ulama’ul-Amsar.
Kehidupan dan Lawatannya untuk Mencari Ilmu
Ia belajar hadits sejak masih dalam usia dini, yaitu mulaii tahun 218 H. Ia pergi ke Hijaz, Iraq, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya.
Dalam lawatannya Imam Muslim banyak mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Di Irak ia belajar hadits kepada Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas’Abuzar; di Mesir berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan kepada ulama ahli hadits yang lain.
Muslim berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits, dan kunjungannya yang terakhir pada 259 H. di waktu Imam Bukhari datang ke Naisabur, Muslim sering datang kepadanya untuk berguru, sebab ia mengetahui jasa dan ilmunya. Dan ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az-Zihli, ia bergabung kepada Bukhari, sehingga hal ini menjadi sebab terputusnya hubungan dengan Az-Zihli. Muslim dalam Shahihnya maupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az-Zihli padahal ia adalah gurunya. Hal serupa ia lakukan terhadap Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadits dalam Shahihnya, yang diterimanya dari Bukhari, padahal iapun sebagai gurunya. Nampaknya pada hemat Muslim, yang lebih baik adalah tidak memasukkan ke dalan Shahihnya hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu, dengan tetap mengakui mereka sebagai guru.
Wafatnya
Imam Muslim wafat pada Minggu sore, dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H. dalam usia 55 tahun.
Guru-gurunya
Selain yang telah disebutkan di atas, Muslim masih mempunyai banyak ulama yang menjadi gurunya. Di antaranya : Usman dan Abu Bakar, keduanya putra Abu Syaibah; Syaiban bin Farwakh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harb, Amr an-Naqid, Muhammad bin al-Musanna, Muhammad bin Yassar, Harun bin Sa’id al-Ayli, Qutaibah bin Sa’id dsb.
Keahlian dalam Hadits
Apabila Imam Bukhari merupakan ulama terkemuka di bidang hadits shahih, berpengetahuan luas mengenai ilat-ilat dan seluk beluk hadits, serta tajam kritiknya, maka Imam Muslim adalah orang kedua setelah Imam Bukhari, baik dalam ilmu dan pengetahuannya maupun dalam keutamaan dan kedudukannya.
Imam Muslim banyak menerima pujian dan pengakuan dari para ulama ahli hadits maupun ulama lainnya. Al-Khatib al-Baghdadi berketa, “Muslim telah mengikuti jejak Bukhari, memperhatikan ilmunya dan menempuh jalan yang dilaluinya.” Pernyataan ini tidak bererti bahawa Muslim hanyalah seorang pengekor. Sebab, ia mempunyai ciri khas dan karakteristik tersendiri dalam menyusun kitab, serta metode baru yang belum pernah diperkenalkan orang sebelumnya.
Abu Quraisy al-Hafiz menyatakan bahawa di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Muslim (Tazkiratul Huffaz, jilid 2, hal. 150). Maksud perkataan tersebut adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy, sebab ahli hadits itu cukup banyak jumlahnya.
Karya-karya Imam Muslim
Imam Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit jumlahnya, di antaranya
· Al-Jami’ as-Shahih (Shahih Muslim).
· Al-Musnadul Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para perawi hadits).
· Kitabul-Asma’ wal-Kuna.
· Kitab al-’Ilal.
· Kitabul-Aqran.
· Kitabu Su’alatihi Ahmad bin Hambal.
· Kitabul-Intifa’ bi Uhubis-Siba’.
· Kitabul-Muhadramin.
· Kitabu man Laisa lahu illa Rawin Wahid.
· Kitab Auladis-Sahabah.
· Kitab Awhamil-Muhadditsin.
Di antara kitab-kitab di atas yang paling agung dan sangat bermanfat luas, serta masih tetap beredar hingga kini ialah Al-Jami’ as-Shahih, terkenal dengan Shahih Muslim. Kitab ini merupakan salah satu dari dua kitab yang paling shahih dan murni sesudah Kitabullah. Kedua kitab Shahih ini diterima baik oleh segenap umat Islam.
Imam Muslim telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meneliti dan mempelajari keadaan para perawi, menyaring hadits-hadits yang diriwayatkan, membandingkan riwayat-riwayat itu satu sama lain. Muslim sangat teliti dan hati-hati dalam menggunakan lafaz-lafaz, dan selalu memberikan isyarat akan adanya perbedaan antara lafaz-lafaz itu. Dengan usaha yang sedeemikian rupa, maka lahirlah kitab Shahihnya.
Bukti konkrit mengenai keagungan kitab itu ialah suatu kenyataan, di mana Muslim menyaring isi kitabnya dari ribuan riwayat yang pernah didengarnya. Diceritakan, bahawa ia pernah berkata: “Aku susun kitab Shahih ini yang disaring dari 300.000 hadits.”
Diriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, yang berkata : “Aku menulis bersama Muslim untuk menyusun kitab Shahihnya itu selama 15 tahun. Kitab itu berisi 12.000 buah hadits.
Dalam pada itu, Ibn Salah menyebutkan dari Abi Quraisy al-Hafiz, bahawa jumlah hadits Shahih Muslim itu sebanyak 4.000 buah hadits. Kedua pendapat tersebut dapat kita kompromikan, yaitu bahawa perhitungan pertama memasukkan hadits-hadits yang berulang-ulang penyebutannya, sedangkan perhitungan kedua hanya menghitung hadits-hadits yang tidak disebutkan berulang.
Imam Muslim berkata di dalam Shahihnya: “Tidak setiap hadits yang shahih menurutku, aku cantumkan di sini, yakni dalam Shahihnya. Aku hanya mencantumkan hadits-hadits yang telah disepakati oleh para ulama hadits.”
Imam Muslim pernah berkata, sebagai ungkapan gembira atas karunia Tuhan yang diterimanya: “Apabila penduduk bumi ini menulis hadits selama 200 tahun, maka usaha mereka hanya akan berputar-putar di sekitar kitab musnad ini.”
Ketelitian dan kehati-hatian Muslim terhadap hadits yang diriwayatkan dalam Shahihnya dapat dilihat dari perkataannya sebagai berikut : “Tidaklah aku mencantumkan sesuatu hadits dalam kitabku ini, melainkan dengan alasan; juga tiada aku menggugurkan sesuatu hadits daripadanya melainkan dengan alas an pula.”
