Sepanjang sejarahnya sejak awal dalam pemikiran islam terlihat dua pola yang saling berlomba mengembangkan diri dan mempunyai pengaruh besar dalam pengembangan pola pendidikan umat islam. Dari pemikiran pola yang bersifat tradisional yang selalu mendasarkan diri kepada wahyu, yang kemudian berkembang menjadi pola pemikiran sufistis dan mengembangkan pola pendidikan sufi.
Pada masa jayanya, kedua pola pendidikan tersebut menghiasi dunia islam, sebagai dua pola yang berpadu dan saling melengkapi. Setelah pola pemikiran rasional yang diambilalih perkembangannya oleh dunia barat (eropa) dan dunia Islam pun meninggalkan pola pemikiran tersebut, maka dalam dunia islam tinggal pola pemikiran sufistis,[1] yang sifatnya memang sangat memperhatikan kehidupan batin, sehingga mengabaikan perkembangan budaya Islam yang bersifat material. Pola pendidikan yang dikembangkanpun tidak lagi menghasilkan perkembangan budaya Islam yang bersifat material. Dari aspek inilah dikatakan pendidikan dan
kebudayaan Islam mengalami kemunduran.
M.M Sharif dalam bukunya Muslim Thought, mengungkapkan gejala kemunduran pendidikan islam dan kebudayaan islam tersebut sebagai berikut.”…telah kita saksikan bahwa pemikiran Islam telah melaksanakan satu kemajuan yang hebat dalam jangka waktu yang terletak diantara abad ke VIII dan abad ke XIII M. kemudian kita memperhatikan hasil-hasil yang diberikan kaum muslimin kepada eropa, sebagai satu perbekalan yang matang untuk menjadi dasar pokok dalam mengadakan pembangkitan eropa (renaissance)”.
Diungkapkan pula oleh M.M Sharif, bahwa pemikiran islam menurun setelah abad ke XIII M dan terus melemah sampai abad ke XVII M. Diantara sebab-sebab melemahnya pikiran islam tersebut antara lain dilukiskannya sebagai berikut ;
1. Berkelebihannya filsafat islam (yang bercorak sufistis) yang dimasukan olel Al-Ghazali dalam alam islami di timur, dan berkelebihan pula Ibnu Rusyd dalam memasukan filsafat islamnya (yang bercorak rasionalistis) kedalam dunia islam di barat. Al-Ghazali mendapat sukses di timur, hingga pendapat-pendapatnya merupakan suatu aliran yang terpenting, Ibnu Rusyd mendapatkan sukses di barat hingga pikiran-pikirannya menjadi pimpinan yang penting bagi alam pikiran barat.
2. Umat islam terutama para pemerintahnya (khalifah, sultan, amir-amir) melalaikan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, pada awalnya para pejabat pemerintahan sangat memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dengan memberikan penghargaan yang tinggi kepada para ahli ilmu pengetahuan, maka pada masa menurun dan melemahnya kehidupan umat islam ini para ahli ilmu pengetahuan terlibat dalam urusan pemerintahan sehingga melupakan pengembengan ilmu pengetahuan.
3. Terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang dibarengi dengan serangan dari luar, sehingga menimbulkan kehancuran-kehancuran yang mengkibatkan berhentinya kegiatan-kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di dunia islam. Sementara itu obor pikiran islam berpindah tangan ke tangan kaum masehi yang mereka ini telah mengikuti jejak kaum muslinin yang menggunakan buah hasil pikiran yang mereka capai dari pikiran islam tersebut.[2]
Dengan semakin ditinggalkanya pendidikan intelektual maka semakin statis perkembangan budaya islam, karena daya intelektual generasi penerus tidak mampu mengadakan kreasi-kreasi budaya baru, bahkan telah menyebabkan ketidak mampuan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan baru yang dihadapi sebagai akibat dari perubahan dan perkembengan zaman.
Dalam bukunya Fahzur Rahman menjelaskan tentang gejala-gejala kemunduran / kemacetan intelektual islam ini sebagai berikut:
“Penutupan pintu ijtihad (yakni pemikiran yang orisinil dan bebas) selama abad ke 4 H/10 M dan 5 H/11 M. telah membawa kepada kemacetan umum dalam ilmu hukum dan ilmu intelektual, khususnya yang pertama. Ilmu-ilmu intelektual yakni teologi dan pemikiran keagaman, sangat mengalami kemunduran dan menjadi miskin karena pengucilan mereka yang disengaja dari intelektualisme yang sekuler dan karena kemunduran yang disebut terakhir ini. Khususnya filsafat dan juga pengucilannya dari bentuk-bentuk keagamaan seperti yang dibawa oleh sufisme.”
Kehancuran kota Bagdad dan Granada sebagai pusat-pusat pendidikan dan kebudayaan islam menandai runtuhnya sendi-sendi pendidikan dan kebudayaan islam. Musnahnya lembaga-lembaga pendidikan dan semua buku-buku ilmu pengetahuan dari kedua pusat pendidikan islam di timur dan barat dunia islam tersebut, menyebabkan pula kemunduran pendidikan di seluruh dunia islam, terutama dalam bidang intelektual dan material, tetapi tidak halnya dalam kehidupan batin dan spiritual.[3]
Kehancuran dan kemunduran-kemunduran yang dialami oleh umat islam terutama dalam bidang kehidupan intelektual dan material ini, mengakibatkan beralihnya pusat-pusat kebudayaan dari dunia islam ke eropa. Hal tersebut menimbulkan rasa lemah dan putus asa dari kalangan kaum muslimin, menyebabkan mereka lalu mencari pegangan dan sandaran kehidupan yang biasa mengarahkan mereka. Aliran pemikiran tradisionalisme dalam Islam telah mendapatkan tempat di hati masyarakat secara meluas, mereka kembalikan segala sesuatunya kepada Tuhan.
