728x90 AdSpace

Latest News

Rabu, 06 Juli 2011

Agama Budha

BAB I
Sejarah Agama Buddha

1.      Kisah Buddha Gautama.
Agama Buddha bermula dari kisah seorang tokoh. Perkataan Buddha terbentuk dari kata kerja “budh” yang artinya bangun; bangun dari dalam kesesatan dan keluar ditengah-tengah cahaya pemandangan yang benar. Buddha adalah orang yang mendapat pengetahuan dengan tidak mendapat wahyu dari Tuhan dan bukan dari seorang guru, sebagaimana disebutkan dalam Mahavagga 1, 67.[1] Buddha bukan nama orang melainkan gelar. Nama pendiri Agama Buddha ini ialah Sidharta Gautama dari Sakya, Sidharta adalah nama kecinya, Gautama adalah nama keluarganya, dan Sakya adalah nama marga keluarganya. Sidharta Gautama atau biasa juga disebut Cakyamuni, artinya orang tapa dari suku turunan Cakyas.
Sidharta Gautama dilahirkan dari seorang Raja Sudhodana di Kapilawastu, Beliau dilahirkan sekitar tahun 560 sebelum masehi di India Utara, kira-kira seratus mil
dari Benares. Diwaktu Beliau dilahirkan oleh beberapa orang Brahmana pandai, diramalkan bahwa anak itu akan meninggalkan keraton dan menjadi Bikshu, yakni seorang Padri yang hidupnya mengemis. Sudhodana sangat masgul mendengar ramalan itu. Ia mencoba memikat hati putranya dengan memanjakannya dengan segala kenikmatan hidup. Dengan cara demikian tidaklah akan timbul keinginannya unutuk meninggalkan seegala kenikmatan itu dan menggantinya dengan hidup yang serba berat dan penuh penderitaan sebagai Bikshu. Untuk Sidharta didirikan keraton yang indah-indah. Di sekitarnya hanya ada orang muda, sehat, dan cantik, sehingga Sidharrta tidak mengenal rasa sakit, kesusahan, kesengsaraan dan kemauan.
Ia mendapat pengajaran yang sempurna dalam segala kecakapan dan ilmu yang perlu bagi seorang Ksatria, sehingga dalam segala pertandingan ia selalu menang.Istrinya Yasodhara didapatkan dalam sebuah Swayamwara sesuai dengan kaum Ksatrya pada masa itu. Ia kawin dikala umur 15 tahun, dan mendapat seorang putra bernama Ragula. Demikianlah hidup Sidharta selalu diliputi kesenangan dan kenikmatan, tapi hukum karma tidak dapat dielakkan, segala tembok dan segala peraturan sia-sia belaka.
Beberapa peristiwa menggoncangkan hidupnya, secara kebetulan ia berturut-turut, melihat 4 peristiwa;[2]
a)      Seorang tua jompo.
b)      Orang sakit.
c)      Seorang pengemis keramat.
d)     Mayat yang sedang diangkut.
Meskipun sebelumnnya sudah diatur sedemikian rupa, agar di tepi jalan jangan ada pandangan yang menimbulkan pikiran tidak baik kepada sidharta, tetapi masih juga terjadi apa yang tidak diingini oleh Sudhodana.Sidharta Gautama sangat tertarik oleh ketenangan dan kebahagiaan yang bersinar dalam mata pengemis yang keramat itu, oleh sebab itu diputuskannya untuk meninggalkan Keraton dengan segala kenikmatan itu. Ia pergi mengembara di Hutan raya untuk mencari kebenaran yang akan mendatangkan kebahagiaan bagi semua orang.
Pada waktu perginya konon para Dewa membantunya. Ia pergi pada suatu malam dengan menaiki kudanya Kanthaka dan diiringi oleh pengawalnya yang bernama Ghanna. Pagi harinya setelah Sidharta jauh dari kapilawastu dan sudah sampai di Hutan, pakaiannya yang serba indah dibukanya dan diganti dengan pakaian yang sederhana. Ia berjalan kaki dan kuda beserta pengawalnya ghanna disuruh pulang. Ia terus mengembara mencari pengetahuan bathin yang setinggi-tingginya.
Enam tahun ia mengembara, belum juga dapat apa yang dicarinya. Pernah ia menjumpai dua orang Guru yang menyuruhnya berupa menyiksa diri, tetapi pelajaran mereka satu persatu pun tidak ada yang memberi kepuasan kepadanya. Sesudah ia yakin bahwa tidak ada faedahnya menyiksa diri semacam ajaran sang Guru itu, dan sesudah ia makan lagi seperti biasa, barulah karena keyakinan sendiri menemui jalan yang dikehendakinya. Pada waktu Ia duduk di bawah Pohon Bodhi (Ilmu Pengetahuan, Keinsyafan) datanglah si dewa jahat menggoda, tapi dapat dikalahkannya. Dan sesudah menngalahkannya itu, ia tahu Mahatahu. Ia tahu sebab segala penderitaan di Dunia ini, dan bagaimana cara menghilangkannya.
Tapi lama Ia bimbang, apakah Ia akan menyebarkan pengetahuannya itu kepada semua manusia di Dunia ini. Kemudian ia menghadap dewa Brahma dengan memohon kepadanya atas nama para dewa dan atas nama semua manusia, supaya menyiarkan pengetahuannya yang sungguh akan menyinari Dunia ini. Sejak itulah Sidharta menjadi Buddha artinya disinari. Menurut riwayat, peristiwa itu terjadi pada tahun 531 sebelum masehi, dan pada waktu itu Sidharta berusia 35 tahun.
Ia menyiarkan keyakinannya di negeri-negeri suci Buddha selam 45 tahun, ia melihat penganut-penganutnya makin tambah, bahkan Raja-raja, rakyat se Negara datang berduyun-duyun meminta wejangan petunjuk hidup. Bagi seorang penganut Buddha di negerinya ada 4 tempat suci :[3]
a)      Kapilawastu yaitu tempat lahir Buddha.
b)      Pohon Bodhi yaitu tempat dimana pikirannya mulai terbuka.
c)      Benares yaitu tempat Ia mulai mengajarkan ajarannya yang pertama kali.
d)     Kucinagara yaitu tempat ia meninggal dunia.
Ketika umur 80 tahun cakyamuni meninggal, atau dikatakannya menurut istilah ke-Buddhaan Ia naik ke Nirwana. Jenazahnya dibakar dengan upacara kebesaran  dan abunya dibagi-bagikan kepada penganut-penganutnya yang datang dari tempat jauh, dalam 8 bagian, lalu disimpan dalam upacara pula dalam Stupa yang istimewa.
2.      Mahayana dan Hinayana.
Karena luasnya daerah tempat agama Buddha berkembang apalagi karena alat lalu lintas dalam zaman dahulu amat sederhana dan kurang, maka lambat laun timbul beberapa aliran dalam agama Buddha.Tambahan lagi corak dan tingkatan peradaban bangsa-bangsa di bagian Asia yang lain itu amat berbeda dari peradaban orang India, sehingga bangsa-bangsa itu tidak mungkin menerima pengajaran agama tadi begitu saja. Hal tersebut yang menyebabkan agam Buddha pecah menjadi dua aliran, yang pertama Mahayana dan yang kedua Hinayana.[4]
a.       Mahayana berkembang di Tibet, Tiongkok, dan Jepang.
Aliran ini sudah amat berbeda dengan pelajaran yang diajarkan Buddha semula. Sekarang yang menjadi perhatian ialah Buddha sendiri yang dianggap Dewa. Perkataan Buddha tidak lagi untuk menyebut orang yanng dinamakan Buddha, tapi dipakai untuk menyebut jenis dewa yang ada beberapa jumlahnya. Imam Mahayana sebagai berikut Buddha pertama merupakan sumber segala makhluk. Atas kehendak sendiri Buddha pertama menjelma dalam lima dhyania Buddha yang tetap tinggal di surga. Lima dhyania ini masing-masing punya Buddha manusia. Buddha Gautama menjadi seorang diantara lima orang yang kelak akan turun di dunia. Mahayana biasa pula disebut kendaraan besar yang dimaksud suatau kepercayaan yang menuju ke arah bahagia yang kekal.
b.      Hinayana berkembang di Sailan, Birma, dan Muang Thai.
Aliran ini lebih mendekati pengajaran Buddha yang semua. Faham ini berannggapan bahwa kelak akan ada Buddha baru datang di dunia yaitu Maitreya.