Imam Muslim di dalam penulisan Shahihnya tidak membuat judul setiap bab secara terperinci. Adapun judul-judul kitab dan bab yang kita dapati pada sebahagian naskah Shahih Muslim yang sudah dicetak, sebenarnya dibuat oleh para pengulas yang datang kemudian. Di antara pengulas yang paling baik membuatkan judul-judul bab dan sistematika babnya adalah Imam Nawawi dalam Syarahnya.
3.      Imam Abu Dawud
Setelah Imam Bukhari dan Imam Muslim, kini giliran Imam Abu Dawud yang juga merupakan tokoh kenamaan ahli hadits pada zamannya. Kealiman, kesalihan dan kemuliaannya semerbak mewangi hingga kini.
Abu Dawud nama lengkapnya ialah Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin ‘Amr al-Azdi as-Sijistani, seorang imam ahli hadits yang sangat teliti, tokoh terkemuka para ahli hadits setelah dua imam hadits Bukhari dan Muslim serta pengarang kitab Sunan. Ia dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan.
Perkembangan dan Perlawatannya
Sejak kecilnya Abu Dawud sudah mencintai ilmu dan para ulama, bergaul dengan mereka untuk dapat mereguk dan menimba ilmunya. Belum lagi mencapai usia dewasa, ia telah mempersiapkan dirinya untuk mengadakan perlawatan, mengelilingi berbagai negeri. Ia belajar hadits dari para ulama yang tidak sedikit jumlahnya, yang dijumpainya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri-negeri lain. Perlawatannya ke berbagai negeri ini membantu dia untuk memperoleh pengetahuan luas tentang hadits, kemudian hadits-hadits yang diperolehnya itu disaring dan hasil penyaringannya dituangkan dalam kitab As-Sunan. Abu Dawud mengunjungi Baghdad berkali-kali. Di sana ia mengajarkan hadits dan fiqh kepada para penduduk dengan memakai kitab Sunan sebagai pegangannya. Kitab Sunan karyanya itu diperlihatkannya kepada tokoh ulama hadits, Ahmad bin Hanbal.
Dengan bangga Imam Ahmad memujinya sebagai kitab yang sangat indah dan baik. Kemudian Abu Dawud menetap di Basrah atas permintaan gubernur setempat yang menghendaki supaya Basrah menjadi “Ka’bah” bagi para ilmuwan dan peminat hadits.
Guru-gurunya
Para ulama yang menjadi guru Imam Abu Dawud banyak jumlahnya. Di antaranya guru-guru yang paling terkemuka ialah Ahmad bin Hanbal, al-Qa’nabi, Abu ‘Amr ad-Darir, Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin Raja’, Abu’l Walid at-Tayalisi dan lain-lain. Sebahagian gurunya ada pula yang menjadi guru Imam Bukhari dan Imam Muslim, seperti Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abi Syaibah dan Qutaibah bin Sa’id.
Murid-muridnya (Para Ulama yang Mewarisi Haditsnya)
Ulama-ulama yang mewarisi haditsnya dan mengambil ilmunya, antara lain Abu ‘Isa at-Tirmidzi, Abu Abdur Rahman an-Nasa’i, putranya sendiri Abu Bakar bin Abu Dawud, Abu Awanah, Abu Sa’id al-A’rabi, Abu Ali al-Lu’lu’i, Abu Bakar bin Dassah, Abu Salim Muhammad bin Sa’id al-Jaldawi dan lain-lain.

Cukuplah sebagai bukti pentingnya Abu Dawud, bahawa salah seorang gurunya, Ahmad bin Hanbal pernah meriwayatkan dan menulis sebuah hadits yang diterima dari padanya. Hadits tersebut ialah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari Hammad bin Salamah dari Abu Ma’syar ad-Darami, dari ayahnya, sebagai berikut: “Rasulullah SAW. ditanya tentang ‘atirah, maka ia menilainya baik.”
Akhlak dan Sifat-sifatnya yang Terpuji
Abu Dawud adalah salah seorang ulama yang mengamalkan ilmunya dan mencapai darjat tinggi dalam ibadah, kesucian diri, wara’ dan kesalehannya. Ia adalah seorang sosok manusia utama yang patut diteladani perilaku, ketenangan jiwa dan keperibadiannya. Sifat-sifat Abu Dawud ini telah diungkapkan oleh sebahagian ulama yang menyatakan:
“Abu Dawud menyerupai Ahmad bin Hanbal dalam perilakunya, ketenangan jiwa dan kebagusan pandangannya serta keperibadiannya. Ahmad dalam sifat-sifat ini menyerupai Waki’, Waki menyerupai Sufyan as-Sauri, Sufyan menyerupai Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim an-Nakha’i, Ibrahim menyerupai ‘Alqamah dan ia menyerupai Ibn Mas’ud. Sedangkan Ibn Mas’ud sendiri menyerupai Nabi SAW dalam sifat-sifat tersebut.”
Sifat dan keperibadian yang mulia seperti ini menunjukkan atas kesempurnaan keberagamaan, tingkah laku dan akhlak.
Abu Dawud mempunyai pandangan dan falsafah sendiri dalam cara berpakaian. Salah satu lengan bajunya lebar namun yang satunya lebih kecil dan sempit. Seseorang yang melihatnya bertanya tentang kenyentrikan ini, ia menjawab:
“Lengan baju yang lebar ini digunakan untuk membawa kitab-kitab, sedang yang satunya lagi tidak diperlukan. Jadi, kalau dibuat lebar, hanyalah berlebih-lebihan.
Pujian Para Ulama Kepadanya
Abu Dawud adalah juga merupakan “bendera Islam” dan seorang hafiz yang sempurna, ahli fiqh dan berpengetahuan luas terhadap hadits dan ilat-ilatnya. Ia memperoleh penghargaan dan pujian dari para ulama, terutama dari gurunya sendiri, Ahmad bin Hanbal. Al-Hafiz Musa bin Harun berkata mengenai Abu Dawud:
“Abu Dawud diciptakan di dunia hanya untuk hadits, dan di akhirat untuk surga. Aku tidak melihat orang yang lebih utama melebihi dia.”
Sahal bin Abdullah At-Tistari, seorang yang alim mengunjungi Abu Dawud. Lalu dikatakan kepadanya: “Ini adalah Sahal, datang berkunjung kepada tuan.”
