728x90 AdSpace

Latest News

Selasa, 03 Januari 2012

TEMPAT-TEMPAT UNTUK MEMBERI PELAJARAN (DALAM PENDIDIKAN ISLAM)


A.      Pendahuluan
Sejak pertama penyiaran Islam, lembaga pendidikan Islam mendapat perhatian para khalifah dari bentuk sederhana sampai ke tingkat tertentu seperti:[1]
1)      Kuttab, yaitu tempat belajar para pelajar tingkat rendah dan menengah.
2)      Masjid, yaitu tempat digunakan untuk tempat belajar tingkat tinggi dan Takhassus.
3)      Majlis Munadharah, tempat pertemuan para pujangga, ahli fikir dan sarjana untuk menseminarkan masalah ilmiah. Di kota-kota besar banyak dijumpai majlis ini.
4)      Darul Hikmah perpustakaan pusat. Dibangun oleh khalifah Harun al Rasyid dan diteruskan oleh al Makmun.

5)      Madrasah , yaitu tempat belajar yang telah memiliki perkembangan yang sangat baik dalam manajemennya. Yang dibangun oleh Nidzamul Mulk (456-486).
Sebelum dinasti abbasiyah, pusat kegiatan dunia Islam selalu bermuara pada masjid. Masjid dijadikan Centre of Education.[2] Pada dinasti abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan ke dalam ma’had. Lembaga ini kita kenal ada dua tingkatan yaitu:
1)      Maktab/kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, menghitung dan menulisa serta anak remaja belajar dasar-dasar ilmu agama;
2)      Tingkat pedalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya pergi ke luar daerah atau ke masjid-masjid bahkan ke rumah-rumah gurunya.[3]

Pada perkembangan selanjutnya mulailah dibuka madrasah yang dipelopori Nizhamul Mulk yang memerintah pada tahun 456-485 H. lembaga inilah yang kemudian berkembang pada masa dinasti Abbasiyah. Nizhamul Mulk merupakan pelopor pertama yang mendirikan sekolah dalam bentuk yang ada seperti sekarang ini dengan nama madrasah. Madrasah ini dapat ditemukan di Baghdad, Balkan, Naishabur, Hara, Isfahan, Tabrisan, Basrah, Mausil, dan kota-kota lainnya. Madrasah yang didirikan ini mulai dari tingkat rendah, menengah, serta meliputi segala bidang ilmu pengetahuan.[4]
Kontribusi ilmu terlihat pada upaya Harun Al Rasyid dan putranya Al Makmun ketika mendirikan sebuah akademi pertama dilengkapi pusat peneropong bintang, perpustakaan terbesar dan dilengkapi pula dengan lembaga untuk penerjemahan.[5]
Sebelum sekolah-sekolah itu didirikan, guru-guru memberikan pelajaran bukanlah pada tempat-tempat yang sama macamnya, melainkan diberbagai tempat seperti : dimasjid, dirumah Ulama, di kedai, dan lain-lain.[6]
Maka dalam mempelajari tempat-tempat memberi pelajaran ini akan kita pelajari dua macam yaitu :
a)      Tempat-tempat belajar sebelum sekolah-sekolah didirikan.
b)      Sekolah-sekolah/Madrasah-madrasah.