Jarak antara Buddha Gautama dengan Maitreya beribi-ribu tahun. Hinayana menganggap bahwa Buddha Gautama itu melebihi para Dewa. Hidup harus menurut petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Buddha untuk mencapai Nirwana. Setiap orang harus berusaha sendiri dengan tidak mengharapkan pertolongan dari siapapun. Jadi dalam Hinayana ini untuk mencapai nirwana tidak mengharapkan bantuan orang lain.
Oleh karena itu hannya beberapa orang saja yang dapat memasuk Nirwana. Aliran ini biasa disebut kendaraan kecil, yaitu nama dari Buddhisme yang asli. Dalam Hinayana manusia hanya memikirkan keselamatannya sendiri dan yang diperlukannya untuk menyelamatkan diri dari dunia khayal dan penderitaan itu hanyalah kendaraan kecil.
Agama Buddha ini mempunyai kitab-kitab sucinya sendiri yaitu ada dua macam, yang muda dalam bahasa Sansekrit dan yang tua dalamm bahasa Pali. Yang  berbahasa sansekrit kita temukan di Nepal sedang yang berbahasa pali di sailan. Kitab suci itu, ialah Tripitaka berarti tempat tiga baku, yang terdiri dari :[5]
1)      Vinaya-Pitaka yang berisi dari masyarakat Bhikshu.
2)      Sutra-Pitaka yang berisi wejangan-wejangan sang Buddha.
3)      Adidharma-Pitaka yang berisi penjelasan Dogmatik yang didasarkan atas ajaran itu.
3.      Perkembangan Agama Buddha.
Agama Buddha berganti-ganti mengalami masa maju dan surut. Sejak Sang Buddha Gautama pertama kali mengajarkan agama yang dibawanya, beliau selalu mendapat hasil yang cemerlang. Banyak ornag mau mendengarkan pengajarannya dan menjadi pengikutnya. Buddha mendpat hasil besar dalam usaha menyebarkan ajarannya, karena ia bertindak terhadap agama Brahmana yang sedang merosot pada waktu itu.
Kemudian disusul pula oleh suatu kemajuan yang diperoleh pada waktu pemerintahan Kaisar Ashoka pada tahun 272 sebelum masehi, hingga waktu itu agama Buddha dijadikan agama negara. Putra Raja sendiri Mahinda menjadi pengajar agama dan dikirim ke Sailan. Tahun 232 s.m. Raja Ashoka wafat.
Setelah mengalami suatu kemajuan yang pesat, yaitu antara tahun 200 dan 800 maka tibalah masa deklanasi selama 4 abad. Menjelang permulaan kekuasaan Islam di sekitar tahun 1200 agama Buddha kehilangan pengaruh di India, hingga beberapa ratus ribu jiwa saja jumlah pengikut Buddha di India, dan mereka tinggal sebagian besar di Sailan.
Di negeri-negeri Asia yang lain masih terdapat penganut Buddha berhubungan dengan banyaknya pengikut-pengikut Buddha sejak dahulu kala dan karena kebijaksanaan yang memancar dari pengajarannya, dapatlah Buddha disebut “sinar timur dari India”.
Pada abad I Masehi para pengajar Buddha mulai masuk ke Tiongkok. Abad ke-IV masehi agama Buddha di Tiongkok telah mendapat tempat yang utama dan tersiar luas. Kemudian dari Tiongkok terus meluas sampai ke Korea. Pada pertengahan abad ke-V M. Birma di Buddhakan oleh Sailan. Setelah seabad kemudian Jepang di Buddhakan oleh Korea, dan seterusnya Muang Thai juga memeluk agama Buddha.
Dahulu kala agama Buddha tersiar juga di Indonesia. Pada awalnya Buddha Hinayana, yakni pada permmulaan zaman Hindu. Kemudian pada abad ke-VII M. Agama Buddha Mahayana masuk ke Sriwijaya dan pada abad ke-VIII M masuk ke Jawa, yang menyebarkan timbulnya candi-candi kompleks Borobudur, Kalasan, dan Sewu. Candi-candi itu memang bentuknya tidak sama dengan bangunan-bangunan di tempat asal Buddha. Akhirnya agama Buddha diperstukan dengan Ciwaisme, juga dengan kepercayaan-kepercayaan asli orang Indonesia, hingga timbul seorang Dewa yanng bernama Ciwa Buddha. Dan akhirnya sekarang sedikit sekali orang yang beragama Buddha.
Beberapa tahun yang lalu, di Eropa orang sedang giat menyelidiki alam fikiran dan Agama Timur, agama Buddha pun mulai dikenal. Nilai-nilai pelajaran Gautama dengan halusnya jalan fikiran dan cita-cita kelepasannya memanng berlainan dengan agama-agama yang biasa dianut orang di Eropa barat. Karena itu banyak orang Eropa dan kemudian juga orang Amerika, yang merasa tertarik untuk masuk ajaran agama Buddha.
Jumlah penganut agama Buddha hingga sekarang ada sekkitar 500 juta orang, di Amerika sekitar 160 ribu orang.[6] Agama Buddha sebagai suatu aliran, sebagai satu agama dunia disamping agama-agama lain dan sebagai satu cara berfikir manusia dalam percobaan hendak memecahkan soal hubungan antara makhluk dan yang Maha Ghaib, juga dijadikan suatu vak mata pelajaran dalam perguruan-perguruan tinggi di Dunia.