Dalam bidang fiqh yang terjadi adalah perkembangan taqlid buta dikalangan umat, dengan sikap yang hidup patalitis tersebut kehidupan mereka sangat statis, tidak ada problem-problem baru dalam bidang fiqh. Apa yang sudah ada dalam kitab fiqh lama dianggapnya sebagi sesuatau yang sudah baku, mantap dan benar, dan serta harus diikuti serta dilaksanakan sebagai mana apa adanya.
Kehidupan sufi berkembang dengan sangat pesat. Keadaan yang frustasi di kalangan umat, menyebabkan orang kembali kepada Tuhan (bukan hanya sekedar sikap hidup yang patalitis) dalam arti yang sebenarnya, bersatu dengan Tuhan, sebagaimana yang diajarkan oleh para ahli sufi. Madrasah-madrasah yang ada dan berkembang diwarnai dengan kegiatan-kegiatan sufi. Berkembang berbagai sistem riyadha dan jalan atau cara-cara tertentu yang dikembangkan untuk menuntun para murid yang dikenal selanjutnya dengan istilah tariqat. Keadaan yang demikian sebagi mana yang dilukiskan oleh Fazru Rahman: Di madrasah-madrasah yang bergabung pada khalaqah-khalaqah dan zawiyah-zawiyah sufi, karya-karya sufi dimasukan kedalam kurikulum yang formal khususnya di India dimana sejak abad ke 8 H/14 H M karya-karya Al-Suhrawardi (pendiri ordo surahwardiyah) Ibnu Al-Arabidan kemudian karya-karya jami’di ajarkan tetapi sebagian besar pusat-pusat sufi terutama di turki kurikulum akademik hampir semua buku-bukunya tentang sufi. Ciri khas dari fenomena ini adalah melimpahnya pernyataan-pernyataan sufi yang taubat setelah menemukan jalan yang benar.
Kemunduran dan kemerosotan pendidikan dan pengembangan pada masa ini nampak jelas, menyempitnya bidang-bidang ilmu pengetahuan umum dengan tiadanya perhatian kepada ilmu-ilmu pengetahuan kealaman maka kurikulum pada umumnya madrasah-madrasah tebatas pada ilmu-ilmu keagamaan, ditambah dengan sedikit ilmu gramatika dan bahasa sebagai alat yang diperlukan. Ilmu-ilmu yang murni tinggal dari tafsir Al-Qur’an ,hadist, Fiqh (termasuk Ushul Fiqh dan Prinsip-prinsip Hukum) dan ilmu kalam atau teologi islam.
Materi pelajaran yang sangat sederhana yang ternyata dari buku-buku yang harus dipelajari pada suatu tingkatan. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan studi relatif sangat singkat. Mengakibatkan adanya kekurangan yang mendalamnya meteri pelajaran, dapat dibayangkan. Hal tersebut disebabkan karena sistem pelajaran pada masa itu sangat berorientasi pada buku-buku pelajaran dan bukan pada pelajaran itu sendiri. Oleh karena itu yang sering terjadi pelajaran hanya memberikan komentar-komentar atau saran-saran terhadap buku-buku pelajaran yang dijadikan pegangan oleh guru.
Kebekuan intelektual dalam kehidupan kaum muslimin yamg diwarnai dengan berkembangnya dengan berbagai macam aliran sufi yang karena terlalu toleran terhadap ajaran mistik dari ajaran agama lain (hindu, budha ,maupun neo platonisme) telah memunculkan berbagai macam tarikat yang menyimpang jauh dari ajaran islam. Tarikat-tarikat tersebut dalam perkembangannya dan dalam penerimaan masyarakat menjadi agama yang popular. Keadaan yang demikian berlangsung selama masa kemunduran kebudayaan dan pendidikan islam, sampai dengan abad ke 12 H/18 M, baru pada abad pertengahan ke 12 H/18 M adanya usaha untuk memurnikan kembali ajaran-ajaran islam, sebagai yang nampak dibagian jazirah arab oleh Muhammad Ibnu Abdul Al-Wahab (1115-1206 H/1703-1792 M) dan di India oleh Syah Waliullah (1113-1176 H/1702-1762 M) usaha pemurnian tersebut mengacu kepada dua sasaran pokok, yaitu:
1. Mengembalikan ajaran islam kepada unsur-unsur aslinya dengan bersumberkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunna, membuang segala Bid’ah dan kurafat serta pengaruh-pengaruh dari ajaran agama lain dan mistik dari luar yang dimasukkan oleh kaum sufi.
2. Membuka pintu ijtihad yang telah beberapa abad sebelumnya telah dinyatakan tertutup. Gerakan pemurnian tersebut adalah tahap awal dari gerakan pembaharuan yang dilaksanakan nanti pada abad 13 H19 M oleh Jamaludin Al-Afgani (1255/1315 H/1839-1897 M), Muhammad Abduh(1261-1323 H/1845-19095 M), Sayid Ahmad Khan di India (1232-1316 H/1817-1898 M) dan lain-lain.
0 komentar:
Posting Komentar