B.       Tempat-tempat belajar sebelum sekolah-sekolah didirikan.
1)      Kuttab untuk belajar menulis dan membaca.
Kuttab atau maktab, berasal dari kata dasar katab yang berarti menulis atau tempat menulis. Jadi kuttab ialah tempat belajar menulis.[7] Di masa sebelum datangnya agama Islam, kuttab (tempat untuk memberi pelajaran rendah) telah ada di negeri Arab walaupun belum banyak dikenal. Diantara penduduk Mekkah yang pertama belajar menulis huruf Arab ialah Sofyan Ibnu Umayah Ibnu Abdu Syams dan Abu Qais Ibnu Abdi Manaf Ibnu Zuhrah Ibnu Killab. Mereka belajar dari Bisyr Ibnu Abdil Malik, Beliau mempelajarinya di negeri Hirah.
Orang-orang yang disebutkan diatas telah mempelajari tulis-menulis itu dari negeri yang telah maju, yang mereka kunjungi ketika berniaga. Namun orang yang pertama kali bekerja sebagai pengajar menulis di jazirah Arab ialah seorang dari Wadil Qura yang menetap disana dan bekerja mengajar beberapa orang dari penduduk negeri itu.
Dengan demikian mulailah kepandaian menulis dan membaca tersiar di jazirah Arabia, tetapi perkembangannya lambat sehingga ketika kedatangan Islam, yang terdata mampu pandai menulis dan membaca hanya sekitar 17 orang.
Oleh karena itu jumlah orang-orang yang pandai menulis dan membaca pada masa permulaan Islam sangat sedikit maka mereka yang pandai menulis dan membaca semuanya telah dipekerjakan oleh Rasulullah sebagai juru tulis beliau dan arena itu pula kaum Zimmi bekerja sebagai pengajar menulis dan membaca kepada orang-orang yang mempunyai minat untuk mempelajarinya.
Kuttab merupakan sejenis tempat belajar yang mula-mula lahir di dunia Islam. Perkataan “kuttab” ini diambil dari kata “taktib” (mengajar menulis), dan itulah fungsinya kuttab. Jadi kuttab ialah tempat untuk mempelajari menulis dan membaca.[8]
Namun Abdullah Fajar membedakannya, ia mengatakan bahwa maktab ialah istilah untuk zaman klasik, sedangkan kuttab ialah istilah untuk zaman modern.[9]
Sejak abad ke-8M, kuttab mulai mengajarkan pengetahuan umum disamping ilmu agama. Hal ini terjadi akibat adanya persentuhan antara Islam dengan warisan budaya Helenisme sehingga banyak membawa perubahan dalam bidang kurikulum pendidikan Islam. Bahkan dalam perkembangan berikutnya kuttab dibedakan menjadi dua, yaitu kuttab yang mengajarkan pengetahuan nonagama (secular learning) dan kuttab yang mengajarkan ilmua agama (religius learning).[10]
Dengan adanya perubahan kurikulum tersebut dapat dikatakan bahwa kuttab pada awal perkembangan merupakan lembaga pendidikan yang tertutup dan setelah adanya persentuhan dengan peradaban Helenisme menjadi lembaga pendidikan yang terbuka terhadap pengetahuan umum, termasuk filsafat.[11]
Mengenai waktu belajar di kuttab, Mahmud Yunus[12] menyebutkan dimulai hari sabtu pagi hingga Kamis siang dengan waktu sebagai berikut:
1)      Al Qur’an                                               : Pagi s.d. Dhuha
2)      Menulis                                                  : Dhuha s.d. Zuhur
3)      Gramatikal Arab, Matematika, Sejarah : Ba’da Zuhur s.d. Siang

2)      Kuttab untuk belajar Al-Qur’an dan pokok-pokok Agama Islam.
Di abad pertama Hijriah, mulai timbul jenis kuttab, yang memberikan pelajaran menulis dan membaca, juga mengajarkan membaca Al Qur’an dan pokok-pokok ajaran agama. Rencana pelajaran pada sekolah rendah (kuttab) dipusatkan pada Al-Qur’an. Al-Qur’an ini dipakai sebagai buku bacaan untuk belajar membaca. Kemudian dipilihlah dari Al-Qur’an itu ayat-ayat yang akan dituliskan untuk pelajaran, dan juga mempelajari tata bahasa Arab, cerita-cerita Nabi. Kemudian Hadits-hadits dari Rasul saw.
Jumlah kuttab dan guru-guru di abad ke II H dan abad-abad berikutnya bertambah banyak juga. Pertambahan jumlah itu adalah sangat pesat dan besar, sehingga tiap-tiap desa berdiri sebuah kuttab, bahkan kadang-kadang lebih.
Goldziher telah menulis sebuah artikel penting dalam Ensiklopedia Agama dan Akhlak tentang pendidikan permulaan pada kaum Muslimin. Beliau menegaskan bahwa kuttab tempat mengajarkan Al-Qur’an dan pokok-pokok agama Islam telah didirikan dimasa permulaan Islam.
Ketika kuttab-kuttab telah didirikan dan orang-orang yang hafal Al-Qur’an telah bekerja pada kuttab-kuttab itu, maka dijadikannya Al-Qur’an sebagai titik pusat pelajaran rendah ini, serta ditambahi dengan beberapa mata pelajaran yang lain.
Rencana pelajaran untuk kanak-kanak yang telah dijelaskan ini merupakan rencana yang umum dipakai, namun terdapat perbedaan-perbedaan kecil yang terjadi menurut perbedaan tempat atau karena memandang sesuatu ilmu lebih penting dari yang lain dan lebih patut untuk didahulukan.

