Mayoritas penuduk Asia Tenggara merupakan kaum muslim, khususnya di Indonesia, Malaysia, dan Brunei, yang secara geografis jauh dari Timur Tengah, tempat awal perkembangan Islam sendiri. Proses konversi massal penduduk Dunia Melayu-Indonesia ke dalam Islam pada umumnya berlangsung secara damai. Kehadian kekuasaan kolonialisme yang disertai misionaris di Nusantara gagal melakukan konversi massal ke dalam agama Kristen, kecuali di Filipina. Sebaliknya karena perkembangan politik dan perubahan demografis, kaum muslimin kemudian menjadi minorits di beberapa Negara, seperti di Thailand, Singaura, Filipina, Kampuchea, dan Vietnam.
Islam di Asia Tenggara memiliki sejarah yang cukup panjang. Beberapa Negara utama di kawasan ini, seperti Malaysia, Indonesia, dan Brunei Darussalam adalah Negara-negara dengan mayoritas penduduk muslim. Bahkan, menurut berbagai sumber, jumlah penduduk muslim di Asia Tenggara melebihi jumlah pendudukmuslim di kawasan Timur Tengah, yang kera kali disebut sebagai wilayah jantung agama islam itu sendiri. Tidak heran, seperti dikemukakan Thomas Michel (sarjana dan pengamat dari Vatikan, Roma), Asia Tenggara merupakn wilayah onsentrasi masyarakat Islam terbesar di dunia.
Penduduk musim di Malaysia, Indonesia, dan Brunei Darussalam telahmunculsebagai mayoritas, penduduk yang beragama islam lainnya masih ditemukan menjadiinoritas di Singapura, Thailand, Filipina, Kamuchea, dan Vietnam. Minoritas muslim di Asia Tenggara juga tampak beragam, meskipun terdapat setidaknya dua hal yang bias membantu menjelaskan masyarakat islam minoritas itu.
Pertama, mereka yang terbentuk akibat migrasi ke negeri dan kawasan yang telah memiliki pemerinthandan siste nasional yang kokoh. Termasuk dalam kelompok minoritas ini adalah para pedagang muslim ini adalah para pedagang muslim, yang kebanyakan brasal dari anak benua India, Myanmar, Arab, Yunnan, Vietnam, Kampuche, Laos, dan Thailand Utara.
Kedua, masyarakat muslim penghuni asal yang mendapati diri mereka menjadi minoritas karena perubahan dan perkembangan geografis dan politik. Kasus paling nyata dalam hal ini terjadi pada masyarakat islam Singapura pada abad ke – 19 dan kaum muslim Pattani di Thailand pada prempat abad ke – 18.
Pertemuan antara islam dan kelompok lain di daerah-daerah non-islam juga mengindikasikan banyak perkembangan yang menarik, terkadang kompleks, dan tidak pernah seragam. Konflik yang terjadi pada kelompk islam Filipina, misalnya lebih menunjukan sikap politik Islam yang senantiasa dibayangi sikap tidak percaya dan antikolonialisme mengingat pergulatan politik mereka yang sangat panjang dengan phak kolonial Spanyol. Mesipun sikap itu terkadang melunak, namun potensi konflik antara kelompok islam dan pemerintah yang berkuasa senantiasa ada. Akibatnya, hubungan yang terjalin antara yang tejalin antara keduanya lebih erring menunjukan sikap kompromi politik yang pragmatis dn masih memperlihatkan adanya berbagai kendaa, baik politik, psikologis, maupun cultural. Karena itu, semangat untuk memisahkan atau memerdekakan diri tidak mudah hilang.
Sementara itu, masyarakat muslim Singapura cenderung menunjukn sikap politik yang lebih kooperatif -meskipun bukan sama sekali tanpa kendala- menyusul berbagai perkembangansosial dan ekonomi yang cukup melegakan di salah satu pusat ekonomi Asia itu. Proses integrasi masyarakat islam ke dalam konteks bernegara di Singapura setidaknya kelihatan lebih udah dan halus.