BAB II
Peninggalan Agama Budha

Peninggalan sejarah bercorak Budha yang ada di Indonesia adalah :
a. Candi
Candi-candi Buddha digunakan sebagai tempat pemujaan. Ciri candi Buddha adalah adanya stupa dan patung Sang Buddha Gautama. Stupa adalah bangunan dari batu tempat menyimpan patung Sang Buddha. Candi Tara adalah candi yang dipersembahkan untuk Dewi Tara yang dinding luarnya dilapisi semen kuno. Candi budha tertua di Yogyakarta ini dibangun oleh Rakai Panangkaran, raja dari dinasti Syailendra yang juga mengkonsep pendirian Borobudur. Banyak orang selalu menyebut Borobudur saat membicarakan bangunan candi budha . Padahal, ada banyak candi bercorak budha yang terdapat di Yogyakarta, salah satu yang berkaitan erat dengan Borobudur adalah Candi Tara. Candi yang terletak di Kalibening, Kalasan ini dibangun oleh konseptor yang sama dengan Borobudur, yaitu Rakai Panangkaran. Karena letaknya di daerah Kalasan, maka candi ini lebih dikenal dengan nama Candi Kalasan.
Selesai dibangun pada tahun 778 M, Candi Tara menjadi candi budha tertua di Yogyakarta. Candi yang berdiri tak jauh dari Jalan Yogya Solo ini dibangun sebagai penghargaan atas perkawinan Pancapana dari Dinasti Sanjaya dengan Dyah Pramudya Wardhani dari Dinasti Syailendra. Selain sebagai hadiah perkawinan, candi itu juga merupakan tanggapan usulan para raja untuk membangun satu lagi bangunan suci bagi Dewi Tara dan biara bagi para pendeta.
Candi Tara adalah bangunan berbentuk dasar bujur sangkar dengan setiap sisi berukuran 45 meter dan tinggi 34 meter. Bangunan candi secara vertikal terdiri dari tiga bagian, yaitu kaki candi, tubuh candi dan atap candi. Bagian kaki candi adalah sebuah bangunan yang berdiri di alas batu berbentuk bujur sangkar dan sebuah batu lebar. Pada bagian itu terdapat tangga dengan hiasan makara di ujungnya. Sementara, di sekeliling kaki candi terdapat hiasan sulur-suluran yang keluar dari sebuah pot.
Tubuh candi memiliki penampilan yang menjorok keluar di sisi tengahnya. Di bagian permukaan luar tubuh candi terdapat relung yang dihiasi sosok dewa yang memegang bunga teratai dengan posisi berdiri. Bagian tenggaranya memiliki sebuah bilik yang di dalamnya terdapat singgasana bersandaran yang dihiasi motif singa yang berdiri di atas punggung gajah. Bilik tersebut dapat dimasuki dari bilik penampil yang terdapat di sisi timur.
Bagian atap candi berbentuk segi delapan dan terdiri dari dua tingkat. Sebuah arca yang melukiskan manusia budha terdapat pada tingkat pertama sementara pada tingkat kedua terdapat arca yang melukiskan Yani budha Bagian puncak candi berupa bujur sangkar yang melambangkan Kemuncak Semeru dengan hiasan stupa-stupa. Pada bagian perbatasan tubuh candi dengan atap candi terdapat hiasan bunga makhluk khayangan berbadan kerdil disebut Gana.