3)      Majlis
Istilah majlis telah dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama Islam. Mulanya ia merujuk pada arti tempat-tempat pelaksanaan belajar mengajar. Pada perkembangan berikutnya di saat dunia pendidikan Islam mengalami zaman keemasan, majlis berarti sesi di mana aktivitas pengajaran atau diskusi berlangsung. Dan belakangan majlis diartikan sebagai sejumlah aktivitas pengajaran, sebagai contoh, majlis Al Nabi, artinya majlis yang dilaksanakan oleh Nabi, atau majlis Al Syafi’i artinya majlis yang mengajarkan Fiqih Imam Syafi’i.
Seiring dengan perkembangan pengetahuan dalam Islam, majlis digunakan sebagai kegiatan transfer ilmu pengetahuan sehingga majlis banyak ragamnya. Menurut Muniruddin Ahmed ada 7 macam majlis, sebagai berikut:[13]
a)      Majlis al-Hadits
Majlis ini biasanya diselenggarakan oleh Ulama/guru yang ahli dalam bidang hadits. Ulama tersebut membentuk majlis untuk mengajarkan ilmunya kepada murid-muridnya. Majlis ini bisa berlangsung antara 20-30 tahun. Dan jumlah peserta yang mengikuti majlis ini dapat mencapai ratusan ribu orang, seperti majlis yang disampaikan oleh Ashim ibn Ali di Masjid al-Rusafa diikuti oleh 100.000 sampai 120.000 orang
b)      Majlis al-Tadris
Majlis ini biasanya menunjuk kepada majlis selain dari pada hadits, seperti majlis fiqih, majlis nahwu, atau majlis kalam.
c)      Majlis al-Munazharah
Majlis ini biasanya dipergunakan sebagai sarana untuk perdebatan mengenai suatu masalah oleh para ulama. Menurut Syalabi, khlaifah Muawiyah sering mengundang para ulama untuk berdiskusi di istananya, demikian juga khalifah Al Makmun dari dinasti Abbasiayah. Di luar istana, majlis ini ada yang dilaksakan secara kontinu dan spontanitas bahkan ada yang berupa kontes terbuka di kalangan ulama. Untuk model ini biasanya hanya dipakai untuk mencari popularitas ulama saja.
d)     Majlis al-Muzakarah
Majlis ini merupakan inovasi dari murid-murid yang belajar hadits. Majlis ini dieslenggarakan sebagai sarana untuk berkumpul dan saling mengingat dan mengulang pelajaran yang sudah diberikan sambil menunggu kehadiran guru. Pada perkembangan berikutnya, majlis al-Muzakarah ini dibedakan berdasarkan materi yang didiskusikan, yaitu meliputi : sanad hadits, materi hadits, perawi hadits, hadits-hadits dho’if, korelasi hadits dengan bidang ilmu tertentu, kitab-kitab musnad.
e)      Majlis al-Syu’ara
Majlis ini adalah lembaga untuk belajar syair dan juga sering dipakai untuk kontes para ahli syair.
f)       Majlis al-Adab
Majlis ini adalah tempat untuk membahas maslah adab yang meliputi puisi, silsilah, dan laporan bersejarah bagi orang-orang yang terkenal.
g)      Majlis al-Fatwa dan al-Nazar
Majlis ini merupakan sarana pertemuan untuk mencari keputusan suatu masalah di bidang hukum kemudian difatwakan. Disebut juga majlis al-nazar karena karakteristik majlis ini adalah perdebatan antara ulama fiqih/hukum Islam.


4)      Pendidikan rendah di Istana-istana.
Latar belakang munculnya pendidikan rendah di Istana merupakan hal yang sangat jelas untuk membentuk rencana pelajaran yang selaras dengan masa depan murid serta pekerjaan-pekerjaan yang akan mereka hadapi dalam masyarakat.
Oleh karena itu timbullah pemikiran tentang jenis pendidikan permulaan di Istana untuk anak-anak khalifah dan pejabat itu mendapat pendidikan, untuk menyiapkan peserta didik agar mampu melaksanakan tugasnya ketika dewasa dan dapat melaksanakan pekerjaan-pekerjaan berat yang akan dipikulkan ke atas pundak mereka di masa depan.[14]
Pendidikan seperti ini hampir sama dengan jenis kuttab dimana fungsinya memberikan kepada murid-murid sejenis kecerdasan dan ilmu pengetahuan. Namun pendidikan anak di Istana berbeda dengan pendidikan anak-anak di kuttab pada umumnya.[15] Jenis pendidikan dalam kategori ini lebih khusus dimana orang tua muridlah yang membuat rencana pelajaran atau ikut serta dalam pembuatan rencana pelajaran, agar rencana itu selaras dengan anaknya, dan guru disini tidak disebut “guru kanak-kanak” atau “guru kuttab” melainkan disebut “muaddib” (pendidik). Kemudian seorang murid itu akan terus belajar hingga ia telah melewati masa kanak-kanak, dan berpindah dari taraf murid kuttab ke taraf pelajar di tingkat masjid atau sekolah.
Pendidikan di istana-istana ini memiliki keistimewaan yang penting yaitu:
a)      Untuk muaddib diberikan tempat di dekat istana, agar terjangkau dalam mengawasi proses pendidikan terhadap putera raja.
b)      Rencana pelajaran pada lapisan ini secara garis besar dan dasarnya ialah sama dengan rencana pelajaran yang dibuat untuk kanak-kanak seluruhnya, dengan ditambahkan dan dikurangi menurut kehendak orang tua dan keselarasan dengan keinginan untuk menyiapkan anak itu khusus untuk tujuan-tujuan dan tanggung jawab yang akan dihadapi di masa depan.