Di tengah berbagai kendala dan permasalahan pelik tersebut, perkembangan minoritas islam di kawasan Asia Tenggara memberikan harapan dan tantangan baru bagi munculnya corak dan ragam islam yang lebih mudah menerima konsekuensi pluralisme agama dan budaya, serta mampu menunjukan daya saingnya ditengah-tengah kecenderungankompetisi glbal di hamper segala bidang. Hal itu setidaknya, berangkat dari pengalaman mereka sendiri yang berdiri sebagai saah satu bagian kecil dari sebuah wadah masyarakat non-isam yang lebih besar.
MINORITAS ISLAM DI SINGAPURA
Sistem politik dan pemerintahan pada zaman kekuasaan Inggis di bawah kepemimpinan Raffles sejak 1819 disebuah pulau kecil, yang sebelum kedatangan kolonialisme biasa disebut Pulau Temasik, di ujung selatan Semenanjug Malaka, membawa pengaruh sangat besar bagi masa depan kaum muslim di kawasan ini. PemerintahInggris yang melakukan berbagai upaya modernisasi, bersamaan dengan grasi besar-besaran tenaga kerja berkebangsaan Cina dan etnis lain, khususnya India, membuat koloni Inggris yang akhirnya bernama Singapura menjadi daerah baru yang heterogen secara etnis.
Perubahan demgrafi yang mendadak tersebut sangat berpengaruh padalemahnya daya saing dan semangat masyarakat muslim. Sejak awal tersebar citra, yang ditengarai sengaja diciptakan PIT, bahwa pekerja Melayu yang nota bene muslim tidak memadai masuk bursa kerja, karena mereka dianggap malas, tidak disipin,dan tidak patuh. Karena citra itu diciptakan oleh pemilik modal maka kelompok Melayu secara psikologis terpengaruh dan kemudian terbiasa dengan citra tersebut.
Melihat situasi yang demikian, lambat laut pemerintah Singapura melakukan berbagai pendekatan dalam masalah keagamaan, social, dan ekonomi terhadap kelompok etis Melayu. Tujuannya adalah untuk mempermudah upaya integrasi masyarakat musli ke dalam Negara dan masyarakat Singapura, yang saat itu telah tampil sebagai salah satu Negara terpenting di bidang ekonomi dan perdagangan di Wilayah Asia Tenggara.
PERKEMBANGAN SOSIAL DAN EKONOMI
Ketertinggalan masyarakat muslim Melayu berakar pada latar belakang sejarah dan social Singapura. Pemberlakuan system etnik oleh penguasa Inggris telah menciptakan minoritas Melayu yang terpinggirkan. Dalam bidang pendidikan, misalnya, kesempatan bagi mereka sangat sedikit. Dengn tingkat keahlian dan pendidikan yang tidak memadai dibandingkan dengan masyarakat non-Melayu, mereka harus eneria pekerjaan kelas rendah, atau tetap menekuni ekonmi tradisional. Kelemahan pada bidang ekonomi seperti ini, pada gilirannya,membawa akibat kepadamelemahnya sumber daya dan pendidikan mereka.
Menurut catatan sensus pada tahun 1988, penuduk Singapura berjumlah 2.647.100 jiwa, dengan mayoritas penduduk dari etnis Cina yang mencapai 76%. Bangsa Melayu di Singapura mencapai 15,1% dan etnis India sekitas 6,5%.
Menjelang 1970, lima tahun setelah federasi Malaysia, ketertinggalan masyarakat Melayusangat mencolok, khususnya di bidang pendidikan, pekerjaan, dan eknomi. Data statistic kependidikan masyarakat Melayu pada 1970 meunjukan sebanyak 16,9% tidak pernah bersekolah, 45% tamat SD, 36,4% tamat SLTP, 1% lulus SLTA, dan hanya 0,2% mengenyam perguruan tinggi. Dan banyak data-data statistic yang menunjukan kemerosotan Melayu muslim di Singapura.