C.     Prasasti
Prasasti adalah benda peninggalan sejarah yang berisi tulisan dari masa lampau.Tulisan itu dicatat di atas batu, logam, tanah liat, dan tanduk binatang. Prasasti peninggalan Hindu ditulis dengan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Prasasti tertua adalah Prasasti Yupa, dibuat sekitar tahun 350-400 M.Prasasti Yupa berasal dari Kerajaan Kutai. Yupa adalah tiang batu yang digunakan pada saat upacara korban. Hewan kurban ditambatkanpada tiang ini. Prasasti Yupa terdiri dari tujuh batu bertulis. Isi Prasasti Yupa adalah syair yang mengisahkan Raja Mulawarman. Di Sumatra Selatan ditemukan beberapa prasasti warisan Kerajaan Sriwijaya. Di sekitar Palembang ditemukan Prasasti Telaga Batu, Prasasti Talang Tuwo, dan Prasasti Kedukan Bukit. Ketiganya menceritakan berdirinya kerajaan Sriwijaya. Prasasti Karang Berahi dan Prasastoi Kota Kapur ditemukan di Jambi dan Bangka. Kedua prasasti itu menceritakan wilayah kekuasaan Sriwijaya.
D. Patung
Patung yang bercorak Buddha biasanya berupa arca Sang Buddha Gautama. Arca Sang Buddha Gautama pertama kali ditemukan d Sikendeng, Sulawesi Selatan. Berikut ini daftar patung atau arca peninggalan sejarah Buddha.
d. Karya sastra (kitab)
Ada beberapa karya sastra peninggalan sejarah yang bercorak Buddha. Salah satu karya sastra bercorak Buddha yang terkenal adalah Kitab Sutasoma. Kitab ini dikarang oleh Mpu Tantular. Kitab Sutasoma menceritakan kisah Raden Sutasoma. Kisah ini mengajarkan pengorbanan dan belas kasih yang harus ditempuh seseorang untuk mencapai kesempurnaan
tertinggi. Salah satu ungkapan yang terkenal dari Kitab Sutasoma adalah “Bhinneka Tunggal lka Tan Hana Dharma Mangrwa.” Berikut ini daftar karya sastra atau kitab-kitab peninggalan sejarah yang bercorak Buddha.
e. Tradisi
Tradisi agama Buddha yang sekarang ini kita jumpai banyak dipengaruhi oleh budaya Cina. Tradisi agama Buddha yang ada, misalnya berdoa di wihara. Tradisi lain agama Buddha yang masih ada adalah ziarah. Ziarah dilakukan dengan mengunjungi tempat suci leluhur seperti candi. Kegiatan yang dilakukan pada saat ziarah adalah membaca doa dan membawa sesajen Gugus Candi Prambanan atau Candi Loro Jonggrang, salah satu Candi peniggalan Hindu yang terkenal.
Candi-candi peninggalan agama Budha:
1. Prambanan Yogyakarta Abad ke-7 M Mataram Lama
2. Dieng Dieng, Jawa Tengah Abad ke-7 M Mataram Lama
3. Badut Malang, Jawa Timur 760 M Kanjuruhan
4. Canggal Jawa Tengah Abad ke-8 M Mataram Lama
5. Gedong Sanga Jawa Tengah Abad ke-8 M Mataram Lama
6. Penataran Blitar, Jawa Timur Abad ke-11 M Kediri
7. Sawentar Blitar Jawa Timur Abad ke-12 M Singasari
8. Candi Kidal Jawa Timur Abad ke-12 M Singasari
9. Singasari Jawa Timur Abad ke-12 M Singasari
10. Sukuh Karang Anyar, Jateng Abad ke-13 M Majapahit
 B Gambar-gambar peninggalan Agama Budha
b. Wihara dan Candi Prambanan
C Prasasti
BAB III
KITAB SUCI