5)      Kedai-kedai saudagar kitab.
Di zaman awal permulaan Bani Abbasiyah, perkembangan Ilmu Pengetahuan sudah mencapai tingkat yang sangat maju dimana terdapat perkembangan dalam pengetahuan yaitu perkembangan penulisan kitab-kitab dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Sehingga terdapat toko-toko atau kedai-kedai kitab dimana saudagar-saudagar kitab memiliki peran dalam mensyiarkan ilmu pengetahuan.
Dengan demikian toko-toko kitab tersebut telah berkembang fungsinya sebagai tempat jual beli kitab-kitab dan berkumpulnya para ulama, pujangga dan ahli-ahli ilmu pengetahuan lainnya untuk berdiskusi, berdebat, bertukar pikiran dalam berbagai masalah ilmiah.[16]
Di dalam tempat-tempat yang dijadikan sebagai tempat untuk berkumpulnya kegiatan ilmiah ialah pasar-pasar bangsa Arab yaitu : “Ukaz, Midjannah, Dzi’l Madjaz” dimana pasar-pasar tersebut memiliki kerja sama dengan kedai-kedai tempat menjual buku-buku di zaman Islam. Di pasar mereka mendeklamasikan syair-syair, mengadakan munazharah-munazharah (diskusi-diskusi) dan juga pidato. Demikian pula dengan kedai juga menjadi gelanggang kecerdasan dan seminar keilmuan, ketika kedai-kedai dikunjungi oleh para cendekiawan dan ahli sastra maka mereka menjadikannya sebagai tempat untuk mengadakan sidang-sidang dan pembahasan-pembahasan keilmuan.
Akan tetapi terdapat perbedaan antara pasar-pasar Arab di zaman jahiliah dengan kedai-kedai kitab yaitu : sidang-sidang ilmah dikedai-kedai kitab itu terjadi setiap hari sedangkan pertemuan-pertemuan di pasar-pasar Arab itu hanyalah diadakan sekali dalam setahun.[17]
Kedai-kedai ini telah memberi pengaruh yang nyata dalam bidang kecerdasan. Tidak jarang pula saudagar-saudagar buku itu memberi pengaruh kepada keluarganya. Salah satu contoh dapat disebut Zainab dan Hamdah, kedua-duanya ialah puteri dari Zaid seorang saudagar buku Wadil Hima dekat Granada, kedua puteri ini sangat ahli dalam kesusasteraan dan ilmu pengetahuan.
Kegiatan ilmiah dikedai-kedai bukanlah hanya terbatas pada kedai-kedai kitab, melainkan telah menjalar ke tempat-tempat jual-beli yang lain-lain.

6)      Rumah-rumah para Ulama (Sarjana).
Sebenarnya Rumah bukanlah suatu tempat yang baik untuk memberi pelajaran, karena baikpun penghuni-penghuni rumah dan pelajar-pelajar tidak akan dapat merasakan kenyamanan, ketenteraman dan keagungan rumah dengan kesibukan aktivitas rumah dan kebisingan pelajaran.
Namun untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dan karena keadaan yang memaksa tersusunlah kelompok-kelompok keilmuan dan sidang-sidang pelajaran di beberapa rumah tertentu, seperti Rasululullah menggunakan rumah Arqam sebagai tempat untuk berkumpul dalam membagi pelajaran. kemudian perkembangan selanjutnya terdapat beberapa buah rumah telah dijadikan tempat pertemuan bagi para pelajar dan guru-guru, dan markas penting bagi urusan ilmiah, kendatipun masjid telah terdapat beberapa dibangun.
Diantara rumah-rumah ulama terkenal yang menjadi tempat belajar ialah rumah Ar Rais Ibnu Sina, Abu Sulaiman As Sidjistani, Ali Ibnu Muhammad Al Fashihi, Ya’kub Ibnu Killis, Ahmad Ibnu Muhammad Abu Thaher, dan Imam Ghazali.[18]
Dari beberapa tokoh yang telah disebutkan di atas dianggap sebagai model bagi rumah-rumah lain yang banyak disebutkan dalam buku-buku sastra dan buku-buku sejarah. Dengan demikian rumah-rumah Ulama telah ikut serta dalam mensyiarkan kecerdasan teristimewa dimasa sekolah-sekolah belum banyak didirikan.