Masyarakat muslim Singapura menydari bahwa mereka harus pragmatis menghadapi kenyataan. Dukungan pemerintah lewat saluran resmi memungkinkan masyarakat muslim menata kembali dan membangun berbagai sarana kemasyarakatan dan keagamaan. Selama dasawarsa 1970-an, tidak kurang dari enam masjid baru dibangun di berbagai kompleks perumahan baru. Sebagai jawaban terhadap minimnya pencapaian pendidikan pelajar muslim, pada 1981 pemerintah membantu pendirian sebuah badan pendidikan islam, yakni Majelis Pendidikan Anak-anak Islam. Dalam dasawarsa 1980-an, semakin banyak organisasi an lembaga keislaman didirikan. Hal ini sedikit banyak membantu mengatasi problem social kemasyarakatan, dan mempromosikan perbaikan kondisi social dan ekonomi mereka.
KEGIATAN SOSIAL KEAGAMAAN DANLEMBAGA KEISLAMAN
Umat Islam Singapura memiliki hak mengatur masalah pendidikan dan sekolah agama Islam. Karena pada masa itu belum ada jabatan mufti Negara seperti pada zaman Singapura modern, maka yang megeluarkan fatwa adalah kadi besar Singapura. Terkadang, umat Islam Singapura juga mendapatkan fatwa dari mufti Negara Johor Malaysia.
Meenyusul semakin banyaknya permasalahan yang dihadapi masyarakat pada tahun 1940-an dan 1950-an, seperti pertikaian keluarga akibat percerian, maka ditetapkanlah undang-undang yang terkenal sebagai Muslims Ordinance 1957. Dengan undang-undang ini, dibentuk beberapa lembaga lain seperti Mahkamah Syariah dan Pejabat Pernikahan Orang Islam. Kedua lembaga ini berfungsi mengurusi pelaksanaan undang-undang keluarga, termasuk didalamnya pembagian harta pusaka.
Pada masa penyatuan Malaysia dan Singapura pada 1963, dibentuk pula Majeis Ugama Islam yang dirancang guna memberikan nasehat kepada Yang Di Pertuan Agung Persekutuan Malaysia, yang disepakati juga sebagai ketua agama islam di Singapura. Lembaga ini tidak bisa lagi dipertahankan menyusul keluarnya Singapura dari Malaysia pada 9 Agustus 1956. Kemerdekaan dan pengunduran diri Singapura dari Malaysia itu menghasilkan pembentukan beberapa lembaga keislaman. Diantaranya adalah MUIS (Majelis Ugama Islam Singapura), AMP (Association of Muslim Professionals), lembaga lain yang perlu dicatat adalah The Muslims Converts Association of Singapure (Asosiasi Mualaf Singapura).
MINORITAS ISLAM DI THAILAND
Berbicara perjuangan Islam di Asia Tenggara, tentu tidak akan melepaskan Muslim Pattani, Thailand. Pattani bisa dikatakan bernasib seperti Palestina di Timur Tengah. Dan jika Palestina dijajah oleh Israel, maka Muslim Pattani ditindas oleh Thailand. Pattani merupakan salah satu provinsi (changwat) di selatan Thailand. Provinsi-provinsi yang bertetangga (dari arah selatan tenggara searah jarum jam) adalah Narathiwat (Menara), Yala (Jala) dan Songkhla (Senggora).
