728x90 AdSpace

Latest News

Kamis, 07 Juli 2011

TASAWUF ABDULLAH BIN ALWI AL HADDAD

Kamis, 2008 Februari 14

Resume Desertasi
283 halaman
TASAWUF ABDULLAH BIN ALWI AL HADDAD
Karya: M. A. Achlami HS
Oleh: M. Thohar Al Abza

A. PENDAHULUAN
Dalam perkembangannya, tasawuf dapat dijelaskan melalui tiga tahap; pertama, tasawuf akhlaqi yakni penyucian jiwa dan pembinaan akhlaq melalui amal shaleh. Kedekatan dengan Tuhan hanya sebatas etika, kedua, tasawuf irfani, yakni tahap rasa penghayatan dan pengalaman batin seorang sufi tentang hubungannya dengan Tuhan, namun masih sebatas hubungan cinta dan ma’rifah. Tasawuf ini banyak diterima dan diminati oleh mayoritas sunni, sehingga disebut tasawuf sunni, ketiga, tasawuf pada tahap persatuan antara seorang sufi dengan Tuhannya, tasawuf ini disebut dengan falsafi, yakni model tasawuf yang memadukan antara visi mistis dan visi rasional.
Kemudian dalam polarisasinya, tasawuf secara garis besar dapat dibagi menjadi dua corak; sunni dan falsafi. Selain itu ada juga corak tasawuf yang mengambil bentuk tarekat.


Dalam perkembangannya, tasawuf model tarekat semakin merebak dan diminati oleh masyarakat awam, sehingga tidak sedikit yang menelan secara mentah-mentah ajaran syekh tarekat dan berakibat pada fatalisme praktis dan apatis terhadap kehidupan sosial, sehingga ini disinyalir sebagai faktor penyebab kemunduran Islam. Benarkah ajaran tasawuf membawa sikap dan paham fatalisme, yang menjadi penyebab kemunduran umat Islam?
Dalam konteks perkembangan tasawuf di atas, ajaran yang dikembangkan oleh Al Haddad berdasarkan Al Qur'an dan al Sunnah serta amaliah salaf al shalih, yaitu para sahabat dan tabi'in
Karya ini mencoba menelaah beberapa masalah pokok tentang corak ajaran sufisme dari Abdullah Al Haddad dan bagaimana implikasinya terhadap kehidupan beragama di Indonesia khususnya dalam perkembangan sikap dan paham fatalisme di kalangan masyarakat.
Secara metodologis penelitian yang digunakan dalam tradisi ini adalah penelitian kepustakaan, dengan pendekatan historis-sosiologis. Karena obyek material penelitian ini berkenaan dengan pemikiran seorang tokoh melalui karya-karyanya pada masa lalu dengan melihat kondisi politis dan sosial yang melatar belakangi kehidupannya. Sumber yang dipergunakan adalah publikasi tentang Al Haddad, baik berupa sumber primer maupun skunder. Sumber primer berupa karya-karya Al Haddad sendiri, sedangkan sumber skunder berupa karya-karya yang ditulis oleh orang lain mengenai Al Haddad, dan sumber lain yang relevan dengan penelitian ini.

B. BIOGRAFI ABDULLAH BIN ALWY AL HADDAD
1. Kondisi Internal
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Alwy bin Muhammad bin Ahmad Al Haddad Ba’ Alwy Al Husainy. Ia lahir pada bulan Shafar 1044 H/ 1636 M di Subair, pinggiran kota Tarim, Hadramaut, Yaman. Ayahnya adalah seorang yang saleh keturunan orang-orang saleh. Ibunya, Salma bin Umar adalah seorang salehah dari kelurga kewalian dan ahli ma’rifah.
Nasab lengkapnya adalah Abdullah bin Alwy bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Alwy bin Ahmad bin Abu Bakar bin Ahmad bin Abu Abdurrahman bin Alwy bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali Qasam bin Alwy bin Muhammad bin Alwy bin Ubaidillah bin ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al ‘Uraidli bin Ja’far Al Shadiq bin Muhammad Al Baqir bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Al Husain bin Fathimah binti Rasulillah SAW.
Pada usia empat tahun ia terserang penyakit cacar dan berakibat pada kebutaan. Namun, ia hafal Al Qur’an sejak usia kanak-kanak. Sejak usia muda pula ia gemar menuntut ilmu, beribadah dan melakukan riyadlah. Ia adalah sosok sufi, da’i dan sastrawan yang sangat produktif. Pada malam selasa, 7 Dzul Qa’dah 1132 H/ 1724 M, ia wafat dan dimakamkan di kota kelahirannya, Tarim.
2. Kondisi Eksternal
a) Kondisi Politik dan Pemikiran
Hadramaut, khususnya kota Tarim dikuasai oleh Dinasti Al Rasyidy dari keluarga Bani Qahthan, salah satu dari qabilah Himyariyah tahun 400-700 H/ 1010-1301 M. Dinsati ini bermadzhab sunni, yakni Syafi’iyah di bidang fiqh dan Asy’ariyah di bidang aqidah. Ketika Yaman dikuasai oleh Bani Ayyubiyah (569-626 H/ 1174-1229 M), kemudian digantikan oleh Dinasti Rasuliah, dakwah aliran sunni terus berkembang. Dalam bidang pemikiran, wilayah Hadramaut telah dimasuki aliran khawarij sekte Ibadiah dan Syi’ah sekte Zaidiyah dan Ismailiyah. Tetapi mereka lebih terfokus pada kancah politik. Sehingga yang menjadi mayoritas tetapi sunni dan aliran tasawuf yang masuk pun adalah sunni.
b) Perkembangan Intelektual
Pusat perkembangan intelektual di Hadramaut yang paling penting adalah kota Tarim. Di kota ini tempat berkumpulnnya para pelajar, ulama’, sastrawan, dan para tokoh lainnya. Mereka datang dari berbagai penjuru wilayah Hadramaut, seperti ‘And, Shan’a, Zabid, dll. Di kota Tarim berkumpul 300 mufti, dan dari kota inilah perkembangan intelektual menyebar ke kota-kota lain seperti Syabam, Hijrin, dan Syahr.
3. Karya-Karya Al Haddad
Karya-karya Al Haddad sebagai berikut: Kitab Al Nafa’is Al Uluwiyyah Fi Al Masaa’il Al Shuufiyah, Al Hikam, Risalat Al Mu’awanah Wa Al Mudzaharah Li Al Raghibin Min Al Mu’minin Fi Suluk Thariq Al Akhirah, Al Washaya AL Nafi’ah, Kitab Al Fushul Al Ilmiyah Wa Al Ushul Al Hikamiyyah, Ittihaf Al Sa’il Bi Jawab Al Masa’il, Kitab Sabil Al Iddikar Wa Al I’tibar Bima yamurru Bi Al Insan Wa Yanqadhi Lahu Min Al A’mar, Risalat Al Mudzakarah Ma’a Al Ikhwan Wa Al Muhibbin Min Ahli Al Khair Wa Al Din, Risalat Al Murid, ‘Aqidat Al Islam, Al Nasha’ih Al Diniyah Wa Al Washaya Al Imaniyah, Al Durr Al Manzhum Li Dzawi Al ‘Uqul Wa Al Fuhum, Adda’wah Al Tammah Wa Al Tadzkirah Al ‘Ammah, Jami’ Al Makatibat, Ratib Al Haddad, Al Wird Al Lathif, Hizb Al Fath Wa Al Nashr.