Kitab Suci

            Sampai wafat, sang Budha Gautama tidak meniggalkan kitab yang tertulis. Hanya sejak beliau masih hidup banyak ajaran beliau yang dihafalkan oleh pengikut-pengikutnya dengan cermat. Ketika sang Budha Ghautama wafat maka dipandang perlu oleh para rahib bahwa ajaran sang Budha itu harus ditulis dengan kitab. Oleh karena itu kemudian diadakna konsili ( rapat agama ) yaitu:
a.       Konsili pertama diadakan tahun 483 SM. Yaitu segera setelah Budha wafat.
b.      Konsili kedua diadakan seratus tahun kemudian, berhubungan dengan adanya perpecahan dalam madzhab atau orde ( sekte ).
c.       Konsili Ketiga diadakan tahun 238 SM, yaitu setelah Budha naik ke Nirwana. Rapat ini diadakan di bawah lindungan kaisar Ashoka,di kota patalipura. Dalam Rapat ini ditetapkan isi dari buku-buku suci, yakni Tripitaka ( tiga keranjang ). Bacaan ini tidak ditulis dalam bahasa Sansekerta, tetapi dalam bahasa Pali. Latar belakang filsafat atau ajaran Budha bukan Monismemistik brahmana, tetapi suatu aneka warna sifat yang ganjil, suatu stelsel yang mengajarkan bahwa dunia dan manusia digerakkan dari sejumlah besar unsur-unsur Purba.
Tripitaka tadi adalah:
1.      Vinaya Pitaka atau keranjang pengawasan biara,isinya menerangkan tata tertib.
2.      Sutra Pitaka atau keranjang pidato-pidato tentang ajarannya, yaitu menerangkan khutbah percakapan dengan atau dari Budha.
3.      Abdidarma Pitaka atau keranjang penjelasan dogmatic yang didasarkan atas ajaran itu, jadi menerangkan penjelasan-penjelasan yang bersifat filsafat.[7]
Pandangan Agama Islam      
1.      Sesungguhnya agama Budha seperti yang masih ada sekarang ini, tidak seperti agama lainnya, karena tidak ada ajaran tentang Tuhan, sifat-sifat Tuhan,kewajibannya manusia kepada Tuhan seperti kita dapati dalam agama Islam dan Kristen. Demikian pula tentang Roh, masalah sembahyang tidak ada bagi mereka. Dalam pandangan Islam agama Budha itu dinamakan “filsafat Hidup” ( the philosophy of life ), yang berujud pelajaran tentang budi pekerti, dengan semboyan “ Carilah sendiri keselamatan dirimu”.
2.      Besar kemungkinannya bahwa sang Budha Gauthama itu adalah seorang nabi. Sementara para ulama Islam ada yang mengatakan bahwa beliau itu mungkin Nabi Dhul Kifli, nama Negeri tempat kelahiran Sang Budha Gautama, yaitu Kapilaswatu.
Apabila perkiraan itu benar, mengapa agama Budha yang ada sekarang ini mengajarkan kepercayaan yang lain dengan ajaran agama Allah yang sebenarnya?
Rupa-rupanya telah berubah dan menyimpang karena di dorong adanya hurafat,cerita-cerita khayal yang mempengaruhi pikiran mereka.[8]
BAB IV
AJARAN AGAMA BUDHA

Agama Buddha
1. Pokok kSepercayaan agama Buddha
• Tiratana
• Tilakkhana
• Cattari ariya saccani
• Kamma dan punabbhava
• Paticcasamuppada
• Nibbana

2. Kerangka dasar dari agama Buddha sendiri adalah mengenai keyakinan mereka akan lima sila yang harus dilaksanakan oleh umat Buddha sendiri. Apalagi jika mereka melaksanakan sila yang pertama, dimana semua makhluk hidup tidak boleh mereka bunuh.

3. Pancasila adalah ajaran dasar moral agama Buddha, yang ditaati oleh pengikut Siddhartha Gautama. Kata Pancasila ini berasal dari Bahasa Sansekerta pancasīla dan berarti adalah Lima Tingkah Laku Baik. Dalam agama Buddha, mentaati Pancasila dianggap merupakan sebuah dharma. Pancasila berbunyi sebagai berikut:
1. Aku bertekad melatih diri untuk menghindari pembunuhan (nilai kemanusiaan) guna mencapai samadi.
2. Aku bertekad melatih diri untuk tidak mengambil barang yang tidak diberikan (nilai keadilan) guna mencapai samadi.
3. Aku bertekad melatih diri untuk tidak melakukan perbuatan asusila (berzinah, menggauli suami/istri orang lain, nilai keluarga) guna mencapai samadi.
4. Aku bertekad untuk melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar /berbohong, berdusta, fitnah, omongkosong (nilai kejujuran) guna mencapai samadi.
5. Aku bertekad untuk melatih diri menghindari segala minuman dan makanan yang dapat menyebabkan lemahnya kewaspadaan (nilai pembebasan) guna mencapai samadi.


6. Tempat ibadah: Vihara
Peribadatan: puja bhakti (dilakukan secara rutin), upacara suci tri waisak, upacara asadha

7. Ciri khas
• Merupakan agama yang paling toleran

8.Tata Cara peribadatan

Agama Buddha juga mengajarkan tata cara peribadatan, yang biasanya disebut sebagai Puja. Istilah 'puja' berarti menghormat atau memuja, dan mengacu pada upacara sebagai sarana untuk menguatkan dan menuangkan keyakinan serta mengingatkan kita sehari-hari akan janji kita pada Tiratana - Tiga Permata; Buddha, Dhamma serta Sangha.

Pelaksanaan 'puja' mempunyai nilai yang tinggi karena mampu menguatkan keyakinan dan menanamkan pengertian yang khusus dalam batin kita. Pemujaan (pelaksana Puja) bukan keharusan dalam pelaksanaan keagamaan Buddha, tapi karena sebagian besar orang dapat melihat dampak positif-nya, maka kita akan mempelajari arti dan pelaksanaannya secara terinci. Ada bermacam-macam cara pemujaan tergantung budaya dimana tata pemujaan itu berkembang, ada yang sederhana dan anggun, ada yang rumit dan ramai. Cara pemujaan tersebut dikenal dengan istilah Nava Puja, 'nava' berarti 'baru' dan juga berarti 'sembilan', karena Nava Puja adalah penyesuaian moderen dari Puja Buddha yang kuno di Sri Lanka, dan karena Nava Puja terdiri atas sembilan bagian.

Pemujaan paling tepat dilakukan di depan meja-sembahyang (Inggris: shrine) di vihara ataupun di rumah. Ada umat yang salah mengartikan dengan menyamakan serta menyebut meja-sembahyang dirumahnya sebagai 'altar'. Pada kenyataannya secara harfiah, altar berarti tempat pelaksanaan korban, yang tentunya tidaklah tepat untuk menggambarkan meja-sembahyang agama Buddha. Meja-sembahyang terdiri dari suatu meja atau panggung yang agak ditinggikan, yang diatasnya diletakkan patung Buddha (Buddha rupa) dan obyek-obyek lain yang digunakan pada pemujaan tersebut. Meja-sembahyang secara estetis hendaknya terawat, menyenangkan dan senantiasa rapih.