Masyarakat Melayu setempat menyebut provinsi mereka, Patani Darussalam atau Patani Raya. Pattani terletak di Semenanjung Melayu dengan pantai Teluk Thailand di sebelah utara. Di bagian selatan terdapat gunung-gunung dan atraksi turisme seperti taman negara Budo-Sungai Padi yang yang berada di perbatasan provinsi Yala(Jala) dan Narathiwat(Menara). Di sini juga terdapat beberapa tumbuhan yang agak unik seperti palma Bangsoon dan rotan Takathong. Di kawasan perbatasan dengan Songkhla dan Yala pula terdapat sebuah taman rimba yang terkenal dengan gunung terjunnya, Namtok Sai Khao.
SEJARAH AWAL ISLAM DI PATTANI
Pada awalnya, Pattani merupakan sebuah kerajaan Melayu Islam yang berdaulat, mempunyai kesultanan dan perlembagaan yang tersendiri. Patani adalah sebagian dari 'Tanah Melayu'. Namun pada pertengahan abad ke-19 Patani telah menjadi korban penaklukan Kerajaan Siam. Pada tahun 1826, penaklukan Siam terhadap Patani mendapat pengakuan Britania Raya. Dalam usahanya untuk mengokohkan kedudukannya di Pattani, pada tahun 1902 Kerajaan Siam melaksanakan undang-Undang Thesaphiban.
Dengan itu, sistem pemerintahan kesultanan Melayu telah dihapuskan. Dengan ditandatanganinya Perjanjian Bangkok pada tahun 1909, Pattani telah diakui oleh Britania sebagai bagian dari jajahan Siam walaupun tanpa mempertimbangkan keinginan penduduk asli Melayu Patani.
Sejak penghapusan pemerintahan Kesultanan Melayu Pattani, masyarakat Melayu-Pattani berada dalam posisi tertekan dan lemah . Seperti yang diungkap oleh W.A.R. Wood, Konsul Britania di Songkhla, penduduk Melayu telah menjadi mangsa sebuah pemerintahan yang tidak diperintah dengan baik. Justru akibat pemaksaan inilah kekacauan sering terjadi di Pattani. Pada tahun 1923, Tengku Abdul Kadir Kamaruddin, mantan Raja Melayu Patani, dengan dukungan pejuang-pejuang Turki, memimpin gerakan pembebasan. Semangat anti-Siam menjadi lebih hebat saat Kerajaan Pibul Songgram (1939-44) mencoba mengasimilasikan kaum minoritas Melayu ke dalam masyarakat Siam melalui Undang-Undang Rathaniyom.
Keterlibatan Siam dalam Perang Dunia Kedua di pihak Jepang telah memberikan harapan kepada orang-orang Melayu Pattani untuk membebaskan tanah air mereka dari penjajahan Siam. Tengku Mahmood Mahyideen, putra mantan Raja Melayu Patani juga seorang pegawai berpangkat Mayor dalam pasukan Force 136, telah mengajukan proposal kepada pihak berkuasa Britania di India supaya mengambil alih Pattani dan wilayah sekitarnya serta digabungkan dengan Tanah Melayu.
Proposal Tengku Mahmud itu selaras dengan proposal Pejabat Tanah Jajahan Britania dalam mengkaji kedudukan tanah ismus Kra dari sudut kepentingan keamanan Tanah Melayu setelah perang nanti.
Harapan itu semakin terbuka saat pihak sekutu, dalam Perjanjian San Francisco pada bulan April 1945, menerima prinsip hak menentukan nasib sendiri (self-determination) sebagai usaha membebaskan tanah jajahan dari belenggu penjajahan.
Atas semangat itu, pada 1 November 1945, sekumpulan pemimpin Melayu Patani dipimpin oleh Tengku Abdul Jalal, bekas wakil rakyat wilayah Narathiwat, telah mengemukakan petisi kepada Kerajaan Britania dengan tujuan membujuk agar empat wilayah di Selatan Siam dibebaskan dari kekuasaan Pemerintahan Siam dan digabungkan dengan Semenanjung Tanah Melayu. Namun sudut pandang Britania terhadap Siam berubah saat Peperangan Pasifik selesai. Keselamatan tanah jajahan dan kepentingan British di Asia Tenggara menjadi pertimbangan utama kerajaan Britania dalam perbincangannya dengan Siam maupun Pattani.