C. AJARAN TASAWUF ABDULLAH BIN ALWY AL HADDAD
Dasar Pemikiran Al Haddad di Bidang Tasawuf
Al Haddad mempertautkan komponen-komponen dasar ajaran Islam; islam, iman, ihsan dalam ajaran tasawufnya. Ia menjelaskan bahwa syari’at itulah Islam, yaitu bersikap tunduk dan patuh kepada Allah. Hakikat adalah iman dan yaqin, yaitu ikhlas kepada Allah. Sedangkan ma’rifat adalah ihsan, yaitu fana’ dengan dan dalam keabadian Allah.
Al Haddad dalam bidang tasawuf merujuk kepada Al Qur’an dan Al Sunnah serta praktek amaliah al salaf al shalih. Turut mendasari pula mazhab fiqh Al Syafi’I dan aqidah Ahlu Al Sunnah Wa Al Jama’ah (Asy’ariyah) dalam mewarnai corak tasawufnya. Ia juga mempertautkan ajaran tasawufnya dengan aqidah dan syari’ah.
Ajaran tasawuf yang dikembangkannya bersifat akomodatif dan inklusif. Akomodatif artinya memberikan kebebasan kepada seseorang untuk memilih tingkatan tasawufnya sesuai dengan kemampuan masing-masing, sedangkan inklusif artinya tidak terdapat ajarannya yang ganjil. Ajarannya dapat diterima dan iamalkan oleh mayoritas kaum muslimin. Demikian pula ajaran ini tidak melepaskan diri dari tanggung jawab sosial. Hal ini dapat dipahami, karena ia sendiri adalah seorang da’i.
Hubungan Antara Syari’at dan Hakikat
Syariat yang mengambil bentuk fiqh dalam membahas Al Qur’an dan Al Hadits, cenderung menggunakan ratio dan logika akal, serta secara lahiriyah mengikuti praktek Nabi SAW dalam membuat ketetapan hukum. Sedangkan hakikat yang mengambil bentuk tasawuf, cenderung menggunakan rasa dalam mengamalkan Al Qur’an dan Al Hadits, selain mengikuti praktek kehidupan Nabi SAW. Hakikat yang dikendaki oleh Al Haddad adalah yang tidak keluar dari pengamalan syari’at. Begitu pula pengamalan syari’at tidak boleh berhenti sebatas formalitas belaka. Jadi, syari’at merupakan jalan menuju hakikat.
Ajaran Tentang Maqamat dan Ahwal
Al Haddad sebelum menjelaskan Maqamat dan Ahwal, ia membagi ahwal ke dalam dua bagian. Pertama, ahwal sebagai kondisi batin yang dialami oleh seorang salik dalam keadaan yang belum mantap, maka itu disebut maqam. Ahwal dalam arti ini dapat diperoleh melalui ilmu, sebab ilmu dapat membuahkan hal dan hal dapat membuahkan maqam. Kedua, ahwal sebagai limpahan karunia Tuhan yang mulia (Al Waridat Al Syarifah) ke dalam hati yang dipancarkan oleh cahaya riyadlah dan mujahadah, seperti rasa intim (al uns), kegaiban (al ghaibah), tidak sabar (al sakr), dan rasa bergabung (al jam’). Ahwal dalam arti kedua merupakan anugerah Tuhan yang datang sekonyong-konyong.
Pada setiap maqam, menurut Al Haddad ada tiga unsur, yaitu ilmu, hal dan amal. Ilmu akan membuahkan hal, dan hal akan membuahkan amal. Konsistensi dan kemantapan ketiga unsur tersebut pada setiap maqam tertentu menunjukkan bahwa ia telah mencapai maqam itu. Al Haddad mengatakan sembilan maqamat tanpa menyebut jumlah ahwal secara rinci;
a. Taubat: dosa kepada manusia dan kepada Tuhan bisa dibersihkan dengan taubat. Dosa kepada manusia, taubatnya harus meminta maaf kepada orangnya atau menebusnya dengan menyelesaikan urusannya terlebih dahulu kepada orag lain, yang ia berbuat dosa kepadanya.
b. Raja': ialah ma'rifat hati akan keluasan rahmat Allah, keagungan karunia dan kebaikanNya, dan keindahan janjiNya bagi orang yang taat kepadaNya. Ma'rifat seperti ini akan menumbuhkan rasa optimis terhadap rahmat Allah dan keagungan karuniaNya.
c. Khauf: ialah ma'rifat hati akan keagungan Allah, keperkasaan, dan ketidak butuhanNya kepada makhluk, serta pedihnya azab yang diancamkanNya kepada siapa saja yang membangkangNya. Khauf dan raja' adalah dua maqam yang saling terkait dan melengkapi satu sama lain. Maqam raja' akan mendorong seseorang untuk bersemangat taat kepada Allah, sedangkan maqam khauf mendorong seseorang untuk bersemangat untuk meniggalkan segala laranganNya.
d. Sabar: ialah menahan diri dari kecenderungan hawa nafsu dalam menghadapi sesuatu yang menjadi persoalan hidup seseorang berupa perintah dan larangan Allah SWT, berupa musibah yang menimpanya dan atau berupa hal-hal yang akan menjauhkan seseorang dari Allah.
e. Syukur: seorang hamba yang ditimpa musibah harus tetap mendahulukan syukur daripada sabar. Namun demikian antara sabar dan syukur sebenarnya tidak terjadi tumpang tindih ketika seorang hamba harus menyikapi kondisi yang dialaminya.
f. Zuhud: ialah ma'rifat hati akan rendah dan hinanya nilai dunia. Sehingga hati sudah tidak tertarik lagi kepada dunia. Al Haddad menekankan bahwa yang dimaksud dunia adalah harta dan kedudukan.
g. Tawakkul: ma'rifat hati bahwa segala sesuatu berada di tangan Allah SWT, baik yang bermanfaat maupun yang madlarat.
h. Cinta: kecenderungan hati seorang hamba kepada Allah dan perasaan adanya hubungan yang erat denganNya, serta bertuhan hanya kepadaNya Yang Maha suci, Maha Tinggi, puncak dari kesucian dan keagungan. Kecintaan ini hanyalah dicurahkan kepadaNya.
i. Rela: ialah rela menerima ketentuan dari Allah SWT dengan senang hati; baik yang diterimanya itu sesuatu yang disukai atau tidak. Namun ajaran ini tidak membawa pada sikap fatalisme, karena tetap ada ikhtiar, kasb dan do'a.
Selain sembilan maqamat di atas ada beberapa ajaran yang berkaitan dengan maqamat dan ahwal, tetapi oleh Al Haddad tidak dimasukkan; Niat baik dan ikhlas (ishlaah al niat wa al ikhlas), Merasa diawasi (muraqabah), Menjaga diri (al wara'), Mengingat mati (dzikul maut), Yakin (al yaqin), Mengenal Allah (Al Ma'rifah), Al Fana' dan Al Baqa', Al Jam' dan Al Farq.
Ajaran Tentang Macam-Macam Wirid
a. Wirid berupa shalat-shalat sunat. Al Haddad menekankan pada shalat sunat rawatib, shalat witir, shalat dluha, dan shalat malam. Pada bagian lain ia juga mengungkapkan, juga shalat tasbih dan shalat di antara maghrib dan isya'. Shalat-shalat ini disebutkan karena dipandang utama dan pokok yang perlu dijadikan wirid. Ia juga menganjurkan agar mengutamakan shalat yang telah ditentukan waktu dan raka'atnya.
b. Wirid berupa baca Al Qur'an. Membaca Al Qur'an adalah ibadah yang paling utama, bentuk taqarrub yang paling agung dan ketaatan yang paling mulia. Ia menganjurkan baca Al Qur'an sebagai wirid, sehari semalam minimal satu juz, atau tiga hari sekali khatam.
c. Wirid berupa ilmu bermanfaat. Maksudnya ialah ilmu yang bersumber dari Al Qur'an dan Al Sunnah. Karena ilmu yang disyarahkan dari keduanya lebih komprehensip, bermanfaat, shahih dan jelas.
d. Wirid berupa Zikir dan do'a. Dua wirid ini merupakan sarana taqarrub ilallah yang sangat penting dan utama. Seseorang tidak akan mencapai kedekatan dengan Allah, jika meninggalkan dua hal ini. Wirid yang terkenal dari Al Haddad adalah Ratib al Haddad.
e. Wirid berupa tafakkur. Ini dapat diartikan sebagai perenungan terhadap sesuatu berdasarkan pertimbangan akal dan hati nurani.
Pandangan Al Haddad Tentang Ittihad, Hulul, dan Wahdat Al Wujud
a) Konsep tentang Ittihad
Ittihad ini tidak lepas dari kondisi fana' dan baqa'. Sebab, ittihad terjadi setelah seorang sufi mengalami fana'dan baqa'. Yang mengalami ittihad bukanlah jasmaninya, tetapi hanya ruhnya, ruh manusia yang mi'raj, bukan ruh Tuhan yang tanazzul.
b) Konsep tentang Hulul
Teori ini muncul dari Al Hallaj. Baginya pada diri Tuhan ada nature nasut dan pada diri manusia ada nature lahut. Hulul terjadi kala nasut Tuhan turun dan mengambil tempat ke dalam diri sufi dan menyatu dengan lahutnya, setelah nasut seorang sufi mengalai peluruhan (fana').
c) Konsep tentang Wahdatul Wujud
Konsep tentang paham Wahdatul Wujud merupakan kelanjutan dan sekaligus perubahan istilah dari teori nasut dan lahut dalam paham hulul. Nasut yang ada dalam hulul diubah menjadi al khalq, dan lahut diubah menjadi al haqq. Hanya saja dalam teori hulul, aspek nasut dan lahut terbatas pada diri manusia dan Tuhan, sedangkan dalam teori Wahdatul Wujud, kedua aspek al khalq dan al haqq itu ada pada semua makhluk dan Tuhan. Kemudian teori hulul masih terdapat dualitas (manusia dan Tuhan), maka dalam teori Wahdatul Wujud, dualitas itu tidak ada, kecuali dualitas nisbi dan yang ada adalah keesaan.
d) Pandangan Al Haddad
Al Haddad tampak tidak sependapat dengan paham Ittihad, Hulul dan Wahdatul Wujud yang dinilainya bisa membingungkan dan akan membawa kepada kezindiqan dan keilhadan. Selanjutnya apabila dihubungkan dengan ajaran Al Haddad tentang Al Jam', maka hal itu dapat dipahami secara ekstrem sebagai ungkapan yang mengarah kepada paham ittihad yang malu-malu. Sebab kondisi batin seorang sufi yang telah mencapai Al Wushul Ila Allah, ia telah karam bersama Tuhannya dan hilanglah semua yang ada, serta tidak ada khatr dan maujud yang tampak, kecuali Tuhan. Al Haddad mengatakan ketika terjadi fana' dan baqa', maka akan terjadi tajalli sifat-sifat Tuhan (Al Haqq) Yang Maha Agung dan Maha Perkasa dan hilanglah bentuk fisik kemanusiaan serta leburlah kabaqa'an alam.
Antara ittihad dan al jam' dilihat dari aspek kebahasaan memang berbeda. Sebab, dalam kata ittihad terjadi makna manunggaling kawula gusti, sementara kata al jam' mengandung makna seakan-akan tidak terdapat unsur manunggal. Tetapi dilihat dari substansinya; pengalaman psikologis sufi, antara ittihad dan al jam' adalah sama.
Seorang yang telah mencapai al jam', maka akan merasakan dua kenikmatan batin; perasaan dekat dan intim. Kondisi batin seperti ini memperkuat adanya kedekatan yang tak terpisahkan, yakni persatuan antara sufi dan Tuhan. Jika dibandingkan antara ittihad, hulul dan al jam', maka persatuan antara sufi dan Tuhan secara substansial dilihat dari kondisi psikologinya sama.
Selanjutnya mengenai pandangan Al Haddad terhadap syatahat adalah perkara yang sangat buruk yang hampir mendekati zindiq dan keluar dari agama. Namun di bagian lain ia menganggap ketika orang dalam keadaan fana' dan karam batin dan lahirnya, maka hukumnya sama dengan orang yang tidur atau semisalnya, yakni diangkatnya qalam sampai ia tersadar dan kembali mumayyiz.
Nampaknya di sini terjadi kontradiksi antara pedapatnya yang menilai syathahat sebagai perkara yang sangat buruk dan pendapatnya tentang hukum bagi orang yang dalam keadaan fana'. Sebab, syathahat itu diucapkan ketika seorag sufi dalam keadaan fana'. Dalam hal ini Al Haddad ingin membedakan antara sufi yang mengucapkan syathahat dan isi dari syathahat itu sendiri. Bagi sufi yang mengucapkan syathahat, karena ia dalam keadaan fana', maka ia dimaafkan. Tetapi ungkapan syathahat yang isinya mengarah kepada pengakuan sufi sebagai Tuhan, maka Al Haddad menolaknya, karena pengakuan itu bertentangan dengan prinsip tauhid. Padahal ungkapan itu bila dipahami sebagai ucapan Tuhan melalui mulut sufi, maka tidak bertentangan dengan prinsip tauhid. Sebab yang berbicara ketika itu adalah Tuhan. Hal ini juga nampaknya sebagai sikap hati-hati Al Haddad kepada masyarakat awam agar tidak salah memahaminya. Untuk itu, ia lebih memilih kata al jam', al qurb, dan al uns (intim).