Abu Dawud pun menyambutnya dengan hormat dan mempersilahkan duduk. Kemudian Sahal berkata: “Wahai Abu Dawud, saya ada keperluan keadamu.” Ia bertanya: “Keperluan apa?” “Ya, akan saya utarakan nanti, asalkan engkau berjanji akan memenuhinya sedapat mungkin,” jawab Sahal. “Ya, aku penuhi maksudmu selama aku mampu,” tandan Abu Dawud. Lalu Sahal berkata: “Jujurkanlah lidahmu yang engkau pergunakan untuk meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. sehingga aku dapat menciumnya.” Abu Dawud pun lalu menjulurkan lidahnya yang kemudian dicium oleh Sahal.
Ketika Abu Dawud menyusun kitab Sunan, Ibrahim al-Harbi, seorang ulama ahli hadits berkata: “Hadits telah dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagaimana besi dilunakkan bagi Nabi Dawud.” Ungkapan ini adalah kata-kata simbolik dan perumpamaan yang menunjukkan atas keutamaan dan keunggulan seseorang di bidang penyusunan hadits. Ia telah mempermudah yang sulit, mendekatkan yang jauh dan memudahkan yang masih rumit dan pelik.
Abu Bakar al-Khallal, ahli hadits dan fiqh terkemuka yang bermadzhab Hanbali, menggambarkan Abu Dawud sebagai berikut; Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as, imam terkemuka pada zamannya adalah seorang tokoh yang telah menggali beberapa bidang ilmu dan mengetahui tempat-tempatnya, dan tiada seorang pun pada masanya yang dapat mendahului atau menandinginya. Abu Bakar al-Asbihani dan Abu Bakar bin Sadaqah senantiasa menyinggung-nyingung Abu Dawud karena ketinggian darjatnya, dan selalu menyebut-nyebutnya dengan pujian yang tidak pernah mereka berikan kepada siapa pun pada masanya.
Madzhab Fiqh Abu Dawud
Syaikh Abu Ishaq asy-Syairazi dalam asy-Syairazi dalam Tabaqatul-Fuqaha-nya menggolongkan Abu Dawud ke dalam kelompok murid-murid Imam Ahmad. Demikian juga Qadi Abu’l-Husain Muhammad bin al-Qadi Abu Ya’la (wafat 526 H) dalam Tabaqatul-Hanabilah-nya. Penilaian ini nampaknya disebabkan oleh Imam Ahmad merupakan gurunya yang istimewa. Menurut satu pendapat, Abu Dawud adalah bermadzhab Syafi’i.
Menurut pendapat yang lain, ia adalah seorang mujtahid sebagaimana dapat dilihat pada gaya susunan dan sistematika Sunan-nya. Terlebih lagi bahawa kemampuan berijtihad merupakan salah satu sifat khas para imam hadits pada masa-masa awal.
Memandang Tinggi Kedudukan Ilmu dan Ulama
Sikap Abu Dawud yang memandang tinggi terhadap kedudukan ilmu dan ulama ini dapat dilihat pada kisah berikut sebagaimana dituturkan, dengan sanad lengkap, oleh Imam al-Khattabi, dari Abu Bakar bin Jabir, pembantu Abu Dawud. Ia berkata:
“Aku bersama Abu Dawud tinggi di Baghdad. Pada suatu waktu, ketika kami selesai menunaikan shalat Maghrib, tiba-tiba pintu rumah diketuk orang, lalu pintu aku buka dan seorang pelayan melaporkan bahawa Amir Abu Ahmad al-Muwaffaq mohon ijin untuk masuk. Kemudian aku melapor kepada Abu Dawud tentang tamu ini, dan ia pun mengijinkan. Sang Amir pun masuk, lalu duduk. Tak lama kemudian Abu Dawud menemuinya seraya berkata: “Gerangan apakah yang membawamu datang ke sini pada saat seperti ini?”
“Tiga kepentingan,” jawab Amir. “Kepentingan apa?” tanyanya.
Amir menjelaskan, “Hendaknya tuan berpindah ke Basrah dan menetap di sana, supaya para penuntut ilmu dari berbagai penjuru dunia datang belajar kepada tuan; dengan demikian Basrah akan makmur kembali. Ini mengingat bahawa Basrah telah hancur dan ditinggalkan orang akibat tragedy Zenji.”
Abu Dawud berkata: “Itu yang pertama, sebutkan yang kedua!”
“Hendaknya tuan berkenan mengajarkan kitab Sunan kepada putra-putraku,” kata Amir.
“Ya, ketiga?” Tanya Abu Dawud kembali.
Amir menerangkan: “Hendaknya tuan mengadakan majlis tersendiri untuk mengajarkan hadits kepada putra-putra khalifah, sebab mereka tidak mau duduk bersama-sama dengan orang umum.”
Abu Dawud menjawab: “Permintaan ketiga tidak dapat aku penuhi; sebab manusia itu baik pejabat terhormat maupun rakyat melarat, dalam bidang ilmu sama.”
Ibn Jabir menjelaskan: “Maka sejak itu putra-putra khalifah hadir dan duduk bersama di majlis taklim; hanya saja di antara mereka dengan orang umum di pasang tirai, dengan demikian mereka dapat belajar bersama-sama.”
Maka hendaknya para ulama tidak mendatangi para raja dan penguasa, tetapi merekalah yang harus datang kepada para ulama. Dan kesamaan darjat dalam ilmu dan pengetahuan ini, hendaklah dikembangkan apa yang telah dilakukan Abu Dawud tersebut.
Tanggal Wafatnya
Setelah mengalami kehidupan penuh berkat yang diisi dengan aktivitas ilmia, menghimpun dan menyebarluaskan hadits, Abu Dawud meninggal dunia di Basrah yang dijadikannya sebagai tempat tinggal atas permintaan Amir sebagaimana telah diceritakan. Ia wafat pada tanggal 16 Syawwal 275 H/889M. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepadanya.

Karya-karyanya
Imam Abu Dawud banyak memiliki karya, antara lain:
· Kitab AS-Sunnan (Sunan Abu Dawud).
· Kitab Al-Marasil.
· Kitab Al-Qadar.
· An-Nasikh wal-Mansukh.
· Fada’il al-A’mal.
· Kitab Az-Zuhd.
· Dala’il an-Nubuwah.
· Ibtida’ al-Wahyu.
· Ahbar al-Khawarij.
Di antara karya-karya tersebut yang paling bernilai tinggi dan masih tetap beredar adalah kitab Amerika Serikat-Sunnan, yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Abi Dawud.
