BAB I
PENDAHULUAN
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa hanya pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Pada periode-periode sesudahnya, pemerintahan dinasti ini mulai menurun, terutama di bidang politik. Dalam periode pertama, sebenarnya banyak tantangan dan gangguan yang dihadapi dinasti Abbasiyah. Beberapa gerakan politik yang merongrong pemerintah dan mengganggu stabilitas pemerintahan muncul dimana-mana, baik gerakan dari intern maupun dari ekstern.
Namun, semuanya dapat diatasi dengan baik. Keberhasilan penguasa Abbasiyah mengatasi gejolak dalam negeri ini makin memantapkan posisi mereka sebagai pemimpin yang tangguh. Hal ini berbeda dengan periode sesudahnya. Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan yang dicapai dinasti Abbasiyah periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah. Kecenderungan bermewah-mewahan, ditambah dengan kelemahan khalifah dan faktor lainnya menyebabkan roda pemerintahan terganggu. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional Turki untuk mengambil kendali pemerintahan. Usaha mereka berhasil, kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka sementara kekuasaan Bani Abbas mulai pudar.
Namun seiring berjalannya waktu, kekuatan tentara Turki pun melemah dengan sendirinya. Dan dari sinilah mulai muncul tokoh-tokoh kuat yang kemudian memerdekakan diri dari kekuasaan pusat dan mereka mendirikan dinasti-dinasti kecil, diantaranya Dinasti Tahiriyah di Khurasan (205 H-259 H / 820 M-872 M), Dinasti Shaffariyah di Fars (254 H-290 H / 868 M-901 M), Dinasti Samaniyah di Transoxiana (201 H-395 H / 819 M-1005 M), Dinasti Ghaznawiyah di Afghanistan, (351-585 H / 962-1189 M), Dinasti Idrisy di Maroko (172 H-375 H / 788 M-985 M), Dinasti Aghlaby di Tunis (184 H-296 H / 800 M-908 M), Dinasti Thuluniyah di Mesir (254 H-292 H / 868 M-967 M), dan Dinasti Ikhsyidiyah di Turkistan (323-358 H / 930-1160 M).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Faktor Penyebab Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil di Baghdad
Munculnya dinasti-dinasti kecil di pusat imperium dan di daerah-daerah sekitarnya merupakan sebab dari keruntuhan rezim Abbasiyah. Khalifah terpecah belah dalam bagian-bagian kecil. Kebanyakan wilayah yang mula-mula ditaklukan itu, hanya dalam namanya saja dan cara menyusun administrasi negaranya tidak menuju kepada stabilitas dan persatuan. [1]
Selain itu, bangkitnya identitas parokhial berupa gerakan Syu’ubiyah, juga merupakan faktor dominan dari proses disintegrasi. Srategi dominatif imperium Abbasiyah dapat berlangsung mulus hanya dalam tiga abad pertama pemerintahannya. Hanya saja menjelang periode akhir imperium Abbassiyah akibat strategi dominatifnya yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada persoalan politik, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Abbasiyah2 dengan berbagai cara diantaranya pemberontakan yang dilakukan oleh pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh kemerdekaan penuh.
Selain itu,hal ini juga bisa terjadi dalam salah satu dari dua cara; pertama, penerapan otonomi di saat bangkitnya identitas parokhial yang didasarkan pada fanatisme etnik berupa gerakan syu’ubiyah (primodialis/anti-Arab). Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan politik. Kedua, pemberian hak istimewa kepada militer oleh penguasa Abbasiyah. Diantaranya dengan pengangkatan militer sebagai gubernur-gubernur daerah tertentu yang membuat mereka benar-benar independen. Dalam catatan W. Montgomery Watt, langkah ini diambil imperium karena faktor semakin melemahnya kekuatan militer yang secara matematik mempengaruhi stabilitas politik status quo imperium Baghdad.3
Oleh karena itu, penguasa imperium yang waktu itu Mu’tashim merasa perlu untuk mempekerjakan orang-orang profesional di bidang kemiliteran khususnya tentara Turki.[4]
Dari hal ini, dapat dilihat bahwa secara kuantitatif strategi dominatif imperium Abbasiyah bisa dikatakan berhasil karena rezim Abbasiyah mampu mempertahankan status quonya. Akan tetapi secara kualitatif tidak demikian, karena pasca kematian al-Mutawakkil orang-orang Turki-lah yang berperan memilih dan mengangkat khalifah.5 Setelah tentara Turki mulai berkurang pengaruhnya, di daerah-daerah muncul tokoh lokal yang kuat kemudian memerdekakan diri dari kekuasaan pusat dengan mendirikan dinasti-dinasti kecil. Inilah masa permulaan disintegrasi dalam sejarah politik Islam.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas sehingga banyak munculnya dinasti-dinasti kecil di Baghdad, adalah :
1) Luasnya wilayah kekuasaan daulat Abbasiyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah
2) Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi
3) Penguasa Bani Abbas lebih menitikberatkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi
Selanjutnya, dinasti- dinasti kecil yang muncul di Baghdad ini dapat dibedakan menjadi dua bagian, yakni dinasti kecil di timur Baghdad dan dinasti kecil di barat Baghdad.