Kerajaan Britania memerlukan kerjasama Siam untuk mendapatkan stok beras untuk keperluan tanah jajahannya. Tidak kurang pentingnya, kerajaan Britania terpaksa menyesuaikan perundangannya terhadap Siam dengan tuntutan Amerika Serikat yang ingin menetapkan wilayah Siam seperti pada tahun 1941.
Kebangkitan Komunis di Asia Tenggara, khususnya di Tanah Melayu pada tahun 1948, menjadi faktor pertimbangan Britania dalam menentukan keputusannya. Kerajaan Britania menganggap Siam sebagai negara benteng terhadap ancaman Komunis China. Karena itu Kerajaan Britania ingin memastikan Siam terus stabil dan memihak kepada Barat dalam persaingan dengan Negara-Negara Komunis. Kerajaan Britania memerlukan kerjasama kerajaan Siam untuk menghapuskan kegiatan teror Komunis di perbatasan Tanah Melayu-Siam.
Kebetulan kerajaan Siam telah memberi jaminan untuk memperkenalkan reformasi di Pattani untuk mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat Melayu. Oleh kerana itu, isu Pattani yang awalnya dianggap kurang penting malah kembali dibangkitkan akan memperkuat hubungan dengan Siam.
Setelah Persidangan Songkla pada awal Januari 1949, pihak berkuasa Britania di Tanah Melayu atas tuntutan pihak Siam mulai mengambil tindakan terhadap pemimpin-pemimpin pejuangan Pattani. GEMPAR juga telah dilarang. Tengku Mahmood Mahyideen ditekan, sementara Haji Sulung dihukum penjara. Pergerakan politik Pattani semakin lemah dengan kematian Tengku Mahmood Mahyideen dan Haji Sulung pada tahun 1954.
PERAN ULAMA DALAM PERJUANGAN MUSLIM PATTANI
Terjadi banyak sekali pergerakan dan perlawanan untuk membebaskan Pattani dari cengkeram Thailand. Maka tidak heran jika hal ini selalu memunculkan berbagai kelompok pergerakan yang umumnya dimotori oleh ulama Patani. Dalam sejarah perjuangannya, sertidaknya ada tiga golongan ulama.
Ulama yang pertama adalah mereka yang terjun langsung mengangkat senjata. Di siang hari, mereka berprofesi sebagai pendidik, pengacara, pebisnis atau profesi lainnya. Namun pada malam hari mereka menenteng senjata dan terjun langsung ke medan pertempuran. Ciri-ciri gerakan ini adalah, mereka menitikberatkan pada ajaran-ajaran (ayat-ayat) yang mengandung Jihad. Mereka juga menolak pembangunan atau rencana pembangunan dari pemerintah Thailand. Kelompok ulama ini menjunjung tinggi pejuang-pejuang revolusi dunia, salah satu contohnya adalah Presiden pertama RI, Ir. Soekarno.
Ulama yang kedua adalah mereka yang pro terhadap pemerintah Thailand. Hal ini dilandasi prinsip bahwa mereka tidak merasa ditindas oleh kerajaan Siam. Memang, Thailand menganut sistem bebas menganut agama apapun, ini terbukti dengan berbagai ritual peribadatan juga dibolehkan di sana. Kelompok ulama ini memilih bekerja sama dengan Thailand, bahkan tidak jarang menjadi kaki tangan kerajaan Siam ketika ada rencana pembangunan di Provinsi Pattani. Mereka berpendirian bahwa Islam menjunjung tinggi perdamaian, sehingga menghindari konflik dengan pemerintah. Mirip seperti di Indonesia.