Pada dasarnya, kita hendaknya merawat meja-sembahyang seperti hati kita - bersih, indah dan rapih. Meja-sembahyang hendaknya dibersihkan setiap hari dari debu, abu dupa dan guguran bunga. Meja-sembahyang hendaknya indah, ditempati peralatan sembahyang terbaik, diletakkan simetris agar baik dipandang mata. Lebih jauh, meja-sembahyang hendaknya tidak menjadi kacau karena adanya foto-foto para bhikkhu, guru kebatinan, patung dewa-dewa Tao ataupun segala macam obyek yang tak ada hubungannya dengan puja.
Nava Puja memiliki Sembilan bagian. Setiap bagian memiliki ciri tersendiri, sebagai berikut:
·               Bagian 1:
         adalah pernyataan Penghormatan (Vandana), suatu pendahuluan yang secara tradisional juga dilaksanakan pada tata sembahyang agama lain, yang biasanya diulangi tiga kali.
·               Bagian 2:
         adalah Tiga Perlindungan (Tisarana), yang maknanya telah kita pelajari. Walau, ketika pertama kali menjadi Buddhis, kita mengakui Tiga Perlindungan, tapi tentunya amat baik bila diulangi setiap hari untuk mengokohkan janji dan senantiasa mengingatkan kita kembali padanya. Pembacaan Tiga Perlindungan diulangi tiga kali untuk meyakinkan, lebih meyakinkan kita pada apa yang kita lakukan.
·               Bagian ke 3:
         adalah Lima Janji (Pacca sila), pelaksanaan yang adalah sangat penting bagi setiap insan Buddhis. Setiap janji atau aturan mempunyai dua aspek menghindar (varitta), kita berjanji pada diri kita sendiri untuk menghindari kelakuan yang negatif, dan berperilaku (caritta), kita berjanji untuk berbicara dan bertindak dengan cara yang positif.
·               Bagian ke 4:
         terdiri atas Pujian (kittisadda) pada Buddha, Dhamma dan Sangha.
         Bagian 4 A:
         terdiri atas ucapan Sang Buddha sendiri untuk menggambarkan nilai-nilai dalam diri-Nya sendiri. Berpengetahuan dan bertindak tanduk Sejati (vijja carana sampanno) mengacu pada kenyataan bahwa tidak ada pertentangan antara yang diajarkan-Nya dengan tindak-tanduk-Nya sendiri; Sang Buddha juga disebut sebagai Pengenal Alam Semesta - mengetahui dunia-dunia (lokavidu), sebab Beliau dapat melihat semua alam-alam keberadaan dan melihat bagaimana makhluk-makhluk terlahir pada alam-alam itu. Sebagai guru yang paling ahli dan sangkil yang pernah ada, Sang Buddha juga penuntun tiada taranya dari para manusia (anuttaro purisa damma sarathi). Para dewa masih diliputi kekotoran batin seperti halnya manusia, sedang Sang Buddha telah bersih dari kekotoran batin; sebagai dampak dari keberadaan Beliau tersebut, maka baik manusia maupun para dewa dapat memanfaatkan Dhamma Sang Buddha. Dengan demikian Sang Buddha adalah guru para dewa dan manusia (satta devamanusanam).
         Bagian 4 B:
         kita mengukuhkan penghormatan kita pada semua Buddha, dan bahwa Sang Buddha adalah pelindung tertinggi kita dan akan demikian selama hidup kita.
         Bagian 4 C:
         adalah penggambaran Sang Buddha sendiri pada ajaran-Nya. Dhamma dibabarkan dengan indah dan sempurna (svakkhato) dengan lengkap, relevan, jelas dan digambarkan dengan perumpamaan yang menggena. Karena kita tidak perlu harus menunggu kematian untuk membuktikan kebenaran Dhamma, maka Dhamma disebut sebagai 'tampak-seketika' (sanditthiko). Dhamma adalah abadi (akaliko) dalam dua pengertian. Pertama, Sang Buddha mengajarkan tentang sifat alami dari batin manusia dan karena batin manusia berubah sedikit saja selama berabad-abad ini, maka Dhamma tetap relevan, sekarang seperti halnya pertama kali diajarkan. Pula, Dhamma tidak melibatkan waktu sebab bila dalam agama lain, seorang harus mempercayai sesuatu yang terjadi pada masa lampau atau akan terjadi pada masa yang akan datang, maka Dhamma adalah pengertian tentang diri kita saat ini. Dhamma, seperti yang diajarkan, secara alami mengundang atau secara lebih harfiah sesuatu yang hendaknya didatangi dan dilihat sendiri (ehipassiko). Agama Buddha tidak pernah memaksakan, menjanjikan hadiah, melakukan sulapan-sulapan, apalagi menakut-nakuti agar orang-orang menerima ajaran Sang Buddha. Dhamma tersedia bagi setiap orang yang berharap menyelidikinya, dan dengan demikian setiap orang bebas menerima atau menolaknya. Dhamma senantiasa berkembang menuntun (opanayiko) sebab akan menuntun kita ke depan atau ke atas bila kita menerapkannya dalam hidup kita. Agama Buddha mengajarkan bahwa kebahagiaan Nibbana dicapai melalui pemahaman oleh diri sendiri, sama sekali bukan sesuatu yang dapat dikerjakan oleh orang atau makhluk lain untuk kita. Tidaklah mungkin ada seorang yang bisa mengerti sesuatu untuk kita, sama halnya tidak ada seorang yang bisa menempuh dan lulus ujian untuk kita, sama halnya tidak ada seorang yang bisa makan untuk kita. Sang Buddha mengajar kita, menjelaskan pada kita, menuntun kita, dan memberi dorongan pada kita, tapi pada akhirnya, kita sendiri yang harus mengerti. Jadi Dhamma hendaknya dicapai oleh para bijaksana bagi dirinya sendiri (paccattam veditabho viññuhiti).
         Bagian 4 D:
         Sekali lagi kita mengukuhkan pengabdian kita pada Dhamma dan berlindung padanya seumur hidup.