1. Dinasti kecil di timur Baghdad
a. Dinasti Thahiriyah di Khurasan (205-259 H / 820-872 M)
Dinasti Thahiriyah dibangun oleh Tahir bin Al-Husain, panglima tentara
berkebangsaan Persia yang ditunjuk oleh khalifah Al-Ma’mun pada tahun194 H / 810 M untuk memerangi saudaranya Al-Amin.
Kemudian ia ditunjuk sebagai gubernur Persia dan diberi sebuah daerah kekuasaan di Khurasan. Thahiriyah adalah penganut ortodiksi Sunni yang menjadi madzhab mayoritas sehingga ia mendapatkan dukungan dari para juragan tanah dan militer Iran dan Arab, di samping itu juga para budayawan dan cendikiawan setempat. Dukungan inilah yang menjadikan kekuasaan Thahiriyah makin mantap. Namun kekuasaan Thahiriyah pada akhirnya runtuh dan digantikan oleh dinasti Shaffariyah.
b. Dinasti Shaffariyah di Fars (254-290 H / 868-901 M)
Dinasti ini didirikan oleh Ya’qub Ibn Layts. Ya’qub semula adalah keturunan khawarij yang melarikan diri dari kejaran gubernur-gubernur Umayyah dan akhirnya menetap di Sistan. Dia bersama saudaranya Amr membentuk balatentara sendiri untuk menaklukan negara-negara di sekelilingnya. Tentaranya dibentuk untuk mempertahankan ortodoksi Sunni di Sistan, meskipun ada juga diantaranya dari kalangan khawarij.[6]
Dinasti shaffariyah ini hanya berusia pendek. Pada tahun 900 M, Amr mencoba memperluas ekspansi ke Transoxiana, namun ia dikalahkan oleh Ismail Ibn Ahmad dari dinasti Samaniyah. Hampir seluruh daerah taklukannya lepas kembali kecuali Sistan yang masih berada di tangannya.
c. Dinasti Samaniyah di Transoxiana (201-395 H / 819-1005 M)
Pendiri dinasti ini adalah Saman Khuda, seorang tuan tanah di daerah Balkh yang baru masuk islam. Keturunannya memiliki peranan besar dalam pemerintahan Al-Ma’mun. Tahun 875 M, Nasir Ibn Ahmad menjadi gubernur di Transoxiana dan bekerja keras untuk mempertahankan wilayah subur itu dari serangan suku-suku Turki yang berdiam di stepa-stepa. Nasir Ibn Ahmad mempunyai anak yang bernama Ismail yang pada tahun 287 H memperoleh
anugerah “tanda terima kasih” dari imperium Abbasiyah karena berhasil mengalahkan dan menangkap Amr bin Layts dari shaffariyah.
Pada pertengahan abad X, terlihat ketidakstabilan Dinasti Samaniyah yang ditandai dengan kudeta militer dari tuan tanah terhadap kekuasaan sentralisasi administratif yang diterapkan Samaniyah. Selain itu, banyak pula pemberontakan-pemberontakan di Khurasan. Puncaknya, Ghaznawiyah merebut kekuasaan Samaniyah hingga mengakibatkan terbunuhnya Ismail Al-Muntashir pada 395 H / 1005 M.