Kitab Sunan Karya Abu Dawud
Metode Abu Dawud dalam Penyusunan Sunan-nya
Karya-karya di bidang hadits, kitab-kitab Jami’ Musnad dan sebagainya disamping berisi hadits-hadits hukum, juga memuat hadits-hadits yang berkenaan dengan amal-amal yang terpuji (fada’il a’mal) kisah-kisah, nasehat-nasehat (mawa’iz), adab dan tafsir. Cara demikian tetap berlangsung sampai datang Abu Dawud. Maka Abu Dawud menyusun kitabnya, khusus hanya memuat hadits-hadits hukum dan sunnah-sunnah yang menyangkut hukum. Ketika selesai menyusun kitabnya itu kepada Imam Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Hanbal memujinya sebagai kitab yang indah dan baik.
Abu Dawud dalam sunannya tidak hanya mencantumkan hadits-hadits shahih semata sebagaimana yang telah dilakukan Imam Bukhari dan Imam Muslim, tetapi ia memasukkan pula kedalamnya hadits shahih, hadits hasan, hadits dha’if yang tidak terlalu lemah dan hadits yang tidak disepakati oleh para imam untuk ditinggalkannya. Hadits-hadits yang sangat lemah, ia jelaskan kelemahannya.
Cara yang ditempuh dalam kitabnya itu dapat diketahui dari suratnya yang ia kirimkan kepada penduduk Makkah sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan mereka mengenai kitab Sunannya. Abu Dawud menulis sbb:
“Aku mendengar dan menulis hadits Rasulullah SAW sebanyak 500.000 buah. Dari jumlah itu, aku seleksi sebanyak 4.800 hadits yang kemudian aku tuangkan dalam kitab Sunan ini. Dalam kitab tersebut aku himpun hadits-hadits shahih, semi shahih dan yang mendekati shahih. Dalam kitab itu aku tidak mencantumkan sebuah hadits pun yang telah disepakati oleh orang banyak untuk ditinggalkan. Segala hadits yang mengandung kelemahan yang sangat ku jelaskan, sebagai hadits macam ini ada hadits yang tidak shahih sanadnya. Adapun hadits yang tidak kami beri penjelasan sedikit pun, maka hadits tersebut bernilai salih (bias dipakai alasan, dalil), dan sebahagian dari hadits yang shahih ini ada yang lebih shahih daripada yang lain. Kami tidak mengetahui sebuah kitab, sesudah Qur’an, yang harus dipelajari selain daripada kitab ini. Empat buah hadits saja dari kitab ini sudah cukup menjadi pegangan bagi keberagaman tiap orang. Hadits tersebut adalah, yang ertinya:
Pertama: “Segala amal itu hanyalah menurut niatnya, dan tiap-tiap or memperoleh apa yang ia niatkan.
Kerana itu maka barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya pula. Dan barang siapa hijrahnya karena untuk mendapatkan dunia atau karena perempuan yang ingin dikawininya, maka hijrahnya hanyalah kepada apa yang dia hijrah kepadanya itu."
Kedua: “Termasuk kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa yang tidak berguna baginya.”
Ketiga: “Tidaklah seseorang beriman menjadi mukmin sejati sebelum ia merelakan untuk saudaranya apa-apa yang ia rela untuk dirinya.”
Keempat: “Yang halal itu sudah jelas, dan yang haram pun telah jelas pula. Di antara keduanya terdapat hal-hal syubhat (atau samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barang siapa menghindari syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatan dirinya; dan barang siapa terjerumus ke dalam syubhat, maka ia telah terjerumus ke dalam perbuatan haram, ibarat penggembala yang menggembalakan ternaknya di dekat tempat terlarang. Ketahuilah, sesungguhnya setiap penguasa itu mempunyai larangan. Ketahuilah, sesungguhnya larangan Allah adalah segala yang diharamkan-Nya. Ingatlah, di dalam rumah ini terdapat sepotong daging, jika ia baik, maka baik pulalah semua tubuh dan jika rusak maka rusak pula seluruh tubuh.
Ingatlah, ia itu hati.”
Demikianlah penegasan Abu Dawud dalam suratnya. Perkataan Abu Dawud itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Hadits pertama adalah ajaran tentang niat dan keikhlasan yang merupakan asas utama bagi semua amal perbuatan diniah dan duniawiah.
Hadits kedua merupakan tuntunan dan dorongan bagi ummat Islam agar selalu melakukan setiap yang bermanfaat bagi agama dan dunia.
Hadits ketiga, mengatur tentang hak-hak keluarga dan tetangga, berlaku baik dalam pergaulan dengan orang lain, meninggalkan sifat-sifat egoistis, dan membuang sifat iri, dengki dan benci, dari hati masing-masing.
Hadits keempat merupakan dasar utama bagi pengetahuan tentang halal haram, serta cara memperoleh atau mencapai sifat wara’, yaitu dengan cara menjauhi hal-hal musykil yang samar dan masih dipertentangkan status hukumnya oleh para ulama, karena untuk menganggap enteng melakukan haram.
Dengan hadits ini nyatalah bahawa keempat hadits di atas, secara umum, telah cukup untuk membawa dan menciptakan kebahagiaan.
Komentar Para Ulama Mengenai Kedudukan Kitab Sunan Abu Dawud
Tidak sedikit ulama yang memuji kitab Sunan ini. Hujatul Islam, Imam Abu Hamid al-Ghazali berkata: “Sunan Abu Dawud sudah cukup bagi para mujtahid untuk mengetahui hadits-hadits ahkam.” Demikian juga dua imam besar, An-Nawawi dan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah memberikan pujian terhadap kitab Sunan ini bahkan beliau menjadikan kitab ini sebagai pegangan utama di dalam pengambilan hukum.
Hadits-hadits Sunan Abu Dawud yang Dikritik
Imam Al-Hafiz Ibnul Jauzi telah mengkritik beberapa hadits yang dicantumkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dan memandangnya sebagai hadits-hadits maudhu’ (palsu). Jumlah hadits tersebut sebanyak 9 buah hadits. Walaupun demikian, disamping Ibnul Jauzi itu dikenal sebagai ulama yang terlalu mudah memvonis “palsu”, namun kritik-kritik telah ditanggapi dan sekaligus dibantah oleh sebahagian ahli hadits, seperti Jalaluddin as-Suyuti. Dan andaikata kita menerima kritik yang dilontarkan Ibnul Jauzi tersebut, maka sebenarnya hadits-hadits yang dikritiknya itu sedikit sekali jumlahnya, dan hampir tidak ada pengaruhnya terhadap ribuan hadits yang terkandung di dalam kitab Sunan tersebut. Kerana itu kami melihat bahawa hadits-hadits yang dikritik tersebut tidak mengurangi sedikit pun juga nilai kitab Sunan sebagai referensi utama yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahanya.