Bagian 4 E:
         Sang Buddha menggambarkan sifat-sifat dari Sangha, yang terdiri atas Yang Memenangi-Arus, Yang Kembali-Sekali, Yang Tak-Kembali dan Arahat. Para Siswa Sang Buddha bertindak dengan gembira (supatipanno), dikarenakan telah mencapai Nibbana atau telah di ambang Nibbana, hidup mereka ditandai kegembiraan dan kebahagiaan. Para Siswa bertindak secara lurus (ujupatipanno) dalam arti mereka bebas dari kepalsuan, tipu muslihat dan kelicikan. Mereka bertindak dengan benar (nayapatipanno) dan secara metodik (samici) yang berarti mereka berjalan lurus mantap di Jalan, tidak menyimpang. Secara tradisional, mereka yang telah mencapai salah satu dari empat tingkat diatas, dibagi masing-masing atas dua bagian, mereka yang mencapai jalan (magga) dan mereka yang telah mengalami dan menikmati buah (phala) dari pencapaian tersebut; oleh karena itu kesemuanya menjadi empat pasang pribadi (cattari purisayugani) dan delapan tipe dari manusia (attapurisa puggala).

Setelah mencapai keadaan Nibbana melalui usaha sendiri, Siswa-siswa Sang Buddha adalah patut untuk menerima persembahan (ahuneyyo), menerima keramahtamahan (pahuneyyo), menerima pemberian (dakkhineyyo) dan patut menerima 'anjali' (añjalikaraniyo) yang adalah salam tradisional Buddhis dan sekaligus untuk menunjukkan rasa hormat, dengan cara mengatupkan kedua telapak tangan didepan dada.

Karena telah menjalani Jalan lebih jauh dari kita, Siswa-siswa ini dapat menjadi pembimbing yang berpengalaman bagi kita, dengan demikian mereka adalah sumber kebajikan tak ada bandingannya di dunia ini (annutaram puññakkhetam lokassati).
         Bagian 4 F:
         kita mengukuhkan pengabdian kita pada Sangha dan menjadikannya pelindung selama hidup kita.

·               Bagian 5:
         Akan sangat bermanfaat membacakan empat bagian pertama dari Nava Puja setiap pagi. Tapi sekali dalam seminggu adalah baik untuk menjalankan bagian 5 dari Nava Puja - Persembahan Utama. Masing-masing dari persembahan itu adalah simbol kekuatan, yang padanya kita dapat mencerminkan diri, pada waktu kita mempersiapkannya, meletakkannya di meja-sembahyang dan membacakan paritta yang sesuai dengan persembahan itu. Persembahan Utama yang pertama adalah cahaya (lilin) yang secara universal dikenal sebagai lambang kebijaksanaan, sedangkan halnya kegelapan yang dihalaunya adalah lambang universal dari ketidak tahuan. Sementara meletakkan lilin diatas meja-sembahyang, kita membacakan paritta sambil mengungkapkan cita-cita atau niat kita untuk mengembangkan pengertian dan kejernihan batin. Persembahan Utama yang berikut adalah bunga, yang dapat berartikan beberapa hal. Dalam agama Buddha, bunga melambangkan kepemilikan dan kesenangan duniawi sebab seperti kedua hal itu, walau indah bagaimanapun bunga akan segera layu dan mati. Kita membayangkan hal itu sambil meletakkan bunga diatas meja-sembahyang, dengan harapan membantu kita mengembangkan sikap ketakterikatan pada kepemilikan dan kesenangan duniawi. Persembahan Utama yang terakhir adalah dupa. Pada zaman India kuno, kebajikan selalu dilambangkan wangi-wangian, karena sama halnya dengan wangi-wangian, kebajikan selalu harum dan dapat menyebar kemana-mana walau jauh sekalipun.
Dupa, karenanya, melambangkan kebajikan akan mengingatkan kita betapa pentingnya kebajikan; mengingatkan kita untuk menambah kebajikan setiap kali kita mempersembahkan dupa. Persembahan bunga, lilin dan dupa hendaknya dilaksanakan sekurang-kurangnya seminggu sekali.

·               Bagian ke 6:
dari Nava Puja terdiri dari Persembahan Khusus yang dapat dilaksanakan pada kesempatan yang khusus. Persembahan Khusus yang pertama adalah makanan yang melambangkan kekuatan, kesejahteraan dan pemberi kehidupan. Sewaktu kita mempersembahkan makanan hendaknya kita memikirkan mereka yang lapar pada makanan, pada cinta dan pada Dhamma, dan berharap agar mereka dapat terbebas dari kelaparan-kelaparan itu. Makanan yang dipersembahkan dapat dalam bentuk buah-buahan atau biji-bijian, beras misalnya; daging tentu saja tidak digunakan. Persembahan Khusus yang ke dua adalah air, yang adalah lambang kebersihan dan kemurnian. Sewaktu mempersembahkan air, kita berharap agar mereka yang batinnya ternodai oleh keserakahan, kemarahan dan iri hati akan bersih, terbebas dari keadaan itu. Persembahan Khusus yang ke tiga adalah obat-obatan, yang melambangkan pulihnya kesehatan jasmani dan rohani. Sewaktu kita mempersembahkan obat-obatan (ramuan jamu dan madu juga dapat digunakan) hendaknya kita membayangkan mereka yang rohani dan atau jasmaninya sakit dan berharap agar mereka dapat sembuh seperti sediakala.