d. Dinasti Ghaznawiyah di Afghanistan, (351-585 H / 962-1189 M)
Pendiri dinasti ini adalah Subuktigin yang berasal dari Turki yang menjadi panglima dan gubernur Bani Saman. Dinasti ini berpusat di Gazna dan berkuasa di wilayah Afghanistan dan India Utara. Raja yang paling termuka dari dinasti ini adalah putera Subuktigin yang bernama Mahmud. Dialah orang yang pertama dalam Islam yang dijuluki sulthan. Kebangkitan Dinasti Ghaznawiyah mempresentasikan kemenangan pertama orang Turki dalam perjuangannya melawan kelompok Iran untuk mencapai kekuasaan tertinggi dalam Islam.[7]
Namun, karena Ghaznawiyah tidak ditopang kuat oleh kekuasaan bersenjata, maka lambat laun, dinasti ini pun mengalami kehancuran. Pada tahun 1186, Dinasti Ghuriyah memberontak dan berhasil menghancurkan Dinasti Ghaznawiyah.
2. Dinasti kecil di barat Baghdad
a. Dinasti Idrisy di Maroko (172-375 H / 788-985 M)
Dinasti ini merupakan dinasti Syiah pertama dalam sejarah yang didirikan oleh Idris ibn Abdullah. Ia melarikan diri ke Maroko karena selalu dikejar oleh para penguasa dan orang-orang Abbasiyah. Kemudian ia dibaiat sebagai pemimpin dan imam oleh bangsa Barbar. Keberadaan dinasti ini dipandang oleh khalifah Harun Al-Rasyid sebagai bahaya yang setiap saat akan mengancam kedudukan dinasti Abbasiyah. Oleh karena itu, Harun Al-Rasyid mengutus
Sulaiman ibn Jarir untuk menyusup sebagai mata-mata. Sulaiman berhasil meracuni Idris hingga tewas. Setelah Idris meninggal, kedudukannya digantikan oleh anak-anaknya. Dan pada masa Yahya IV, Dinasti Idrisiyah mencapai kejayaannya. Namun pada masa inilah, kota Fez dikepung oleh Dinasti Fatimiyah sehingga pada tahum 985 H, berakhirlah dinasti ini.
b. Dinasti Aglaby di Tunis (184-296 H / 800-909 M)
Dinasti ini didirikan oleh Ibrahim ibn Aghlab atas prakarsa khalifah Harun Al-Rasyid. Prakarsa ini dimaksudkan agar Ibrahim mempunyai kekuatan untuk menghalau segala ancaman yang datang dari musuh-musuh Bani Abbas dari wilayah Tunis.[8]
Ibrahim berhasil memadamkan pemberontakan-pemberontakan yang terjadi dimana-mana. Setelah Ibrahim meninggal, kekuasaan dinasti Aglaby dipegang oleh Abdullah I , kemudian dilanjutkan oleh Ziadatullah I. Pada tahun 296 H, Dinasti Fatimiah berhasil menguasai dinasti Aglaby. Dengan demikian, pada tahun ini, dinasti Aglaby berakhir dan digantikan oleh dinasti Fatimiah.
c. Dinasti Thuluniyah di Mesir (254-292 H / 837-903 M)
Dinasti Thuluniyah adalah manifestasi paling awal dari kristalisasi politik elemen Turki yang tak terkendali dan muncul tiba-tiba di jantung kekhalifaan. Dinasti ini didirikan oleh Ahmad ibn Thulun. Ia merupakan orang kepercayaan khalifah al-Mu’tashim. Jabatan Amir yang dipegang oleh Ahmad ibn Thulun merupakan pemberian dari ayah tirinya yang ketika itu menerima hadiah dari khalifah untuk menjadi Amir di Mesir. Saat itulah pemerintahan Dinasti Thuluniyah dimulai. Kedudukannya semakin mantap, tepatnya ketika Yarzukh meninggal dan sejak itu Ibnu Thulun menjadi Amir yang diangkat langsung oleh khalifah.9 Setelah Ibnu Thulun meninggal, maka terjadi perebutan kekuasaan dalam keluarganya, di samping intervensi militer yang membuat semakin keruh suasana, sehingga pada tahun 292 H, dinasti ini berakhir.