D. KARAKTERISTIK TASAWUF AL HADDAD DAN IMPLIKASINYA
Tasawuf dan Tanggung Jawab Sosial
Dalam ajaran tasawuf Al Haddad tentang zuhud, ia membagi dunia yang terpuji dan yang tidak terpuji. Dunia yang terpuji ialah dunia yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan dunia yang tidak terpuji atau tercela ialah dunia yang dapat menjauhkan diri denga Tuhan. Ia tidak menafikan kebutuhan manusia kepada sandang, pangan, papan dan keperluan lainnya dengan tidak berlebihan. Bahkan menyimpan harta dengan cara menabung tidak mengurangi kezuhudan dan ketakwaan seseorang. Ajaran ini menunjukkan adanya tanggung jawab sosial, khususnya bidang ekonomi.
Dalam ajaran ‘uzlah, yang tujuannya ialah menyelamatkan diri dari perbuatan buruk dan jahat. Al Haddad mensyaratkan bagi seorang yang ‘uzlah tidak meninggalkan shalat jum’at dan jama’ah, tidak melalaikan kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah bagi dirinya dan keluarganya, dan tidak meninggalkan pergaulan dengan orang-orang baik dan mereka yang bermanfaat bagi agamanya. Adapun khalwah tujuannya ialah membersihkan jiwa, mengilaukan cermin hati, agar tersingkap hijab yang menghalangi antara ia dan Tuhannya, serta terputusnya hubungan ia dengan makhluk sehingga dalam dirinya tidak tersisa lagi perhatian kepada selain Allah. Ia mensyaratkan khalwah sama dengan ‘uzlah, hanya saja dalam khalwah diperlukan bimbingan dari seorang guru yang telah mencapai hakikat. Kecuali bagi seseorang yang memiliki bashirah yang cemerlang. Ajaran ini menunjukkan bahwa seseorang tidak boleh menghabiskan waktu untuk dirinya sendiri.
Selain ajaran di atas, ajaran amar ma’ruf dan nahi munkar harus ditekankan. Kewajiban ini merupakan asas dan inti agama, karena perkembangan agama tergantung pada tegak dan tidaknya amar ma’ruf dan nahi munkar.
Tanggung jawab sosial yang lain dalam ajaran tasawuf Al Haddad ialah tentang jihad. Ini merupakan bagian dari amar ma’ruf nahi munkar dalam tataran yang paling tinggi, utama dan mulia. Karena berkaitan erat dengan penegakan tauhid dan seruan kepada Islam. Ini harus dilakukan dengan keridlaan dan keikhlasan.
Dengan demikian ajaran tasawuf Al Haddad adalah ajaran yang seimbang antara kesucian rohani dan aktifitas kehidupan kemasyarakatan, yakni tidak lepas dari tanggung jawab sosial. Tidak melulu asyik masyuk dengan Tuhannya.
Al Haddad dan Tarekat
Untuk mengetahui tarekat Al Haddad, maka perlu dijelaskan dulu pengertian sufi kamil. Bagi Al Haddad sufi kamil adalah orang yang membersihkan amal, perkataan, niat dan akhlaknya dari riya’ dan dari segala sesuatu yang dapat menimbulkan kemurkaan Allah. Ia mendekatkan diri lahir dan batinnya kepada Allah serta taat kepadaNya. Ia juga berpaling dari sesuatu yang akan menghalangi kedekatannya dengan Allah seperti keluarga, harta, syahwat dan hawa nafsu. Semuanya itu harus dilandasi dengan ilmu yang bersumber dari Al Qur’an, Al Sunnah dan petunjuk al salaf al shalih.
Dari penjelasan itu, maka bisa diketahui bahwa ajaran tasawuf Al Haddad menekankan pada pembinaan akhlak dan kehidupan zuhud secara individual, tidak terlihat adanya tarekat dalam bentuk organisasi sufi. Tarekat Al Haddad adalah syari’at yang bersumber dari Al Qur’an dan Al Sunnah dan amaliah al salaf al shalih. Jadi, jika seseorang menjalankan syari’at berarti ia telah menjalankan tarekat. Jadi, bukanlah seperti tarekat dalam artian organisasi sufi, tetapi sebuah jalan menuju Allah SWT.
Namun di bagian lain, Al Haddad juga memakai istilah-istilah yang biasa digunakan dalam tradisi tarekat dalam pengertian organisasi sufi, sehingga hal ini menjadi indikasi bahwa ajaran tasawuf Al Haddad boleh jadi bercorak thariqati. Istilah-istilah itu misalkan, murid dan syaikh. Seorang syaikh bertugas memperhatikan murid, memberikan apa yang paling tepat bagi murid dan membimbingnya secara lahir dan batin.
Istilah lain yang digunakan oleh Al Haddad, misalkan pemakaian khirqah dan pemberian ijazah. Pemakaian khirqah merupakan tradisi tarekat, di mana seorang murid ketika telah mencapai tingkat kesufiannya, ia dapat mengenakan pakaian khusus yang disebut khirqat al shufiyah. Namun, yang paling penting adalah sikap batin dan perilaku lahir yang mencerminkan ketaatan kepada Allah SWT.
Sedangkan pemberian ijazah bagi Al Haddad dapat ditujukan kepada siapa saja yang menghendakinya tanpa ada bai’at terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa tarekat yang dikembangkan Al Haddad adalah tarekat yang bebas dalam arti tidak mengarah kepada tarekat dalam bentuk organisasi yang ketat. Sebab, tarekat dalam bentuk organisasi, ijazah menjadi penting yang harus diterima oleh seorang murid dari syaikhnya. Demikian pula bai’at harus dilakukan seorang murid ketika masuk dunia tarekat praktis.
Istilah lainnya adalah silsilah, yaitu mata rantai sanad atau dari siapa ajaran tasawufnya itu diperoleh. Dalam tradisi tarekat, silsilah ini penting, karena selain sebagai penilaian terhadap keabsahan suatu ajaran, juga sebagai pengakuan dan penghormatan seorang murid kepada guru dengan tujuan memperoleh keberkahan atau karamah dari ilmu yang diterimanya.
Sebenarnya, kalau dicermati corak tasawuf yang dikembangkan Al Haddad adalah Akhlaqi. Sedangkan istilah-istilah yang digunakan hanyalah respon dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan orang kepadanya, sehingga jawabannya tampak terkondisikan dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggunakan istilah-istilah dalam tarekat.
Corak Tasawuf Al Haddad
Al Haddad dilihat dari latar belakangnya, ia bermadzhab Ahlu al Sunnah wa al jama’ah. Di bidang aqidah, ia bermadzhab Asy’ariyah, di bidang fiqh ia bermadzhab syafi’I, dan di bidang tasawuf ia beraliran sunni. Tetapi dilihat dari kedalaman tasawufnya, ia dekat dengan falsafi.
Al Haddad ketika menghubungkan syari’at, hakikat dan ma’rifat dengan islam, iman dan ihsan, ia mengatakan bahwa syari’at ialah islam, yaitu tunduk kepada Allah; hakikat adalah iman dan yaqin, yaitu ikhlas; dan ma’rifat ialah ihsan yaitu sirna dengan Allah dan dalam Allah SWT.
Pandangannya tentang buah dari muraqabah, ia mengatakan bahwa orang yang telah mencapai muraqabah pada tingkat tertinggi, ia akan karam dengan Allah, sirna dari segala sesuatu selain Dia, hilang dari kesadaran makhkluk karena penyaksian Tuhan, dan bertemu pada kedudukan yang benar di sisi Tuhan.
Kemudian tentang fana’ dan baqa’, dia mengatakan bahwa fana’ itu terjadi pada kondisi tertentu dengan fana’ wujud, dan pada kondisi lain terjadi fana’ syuhud, tetapi kebanyakan terjadi secara bersamaan. Namun, hal ini terjadi dalam sifat, bukan dzat. Sebab, seseorang yang fana’ dari wujud pun, dia tetap baqa’ dalam wujudnya. Kemudian seseorang yang mengalami baqa’ akan karam dengan kefana’annya dengan Tuhannya, ketika itu ia tidak menyadari diri dan sesuatu apapun dari alam sekitarnya. Pada saat terjadi seperti itu, maka akan terjadi penampakan (tajalli) sifat-sifat Tuhan. Ketika kondisi seperti itu, maka hilanglah gambar kemanusiaan dan leburlah kebaqa’an alam. Selanjutnya, apabila dalam pengertian seperti ini sudah shah, maka akan tajalli Tuhan Yang Maha Hidup dan Berdiri Sendiri dengan sifat-sifat keagunganNya yang lembut, lalu hiduplah ruh dan batin mereka sebagaimana dikehendaki oleh Allah Yang Maha Suci dalam penyaksian yang indah yang disebut dengan penggabungan (Al Jam’). Dalam pada itu ruh mereka akan merasakan kenikmatan kedekatan dan keintiman dengan Tuhan.
Kondisi di atas disebut al wushul ilallah. Puncak dari al wushul ilallah adalah al jam’. Seseorang yang telah mencapai al jam’ akan hilang kesadaran dirinya dan jenis lainnya, dan ia karam dengan Tuhannya serta hilang seluruh yang ada. Lalu tidak ada getaran hati (khatr) dan tidak ada pula wujud kecuali al haqq.
Pandangan-pandangan di atas, jelas menunjukkan kedekatannya dengan pandangan persatuan sufi dengan Tuhan. Jika dibandingkan dengan hulul, ittihad dan wahdatul wujud, maka ada indikasi kemiripan. Tetapi ia menghindari kata-kata itu, dan lebih memilih kata al jam’, al qurb, dan al uns, agar tidak menyesatkan masyarakat awam. Tetapi jika dilihat dari psikologi sang sufi, tampaknya tak ada beda.
Jadi, corak tasawuf Al Haddad adalah falsafi, atau sekurang-kurangnya mendekati falsafi.
Implikasi Ajaran Tasawuf Al Haddad
Dalam hal ini yang perlu dilihat adalah apakah ajarannya mengarah pada fatalisme atau tidak. Untuk itu pembahsannya akan dilihat dari dua sisi; penilaian terhadap ajaran yang terindikasi membawa paham fatalisme:
Zuhud: zuhud dari dunia dalam pandangan Al Haddad tidak berarti harus meninggalkan dunia sama sekali, dan tidak semua dunia dipandang rendah dan hina. Dunia yang mahmudah justeru dapat dijadikan sebagai sarana pendekatan diri kepada Allah SWT. Jadi, zuhud semacam ini tidak membawa kepada fatalisme.
Sabar: sabar dalam pandangan Al Haddad adalah sikap tegar dan tabah mengendalikan hawa nafsu dengan tujuan melaksanakan ketaatan kepada Allah, baik melaksanakan perintahNya maupun menjauhi laranganNya, atau sabar menghadapai sesuatu yang tidak disenangi dan menghadapi syahwat. Jadi, sabar bukanlah bersifat pasif, tetapi justeru bersifat aktif dan dinamis, karena sikap tabah dan tegar dalam upaya melawan hawa nafsu yang mengarah kepada keburukan adalah suatu bentuk perjuangan. Jadi, sabar dalam ajaran Al Haddad tidak membawa kepada fatalisme.
Tawakkal: dalam pandangan Al Haddad bahwa dalam sikap tawakkal itu diperlukan usaha manusia berupa pekerjaan-pekerjaan duniawi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, tidak akan mengurangi
Tawakkal dalam pandangan Al Haddad adalah dengan berserah diri sepenuhnya kepada Allah itu terbatas dalam konteks ketakinan, agar seseorang tidak tergoncang jiwanya ketika ia ditimpa bahaya, karena semuanya berada dalam genggamanNya, dan bukan dalam konteks perbuatan. Karena perbuatan seorang yang betawakkal tetap diharuskan mencari sebab-sebab duniawi an berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, ajaran tasawuf Al Haddad tidak menjadikan orang bersikap apatis.
Ridla: Yang paling penting dalam ridla adalah rasa senang dalam menerima ketentuan dari Allah. Pemaknaan ridla lebih ditekankan pada perasaan batin bukan dalam perbuatan. Itulah sebabnya do'a tidak mengurangi perasaan ridla. Jadi, sikap rilda dalam ajaran tasawuf Al Haddad tidak bersifat pasif, masih ada usaha dari manusia.
Kemudian, ajaran Al Haddad yang tertulis dalam kitab-kitab banyak dikaji di pesantren-pesantren dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, terutama diterbitkan oleh Mizan Bandung. Wiridnya yang terkenal dengan Ratib Al Haddad, juga banyak diamalkan di kalangan masyarakat.
Jadi, dilihat dari ajarannya tidak ada yang berimplikasi pada sikap dan paham fatalisme. Karena lebih menitik beratkan kepada ajaran akhlak dengan motivasi amal saleh. Sedangkan jika dilihat dari penyebarannya, maka ajarannya cukup meluas, dan berperan dalam pembentukan akhlak masyarakat Indonesia.
E. KESIMPULAN.
Corak tasawuf Al Haddad adalah falsafi, atau sekurang-kurangnya mendekati falsafi. Hal ini didasarkan pada kedalaman pandangannya.
Adapun dilihat dari ajarannya tidak ada yang berimplikasi pada sikap dan paham fatalisme.
Sedangkan dilihat dari penyebarannya, ajaran Al Haddad mempunyai kontribusi dalam pembentukan akhlak masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat luasnya penyebaran ajarannya yang diamalkan oleh masyarakat.
diposkan oleh Pondok Pesantren Al Istad Ngijon Ngrukem Mlarak Ponorogo Jawa Timur @ 00:05 0 Komentar Link ke posting ini