7)      Salon-salon kesusasteraan.
Majelis kesusasteraan yang timbul pada zaman bani Umayah tergolong sederhana dan setelah bani Abbasiyah berdiri maka majelis tersebut tergolong megah dan merupakan dalam corak yang sebenarnya, adalah suatu perkembangan dari majelis-majelis Khulafaur Rasyidin, karena seorang Khalifah dalam Islam adalah berfungsi mengatur urusan duniawi dan berfatwa dalam urusan agama. Karena itu maka salah satu dari syaratnya yang terpenting ialah seorang khalifah haruslah berilmu pengetahuan, yaitu ilmu pengetahuan yang memberi kemampuan padanya untuk berijtihad.
Terdapat titik persamaan antara majelis-majelis khulafaur rasyidin dengan salon-salon kesusasteraan, yaitu : masing-masing telah berbakti terhadap perkembangan kecerdasan manusia, dan telah bekerja untuk mensyiarkan ilmu pengetahuan.[19]
Adapun perbedaannya antara majelis khulafaur rasyidin dan salon-salon kesusasteraan, perbedaannya ialah: pada majelis-majelis khulafaur rasyidin itu, orang mempunyai kemerdekaan penuh untuk menghadirinya atau meninggalkannya sewaktu-waktu dia kehendaki, menurut keinginannya, sedang khalifah dipanggil dengan namanya atau dengan sebutan gelar Khalifah Rasulullah/Amirul Mukminin. Akan tetapi salon-salon tidak demikian yaitu salon-salon kesusasteraan memiliki tata-susila yang khusus dan adat kebiasaan yang sudah menjadi tradisi, dan kebudayaan asing yang diambil oleh khalifah-khalifah bangsa Arab itu dari kerajaan-kerajaan besar yang telah jatuh ke bawah kekuasaan mereka, karena itu salon-salon itu telah dihiasi dengan perabot yang indah-indah.
Para Khalifah itu berpendapat bahwa mereka adalah pelindung ilmu pengetahuan, istana-istana mereka adalah markas tempat memancarnya kecerdasan dan pengetahuan, dan tempat pertemuan bagi para ulama dan pujangga-pujangga.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sejarah salon-salon kesusasteraan ini sangat dekat dengan sejarah istana, teristimewa istana-istana khalifah. Maka dikala Mu’awiyah khalifah Bani Umayah yang pertama mengambil sebuah istana yang permai tempat beliau bersemayam timbullah diwaktu itu salon-salon kesusasteraan. Dan pada Bani Abbasiyah yang tekenal ialah majelis Harun arRasyid di Baghdad yang sering melakukan munazharah-munazharah dengan beberapa tokoh seperti : ahli syair ialah Abu Nuas, Abul ‘Atahiah, Di’bil, Muslim Ibnu Walid, dan Abbas Ibnul Ahnaf, dari ahli musik ialah Ibrahim Al Maushili dan Ishak putera Ibrahim Al Maushili, ahli bahasa ialah Abu ‘Ubaidah dan Al Ashma’i, ahli sejarah ialah Al Waqidi, selain itu Ibnus Siman seorang Muballigh, dan banyak lagi.
Dalam majlis sastra tersebut, bukan hanya dibahas dan didiskusikan masalah-masalah kesusasteraan saja, melainkan juga berbagai macam ilmu pengetahuan (majlis ilmu pengetahuan) dan berbagai kesenian (majlis kesenian).[20]



8)      Padang pasir (Badiah).
Ilmu pengetahuan dan kebudayaan bangsa Arab dimasa jahiliah adalah berpusat pada kesusasteraan Arab yang melingkupi puisi, prosa, dan pidato. Penghargaan bangsa Arab yang amat tinggi terhadap bahasa mereka berlanjut hingga kedatangan Islam karena faktor Rasulullah yang merupakan bangsa Arab asli tulen yang amat baik tutur bahasanya dan kemudian juga Al-Qur’an sendiri diturunkan dalam bahasa Arab yang sangat indah dan fasih.
Bahasa Arab ketika awal kedatangan Islam masih tergolong murni namun dikarenakan pergaulan dengan bangsa asing terjadi ketidak aslian dan menjadi rusak dalam tata bahasa. Hal ini terjadi sejak pemerintahan Umar Ibnul Khattab, karena Agama Islam pada waktu itu telah meluas sampai ke Persia dan Negeri Rum.
Di waktu bahasa Arab telah rusak dikota-kota, akibat pergaulan bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain, tetaplah bahasa Arab itu berada dalam kemurniannya digurun-gurun pasir, karena gurun-gurun pasir ini terhindar dari bangsa-bangsa asing, dan dari orang-orang yang telah rusak bahasanya. Dengan demikian telah terjadi fungsionalisasi suku Arab Badui dimana mereka diminta ke kota-kota untuk menjadi pengajar bahasa Arab untuk yang berminat belajar bahasa Arab, namun ada pula orang kota dari kalangan istana yang mengunjungi padang pasir untuk ikut dalam perkemahan-perkemahan Arab Badui dan belajar disana.
Padang pasir atau yang sering disebut dengan Badiah ini menjadi tempat sumber ilmu pengetahuan terutama bahasa dan sastra Arab dan berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam.
Dengan demikian padang pasir negeri Arab di abad I dan II H merupakan sekolah-sekolah bagi pangeran-pangeran dan putera raja dan juga para ulama besar telah mendatangi padang pasir untuk belajar, diantaranya ialah : Al Khalil Ibnu Ahmad, Basyar Ibnu Burd, Al Kisaii, Al Riasyi Abul Fadhal Al Abbas Ibnul Faradj, dan Imam Syafi’i.
Di samping itu, di badiah-badiah ini biasanya berdiri ribat-ribat atau zawiyah-zawiyah yang merupakan pusat-pusat kegiatan daripada ahli sufi. Disanalah para sufi mengembangkan metode khusus dalam mencapai ma’rifat, suatu ilmu pengetahuan yang mereka anggap paling tinggi nilainya.[21]