Kemudian tipe ulama yang ketiga adalah mereka yang berada di antara dua kelompok ulama lainnya. Mereka akan bereaksi menentang pemerintah Thailand jika terjadi pembantaian terhadap muslim. Namun mereka akan diam jika merasa tidak terjadi apa-apa. Saat ini fakta bahwa tidak ada seorangpun yang secara terang-terangan mengaku menjadi pejuang, perjuangan dilakukan secara sembunyi-sembunyi (underground).
KEJATUHAN PATTANI
Pada 26 Oktober 2004, 78 orang tewas akibat sesak nafas setelah kesemuanya dimasukkan di dalam truk polisi akibat ditangkap di atas tuduhan rusuhan di daerah tersebut dan sekelilingnya. Hingga awal tahun 2006, sedikitnya 1.000 orang telah tewas akibat kekacauan yang terjadi di Thailand bagian selatan sejak Januari 2004.
Penderitaan yang dialami oleh warga Muslim di Thailand Selatan sebenarnya telah berlangsung selama bertahun-tahun. Warga minoritas Muslim tidak bisa hidup tenang karena berada di bawah bayang-bayang kecemasan dan drama kehidupan yang mencekam.
Selama ini sudah terjadi banyak pertumpahan darah di bumi Patani. Pembantaian Muslim Pattani hampir sama persis seperti yang terjadi di negara-negara Muslim terjajah lainnya. Misalnya saja, para Muslim Pattani dibunuh ketika sedang shalat di masjid. Selama ini tragedi berdarah di Pattani hampir jarang terdengar, ini karena pemerintah Thailand memang membatasi dan menguasai semua arus informasi tentang Pattani. Misalnya saja, orang banyak yang menganggap bahwa konflik Pattani hanya sebuah masalah internal Thailand.
Di Pattani, kerukunan antar-agama jarang terlihat. Dulu, muslim Patani sering memberikan makanan kepada para Biksu. Namun kini hal itu tidak terjadi. Itu karena perlakuan buruk yang sering diterima oleh Muslim Pattani.
Perlakuan pemerintah Thailand terhadap Muslim Pattani memang buruk. Mereka diharamkan untuk menyimpan buku-buku sejarah Pattani. Kesadaran historis mereka dilenyapkan oleh tangan besi pemerintah dan militer Thailand yang sangat khawatir kalau warga Muslim ini sadar bahwa mereka adalah orang-orang Melayu, dan bukan orang Thailand. Mereka dilarang keras berbicara dalam bahasa Melayu. Semua hal harus di-Thailandkan: bahasa sehari-hari, bahasa pengantar di sekolah-sekolah, dan nama-nama mereka. Tidak boleh memakai bahasa Melayu. Semuanya harus menggunakan bahasa Siam (Buddha), bahasa Kerajaan Thailand. Selain masalah bahasa dan sejarah, mereka juga dikondisikan dalam keadaan selalu mencekam. Di setiap sudut jalan, selalu ada tentara berseragam militer lengkap dengan senjata otomatisnya.
MINORITAS ISLAM DI FILIPINA
Filipina adalah negri kepulauan yang terdiri dari 7.109 pulau tropis dengan total wilayah 29.629.000 hektare dan terdiri dari beragam etnis, bahasa, dan agama.menurut catatan sensus resmi Filipina pada 1990, jumlah kelompok muslim di Negara yang beribukota Manila itu adalah 5% dari keseuruhan penduduk Filipina, yakni sekitar 2,8 juta jiwa dari jumlah total populasi 65 juta penduduk. Sementara itu, berbagai sumber menyebutkan, sekarang ini setidaknya terdapat kurang lebih 7 juta penduduk muslim, artinya mencapai 10% dari tota penduduk Filipina. Jumlah itu cukup menjadikan kmunitas muslim sebagai kelompok minoritas, baik dari segi budaya maupun politik, itengah-tengah bangsa Filipina yang mayoritas beragama Katolik.
0 komentar:
Posting Komentar