Rabu, 2008 Februari 13

AL QUR’ÂN DALAM PANDANGAN ISLAMOLOG KONTEMPORER
Studi Kritis Terhadap Metodologi dan tesisi-Tesis John Wansbrough Dalam Studi al Qur’ân
Ringkasan Thesis karya Dadan Rusmana

BAB I.
PENDAHULUAN
John Wansbrough adalah salah satu Islamolog Barat Yahûdî kontemporer yang telah berusaha melakukan kajian sistematis terhadap al Qur’ân untuk mendapatkan gambaran komprehensif tentang Islâm awal (klasik). Ia mempunyai dua karya tulis dalam bidang al Qur’ân, yaitu: (1) Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, dan (2) The Sectarian Milieu: Content and Composition of Islâmic Salvation.
Didalam dua karya tersebut ia membuat beberapa tesis kontroversial dalam kajian asal-usul dan komposisi al Qur’ân, yaitu: (1) al Qur’ân terkodifikasikan dibawah tradisi Yudio-Kristiani, (2) al Qur’ân sekarang ini merupakan hasil konspirasi kaum muslim klasik (dua abad pertama), dan (3) Redaksi final al Qur’ân tidaklah ditetapkan secara definitif sebelum abad abad ke-3 H, oleh karena itu menurutnya kisah tentang mushaf utsmânî hanyalah fiktif belaka. Ia didalam melakukan kajiannya menggunakan metodologi analisis sastra dengan pendekatan obyektif. Oleh karenanya, menurut penulis, permasalahan yang kemudian muncul ialah: (1) Bagaimana paradigma berfikir John Wansbrough yang mendasari pemetaan metodologi dan tesisi-tesisnya dalam studi kritis al Qur’ân? (2) Bagaimana wacana yang melatar belakangi paradigma berfikir John Wansbrough?
Beberapa pustaka yang telah dikaji oleh penulis, baik dari pihak-pihak pendukung maupun yang melawan tesis-tesis John Wansbrough tampaknya belum dapat menjawab secara jelas dan lengkap tentang masalah-masalah diatas. Adapun didalam melakukan penelitian ini, penulis memakai metode Hermeneutik Psikologis-Historis, dengan data-data, primer berupa: karya-karya Wansbrough dan data skunder, yang meliputi: tradisi intelektual Islamologi Barat dalam studi al Qur’ân, wacana yang melatari lahirnya Qur’anic studies, metode-metode dan pendekatan-pendekatan para Islamolog sebelum dan yang semasa dengan Wansbrough, buku-buku yang dipergunakan Wansbrough serta komentar dan kritik dari Islamolog Barat yang semasa dan sesudah Wansbrough. Dalam penelitian ini, data akan diperoleh melalui telaah dokumen dan hermeneutik yang kemudian dianalisis dalam beberapa tahapan.

BAB II.
AL QUR’ÂN DALAM PANDANGAN ISLAMOGI BARAT

A. Wacana Islamologi Barat dan Problematikanya
Perlakuan para sarjana Barat sebelum abad ke-19 atas dunia Islam terperosok kedalam praduga keagamaan. Sedangkan pada abad ke -19 dan awal abad ke-20 banyak terjebak dalam praduga-praduga kultural dan intelektual. Keangkuhan-keangkuhan kultural dan intelektual inilah yang kemudian banyak digugat para sarjana muslim. Didalam pengambilan metodologi, para Islamolog banyak dipengaruhi oleh background, dan pre-metodologi yang muncul dalam bentuk bahasa dan budaya sebagai medium ekspresi pikiran dan perasaan.
Dengan demikian, tidak semua karya orientalis harus ditolak dan dianggap tidak berguna, sebab diantara mereka terdapat Islamolog yang jujur (fair minded orientalist), tanpa mengabaikan bias dan distorsi dari kalangan mereka yang tidak jujur. Kendati demikian menurut Arkoun: terdapat beberapa kelemahan Islamologi klasik: (1) Islamologi banyak bertolak dari prasangka kaku dan negatif terhadap Islâm ataupun menjadi alat aneksasi dan pengdekreditan dunia Islâm oleh Barat, (2) Islamologi Barat tradisional sering kali mendekati Islâm melalui karangan tertulis dari para pemikir yang dianggap besar dan “mewakili” dengan mengabaikan pengecualian-pengecualian, (3) Karya tulis para tokoh besar yang menjadi kunci para Islamolog untuk memahami Islâm banyak didekati dari sudut pandang interaksi antar “sejarah ide” atau “sejarah gagasan” tanpa pertimbangan apapun dalam relasi interaktif dengan realitas sosial, ekonomi, dll; (4) Para Islamolog secara prinsip berada diluar obyek penelitiannya dan menolak bertanggung jawab secara intelektual atas pokok bahasan mereka.

B. Al Qur’ân dalam Wacana Islamologi Barat
Studi al Qur’ân oleh para sarjana Barat dimulai sejak berkunjungnya Peter the Venerable (Biarawan Clunny) ke Toledo pada awal abad XII dan berhasil membuat Clunniac Corpus (naskah salinan dari gereja Cunny). Dalam hal ini ia membentuk suatu tim yang bertugas menghasilkan serangkaian karya yang menjadi dasar akademik intelektual dalam Islâm, yang salah satu hasilnya adalah diterjemahkannya al Qur’ân kedalam bahasa Latin oleh Robertus Retenensis dari Ketton Inggris pada juli 1143. kegiatan ini berkelanjutan, dengan menerjemahkan al Qur’ân dalam berbagai bahasa, terutama Inggris, dan Latin.
Kegiatan ini disusul beberapa pembahasa tentang al Qur’ân, diantaranya oleh Theodor Noldeke (Jerman), ia menerbitkan karyanya tentang asal-usul dan komposisi al Qur’ân pada 1856. kegiatan ini dilanjutkan oleh generasi setelahnya seperti Hubert Grimme menulis tentang komposisi dan kronologi al Qur’ân. Demikian juga dengan Hartwig Hiescfeld (London) pada tahun 1902 menerbitkan new researches Into the Composition an Exegesis of the Qoran.
Memasuki abad ke-20 karya-karya semacam itu semakin mudah ditemukan, namun yang bersifat umum dan cukup menonjol adalah Koranische Untersuchungen oleh Horavitz (berlin, 1926), begitu juga dengan Arthur Jeffery (Baroda, 1938), Foreign Vocabulary of The Qur’an, yang merupakan ringkasan karya-karya sebelumnya dan dibarengi dengan pemikiran-pemikirannya yang baru. Disamping itu, masih banyak lagi karya-karya bermutu dari kalangan mereka, berbicara tentang Islâm dan segala aspek yang ada didalamnya.

C. Peta Wacana al Qur’ân Islâmologi Barat Modern
Fazlur Rahman mencoba untuk memetakan literatur Barat modern dalam studi al Qur’ân, sejak kemunculan karya Gustave Flugel (1834) hingga paruh ketiga abad ke-20: (1) karya-karya yang berusaha mencari anteseden-anteseden Yudeo-Kristiani didalam al Qur’ân, (2) karya-karya yang mencoba untuk membuat rangkaian kronologis dari ayat-ayat al Qur’ân, dan (3) karya-karya yang bertujuan untuk menjelaskan keseluruhan atau aspek-aspek yang tertentu didalam ajaran al Qur’ân. Menurutnya, begitu juga dengan Montgomery, bahwa bagian pertamalah yang memperoleh perhatian paling luas. Padahal Barat sendiri mengakui bahwa seharusnya umat Islâm sendiri yang sebenarnya lebih berhak menyajikan al Qur’ân sebagaimana mestinya.
Namun Rahman mengakui bahwa para sarjana muslim dalam hal ini menghadapi beberapa kendala, diantaranya: (1) mereka kurang menghayati relevansi al Qur’ân untuk masa sekarang, dan oleh karena itu mereka tidak dapat menyajikan al Qur’ân untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan praksis manusia masa kini, (2) mereka kuatir jika penyajian al Qur’ân didalam berbagai hal akan menimbulkan heresi (penyimpangan) dari pendapat-pendapat yang telah diterima secara tradisional.
Secara lebih khusus kajian para Islamolog, berkisar pada beberapa bidang sebagai berikut: (1) kajian originalitas dan komposisi al Qur’ân, seperti Abraham Geiger, Hartwig Hiercfeld, dan Richard Bell, (2) kajian kronologi al Qur’ân, seperti gustave Weil, Noldeke Scwally, dan Sir Willian Muir, (3) kajian tematik seputar al Qur’ân, seperti CC. Torey, H. Grimme, dan Thomas O’slaughnessy.

D. Metodologi-Pendekatan Islamolog Barat dalam Studi al Qur’ân
Menurut Arkoun, tradisi filologi merupakan tradisi umum yang dipergunakan Islamolog dalam studi al Qur’ân, terutama madzhab Jerman. Rahman menambahkan metode historis, fenomenologis, personalis dan sastra. Namun dalam hal ini, penulis membatasi pembahasannya pada pendekatan filologi (dan strukturalisme), historisme dan fenomenologi.

BAB III.
METODOLOGI DAN TESIS-TESIS JOHN WANSBROUGH DALAM STUDI AL QUR’ÂN
A. Eksposisi Wacana Intelektual John Wansbrough
Para sarjana Yahûdî berusaha keras untuk membuktikan bahwa asal-usul al Qur’ân itu berada didalam tradisi Yahûdî, dan Muhammad merupakan murid Yahûdî tertentu. Demikian juga para sarjana Kristen melakukan hal serupa untuk membuktikan bahwa al Qur’ân itu tak lebih dari gema tradisi Kristiani, dan Muhammad merupakan seorang Kristen yang mengajarkan suatu penyimpangan agama Kristen.
Oleh karenanya kajian-kajian keislaman banyak dilakukan oleh kedua pemeluk agama tersebut. Dari kalangan Yahûdî, beberapa karya kontemporer ditulis oleh Abraham Geiger, Hiercfeld, Katsch, dan Gerhardsson. Dalam situasi wacana yang kental dengan tradisi polemis “analisis obyektif” terhadap sumber-sumber al Qur’ân inilah John Wansbrough menulis karya-karyanya. Didalam tiga karya pertamanya (A Note on Arabic Rhetoric, Arabic Rhetoric and Qur’anic Exegesis, Majaz al Qur’an: Periphrastic Exegesis) ia menguji keoriginalitasan bahasa Arab klasik, melalui pendekatan sastra dan linguistik. Dan ketiga artikel tersebut menjadi dasar karya utuhnya Qur’anic Studies dan Sectrian Milieu. Yang mana, keduanya berusaha menampilkan sikap kritis terhadap sumber-sumber tentang orisinalitas Islâm klasik melalui pisau analisis sastra, serta menghindari doktrin teologi Islâm.
Dalam Qur’anic Studies ia berusaha menjelaskan asal-usul (sumber-sumber) dan komposisi al Qur’ân, usaha pengkodifikasian, dan tafsîr yang dilakukan oleh orang Islâm, serta prinsip-prinsip penafsirannya. Sedangkan didalam Sectarian Milieu, ia berusaha menggambarkan perkembangan evolusi tema-tema doktri Islâm melalui kajian biografi tradisional nabi Muhammad SAW, serta melalui kajian doktrin teologi kaum muslim sebagai komunitas sosial. Dua karya ini memunculkan banyak tanggapan, yang sebagian besar dalam bentuk resensi, seperti Van Ess, Ullendroff, Paret, dan Graham.