Jumlah Hadits Sunan Abu Dawud
Di atas telah disebutkan bahawa isi Sunan Abu Dawud itu memuat hadits sebanyak 4.800 buah hadits. Namun sebahagian ulama ada yang menghitungnya sebanyak 5.274 buah hadits. Perbedaan jumlah ini disebabkan bahawa sebahagian orang yang menghitungnya memandang sebuah hadits yang diulang-ulang sebagai satu hadits, namun yang lain menganggapnya sebagai dua hadits atau lebih. Dua jalan periwayatan hadits atau lebih ini telah dikenal di kalangan ahli hadits.
Abu Dawud membagi kitab Sunannya menjadi beberapa kitab, dan tiap-tiap kitab dibagi pula ke dalam beberapa bab. Jumlah kitab sebanyak 35 buah, di antaranya ada 3 kitab yang tidak dibagi ke dalam bab-bab. Sedangkan jumlah bab sebanyak 1,871 buah bab
4.      Imam Tirmidzi
Setelah Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Abu Dawud, kini giliran Imam Tirmidzi, juga merupakan tokoh ahli hadits dan penghimpun hadits yang terkenal. Karyanya yang masyhur yaitu Kitab Al-Jami’ (Jami’ At-Tirmidzi). Ia juga tergolonga salah satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal.
Imam al-Hafiz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak Amerika Serikat-Sulami at-Tirmidzi, salah seorang ahli hadits kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyhur lahir pada 279 H di kota TirmizI.
Perkembangan dan Lawatannya
Kakek Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Iraq, Khurasan dan lain-lain. Dalam perlawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadits untuk mendengar hadits yang kem dihafal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Makkah. Kisah ini akan diuraikan lebih lanjut.
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmidzi meninggaol dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H dalam usia 70 tahun.
Guru-gurunya
ia belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan.
Di antaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadits dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmidzi belajar pula hadits dari sebahagian guru mereka.
Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan.
Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin al-Musanna dan lain-lain.
Murid-muridnya
Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain.
Kekuatan Hafalannya
Abu ‘Isa at-Tirmidzi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadits, kesalehan dan ketaqwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercayai, amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata:
“Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menulis dua jilid berisi hadits-hadits yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahawa dialah orang yang ku maksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahawa “dua jilid kitab” itu ada padaku. Ternyata yang ku bawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadits yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahawa kertas yang ku pegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ Lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahawa apa yang ia bacakan itu telah ku hafal semuanya. ‘Cuba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang sulit atau garib, lalu berkata: ‘Cuba ulangi apa yang ku bacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.”
Pandangan Para Kritikus Hadits Terhadapnya
Para ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus hadits, menggolangkan Tirmidzi ke dalam kelompok “Tsiqah” atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kukuh hafalannya, dan berkata:
“Tirmidzi adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadits, menyusun kitab, menghafal hadits dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama.”
Abu Ya’la al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits menerangkan; Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi adalah seorang penghafal dan ahli hadits yang baik yang telah diakui oleh para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’us Shahih sebagai bukti atas keagungan darjatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadits yang sangat mendalam.
Fiqh Tirmidzi dan Ijtihadnya
Imam Tirmidzi, di samping dikenal sebagai ahli dan penghafal hadits yang mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, ia juga dikenal sebagai ahli fiqh yang mewakili wawasan dan pandangan luas. Barang siapa mempelajari kitab Jami’nya ia akan mendapatkan ketinggian ilmu dan kedalaman penguasaannya terhadap berbagai mazhab fikih. Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya. Salah satu contoh ialah penjelasannya terhadap sebuah hadits mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut:
“Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi az-Zunad, dari al-A’rai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: ‘Penangguhan membayar hutang yang dilakukan oleh si berhutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan hutangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan hutang itu diterimanya.”
Imam Tirmidzi memberikan penjelasan sebagai berikut:
Sebahagian ahli ilmu berkata: “Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil.” Diktum ini adalah pendapat Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.
Sebahagian ahli ilmu yang lain berkata: “Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal ‘alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil).”
Mereka memakai ala an dengan perkataan Usma dan lainnya, yang menegaskan: “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim.”
Menurut Ishak, maka perkataan “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim” ini adalah “Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu.”
Itulah salah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, bahawa betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Tirmidzi dalam memahami nas-nas hadits, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu.
Karya-karyanya
Imam Tirmidzi banyak menulis kitab-kitab. Di antaranya:
· Kitab Al-Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi.
· Kitab Al-‘Ilal.
· Kitab At-Tarikh.
· Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah.
· Kitab Az-Zuhd.
· Kitab Al-Asma’ wal-kuna.
Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’.
Sekilas tentang Al-Jami’
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmidzi terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia tergolonga salah satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Tirmidzi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Tirmidzi. Namun nama pertamalah yang popular.
Sebahagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar as-Shahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Shahih Tirmidzi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah.
Setelah selesai menyususn kitab ini, Tirmidzi memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: “Setelah selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasa, dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu berbicara.”
Imam Tirmidzi di dalam Al-Jami’-nya tidak hanya meriwayatkan hadits shahih semata, tetapi juga meriwayatkan hadits-hadits hasan, da’if, garib dan mu’allal dengan menerangkan kelemahannya.
Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadits-hadits yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh karenanya, ia meriwayatkan semua hadits yang memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu shahih ataupun tidak shahih. Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadits.
Diriwayatkan, bahawa ia pernah berkata: “Semua hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan.” Oleh kerana itu, sebahagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua buah hadits, yaitu:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak shalat Zuhur dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab “takut” dan “dalam perjalanan.”
“Jika ia peminum khamar – minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.”
Hadits ini adalah mansukh dan ijma ulama menunjukan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebahagian besar ulama berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibn Sirin dan Asyab serta sebahagian besar ahli fiqh dan ahli hadits juga Ibn Munzir.
Hadits-hadits da’if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut fadha’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat dimengerti kerana persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan mengamalkan) hadits semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi hadits-hadits tentang halal dan haram.
5.      Imam Nasa’i
Imam Nasa’i juga merupakan tokoh ulama kenamaan ahli hadits pada masanya. Selain Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Jami’ At-Tirmidzi, juga karya besar Imam Nasa’i, Sunan us-Sughra termasuk jajaran kitab hadits pokok yang dapat dipercayai dalam pandangan ahli hadits dan para kritikus hadits.