d. Dinasti Ikhsyidiyah di Mesir (323-358 H / 930-1160 M)
Pendiri dinasti ini adalah Abu Bakar ibn Muhammad ibn Thagi yang berasal dari keturunan Turki. Abu Bakar memakai gelar Ikhsyidi (raja), sehingga pemerintahannya disebut Dinasti Ikhsyidiyah. Saat pemerintahannya, Mesir menjadi sangat maju.. Setelah Ikhsyidi meninggal, kendali pemerintahan dipegang oleh Abu Al- Misk Kafur , seorang budak Ikhsyidi. Kafur mampu mengatur pemerintahannya dengan baik. Setelah Kafur meninggal, pemerintahan Dinasti Ikhsyidiyah langsung melemah. Representasi terakhir dari dinasti ini adalah seorang anak laki-laki berusia 11 tahun, Abu Al-Fawaris Ahmad yang pada tahun 969 H, kehilangan kekuasaan atas negerinya dan menyerah kepada Jenderal tenar dari Dinasti Fatimiyah, Jauhar As-Sagly.
B. Hubungan Dinasti Kecil dengan Pemerintahan Baghdad
Setelah muncul beberapa dinasti di wilayah timur dan barat Baghdad, maka pemerintahan Daulah Abbasiyah menjadi semakin lemah. Khalifah yang semula menjadi penguasa seluruh dunia Islam menyaksikan bahwa kekuasaannya itu hanya terbatas di ibukota Baghdad. Bahkan kadang-kadang di ibukota itu sendiri, khalifah hanya menjadi symbol legitimasi bagi kekuasaan para Amir. Hubungan dinasti kecil dengan pemerintahan pusat hanya ditandai dengan pengakuan nominal dengan cara pembayaran pajak.[10]
Bahkan Negara bagian timur Baghdad, para gubernur Thahiriyah, diikuti oleh dinasti-dinasti Iran setempat, seperti Samaniyah dan Shaffariyah yang semestinya membayar pajak kepada Baghdad namun kenyataannya ketika mereka tidak membayar, tidak dikenakan sanksi apapun. Alasannya mungkin para Khalifah tidak cukup kuat untuk membuat negara imperialis tunduk kepadanya.
C. Perkembangan dan Kemajuan Peradaban pada Masa Dinsti-Dinasti Kecil
a. Pada Masa Dinasti Thahiriyah :
Kemajuan yang pernah dicapai oleh dinasti ini yaitu kemajuan dalam ilmu pengetahuan, di samping kesejahteraan rakyat
Selain itu dinasti ini pun melakukan penaklukan ke wilayah Caspia dan Sistan.
b. Pada Masa Dinasti Shaffariyah
Dinasti ini berhasil melakukan ekspansi ke wilayah Afghanistan sampai Kabul, Persia, Asbahan, Ahwaz, Jandasabur, Sind, Karman, Bust, Rukhaj dan menjadikan Sistan sebagai basis politik di belahan timur dunia Islam.[11]
c. Pada Masa Dinasti Samaniyah
Pada masa dinasti ini, wilayah Asia Tengah, Abhar, Qazwin, Rayy, Sajistan berhasil dikuasai, kemudian dinasti ini juga berhasil menjadikan Istana mereka di Bukhara sebagai pusat budaya.12 Selain itu, mereka juga memperluas wilayah kekuasaannya ke India dan berhasil meruntuhkan pemerintahan Zaidiyah di Thabaristan.
d. Pada Masa Dinasti Ghaznawiyah
Dinasti Ghaznawiyah berhasil melakukan perluasan wilayah ke India Utara, Irak-Persia, seluruh daerah Khurasan, Tarakistan yang berpusat di Balkh, dan Zabulistan. Pada masa Sultan Mahmud, dia berhasil membangun bangunan-bangunan yang megah, mendirikan dan mendanai sebuah akademi besar serta menjadikan istananya yang luas sebagai tempat peristirahatan bagi para penyair dan ilmuwan. Kemudian, pada masa dinasti ini, banyak pula muncul para sastrawan dan ilmuwan, seperti al-Biruni, Firdawsi dan al-‘Utbi.