9)      Masjid.
Sejarah pendidikan Islam sangat erat pertaliannya dengan Masjid. Sebelum dinasti abbasiyah, pusat kegiatan dunia Islam selalu bermuara pada masjid. Masjid dijadikan Centre of Education.[22] Karena masjid merupakan tempat yang asasi untuk mensyiarkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam. Kemudian fungsi masjid ialah sebagai tempat untuk beribadah, tempat memberi pelajaran yaitu pelajaran Agama Islam dimana mempelajari dasar-dasar, hukum-hukum, dan tujuan-tujuannya. Kemudian sebagai tempat untuk peradilan, tempat tentara berkumpul, dan tempat menerima duta-duta dari luar negeri.
Hal ini sependapat dengan An Nahlawi yang menyatakan bahwa masjid berfungsi sebagai tempat memberi pelajaran dan juga markas tentara, pusat gerakan pembebasan umat Islam dari taghut. Menurut pendapat kuntowijiyo masjid merupakan pusat kegiatan keagamaan umat Islam, baik yang  bersifat ibadah maupun muamalah.[23]
Perkara yang pertama dilakukan oleh Nabi Muhammad saw ketika hijrah dari Makkah sampai ke Madinah adalah mendirikan Masjid Quba’ di al-Mirdad.
Setelah itu banyaklah masjid-masjid didirikan dan bertambah tersyiar agama Islam sehingga tiap-tiap desa dan kota memiliki masjid. Pada zaman Umar Ibnu Khattab, beliau memerintahkan kepada beberapa Gubernur untuk mendirikan masjid seperti Abu Musa Gubernur di Basrah, Sa’ad Ibnu Abi Waqqash Gubernur Kufah, dan Amru’ Ibnu ‘Ash Gubernur Mesir dengan tujuan ketika melaksanakan Shalat Jum’at itu dapat berjama’ah di kota-kota tersebut. Selanjutnya pada tahun 132 H, Abu Ismail Ghamir mendirikan sebuah masjid yang diberi nama masjid jami’ Al ‘Askar, dan tahun 265 H, Ahmad Ibnu Thulun mendirikan masjid jami’ Ibnu Thulun. Pada tahun 360 H, Djauhar Ash Shiqilli mendirikan masjid Jami’ Al-Azhar tetapi tahun 378 masjid ini khusus untuk tempat memberi pelajaran dan penelitian ilmiah. Kemudian ada juga masjid jami’ Al Hakam, jami’ Al Maqs, dan jammi’ Rasyidah.