Ia adalah seorang imam ahli hadits syaikhul Islam sebagaimana diungkapkan az-Zahabi dalam Tazkirah-nya Abu ‘Abdurrahman Ahmad bin ‘Ali bin Syu’aib ‘Ali bin Sinan bin Bahr al-Khurasani al-Qadi, pengarang kitab Sunan dan kitab-kitab berharga lainnya. Juga ia adalah seorang ulama hadits yang jadi ikutan dan ulama terkemuka melebihi para ulama yang hidup pada zamannya.
Dilahirkan di sebuah tempat bernama Nasa’ pada tahun 215 H. Ada yang mengatakan pada tahun 214 H.
Pengembaraannya
Ia lahir dan tumbuh berkembang di Nasa’, sebuah kota di Khurasan yang banyak melahirkan ulama-ulama dan tokoh-tokoh besar. Di madrasah negeri kelahirannya itulah ia menghafal Al-Qur’an dan dari guru-guru negerinya ia menerima pelajaran ilmu-ilmu agama yang pokok. Setelah meningkat remaja, ia senang mengembara untuk mendapatkan hadits. Belum lagi berusia 15 tahun, ia berangkat mengembara menuju Hijaz, Iraq, Syam, Mesir dan Jazirah. Kepada ulama-ulama negeri tersebut ia belajar hadits, sehingga ia menjadi seorang yang sangat terkemuka dalam bidang hadits yang mempunyai sanad yang ‘Ali (sedikit sanadnya) dan dalam bidang kekuatan periwayatan hadits.
Nasa’i merasa cocok tinggal di Mesir. Kerananya, ia kemudian menetap di negeri itu, di jalan Qanadil. Dan seterusnya menetap di kampung itu hingga setahun menjelang wafatnya. Kemudian ia berpindah ke Damsyik. Di tempatnya yang baru ini ia mengalami suatu peristiwa tragis yang menyebabkan ia menjadi syahid. Alkisah, ia dimintai pendapat tentang keutamaan Mu’awiyyah r.a. Tindakan ini seakan-akan mereka minta kepada Nasa’i agar menulis sebuah buku tentang keutamaan Mu’awiyyah, sebagaimana ia telah menulis mengenai keutamaan Ali r.a.
Oleh kerana itu ia menjawab kepada penanya tersebut dengan “Tidakkah Engkau merasa puas dengan adanya kesamaan darjat (antara Mu’awiyyah dengan Ali), sehingga Engkau merasa perlu untuk mengutamakannya?” Mendapat jawaban seperti ini mereka naik pitam, lalu memukulinya sampai-sampai buah kemaluannya pun dipukul, dan menginjak-injaknya yang kemudian menyeretnya keluar dari masjid, sehingga ia nyaris menemui kematiannya.
Wafatnya
Tidak ada kesepakatan pendapat tentang di mana ia meninggal dunia. Imam Daraqutni menjelaskan, bahawa di saat mendapat cubaan tragis di Damsyik itu ia meminta supaya dibawa ke Makkah. Permohonannya ini dikabulkan dan ia meninggal di Makkah, kemudian dikebumikan di suatu tempat antara Safa dan Marwah. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-’Uqbi al-Misri dan ulama yang lain.
Imam az-Zahabi tidak sependapat dengan pendapat di atas. Menurutnya yang benar ialah bahawa Nasa’i meningal di Ramlah, suatu tempat di Palestina. Ibn Yunus dalam Tarikhnya setuju dengan pendapat ini, demikian juga Abu Ja’far at-Tahawi dan Abu Bakar bin Naqatah. Selain pendapat ini menyatakan bahawa ia meninggal di Ramlah, tetapi yang jelas ia dikebumikan di Baitul Maqdis. Ia wafat pada tahun 303 H.
Sifat-sifatnya
Ia bermuka tampan. Warna kulitnya kemerah-merahan dan ia senang mengenakan pakaian garis-garis buatan Yaman. Ia adalah seorang yang banyak melakukan ibadah, baik di waktu malam atau siang hari, dan selalu beribadah haji dan berjihad.
Ia sering ikut bertempur bersama-sama dengan gabenor Mesir. Mereka mengakui kesatriaan dan keberaniannya, serta sikap konsistensinya yang berpegang teguh pada sunnah dalam menangani masalah penebusan kaum Muslimin yang tetangkap lawan. Dengan demikian ia dikenal senantiasa “menjaga jarak” dengan majlis sang Amir, padahal ia tidak jarang ikut bertempur besamanya. Demikianlah. Maka, hendaklah para ulama itu senantiasa menyebar luaskan ilmu dan pengetahuan. Namun ada panggilan untuk berjihad, hendaklah mereka segera memenuhi panggilan itu. Selain itu, Nasa’i telah mengikuti jejak Nabi Dawud, sehari puasa dan sehari tidak.
Fiqh Nasa’i
Ia tidak saja ahli dan hafal hadits, mengetahui para perawi dan kelemahan-kelemahan hadits yang diriwayatkan, tetapi ia juga ahli fiqh yang berwawasan luas.
Imam Daraqutni pernah berkata mengenai Nasa’i bahawa ia adalah salah seorang Syaikh di Mesir yang paling ahli dalam bidang fiqh pada masanya dan paling mengetahui tentang hadits dan perawi-perawi.
Ibnul Asirr al-Jazairi menerangkan dalam mukadimah Jami’ul Usul-nya, bahawa Nasa’i bermazhab Syafi’i dan ia mempunyai kitab Manasik yang ditulis berdasarkan mazhab Safi’i, rahimahullah.
Karya-karyanya
Imam Nasa’i telah menusil beberapa kitab besar yang tidak sedikit jumlahnya. Di antaranya:
· As-Sunan ul-Kuba.
· As-Sunan us-Sughra, tekenal dengan nama Al-Mujtaba.
· Al-Khasa’is.
· Fada’ilus-Sahabah.
· Al-Manasik.

Di antara karya-karya tersebut, yang paling besar dan bemutu adalah Kitab As-Sunan.

Sekilas tentang Sunan An-Nasa’i
Nasa’i menerima hadits dari sejumlah guru hadits terkemuka. Di antaranya ialah Qutaibah Imam Nasa’i Sa’id. Ia mengunjungi kutaibah ketika berusia 15 tahun, dan selama 14 bulan belajar di bawah asuhannya. Guru lainnya adalah Ishaq bin Rahawaih, al-Haris bin Miskin, ‘Ali bin Khasyram dan Abu Dawud penulis as-Sunan, serta Tirmidzi, penulis al-Jami’.
Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh para ulama yang tidak sedikit jumlahnya. Antara lain Abul Qasim at-Tabarani, penulis tiga buah Mu’jam, Abu Ja’far at-Tahawi, al-Hasan bin al-Khadir as-Suyuti, Muhammad bin Mu’awiyyah bin al-Ahmar al-Andalusi dan Abu Bakar bin Ahmad as-Sunni, perawi Sunan Nasa’i.
Ketika Imam Nasa’i selesai menyusun kitabnya, As-Sunan ul-Kubra, ia lalu menghadiahkannya kepada Amir ar-Ramlah. Amir itu bertanya: “Apakah isi kitab ini shahih seluruhnya?” “Ada yang shahih, ada yang hasan dan ada pula yang hampir serupa dengan keduanya,” jawabnya. “Kalau demikian,” kata sang Amir, “Pisahkan hadits-hadits yang shahih saja.” Atas permintaan Amir ini maka Nasa’i berusaha menyeleksinya, memilih yang shahih-shahih saja, kemudian dihimpunnya dalam suatu kitab yang dinamakan As-Sunan us-Sughra. Dan kitab ini disusun menurut sistematika fiqh sebagaimana kitab-kitab Sunan yang lain.
Imam Nasa’i sangat teliti dalam menyususn kitab Sunan us-Sughra. Kerananya ulama berkata: “Kedudukan kitab Sunan Sughra ini di bawah darjat Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, kerana sedikit sekali hadits dha’if yang tedapat di dalamnya.”
Oleh kerana itu, kita dapatkan bahawa hadits-hadits Sunan Sughra yang dikritik oleh Abul Faraj ibnul al-Jauzi dan dinilainya sebagai hadits maudhu’ kepada hadits-hadits tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima. As-Suyuti telah menyanggahnya dan mengemukakan pandangan yang berbeda dengannya mengenai sebahagian besar hadits yang dikritik itu. Dalam Sunan Nasa’i terdapat hadits-hadits shahih, hasan, dan dha’if, hanya saja hadits yang dha’if sedikit sekali jumlahnya. Adapun pendapat sebahagian ulama yang menyatakan bahawa isi kitab Sunan ini shahih semuanya, adalah suatu anggapan yang terlalu sembrono, tanpa didukung oleh penelitian mendalam. Atau maksud pernyataan itu adalah bahawa sebahagian besar ini Sunan adalah hadits shahih.
Sunan us-Sughra inilah yang dikategorikan sebagai salah satu kitab hadits pokok yang dapat dipercaya dalam pandangan ahli hadits dan para kritikus hadits. Sedangkan Sunan ul-Kubra, metode yang ditempuh Nasa’i dalam penyusunannya adalah tidak meriwayatkan sesuatu hadits yang telah disepakati oleh ulama kritik hadits untuk ditinggalkan.
Apabila sesuatu hadits yang dinisbahkan kepada Nasa’i, misalnya dikatakan, “hadits riwayat Nasa’i”, maka yang dimaksudkan ialah “riwayat yang di dalam Sunan us-Sughra, bukan Sunan ul-Kubra”, kecuali yang dilakukan oleh sebahagian kecil para penulis. Hal itu sebagaimana telah diterangkan oleh penulis kitab ‘Aunul-Ma’bud Syarhu Sunan Abi Dawud pada bahagian akhir huraiannya: “Ketahuilah, pekataan al-Munziri dalam Mukhtasar-nya dan perkataan al-Mizzi dalam Al-Atraf-nya, hadits ini diriwayatkan oleh Nasa’i”, maka yang dimaksudkan ialah riwayatnya dalam As-Sunan ul-Kubra, bukan Sunan us-Sughra yang kini beredar di hampir seluruh negeri, seperti India, Arabia, dan negeri-negeri lain. Sunan us-Sughra ini merupakan ringkasan dari Sunan ul-Kubra dan kitab ini hampir-hampir sulit ditemukan. Oleh kerana itu hadits-hadits yang dikatakan oleh al-Munziri dan al-Mizzi, “diriwayatkan oleh Nasa’i” adalah tedapat dalam Sunan ul-Kubra. Kita tidak perlu bingung dengan tiadanya kitab ini, sebab setiap hadits yang tedapat dalam Sunan us-Sughra, terdapat pula dalam Sunanul-Kubra dan tidak sebaliknya.
Mengakhiri pengkajian ini, perlu ditegaskan kembali, bahawa Sunan Nasa’i adalah salah satu kitab hadits pokok yang menjadi pegangan.
6.      Imam Ibn Majah           
Ibn Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal hadits.
Imam Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i al-Qarwini, pengarang kitab As-Sunan dan kitab-kitab bemanfaat lainnya. Kata “Majah” dalam nama beliau adalah dengan huruf “ha” yang dibaca sukun; inilah pendapat yang shahih yang dipakai oleh mayoritas ulama, bukan dengan “ta” (majat) sebagaimana pendapat sementara orang. Kata itu adalah gelar ayah Muhammad, bukan gelar kakeknya, seperti diterangkan penulis Qamus jilid 9, hal. 208. Ibn Katsr dalam Al-Bidayah wan-Nibayah, jilid 11, hal. 52.
Imam Ibn Majah dilahirkan di Qaswin pada tahun 209 H, dan wafat pada tanggal 22 Ramadhan 273 H. Jenazahnya dishalatkan oleh saudaranya, Abu Bakar. Sedangkan pemakamannya dilakukan oleh kedua saudaranya, Abu Bakar dan Abdullah serta putranya, Abdullah.
Pengembaraannya
Ia berkembang dan meningkat dewasa sebagai orang yang cinta mempelajari ilmu dan pengetahuan, teristimewa mengenai hadits dan periwayatannya. Untuk mencapai usahanya dalam mencari dan mengumpulkan hadits, ia telah melakukan lawatan dan berkeliling di beberapa negeri. Ia melawat ke Irak, Hijaz, Syam, Mesir, Kufah, Basrah dan negara-negara serta kota-kota lainnya, untuk menemui dan berguru hadits kepada ulama-ulama hadits. Juga ia belajar kepada murid-murid Malik dan al-Lais, rahimahullah, sehingga ia menjadi salah seorang imam terkemuka pada masanya di dalam bidang ilmu nabawi yang mulia ini.
Aktivitas Periwayatannya
Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari Abu Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin Numair, Hisyam bin ‘Ammar, Muhammad bin Ramh, Ahmad bin al-Azhar, Bisyr bin Adan dan ulama-ulama besar lain.