B. Paradigma Wansbrough dalam Studi Kritis al Qur’ân
Didalam memulai kajiannya, ia mengajukan beberapa pertanyaan historis-analisis: What is evidence? Do we have witnesses to the moslem accounts of the formation of their community in any early, disinterested sources? The Qur’an (In the form collected “between two covers” as we know it today) is a good axample: what evidence is the for the historical accurary of the traditional accounts the compilation of that book shortly after death of Muhammad?.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengantarkannya untuk: (1) meragukan bahkan tidak mempercayai bukti-bukti tertulis dan tidak tertulis yang dimiliki oleh muslim dan Islamolog Barat mngenai sejarah Islâm klasik, terutama masa pewahyuan dan masa kodifikasi al Qur’ân. Hal ini dikarenakan tidak adanya bukti literal, yang mengidentifikasikan adanya tradisi penulisan al Qur’ân pada masa nabi. Disamping itu terdapat perbedaan versi dari para kolektor atau pencatat al Qur’ân dimasa nabi, dengan yang dibakukan oleh khalifah Utsmân. Ia juga meragukan kekuatan pentransmisian al Qur’ân dalam tradisi oral dan aural muslim Arab awal. (2) ia memandang bahwa satu-satunya bukti leteral yang valid dan akurat tentang Islâm hanyalah al Qur’ân. (3) ia mendudukkan proses kodifikasi al Qur’ân sama dengan proses kodifikasi Taurat atau Injîl, bahkan ia mengukur orisinalitas al Qur’ân dengan timbangan perjanjian lama dan baru.
Sikap apriori dan keraguan tersebut mendorong Wansbrough untuk memposisikan Islâm (terutama klasik), sebagai agama yang ahistoris dengan menekankan bahwa tidak ada dukungan berupa bukti ekstra-literer dalam hal data arkeologis yang tersedia bagi Islâm. Dengan demikian, menurutnya, pendekatan historisisme tidak dapat dipergunakan dalam menelusuri Islâm. Oleh karenanya tidak ada pilihan lain kecuali kajian lewat al Qur’ân dengan jalan analisis sastra dan prinsip-prinsip linguistik. Dan pendekatan yang ditawarkannya adalah pendekatan obyektif dengan menjadikan al Qur’ân sebagai fokus kajiannya tanpa harus mengaitkannya dengan pencipta ataupun pembacanya.
C. Akar-Akar Metodologi-Pendekatan Wansbrough dalam studi al Qur’ân
Sebagaimana dijelaskan bahwa Wansbrough menawarkan metode analisis sastra dan pendekatan obyektif dalam mengkaji al Qur’ân. Pendekatan obyektif dimaksudkan seabgai pendekatan yang memandang bahwa teks mempunyai otoritas mandiri yang tidak lagi berkaitan dengan pengarang dan pembacanya. Dengan demikian ia hanya melakukan kritik intrisik al Qur’ân. Metode tersebut berdiri diatas aliran filsafat struturalisme, terutama strukturalisme linguistik yang santer pada dekade tahun 1960-an dan tahun 1970-an di Cekoslawakia, Amerika, jerman, inggris, Rusia, dan Prancis.
Metode ini mengarahkan pengkajiannya pada studi struktur teks, termasuk studi bahasa dan sastra dengan pendekatan obyektif. Bagi kaum strukturalisme-linguistik, kitab suci tak ubahnya sebagai karya literatur yang hadir apa adanya dan satu-satunya jalan untuk memahaminya adalah dengan melakukan analisis struktur dan sistem tanda. Dan salah satu bentuk strukturalisme linguistik dalam mendekati kitab suci muncul dalam bentuk semiologi atau semiotika.
Wansbrough mencoba menerapkan tradisi kritis terhadap bibel (biblical criticsm) pada al Qur’ân, dengan mengambil prinsip-prinsip yang ada dalam koridor strukturalisme linguist (otonom) dan hermeneutika transendental. Ia skeptis terhadap kekuatan transmisi al Qur’ân dalam tradisi oral dan aural, karena tidak ada bukti ekstra literal. Bagi Wansbrough dan mereka yang sngaja ingin menyudutkan Islâm beranggapan bahwa jika posisi al Qur’ân berhasil digoyang, maka semua ajaran yang dibangun diatasnya pasti akan roboh.

D. Tesis-Tesis Utama John Wansbrough dalam studi al Qur’ân
Kajian yang dilakukan oleh Wansbrough berkisar pada tiga pokok pembahasan: (1) scriptural Canon “naskah al Qur’ân”; (2) prophetologi “kenabian Islâm”; (3) Secred language “bahasa agama”. Adapun tesis utama yang dihasilkannya seabagimana disebutkan dalam pendahuluan adalah: (1) al Qur’ân terkodifikasikan dibawah tradisi Yudio-Kristiani, (2) al Qur’ân sekarang ini merupakan hasil konspirasi kaum muslim klasik (dua abad pertama), dan (3) Redaksi final al Qur’ân tidaklah ditetapkan secara definitif sebelum abad abad ke-3 H, oleh karena itu menurutnya kisah tentang Mushaf utsmânî hanyalah fiktif belaka.
Pada poin pertama, dipicu oleh pertarungan wacana antara para sarjana Yahûdî dan Kristen tentang sumber al Qur’ân, dan melalui penelitian masing-masing mereka mengklaim bahwa al Qur’ân bersumberkan dari agama mereka. Diantara para sarjana Kristen yang berusaha keras membuktikan bahwa sumber al Qur’ân adalah doktrin agama mereka dantaranya: Richard Bell, dengan mengatakan bahwa ayat tentang penciptaan manusia dari tanah diambil dari Bibel, dll. Dalam tradisi perang wacana inilah, tesis-tesis Wansbrough muncul sebagai Counter Productive terhadap hegemoni karya-karya kesarjanaan Kristen. Dan ia banyak terpengaruh kecenderungan sarjana Barat Yahûdî sebelumnya yang berupaya membuktikan bahwa Muhammad SAW terpengaruh tradisi Yudeo-Kristiani. Menurutnya, al Qur’ân berupa penjejeran-penjejeran tradisi Yahûdî (dan dalam tahapan tertentu berisi pula tradisi Kristen) dengan berbagai revisi dan tambahan dari Muhammad dan kaum muslim awal.
Adapun tesisnya yang kedua, didasarkan pada beragamnya versi bacaan dalam al Qur’ân, juga banyaknya vesi atas suatu kisah. Oleh karenanya ia mnganggap bahwa mushaf yang ada sekarang ini tak lebih hanya merupakan penjejeran tradisi kaum muslim awal. Ia beranggapan bahwa pentransmisian dari generasi pertama kaum muslim kepada generasi kedua hingga akhir abad kedua Hijriyah dilakukan dalam tradisi oral dan aural yang bebas. Generasi pertama senantiasa berupaya menyempurnakan redaksi-redaksi al Qur’ân dengan mengadaptasi berbagai wacana yang ada dalam setiap perkembangan tradisi.
Sedangkan tesisinya yang ketiga (skeptisime terhadap Mushaf ‘Utsmânî), karena menurutnya penyalinan tersebut baik pada masa abu Bakar maupun Utsmân tidak terdapat bukti literal. Ia mencoba meneliti struktur al Qur’ân, terutama dalam kisah-kisah sejarah penyelamatan, dikarakterisasi oleh variasi bacaan dan variasi tradisi (riwayat) yang mengakibatkan adanya repetisi atau duplikasi. Hal ini menunjukkan bahwa redaksi final al Qur’ân bukanlah proyek yang dilaksanakan secara berhati-hati oleh seseorang, atau sekelompok orang, tetapi agaknya lebih merupakan akumulasi-adaptif dari perkembangan organik dari berbagai tradisi independen yang orisinal selama suatu periode transmisi yang panjang. Teori benar-benar baru dan orisinal, karena para sarjana Barat yang menggeluti sejarah naskah al Qur’ân, meskipun dengan kritik-kritik tertentu, pada umumnya menerima teori pengkodifikasian al Qur’ân dimasa ‘Utsmân.
Beberapa tesis asal-usul dan komposisi al Qur’ân diatas menjadi landasan Wansbrough dalam mengajukan prinsip-prinsip penafsiran al Qur’ân, yang berupa kerangka logis dalam bentuk linguistik dan sastra wacana al Qur’ân, yang antara lain: (a) al Qur’ân merupakan sebuah teks dan karya sastra, dan oleh karena itu, al Qur’ân harus dianalisis melalui metode analisis sastra dalam analisis bentuk dan redaksi, (b) al Qur’ân berisi penjejeran dari tradisi Yahûdî , Kristen, dan umat Islâm awal; oleh karena itu penafsiran ayat-ayat al Qur’ân harus diklasifikasikan berdasarkan tradisi-tradisi tersebut, (c) penafsiran al Qur’ân harus berangkat dari analisis struktur linguistik dan sastra dengan memperhitungkan antara aspek-aspek yang terkandung dalam teks al Qur’ân dan tipe-tipe penafsiran.

BAB IV.
REFLEKSI KRITIS ATAS METODOLOGI DAN TESIS-TESIS JOHN WANSBROUGH

A. Wansbrough diantara Pendukung dan Pengkritik
Diantara sarjana Barat yang memberi komentar atas karya Wansbrough adalah Issa J. boullata, setelah melakukan resensi ia menyatakan bahwa pemikiran Wansbrough hanya merupakan hipotesis-hipotesis yang belum dapat dipertanggung jawabkan secara Ilmiah. Ia mempertanyakan keabsahan metode yang digunakan dalam buku tersebut, demikian pula bahannya yang merupakan suatu seleksi dan eklektif. Disisi lain, Andrew Rippin dan Richard Martin banyak mendukung penerapan metodologi yang diterapkan Wansbrough. Dikalangan Islâm, Fazlur Rahman banyak melakukan kritik keras terhadap Wansbrough, ia menganggap kajian Wansbrough sebagai suatu masalah serius dan merupakan ancama hebat terhadap masa depan Islamologi (orientalisme) Barat dan prasangka dogmatik kaum muslim.