e. Pada Masa Dinasti Idrisy
Dinasti ini berhasil menjadikan kota Fez sebagai kota yang makmur dengan kegiatan perdagangannya yang maju dan di kota Fez tersebut berhasil dibangun gedung-gedung yang indah. Selain itu, dinasti ini juga telah menyumbangkan andil bagi Islam, terbukti dengan kedatangan mereka, penduduk Barbar menjadi tentram dan teratur.13
f. Pada Masa Dinasti Aghlaby
1) Membangun armada untuk menahan serangan Byzantium
2) Berhasil menduduki pulau Sycilia dan Malta yang semula dikuasai Italia
3) Berhasil membangun sebuah peradaban berupa masjid di Kairuwan. Dan berkat masjid ini, Kairuwan, di mata kalangan muslim Barat, menjadi kota suci keempat, setelah Mekkah, Madinah dan Yerussalem[8]
4) Mampu mendominasi bahasa Asing (latin) menjadi bahasa Arab
g. Pada Masa Dinasti Thuluniyah
1) Berhasil menjadikan Mesir sebagai pusat kebudayaan dan kesenian Islam
2) Mendirikan rumah sakit besar di Fustat dan masjid Ibnu Thulun serta sebuah istana Khumarawaih yang sangat mewah dan megah
3) Membentuk Dewan Intelejen dan Dewan Hajib yang membidangi hubungan antara khalifah dengan pejabat tinggi
4) Memperbaiki system ekonomi dengan menurunkan harga-harga bahan pokok yang semua mahal, menumpas para rentenir yang menzhalimi rakyat, mengeluarkan mata uang “Dinar Tuniyah”, dan memperbaiki manajemen irigasi
5 ) Berhasil menguasai wilayah Syam dan perbatasan Suriah
h. Pada Masa Dinasti Ikhsyidiyah
1) Membentuk angkatan perang dan membentuk adminstrasi negara dengan cara membangun beberapa departemen seperti Wali, Wazir, dan Katib, berhasil menguasai wlayah Syam, Hijaz, Suriah, Aleppo dan Tarsus
Berhasil memajukan perdagangan dan pada masa dinasti ini, muncul sastrawan-sastrawan dan penyair ternama, diantaranya Abu Thayyib al-Mutanabbi 15
BAB III
KESIMPULAN
Timbulnya dinasti- dinasti kecil di Timur dan Barat Baghdad dikarenakan beberapa faktor, diantaranya yaitu karena Luasnya wilayah kekuasaan daulat Abbasiyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah, sehingga hal ini menyebabkan khalifah terpecah belah menjadi bagian-bagian kecil.
Namun munculnya dinasti-dinasti kecil tersebut juga turut memberikan andil dalam perkembangan dan kemajuan Islam. Beberapa wilayah di Italia dan Prancis berhasil ditaklukan. Kebudayaan dan kesenian juga mengalami perkembangan pada masa dinasti-dinasti kecil. Hal ini terbukti dengan munculnya beberapa sastrawan dan penyair ternama seperti al-Mutanabbi.
DAFTAR PUSTAKA
Murody, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Toha Putera, 1997).
Al-Usairy, Ahmad, Sejarah Islam, (Jakarta: Akbar Eka Sarana, 2007).
Chair, Abdul, dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1998).
Fadlali, Ahmad, dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka Asatruss, 2004).
Osman, Latif, Ringkasan Sejarah Islam, (Jakarta, Widjaya, 1979).
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2003).
K.Hitty, Philip, History of Arab, (New York: PT Serambi Ilmu Semesta, 2002).
[1] Philip K. Hitty, The Arabics A Short History, (New York: Dryden Press, 1982), hal. 115.
2 Lih Doyle Paul Johnson, Sociologocal Theory: Clacical Founders and Contemperary Prepectives, (tt: John Willey and Sons. Inc, 1981), hal. 10.
3 W. Montgomery Watt, Islamic Political Though, (Edenburg: Edenburg University Press, 1960), hal. 150.
[4] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islami, (Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Misyiria, 1964), hal. 350.
5 Ahmad Fadlali dkk., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka Asatruss, 2004), hal.77.
[6] CE Boswort, The Islamic, hal. 126.
[7] Hitty, op. cit., hal. 590.
[8] Murody, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Toha Putera, 1997), hal. 69.
9 Ibnu al-Atsir, al-Kawil, jilid VI, hal.66.
[10] William Muis, The Caliphat, (New York AMS Inc, 1975), hal. 434.
[11] Abdul Chair dkk., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoevo, 1998), hal. 114.
12 Ahmad Fadlali dkk., op cit., hal. 81.
13 Ibid., hal. 84.
[8] Latif Osman, Ringkasan Sejarah Islam, (Jakarta: Widjaya, 1979), hal. 72.
15 Ahmad al- Usairy, Sejarah Islam, (Jakarta: Akbar Eka Sarana, 2007), hal. 274.
0 komentar:
Posting Komentar