Sedangkan hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Muhammad bin ‘Isa al-Abhari, Abul Hasan al-Qattan, Sulaiman bin Yazid al-Qazwini, Ibn Sibawaih, Ishak bin Muhammad dan ulama-ulama lainnya.
Penghargaan Para Ulama Kepadanya
Abu Ya’la al-Khalili al-Qazwini berkata: “Ibn Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal hadits.”
Zahabi dalam Tazkiratul Huffaz, melukiskannya sebagai seorang ahli hadits besarm mufasir, pengarang kitab sunan dan tafsir, serta ahli hadits kenamaan negerinya.
Ibn Kasir, seorang ahli hadits dan kritikus hadits berkata dalam Bidayah-nya: “Muhammad bin Yazid (Ibn Majah) adalah pengarang kitab sunan yang masyhur.
Kitabnya itu merupakan bukti atas amal dan ilmunya, keluasan pengetahuan dan pandangannya, serta kredibilitas dan loyalitasnya kepada hadits dan usul dan furu’.”
Karya-karyanya
Imam Ibn Majah mempunyai banyak karya tulis, di antaranya:
· Kitab As-Sunan, yang merupakan salah satu Kutubus Sittah (Enam Kitab Hadits yang Pokok).
· Kitab Tafsir Al-Qur’an, sebuah kitab tafsir yang besar manfatnya seperti diterangkan Ibn Kasir.
· Kitab Tarikh, berisi sejarah sejak masa sahabat sampai masa Ibn Majah.
Sekilas Tentang Sunan Ibn Majah
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Ibn Majah terbesar yang masih beredar hingga sekarang. Dengan kitab inilah, nama Ibn Majah menjadi terkenal.
Ia menyusun sunan ini menjadi beberapa kitab dan beberapa bab. Sunan ini terdiri dari 32 kitab, 1.500 bab. Sedan jumlah haditsnya sebanyak 4.000 buah hadits.
Kitab sunan ini disusun menurut sistematika fiqh, yang dikerjakan secara baik dan indah. Ibn Majah memulai sunan-nya ini dengan sebuah bab tentang mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Dalam bab ini ia menguraikan hadits-hadits yang menunjukkan kekuatan sunnah, kewajiban mengikuti dan mengamalkannya.
Kedudukan Sunan Ibn Majah di antara Kitab-kitab Hadits
Sebahagian ulama tidak memasukkan Sunan Ibn Majah ke dalam kelompok “Kitab Hadits Pokok” mengingat darjat Sunan ini lebih rendah dari kitab-kitab hadits yang lima.
Sebahagian ulama yang lain menetapkan, bahawa kitab-kitab hadits yang pokok ada enam kitab (Al-Kutubus Sittah/Enam Kitab Hadits Pokok), yaitu:
· Shahih Bukhari, karya Imam Bukhari.
· Shahih Muslim, karya Imam Muslim.
· Sunan Abu Dawud, karya Imam Abu Dawud.
· Sunan Nasa’i, karya Imam Nasa’i.
· Sunan Tirmidzi, karya Imam Tirmidzi.
· Sunan Ibn Majah, karya Imam Ibn Majah.
Ulama pertama yang memandang Sunan Ibn Majah sebagai kitab keenam adalah al-Hafiz Abul-Fardl Muhammad bin Tahir al-Maqdisi (wafat pada 507 H) dalam kitabnya Atraful Kutubus Sittah dan dalam risalahnya Syurutul ‘A’immatis Sittah.
Pendapat itu kemudian diikuti oleh al-Hafiz ‘Abdul Gani bin al-Wahid al-Maqdisi (wafat 600 H) dalam kitabnya Al-Ikmal fi Asma’ ar-Rijal. Selanjutnya pendapat mereka ini diikuti pula oleh sebahagian besar ulama yang kemudian.
Mereka mendahulukan Sunan Ibn Majah dan memandangnya sebagai kitab keenam, tetapi tidak mengkategorikan kitab Al-Muwatta’ karya Imam Malik sebagai kitab keenam, padahal kitab ini lebih shahih daripada Sunan Ibn Majah, hal ini mengingat bahawa Sunan Ibn Majah banyak zawa’idnya (tambahannya) atas Kutubul Khamsah. Berbeda dengan Al-Muwatta’, yang hadits-hadits itu kecuali sedikit sekali, hampir seluruhnya telah termuat dalam Kutubul Khamsah.
Di antara para ulama ada yang menjadikan Al-Muwatta’ susunan Imam Malik ini sebagai salah satu Usul us-Sittah (Enam Kitab Pokok), bukan Sunan Ibn Majah. Ulama pertama yang berpendapat demikian adalah Abul Hasan Ahmad bin Razin al-Abdari as-Sarqisti (wafat sekitar tahun 535 H) dalam kitabnya At-Tajrid fil Jam’i Bainas-Sihah. Pendapat ini diikuti oleh Abus Sa’adat Majduddin Ibnul Asir al-Jazairi asy-Syafi’i (wafat 606 H). Demikian pula az-Zabidi asy-Syafi’i (wafat 944 H) dalam kitabnya Taysirul Wusul.
Nilai Hadits-hadits Sunan Ibn Majah
Sunan Ibn Majah memuat hadits-hadits shahih, hasan, dan da’if (lemah), bahkan hadits-hadits munkar dan maudhu’ meskipun dalam jumlah sedikit.
Martabat Sunan Ibn Majah ini berada di bawah martabat Kutubul Khamsah (Lima Kitab Pokok).
Hal ini kerana kitab sunan ini yang paling banyaknya hadits-hadits da’if di dalamnya.
Oleh kerana itu tidak sayugianya kita menjadikan hadits-hadits yang dinilai lemah atau palsu dalam Sunan Ibn Majah ini sebagai dalil. Kecuali setelah mengkaji dan meneliti terlebih dahulu mengenai keadaan hadits-hadits tersebut. Bila ternyata hadits dimaksud itu shahih atau hasan, maka ia boleh dijadikan pegangan. Jika tidak demikian adanya, maka hadits tersebut tidak boleh dijadikan dalil.
Sulasiyyat Ibn Majah
Ibn Majah telah meriwayatkan beberapa buah hadits dengan sanad tinggi (sedikit sanadnya), sehingga antara dia dengan Nabi SAW hanya terdapat tiga perawi. Hadits semacam inilah yang dikenal dengan sebutan Sulasiyyat.


  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Ulumul Hadits Description: Rating: 5 Reviewed By: Unknown
Scroll to Top