B. Eksklusifitas dan Eklektisisme Tradisional Wansbrough
Kajian yang dilakukan Wansbrough tidak dapat lepas dari prasangka-prasangka yang membawa pada kekakuan eksklusivisme, yang dalam hal ini Arkoun menyatakan bahwa Wansbrough tidak mampu melepaskan diri dari kungkungan logosentrisme, yakni kenyataan bahwa ia tidak dapat mengungkapkan diri dan tidak dapat berfikir kecuali melalui bahasa, tradisi bahasa dan wacana tertentu. Adapun prasangka-prasangka tersebut ialah prasangka dogmatik, Erosentrisme, Rasionalisme-Positivisme, Strukturalisme linguistik, dan hermeneutika transendentalis.
Dengan mewaspadai beberapa prasangka tersebut, maka wajar, jika terdapat keberatan-keberatan yang dilontarkan oleh para sarjana Barat dan muslim. Karena kajian Wansbrough terlihat sangat kental dengan tendensius subyektifitas. Disamping itu sikap eklektif dan keragu-raguannya. Sikap selektif dan eklektif ditunjukkannya ketika lebih mendahulukan karya-karya sarjana Yahûdî dari pada Kristen, dan ia juga mengambil tafsîr Muqâtil bin sulaimân dan al Farrâ’, padahal keduanya dimarginalkan bahkan tidak diakui oleh para mufassir dan kaum muslim.
Didalam menjelaskan hal-hal penting, ia sering menggunakan kata-kata yang meragukan “sepertinya, seakan-akan…”. Oleh karenanya banyak kalangan yang menyatakan bahwa karya Wansbrough baru merupakan studi asumtif atau paling tinggi baru hipotesis yang belum dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, karena disandarkan pada asumsi-asumsi yang meragukan.

C. Kritik terhadap Metodologi analisis Sastra Wansbrough
Pendekatan strukturalisme linguistik atau analisis obyektif terhadap al Qur’ân tidak akan mampu menangkap spirit dan nuansa ekspresi hermeneutis al Qur’ân. Hal ini dikarenakan, al Qur’ân--kitab suci dan karya-karya lainnya—bukan hanya sekedar alat atau medium logika struktural, keindahan, gramatikal, dan kefasihan, melainkan juga memiliki dimensi entitas ontologis-eksistensial, eskatologis, epistemologis, dan aksiologis-praksis yang mempertemukan dua arus gerak sentrifugal dan sentripetal. Bahkan Wansbrough sendiri mengakui bahwa, substansi linguistik al Qur’ân penuh dengan dunia simbolik atau dunia makna, metafor; dan bahasa iknografi, yang menurut analisis psiko-sosiolinguistik sangat efektif menghancurkan arogansi masyarakat jahiliyyah Arab kala itu yang tingkat sastranya dikenal sangat tinggi.
Salah satu kelemahan Islamolog barat, termasuk Wansbrough, dalam memahami fenomena al Qur’ân, Islâm, dan masyarakat muslim terletak pada asumsi-asumsi dasar tentang manusia yang didasarkan pada paradigma antropologis abad pencerahan (Renaissance dan Aufklarung) yang melihat manusia dan proses peradaban berjalan linier dan simpel.
Disamping itu, pada sisi transendental dan tranhistoris, Wansbrough dan para kritikus barat banyak melakukan kesalahan fatal akibat dominasi bahasa ilmu dan budaya tulis-baca pada kultur Barat sekuler, sehingga teks kitab suci dianggapnya buku yang bisu tanpa daya. Menurut Rahman, metode Wansbrough sama sekali tidak memberi arti penting apapun kepada al Qur’ân. Lewat metode ini, Wansbrough memandang al Qur’ân sebagai omong kosong, tetapi lantas dia cuci tangan dari tanggung jawabnya menjelaskan dari mana omong kosong itu berasal usul.

D. Kritik terhadap usaha Penemuan Anteseden Yahûdî dalam al Qur’ân
Atas dasar kesamaan beberapa tema dalam al Qur’ân dengan Bibel, menurut Wansbrough mengindikasikan pengaruh kuat tradisi Yahûdî didalam kodifikasi al Qur’ân. Ia mengambil empat hal: balas jasa, tanda, pengasingan dan perjanjian. Dalam hal ini Rahman mempertanyakan mengapa hal itu yang dijadikan pijakan, mengapa bukan yang lain. Ia menyatakan pula bahwa Wansbrough telah terperosok kedalam pandangan-pandangan dan kesimpulan-kesimpulan yang jauh melampaui batas-batas yang dapat diterima akal sehat, ketika menyatakan bahwa al Qur’ân sepenuhnya merupakan manifestasi sektrian dari tradisi-tradisi Yahûdî (dan Kristiani). Padahal dijazirah Arab gagasan Yudeo-Kristiani tidak mendapat tanggapan sama sekali, dan mereka kehilangan posisi kunci dihadapan orang Arab, bahkan secara klan masuk pada konfederasi suku-suku Arab. Dan secara religius, mereka kurang dapat menyumbangkan pikiran-pikiran teologis religius.

Fuck Frankfurt menolak sama sekali agama Yahûdî dan Kristen menjadi basis al Qur’ân. Sebab agama Yahûdî menolak keberadaan Yesus dan Maryam, sedangkan al Qur’ân mengagungkannya. Sementara itu, agama Kristen mempertuhankan nabi Isa dan percaya pada penyalibannya, suatu doktrin yang sangat ditolak oleh al Qur’ân. Demikian pula Canon Sell menyatakan bahwa tidak mungkin Muhammad mencari dan meniru naskah Bibel. Karena Bibel (perjanjian lama) baru diterjemahkan kedalam bahasa Arab tahun 900 M. dan perjanjian baru diterjemahkan tahui 171 M, serta tidak ada bukti sejarah yang kuat menggambarkan bahwa nabi Muhammad menjadikan Bibel sebagai landasan al Qur’ân.

E. Kritik terhadap Tesis “komposisi al Qur’ân sebagai Perpaduan Berbagai Tradisi”
Menurut Rahman, Wansbrough sangat kurang memiliki data historis mengenai asal-usul, karakter, evaluasi, dan person-person yang terlibat dalam tradisi-tradisi tersebut (dalam al Qur’ân). Setiap pembaca harus mengetahui dimana al Qur’ân diturunkan, dan kepada siapa atau kelompok mana ayat-ayatnya disampaikan. Jadi, tesis Wansbrough yang dibangun berdasarkan duplikasi atau repetisi didalam al Qur’ân yang baginya mencerminkan penjejeran berbagai tradisi tidak layak diterima, karena hal tersebut lebih mencerminkan perkembangan tema atau misi kenabian Muhammad dalam urutan kronologisnya. Sejarah membuktikan bahwa himpunan dan akumulasi pengalaman kaum muslim dan tumbuh dalam sejarah kemudian dinamakan tradisi Islâm terbentuk dan diterangi al Qur’ân. Al Qur’ân muncul dalam relasi antara creator (Allah) dengan manusia.
Dari sisi motif pewahyuan, pada mulanya manusia adalah obyek kitab suci. Kitab suci diwahyukan tuhan untuk menyapa manusia yang mengajaknya kepada jalan keselamatan. Pada perjalanannya, ketika wahyu menjelma menjadi teks, maka kitab suci berubah menjadi obyek, sementara manusia berperan menjadi subyek. Disitu muncul obyektivikasi manusia terhadap kitab suci. Konsep kitab suci bersifat relasional eksistensi dan kesucian berkaitan dengan sikap manusia yang meresponnya. Selain itu, menurut Rahman Wansbrough tidak memahami dengan sempurna fenomena substitusi ayat-ayat tertentu dengan ayat-ayat lainya. Fenomena ini oleh al Qur’ân sendiri diakui dan dinamakan naskh. Untuk terjadinya substitusi harus ada ayat baru sebagai pengganti ayat yang lama. Inilah sebuah keharusan kronologis yang sulit dipertahankan jika al Qur’ân hanyalah perpaduan yang serentak dari berbagai tradisi. Didalam hal ini mungkin ada penyesuaian-penyesuaian, tapi hampir tidak dapat dikatakan naskh.

F. Kritik terhadap Pemiktifan Mushhaf Utsmânî
Keorisinalitasan al Qur’ân telah teruji ketika dihadapkan pada kritik sejarah. Hal ini disebabkan oleh setidaknya lima faktor penyangganya yang amat kokoh terhadap eksistensi-ontologis al Qur’ân:
Pertama, ia dipelihara melalui tradisi lisan secara turun temurun dengan seleksi ketat terhadap tingkat otentisitas, validitas, dan accountability transmisi dan para transmiter. Dalam konteks sosial masyarakat Arab-muslim, tradisi oral pentransmisian al Qur’ân ini, secara antropologis, menjadi medium sentrifugal dan sentripetal untuk memelihara identitas bahasa dan memelihara kohesifitas masyarakat.
Kedua, bagi umat Islâm, salah satu penyangga tradisi yang paling kokoh adalah terdokumentasikannya wahyu Allah dalam bentuk tulisan yang mata rantai transmisinya secara historis-ilmiah diakui paling solid dan paling otentik ketimbang wahyu yang diterima para nabi sebelumnya. Dengan demikian, al Qur’ân terjaga rapi, sehingga terhindar dari manipulasi historis.
Ketiga, tidak munculnya kritik radikal terhadap al Qur’ân juga disebabkan oleh iklim intlektual dan emosi keagamaan yang tumbuh didunia Islâm yang tidak kondusif bagi upaya penghujatan skeptis terhadap al Qur’ân. Para ulama dan penguasa sering kali menggunakan respon kekuasaan, bukannya counter intelektual, terhadap pikiran-pikiran baru yang dianggap merongrong pemikiran keagamaan yag telah mapan.
Keempat, gaya bahasa, gramatika, dan berbagai reposisi al Qur’ân sangat adaptif akomodatif,bahkan mendorong berbagai interpretasi baru yang dianggap relevan dengan nalar modern, tanpa harus melakukan editing dan penelitian historis mengenai otentisitas serta konteks pewahuan al Qur’ân.
Kelima, adanya tradisi dan ritual keagamaan yang selalu memasukkan ayat-ayat al Qur’ân sebagai bacaan dan doa-doa. Namun demikian, al Qur’ân sering kali diposisikan sebagai fakta dan dokumentasi historis, maka al Qur’ân dapat dilihat sebagai produk dari sebuah wacana dalam tradisi oral dan aural.
Dengan demikian, tesis Wansbrough sama sekali tidak beralasan, apalagi pengakuannya tentang perbedaan transmisi antara sunni dan syi’ah, padahal kenyataan historis justru membuktikan hal sebaliknya; al Qur’ân kaum sunni dan syi’ah sama sekali tidak berbeda. Dengan demikian, tesis-tesis Wansbrough tersebut Ahistoris. Paling tidak, naskah final al Qur’ân telah eksis sebelum munculnya perpecahan dan aliran-aliran dalam Islâm.