Selanjutnya akan dibahas tiga masjid besar yang memiliki banyak pengaruh dalam syiar Islam dan pendidikan, yaitu :
1)      Jami’ Al Manshur.
Pada tahun 145 H, Al Manshur membangun kota Baghdad dengan Qsar Adz Dzahab (Istana Kencana) dan Jami’ Al Manshur, dimana masjid ini menjadi perhatian guru dan pelajar. Diceritakan Al Chatib Al Baghdadi memberi pengajaran pada salah satu waktu di masjid ini, kemudian Al Kisa’i memberi ilmu pengetahuan Bahasa, muridnya ialah Al Farra, Al Ahmar, dan Ibnus Sa’dan. Dan juga Abul ‘Atahiah yang ahli dalam syair-syair.
2)      Jami’ Damaskus.
Al Walid Ibnu Abdul Malik ialah seorang khalifah yang membangun Masjid ini, dan masjid ini sangat terkenal akan kebesaran pada masanya. Kemudian masjid ini menjadi pusat dalam kegiatan pelajaran-pelajaran Islam seperti terdapat lingkaran-lingkaran pelajaran bagi murid, dan disediakan sebuah tempat belajar bagi beberapa Mazhab Fiqh, kemudian bagi yang mengajar dapat hadiah atau upah. Dan dilengkapi pula ruangan-ruangan untuk guru dan murid belajar secara tenang dan fokus. Salah satu tokoh yang mengajar ialah Al Chatib Al Baghdadi yang mangajar Hadits.
3)      Jami’ Amr.
Pada tahun 21 H, ‘Amr Ibnu ‘Ash membangun masjid ini kemudian masjid ini telah diperbaharui dan diperluas beberapa kali. Fungsi masjid ini ialah sebagai tempat untuk memberi pelajaran dan juga sebagai mahkamah untuk pengadilan. Di dalam masjid ini terdapat banyak lingkaran/halaqah pelajaran sebanyak 40 buah, dan beberapa pojok tempat lingkaran pelajaran yang terkenal ada 3 yaitu;  a) Pojok Imam Syafi’i, b) Pojok Al Madjdiah, dan c) Pojok Ash Shahabiah.
4)      Jami’ Al Azhar
Masjid Al Azhar seperti halnya masjid-masjid yang lain, Al Azhar di samping sebagai tempat Ibadah juga berfungsi sebagai tempat menyelenggarakan pendidikan, masjid ini sebenarnya diperuntukkan dinasti Fatimiah yang sedang bersaing dengan kekhalifahan di Baghdad.[24] Usaha yang dilakukannya ialah dengan mengajarkan mazhab Syi’ah kepada kader-kader mubaligh yang bertugas meyakinkan masyarakat akan kebenaran mazhab yang dianutnya.[25]
Masjid Al Azhar dibangun oleh Khalifah Mauizuddin li Dinillah, dari Dinasti Fatimiyah pada tanggal 24 Jumadil Ula 359 H/390 M[26] dan selesai pembangunannya pada bulan Ramadhan 361 H. dinasti Fatimiyah adalah sebuah dinasti yang terletak di Tunisia yang dibangun pada tahun 909 M. Pada waktu kaum Fatimiyyin menaklukkan Mesir pada tahun 338 H. nama masjid al Azhar merupakan nama yang dinisbatkan kepada putri Nabi Muhammad saw Fatimah AL Zahra. Sebelumnya nama masjid tersebut adalah al Cahirah yang berarti sama dengan nama kota, yaitu Cairo, dan dikaitkan dengan kata-kata al Qahiroh al Zahirah yang berarti kota cemerlang.[27] Baru setelah 26 bulan Al Azhar dibuka untuk umum, tepatnya pada bulan Ramadhan 361 H dengan diawali kuliah agama perdana oleh al-Qodi Abu Hasan Al-Qoirowani pada masa pemerintahan Malik Al Nasir.[28]
Masjid Al Azhar adalah sebagai pusat ilmu pengetahuan, tempat diskusi bahasa dan juga mendengarkan kisah dari orang yang ahli bercerita. Baru setelah pemerintahan di pegang oleh Al Aziz Billah mengubah fungsi masjid Al Azhar menjadi Universitas.[29]
Pada kegiatan lingkaran/halaqah ilmiah di masjid ini tidak hanya mempelajari pelajaran Agama saja melainkan melingkupi segala macam ilmu pengetahuan yang dikenal pada masa itu, seperti pelajaran-pelajaran tentang Bahasa dan Kesusasteraan dan juga ilmu Hisab dan juga ilmu kedokteran seperti yang diajarkan di Al Azhar.