·               Bagian ke 7:
adalah Pemurnian yang terdiri atas perenungan kesalahan-kesalahan kita, kesalahan-kesalahan orang lain serta kebajikan dan nilai-nilai yang baik dari orang lain. Bagian pertama adalah Pengakuan. Mengaku pada seseorang berarti kita menyadari kesalahan-kesalahan kita dan berniat merubahnya. Pengakuan juga akan mengurangi perasaan penyesalan yang dalam, dengan demikian membebaskan kita dari masa lalu dan memungkinkan kita memulai lagi sesuatu yang baru. Karena alasan-alasan inilah maka Sang Buddha selalu memaafkan atau pelanggaran seseorang, bila si pelaku mengakui kesalahannya kepada Beliau. Sewaktu melaksanakan bagian pertama dari Pemurnian, dengan jujur dan terbuka kita melihat kesalahan-kesalahan kita, dan mengharapkan maaf. Setelah itu, selanjutnya kita kemudian mengingat kesalahan-kesalahan yang seorang telah perbuat pada kita, memaafkannya, lalu menghapus sakit-hati, dendam dan kemarahan dari batin kita. Bila ternyata, kita sulit memaafkan seseorang, maka hendaknya kita merenungkan kembali bahwa kita sendiri baru saja mohon dimaafkan, pula bagaimana mungkin bisa menjadi seorang siswa Sang Buddha bila kita masih dipenuhi perasaan jahat, tidak rela memberi maaf, seperti itu. Pada bagian terakhir dari Pemurnian, kita mengingat kembali perbuatan-perbuatan baik yang telah kita perbuat, dan merasakan kebahagiaan karenanya. Adalah penting merenungkan kebajikan diri sendiri, sebab akan menjadi keseimbangan sehat bagi perenungan kesalahan. Pula, keingatan pada perbuatan baik diri sendiri dan berbahagia karenanya, akan menggairahkan keinginan untuk menambah kebaikan.
·               Bagian ke 8:
adalah Berbagi-Jasa; secara batiniah kita membagi kebajikan yang telah kita perbuat juga membagi kebahagiaan yang diperoleh dari perbuatan baik itu, pada semua makhluk.
·               Bagian ke 9:
·               Bagian terakhir Puja adalah pengucapan kata 'sadhu' sebanyak tiga kali, yang adalah cara tradisional untuk mengucapkan rasa bahagia dan gembira karena berbuat sesuatu yang berharga.

BAB V
KESIMPULAN


·         Kesimpulan
Buddha (Sanskerta: बुद्ध berarti. Mereka yang Sadar, Yang mencapai pencerahan sejati. dari perkataan Sanskerta: "Budh", untuk mengetahui) merupakan gelar kepada individu yang menyadari potensi penuh mereka untuk memajukan diri dan yang berkembang kesadarannya. Dalam penggunaan kontemporer, ia sering digunakan untuk merujuk Siddharta Gautama, guru agama dan pendiri Agama Buddha (dianggap "Buddha bagi waktu ini"). Dalam penggunaan lain, ia merupakan tarikan dan contoh bagi manusia yang telah sadar.
Penganut Buddha tidak menganggap Siddharta Gautama sebagai sang hyang Buddha pertama atau terakhir. Secara teknis, Buddha, seseorang yang menemukan Dharma atau Dhamma (yang bermaksud: Kebenaran; perkara yang sebenarnya, akal budi, kesulitan keadaan manusia, dan jalan benar kepada kebebasan melalui Kesadaran, datang selepas karma yang bagus (tujuan) dikekalkan seimbang dan semua tindakan buruk tidak mahir ditinggalkan. Pencapaian nirwana (nibbana) di antara ketiga jenis Buddha adalah serupa, tetapi Samma-Sambuddha menekankan lebih kepada kualitas dan usaha dibandingkan dengan dua lainnya. Tiga jenis golongan Buddha adalah:
  • Samma-Sambuddha yang mendapat Kesadaran penuh tanpa guru, hanya dengan usaha sendiri
  • Pacceka-Buddha atau Pratyeka-Buddha yang menyerupai Samma-Sambuddha, tetapi senantiasa diam dan menyimpan pencapaian Dharma pada diri sendiri.
  • Savaka-Buddha yang merupakan Arahat (pengikut kesadaran), tetapi mencapai tahap Kesadaran dengan mendengar Dhamma.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi,Abu, Perbandingan Agama,Rineka Cipta, Jakarta:1991
Smith,Huston, Agama-Agama Manusia, Yayasan Obor,Jakarta
Drs Supardji, Drs Syamsul Hadi, Perbandingan Agama-Agama,Azzam, Bandung:


[1] Moh. Rifai, Perbandingan Agama, Wicaksana, Semarang, 1984, hlm. 92.
[2] Ibid,hlm.93.
[3] Ibid,hlm.94.
[4] Ibid, hlm.97.
[5] Ibid, hlm.98.
[6] Ibid, hlm.100.
[7] Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, Rineka Cipta  1991 hal 147
[8] Loccit, Abu Ahmadi  hal 149
Posting Lebih Baru
Previous
This is the last post.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Agama Budha Description: Rating: 5 Reviewed By: Unknown
Scroll to Top