G. Kritik terhadap Prinsip-Prinsip Eksegesis al Qur’ân
Wansbrough mempertahankan pendekatan obyektif yang bertumpu pada analisis bentuk-redaksional dan sastra al Qur’ân melalui aturan-aturan linguistik yang ketat dalam memetakan prinsip-prinsip eksegesis al Qur’ân. Padahal, menurut Arkoun, pendekatan obyektif hanya merupakan satu stase menuju pemaknaan artikulatif al Qur’ân. Baginya, wahyu al Qur’ân merupakan fenomena linguistik. Struktur sintaksis, semantik dan semiotika wacana al Qur’ân menyediakan suatu ruang yang demikian artikulatif untuk mengutarakan pemikiran dan isi wahyu.
Dalam hal ini, Arkoun mengajukan beberapa prinsip eksegesis: (1) al Qur’ân merupakan sejumlah pemaknaan potensial bagi seluruh umat manusia, sehingga dapat ditafsîrkan secara beraneka ragam, (2) pada tahap pemaknaannya yang potensial, al Qur’ân mengacu kepada agama Islâm (dalam arti ideal) yang transenden dan tranhistoris. Sedangkan pada tahap pemaknaan aktual (interpretasi) seperti tercermin dalam berbagai doktrin teologis, yuridis, politis dan sebagainya. Ia lalu menjadi mitologi dan ideologi yang diberikan makna transenden, (3) al Qur’ân adalah kurpus terbuka. Tidak satupun yang berhak mengklaim penafsiran yang dihasilkannya merupakan penafsiran yang paling benar, dan menutup kemungkinan dari pihak lain.
Bagi Rahman, penerapan pendekatan obyektif secara kaku tidaklah memberikan kontribusi yang berarti, ia menekankan pula untuk memahami kondisi aktual masyarakat pra Islâm dan masa nabi dalam rangka menginterpretasikan pernyataan-pernyataan legal dan sosio ekonomik al Qur’ân. Oleh karenanya, ia menawarkan beberapa langkah, sbb: (a) pendekatan historis untuk menemukan makna teks al Qur’ân dalam bentangan karir dan perjuangan nabi, (b) pembedaan antara ketetapan legal dengan sasaran dan tujuan al Qur’ân, (c) pemahaman dan penetapan sasaran al Qur’ân dengan memperhatikan secara sepenuhnya latar belakang sosio-historis al Qur’ân.
Sedangkan menurut Hasan Hanafi, analisis linguistik merupakan mediasi sederhana untuk mencapai kritik eidetis, yang dilakukan melalui tiga tahap analisis, yaitu: analisis linguistik, analisis historis, dan generalisasi

BAB V.
PENUTUP
Kesimpulan:
Wansbrough bersikap skeptis terhadap Islâm dan cenderung menegasikan historisitas Islâm dengan menekankan bahwa tidak ada dukungan berupa bukti-bukti ekstra literer;
Metodologi pendekatan Wansbrough dalam studi al Qur’ân adalah metode analisis sastra, dalam bentuk kritik redaksi linguistik dan kritik bentuk (form). Metode tersebut berakar dari filsafat strkturalisme otonom dan hermeneutika transendental.
Wacana yang melatari intelektualisme Wansbrough telah membawanya kedalam kekakuan elektisisme dan eksklusivisme;
berdasarkan metode analisis sastra dan salvation history, Wansbrough berusaha membuktikan bahwa al Qur’ân terbentuk sepenuhnya terpengaruh tradisi Yahûdî , dan bukannya pengaruh Injîl;
Kritik atas tesis Wansbrough mengalir baik dari kalangan orientalis sendiri maupun dari kalangan Islâm
Banyak kalangan, terutama F. Rahman menyatakan bahwa metodologi Wansbrough sangat lemah dan tidak memberikan arti apapun dalam studi al Qur’ân;
pengadopsian pemikiran Wansbrough dapat menimbulkan skeptisisne total terhadap al Qur’ân, yang dapat mengancam masa depan Islamologi barat modern dan keyakinan umat Islâm.
Saran-saran:
(1) Harap diperbanyak sumber-sumber kajian Islamologi barat, (2) studi al Qur’ân pada dimensi metodologis seperti wansbrough akan mengantarkan pada sikap terbuka, kepala dingin dan dialog konstruktif, (3) penelitian ini hanya pada aspek metodologis, dan masih banyak pemikiran Wansbrough yang belum dikaji. Sehingga penulis menyarankan, agar dilakukan penelitan lanjutan khususnya berkenaan dengan tema diatas.
diposkan oleh Pondok Pesantren Al Istad Ngijon Ngrukem Mlarak Ponorogo Jawa Timur @ 23:52 0 Komentar Link ke posting ini

Selasa, 2008 Januari 29

Orientalisme dan Kacamata Sa'id

Obituari Edward W. Said (1935-2003)
Orientalisme dan Kacamata Said

Oleh: BAMBANG Q. ANEES

SAAT kita mendapatkan sajian perburuan terorisme yang secara serampangan dikaitkan dengan aktivis masjid, Edward Said meninggal dunia. Kanker darah menghentikan perjuangannya, tepat pada 25 September 2003 kita kehilangan Edward Said, penulis buku Orientalisme yang terkenal.
Buku Orientalisme bagi saya pada awalnya adalah kumpulan dongeng. Tahun 1991 sewaktu masih di kelas II SMA, saya yang sedang keranjingan membaca buku dongeng menemukan buku Orientalisme di rak buku paman, yang dosen filsafat. Secara iseng saya membuka-buka halamannya dan menemukan dongeng The Devine Commedi-nya Dante. Konon ada seorang lelaki yang melakukan pengembaraan mencari cinta sampai harus melewati tiga dunia lain: Inferno (neraka penyiksaan bagi para pendosa besar), lalu menuju Purgatorio (tempat penyucian), dan terakhir sampai di lembah Paradiso (surga) tempat sang kekasih menunggu lelaki itu. Yang menarik dari cerita itu, bagi Said adalah deskripsi siapa saja yang dimasukkan ke dalam neraka.
Orang-orang berdosa, tentu saja, prioritas utama yang dimasukkan ke api penyiksaan itu. Said menuliskan bahwa Maometto (Muhammad) berada di neraka Bolgias of Malebolge, gugusan parit kelam yang mengelilingi tempat penyiksaan setan, bersama dengan Brutus, Judas, dan Cassius. Pada saat itu saya tak tahu benar siapa Brutus, Judas, dan Cassius, yang pasti saya tahu siapa Muhammad Rasulullah.
Muhammad dianggap Dante sebagai seorang seminator di scandalo e di scisma (penyebar skandal dan perpecahan). Tentu saja saya merasa emosi dan langsung berkesimpulan bahwa kaum orientalis adalah orang-orang gila.
Beberapa tahun kemudian, ketika saya kuliah di IAIN, saya membaca lagi buku tersebut karena ada mata kuliah dengan nama Orientalisme juga. Pada halaman yang sama (88-89) saya menemukan kalimat, "Ibn Sina, Ibn Rusyd, dan Shalahuddin termasuk kelompok orang-orang kafir yang baik, yang bersama-sama Hektor, Aeneas, Ibrahim, Sokrates, Plato, dan Aristoteles, ditempatkan pada gugus pertama Inferno untuk merasakan hukuman yang paling ringan (bahkan terhormat) karena tidak memperoleh manfaat dari wahyu Kristiani.
Tentu saja, Dante menghargai kesalehan dan prestasi mereka yang besar, tetapi karena mereka bukan orang-orang Kristen maka Dante harus memasukkan mereka ke dalam neraka, betapa pun ringan tingkatannya". Deskripsi ini membuat saya memahami kecenderungan pukul rata cara pandang orang Eropa terhadap suatu hal.
Apa pun yang berbeda dengan cara pandang mereka atau bahkan yang bukan mereka, dianggap bersalah. Timur adalah nama yang diberikan oleh mereka terhadap dunia "yang berbeda itu".
Segala yang berasal Timur dianggap bersalah bukan karena kesalahannya, namun karena ia berbeda dan bukan dari Barat. Timur berupaya dibisukan agar Barat menjadi bersuara. Logika benar-salah inilah yang menjadi dasar dari orientalisme, suatu pola pikir yang khas filsafat awal modern yang substansialis: harus hanya satu yang benar, selebihnya harus salah. Logika ini sebenarnya agak "memalukan", karena untuk menjadi benar mereka harus menyalahkan orang lain, suatu kebenaran dalam perbandingan. Lebih dari itu Said mengemukakan agenda tersembunyi dari cara penceritaan Timur oleh para orientalis. Orientalisme adalah ilmu dengan kepentingan untuk menguasai bangsa-bangsa di luar Barat, Orientalisme adalah kegiatan intelektual yang membantu kaum kolonialis Barat dalam menjajah dunia Timur.
Penceritaan Said ini tentu saja membuat saya terbawa arus untuk membenci kaum orientalis, tidak saja atas nama seorang Muslim namun juga atas nama mahasiswa yang berada di dunia Timur. Namun, pertemuan saya dengan bahan bacaan lain yang ditulis orientalis (pengkaji dunia Timur) seperti Annemarie Schimmel, Toshihiko Izutsu, terakhir Karen Amstrong memberikan kenyataan yang berbeda. Bahwa tidak semua orientalis memiliki agenda yang sama dengan Dante. Schimmel sanggup menampilkan kedalaman dunia tasawuf tanpa disertai agenda tersembunyi untuk menguasai atau menganggap rendah dunia Islam, begitupun dengan Izutsu dan Amstrong.
Fakta ini membuat saya harus mengubah cara penerimaan terhadap Orientalisme Edward Said. Terlebih ketika saya harus terus berhadapan dengan sejumlah rekan dosen yang terlalu fobia terhadap orientalis (atau apa pun yang berdekatan dengan orientalis), bahkan ada beberapa rekan dosen yang kerasukan cara pandang Dante; semua orientalis pasti salah bukan karena membuat kesalahan, namun karena ia seorang orientalis.
Tulisan Said pada akhirnya saya terima sebagai kacamata yang membuat saya lebih awas dalam mencermati kabar, analisis, deskripsi ilmiah, fiksi atau film tentang Timur dari pandangan "orang luar". Kacamata itu memberi kita pada kesadaran bahwa dalam banyak hal "kabar Barat" tentang "Timur" memiliki kecenderungan untuk menjadikan "Timur" sebagai "yang dilainkan" atau "dibisukan/ dihilangkan suaranya". Buku Orientalisme memberi kita peta tentang usaha sarjana Barat yang menuliskan Timur dan Barat dalam cara yang berbeda.
Yang "Timur" adalah suatu hakikat yang harus diteliti, dipahami, diungkapkan bahkan dibentuk oleh yang "Barat". Timur adalah misteri dan kebarbaran yang harus dibuat beradab, dengan cara menjadi Barat. Sementara itu, Barat adalah sumber peradaban, kebanaran utama, dan kedamaian yang berhak untuk diimani oleh semua umat manusia.
Yang Barat adalah kebenaran dan di dalam kebenaran semua ummat manusia harus tunduk patuh tanpa tanya. Bentuk kajian yang dilakukan terhadap Barat dan Timur pun berbeda, seperti dikemukakan Mohammed Arkoun, "Kajian tentang Barat dicirikan dengan penelitian yang teliti dan berhati-hati, atensi terhadap detail-detail yang saksama, pembedaan yang sangat cermat, dan pengembangan serta pembangunan teori", sedangkan pengkajian Timur dalam posisi sebaliknya."
Kacamata dari Said adalah pemberi keawasan pada segala bentuk wacana. Wacana memiliki kecenderungan untuk memihak, tidak netral. Wacana mengkonstruksi satu kebenaran tertentu dalam memandang realitas sebagai apa. Dalam dominasi wacana orientalisme Said bahkan menuliskan bahwa kita yang berada di dunia Timur kemudian "berperan serta dalam men-Timur-kan dirinya sendiri". Jadi, pada mulanya orientalisme mendedahkan bahwa kita bangsa ketiga yang rendah dan tak berpengatahuan, lalu pada giliran kemudian kita sendiri menguatkan stigma itu atau bahkan berjuang keras untuk tetap menamai dirinya sebagai Timur.
Said mungkin tampak emosional. Apalagi keturunan Palestina, juga aktivis politik di Dewan Nasional Palestina, yang sampai sekarang selalu kalah wacana dalam menentukan kemerdekaannya. Namun, Said berbeda dengan sejumlah rekan dosen saya yang fobi orientalis, menutup buku Orientalisme dengan argumen yang menarik, "Orientalisme telah gagal mengindentifikasikan dirinya dengan pengalaman manusia, gagal untuk melihatnya sebagai pengalaman manusia". Lebih jauh Said menulis bahwa buku Orientalisme ditulis sebagai "pengingat atas degradasi yang menyeleweng dari ilmu pengetahuan".
Dalam kutipan ini, Said mendasarkan prasangkanya terhadap oreintalis pada kemanusiaan, yaitu bahwa ilmu pengetahuan semestinya berpihak pada manusia saja, dan melepaskan kepentingan sempit kelompok agama, kultur tertentu apalagi kepentingan politik.
Said juga menyadari bahwa betapa susah mengemukakan pengetahuan tanpa terkait dengan kepentingan. "Tidak akan ada interpretasi, pemahaman, dan kemudian ilmu pengetahuan jika tidak ada minat dan kepentingan. Minat dan kepentingan itu dalam banyak kacamata kita ada baiknya jika mengarah pada common sense saja, yaitu suatu pemahaman yang tumbuh berkembang dari pengalaman manusia bukan didasarkan oleh kuasa suatu kelompok tertentu" (Covering Islam, hlm. 230). Pada saat proses pemahaman didasari oleh minat dan kepentingan selain common sense, segala pengetehuan menjadi bias.
Bahkan, bagi Said, pengetahuan sejenis itu selayaknya dipandang hanya sebagai suatu tafsir yang tak dapat dimutlakkan.
Edward Said, kini telah meninggalkan kita, namun kacamatanya masih dapat kita gunakan. Ada beberapa teman yang meragukan penggunaan kacamata Said di masa-masa sekarang ini. Namun, dalam buku Covering Islam (1987) Said, menunjukkan bahwa pola analisisnya masih dapat digunakan untuk membaca produksi wacana di zaman ini.
Buku yang menegaskan bahwa peliputan atau pemunculan Islam dalam berita, novel atau film berada dalam tegangan covering (meliput) dan covering up (menutupi). Islam dimunculkan dalam media, sambil serentak dibungkam. Saya pikir kuasa meliput dan menutupi ini dapat kita temukan dalam sejumlah pemberitaan mengenai aktivitas masyarakat Muslim di media.
**
EDWARD SAID, rest in peace! Engkau tentu tak akan memasuki dunia akhiratnya Dante dan karena itu engkau tak akan dituduh sebagai seminator di scandalo e di scisma (penyebar skandal dan perpecahan) sehingga tak harus mendekam di Bolgias of Malebolge. Satu hal yang dapat saya ingat dari tulisan penutupmu di Covering Islam, "Setiap pemikir sebaiknya memilih di antara kemestian tunduk di hadapan nafsu kekuasaan, atau di hadapan kekuasaan kritik, kecaman, kupasan, komunitas, dialog, dan moral sense." Terima kasih atas kacamatanya.***
diposkan oleh Pondok Pesantren Al Istad Ngijon Ngrukem Mlarak Ponorogo Jawa Timur
Pondok Pesantren Al Istad Ngijon Ngrukem Mlarak Ponorogo Jawa Timur
Lokasi: Indonesia
Ia bernama Muhammad Thohar Al Abza, lahir di Ngijon Ngrukem Mlarak Ponorogo Jawa Timur Indonesia.