C.       Penutup
Pada zaman Nabi Muhammad saw pendidikan Islam secara institusional telah berproses secara mapan dengan embrio model pendidikan, seperti Kuttab, Majlis, Masjid dan lain-lain. Hal ini dimungkinkan mengingat pendidikan memiliki peranan strategis dalam rangka penanaman nilai-nilai Islam kepada Masyarakat.
Kurikulum yang diajarkan pada lembaga pendidikan periode awal hanyalah ilmu agama. Namun setelah adanya persentuhan dengan peradaban Helenisme, maka materi pelajaran yang ditawarkan tidak hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu pengethauan umum, seperti filsafat, matematika dan kedokteran. Atas dasar ini, lembaga pendidikan formal dan informal. Lembaga pendidikan yang informal biasanya yang menawarkan materi pelajaran umum sementara yang formal.
Di sini tampak bahwa ketika itu telah muncul pandangan dikotomi antara pengetahuan umum dan agama di lingkungan lembaga pendidikan Islam. Hal ini terjadi sebagai akibat persentuhan antara Islam dan peradaban Helenisme. Pandangan dikotomi tersebut masih berlangsung hingga sekarang. Padahal, Islam tiidak mengenal adannya perbedaan antara ilmu agama dan umum. Bahkan sebaliknya, puncak sejarah dan peradaban Islam justru terjadi ketika menyatunya pengetahuan agama dan pengetahuan umum.
Tempat-tempat memberi pelajaran terbagi dua macam yaitu: Tempat-tempat belajar sebelum sekolah-sekolah didirikan dan Sekolah-sekolah. Tempat-tempat belajar sebelum sekolah-sekolah didirikan terdapat 8 macam yaitu :
1)      Kuttab untuk belajar menulis dan membaca.
2)      Kuttab untuk belajar Al Qur’an dan pokok Agama Islam.
3)      Pendidikan rendah di istana-istana.
4)      Kedai-kedai saudagar kitab
5)      Rumah-rumah para Ulama (Sarjana)
6)      Salon-salon kesusasteraan.
7)      Padang pasir.
8)      Masjid.
Kesemuanya itu memiliki fungsi yang sama dalam mensyiarkan Ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syalaby, History of Muslim Education, Beirut : Dar al-Kashshaf, 1954.
A. Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam (Terj. Muhtar Yahya), Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Abdurrahman an-Nahlawi, “Ushul Al-Tarbiyah Al-Islamiyah Wa Asalibiha Fi Al-Bait Wa Al-Madrasah Wa Al-Mujatama’” dalam Shihabuddin (Terj.) Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah Dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2004.
Abuddin Nata (terj.), Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Pertengahan, Canada: Montreal, 2000.
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2004.
Ali Djumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, Terj. H.M. Arifin, Jakarta: Rineka Cipta, 1987.
Assegaf, Abd. Rachman, Filsafat Pendidikan Islam; paradigma baru pendidikan Hadhari berbasis Integratif-interkonektif, Jakarta : PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2011, Cet.I.
Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Amzah, 2010.
Buku Sejarah Peradaban Islam PGAN, Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1985.
Hanun Asrohah, M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999, Cet. I.
Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Yogyakarta : Shalahuddin Press, 1985.
M. Atiyah Al-Abrassyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustami A. Gani dan Djohar Bahri L.I. S dari Al Tarbuyah Al Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, Cet. VIII.
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Mutiara, 1996.
Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 2006, Cet. VIII.
Tugas Sejarah Pendidikan Islam
Tempat- Tempat Untuk Memberi Pelajaran
Saduran dari Buku Sejarah Pendidikan Islam hlm : 32-105
Karangan Prof. Dr. Ahmad Syalaby
Terjemahan Prof. Muchtar Yahya, Penerbit : Bulan Bintang, 1973.

Dosen : Dr. Zaghlul Jusuf
logo keren unj[1]
Disusun oleh :
Muhamad Rizki Reza
4715082203
Jurusan Ilmu Agama Islam
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta
2011


[1] Buku Sejarah Peradaban Islam PGAN, Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1985, hlm. 90.
[2] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2004), hlm. 50.
[3] Hassan Ibrahim Hassan, Tarikh Al-Islam, (Kairo: Maktabah al-Nahdhoh Al-Misriyah, 1965), hlm. 129.
[4] A. Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 212.
[5]Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2004), hlm.50.
[6] A. Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam (Terj. Muhtar Yahya), Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm. 32.
[7] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 2006, Cet. VIII, hlm. 89.
[8] Buku Sejarah Peradaban Islam PGAN, Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1985, hlm. 90.
[9] Abdullah Fajar, Peradaban dan Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1996, hlm. 16.
[10] Hanun Asrohah, Sejarah  Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999, hlm. 49.
[11] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2004, hlm. 34.
[12] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Mutiara, 1996, hlm. 15.
[13] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT Rajawali Pers, Cet.I, 2004, hlm 36-37.
[14] A. Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam (Terj. Muhtar Yahya), Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Hlm. 48.
[15] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 2006, Cet. VIII., 92
[16] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 2006, Cet. VIII. Hlm. 94.
[17] A. Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam (Terj. Muhtar Yahya), Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Hlm. 53.
[18] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 2006, Cet. VIII, hlm. 95.
[19] A. Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam (Terj. Muhtar Yahya), Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Hlm. 62.
[20] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 2006, Cet. VIII, hlm. 96.
[21] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 2006, Cet. VIII, hlm. 97.
[22] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2004), hlm. 50.
[23] Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Yogyakarta: Shalahuddin Perss, 1985, hlm. 125
[24] A.A. Ateek, Al Azhar, The Mosque and The University, dalam Konsep Universtas Islam, DR. Hamid Hasan Al Bilgrami, Dr. Sayid Ali Asyraf, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989, hlm. 40.
[25] Ibid, hlm. 40
[26] Dr. Ahmad , Muhammad Uf, Al Azhar fi alf Am, Cairo: Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, 1982, hlm. 67.
[27] Hanun Asrohah, M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999, Cet. I, hlm. 60.
[28] M. Atiyah Al-Abrassyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustami A. Gani dan Djohar Bahri L.I. S dari Al Tarbuyah Al Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, Cet. VIII, hlm. 61.
[29] Ali Djumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, Terj. H.M. Arifin, Jakarta: Rineka Cipta, 1987, hlm. 27.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: TEMPAT-TEMPAT UNTUK MEMBERI PELAJARAN (DALAM PENDIDIKAN ISLAM) Description: Rating: 5 Reviewed By: Unknown
Scroll to Top