Kata syukur sepadan dengan kata al-hamdu walaupun kata syukur lebih dekat pada pengucapan rasa terimakasih terhadap nikmat yang telah Allah swt. anugrahkan kepada seseorang, sementara kata al-hamdu merupakan ungkapan rasa terimakasih dalam bentuk umum.
Para ulama mendefinisikan Syukur sebagai ungkapan aplikatif dengan menggunakan segala apa yang dianugrahkan Allah swt sesuai dengan tujuan penciptaan.




Rukun Syukur
Para ulama menyebutkan bahwa rukun syukur ada tiga, yaitu i’tiraaf (mengakui), tahaddust (menyebutkan), dan Taat.
Al-I’tiraaf
Pengakuan bahwa segala nikmat dari Allah adalah suatu prinsip yang sangat penting, karena sikap ini muncul dari ketawadhuan seseorang. Sebaliknya jika seseorang tidak mengakui nikmat itu bersumber dari Allah, maka merekalah orang-orang takabur. Tiada daya dan kekuatan kecuali bersumber dari Allah saja. “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Fathir: 15)
Dalam kehidupan modern sekarang ini, orang-orang sekular menyandarkan segala sesuatunya pada kemampuan dirinya dan mereka sangat menyakini bahwa kemampuannya dapat menyelesaikan segala problem hidup. Mereka sangat bangga terhadap capaian yang telah diraih dari peradaban dunia, seolah-olah itu adalah hasil kehebatan ilmu dan keahlian mereka. Pola pikir ini sama dengan pola pikir para pendahulu mereka seperti Qarun dan sejenisnya. “Sesungguhnya harta kekayaan ini, tidak lain kecuali dari hasil kehebatan ilmuku.” (Al-Qashash: 78)
Dalam konteks manhaj Islam, pola pikir seperti inilah yang menjadi sebab utama masalah dan problematika yang menimpa umat manusia sekarang ini. Kekayaan yang melimpah ruah di belahan dunia Barat hanya dijadikan sarana pemuas syahwat, sementara dunia Islam yang menjadi wilayah jajahannya dibuat miskin, tenderita, dan terbelakang. Sedangkan umat Islam dan pemerintahan di negeri muslim yang mengikuti pola hidup barat kondisi kerusakannya hampir sama dengan dunia Barat tersebut, bahkan mungkin lebih parah lagi.
I’tiraaf adalah suatu bentuk pengakuan yang tulus dari orang-orang beriman bahwa Allah itu ada, berkehendak dan kekuasaannya meliputi langit dan bumi. Semua makhluk Allah tidak ada yang dapat lepas dari iradah (kehendak) dan qudrah (kekuasaan) Allah.
At-Tahadduts
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.” (Ad-Duhaa: 11)
Abi Nadhrah berkata, “Dahulu umat Islam melihat bahwa di antara bentuk syukur nikmat yaitu mengucapkannya.” Rasul saw. bersabda, “Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih pada manusia.” (Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Berkata Al-Hasan bin Ali, “Jika Anda melakukan (mendapatkan) kebaikan, maka ceritakan kepada temanmu.” Berkata Ibnu Ishak, “Sesuatu yang datang padamu dari Allah berupa kenikmatan dan kemuliaan kenabian, maka ceritakan dan dakwahkan kepada manusia.”
Orang beriman minimal mengucapkan hamdalah (alhamdulillah) ketika mendapatkan kenikmatan sebagai refleksi syukur kepada Allah. Demikianlah betapa pentingnya hamdalah, dan Allah mengajari pada hamba-Nya dengan mengulang-ulang ungkapan alhamdulillah dalam Al-Qur’an dalam mengawali ayat-ayat-Nya.
Sedangkan ungkapan minimal yang harus diucapkan orang beriman, ketika mendapatkan kebaikan melalui perantaraan manusia, mengucapkan pujian dan do’a, misalnya, jazaakallah khairan (semoga Allah membalas kebaikanmu). Disebutkan dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Anas r.a., bahwa kaum Muhajirin berkata pada Rasulullah saw., ”Wahai Rasulullah saw., orang Anshar memborong semua pahala.” Rasul saw. bersabda, ”Tidak, selagi kamu mendoakan dan memuji kebaikan mereka.”
Dan ucapan syukur yang paling puncak ketika kita menyampaikan kenikmatan yang paling puncak yaitu Islam, dengan cara mendakwahkan kepada manusia.
At-Tha’ah
Allah menyebutkan bahwa para nabi adalah hamba-hamba Allah yang paling bersyukur dengan melaksanakan puncak ketaatan dan pengorbanan. Dan contoh-contoh tersebut sangat tampak pada lima rasul utama: Nabi Nuh a.s., Nabi Ibrahim a.s., Nabi Musa a.s., Nabi Isa a.s., dan Nabi Muhammad saw. Allah swt. menyebutkan tentang Nuh a.s. “Sesungguhnya dia (Nuh a.s.) adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (Al-Israa: 3)
Dan lihatlah bagaimana Aisyah r.a. menceritakan tentang ketaatan Rasulullah saw. Suatu saat Rasulullah saw. melakukan shalat malam sehingga kakinya terpecah-pecah. Berkata Aisyah r.a., ”Engkau melakukan ini, padahal Allah telah mengampuni dosa yang lalu dan yang akan datang.” Berkata Rasulullah saw., “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?“ (Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan dari Atha, berkata, aku bertanya pada ‘Aisyah, “Ceritakan padaku sesuatu yang paling engkau kagumi yang engkau lihat dari Rasulullah saw.” Aisyah berkata, “Adakah urusannya yang tidak mengagumkan? Pada suatu malam beliau mendatangiku dan berkata, ”Biarkanlah aku menyembah Rabbku.” Maka beliau bangkit berwudhu dan shalat. Beliau menangis sampai airmatanya mengalir di dadanya, kemudian ruku dan menangis, kemudian sujud dan menangis, kemudian mengangkat mukanya dan menangis. Dan beliau tetap dalam kondisi seperti itu sampai Bilal mengumandangkan adzan salta.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah saw., apa yang membuat engkau menangis padahal Allah sudah mengampuni dosa yang lalu dan yang akan datang?” Rasul saw. berkata, “Tidak bolehkah aku menjadi hamba Allah yang bersyukur?” (Ibnul Mundzir, Ibnu Hibban, Ibnu Mardawaih, dan Ibnu ‘Asakir).
Tambahan Nikmat
Refleksi syukur yang dilakukan dengan optimal akan menghasilkan tambahan nikmat dari Allah (ziyadatun ni’mah), dalam bentuk keimanan yang bertambah (ziyadatul iman), ilmu yang bertambah, (ziyadatul ‘ilmi), amal yang bertambah (ziyadatul amal), rezeki yang bertambah (ziyadatur rizki) dan akhirnya mendapatkan puncak dari kenikmatan yaitu dimasukan ke dalam surga dan dibebaskan dari api neraka. Demikianlah janji Allah yang disebutkan dalam surat Ibrahim ayat 7, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”


  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: TASAWUF ABDULLAH BIN ALWI AL HADDAD Description: Rating: 5 Reviewed By: Unknown
Scroll to Top