1. PENDAHULUAN
Serikat Sekerja Guru telah ada dalam kalangan kaum muslimin sejak masa-masa permulaan abad pertengahan. Saat itu organisasi Serikat Sekerja Guru ini belum matang tapi sudah dapat memberi pengaruh yang begitu besar. Hal itu di buktikan dengan munculnya buku berjudul “Masjid” yang di tulis oleh seorang sarjana barat bernama Eeart Dies. Buku itu berisi kekaguman penulis terhadap pengaruh dan kinerja Serikat Sekerja Kaum Guru.
Pada abad-abad pertengahan belum ada perbedaan yang jelas antara para ulama yang tidak bekerja sebagai guru dengan para ulama yang bekerja sebagai guru, hal ini disebabkan semua orang-orang yang berpendidikan dimasa itu memberikan pengajaran secara langsung kepada masyarakat, baik mereka menerima gaji ataupun tidak. Ada diantara mereka yang mengajar dengan
membentuk beberapa kelompok atau halaqah dan ada pula yang menulis dan mensyiarkan buku-buku. Al Jahiz menjadi salah satu contoh dari sekian banyak ulama yang memberikan pengajaran dimasa itu, padahal ia tidak bekerja sebagai guru. Dengan demikian pembahasan berikutnya akan dibahas tentang kedua golongan tersebut.
Kebodohan yang terbesar adalah mengangkat lembaran-lembaran buku sebagai Syekh. Maksudnya disini adalah belajar hanya dari apa yang di baca di buku.[1] Bahkan dalam kitab “Ash Syakwa” di sebutkan “Barangsiapa yang tidak mempunyai Syekh berarti ia tidak beragama, dan barangsiapa tidak mempunyai Ustadz berarti ia berimamkan Syetan.” Oleh karena itu, lebih baik belajar langsung dari para ulama ketimbang hanya membaca kitab-kitab atau buku saja. Imam Syafi’i juga bernah berkata; “Barangsiapa yang hanya belajar dari lembaran-lembaran buku saja, berarti ia telah menyia-nyiakan hukum.”[2]
Menjadi seorang guru disini bukan hanya mengetahui ilmu pengetahuan, tetapi harus di sertai dengan ilmu mendidik. Hal ini di maksudkan agar terjalin hubungan kasih sayang antara guru dan murid yang dapat membantu menjembatani ilmu yang akan di ajarkan. Oleh karena itu, menurut Ibnu Chaldun bahwa mengajarkan ilmu pengetahuan adalah suatu kemampuan. Beliau mengatakan hal itu karena di balik ilmu yang di kuasai, seorang guru hendaknya memiliki kelancaran dalam berbicara dan menyampaikan sesuatu. Hal ini biasanya di dapat karena seseorang sudah terbiasa bermusyawarah dan berdiskusi. Ibnu ‘Abdun berkata: “mengajar adalah suatu pekerjaan yang memerlukan pengetahuan, latihan dan kasih sayang. Sebab mengajar itu tak ubahnya dengan melatih seekor kuda yang sulit dididik. Kuda tersebut memerlukan siasat, kasih sayang dan penjinakan sehingga ia terlatih dan dapat menerima pelajaran”. Suatu sarat yang amat penting bagi seorang guru ialah kefasihan dan kelancaran lidahnya dalam berinteraksi dengan murid-muridnya.
Selain guru, faktor lain yang berhubungan dengan kesuksesan pelajar adalah keluarga. Karena segala aktifitas, pembicaraan, dan tindakan di dalam keluarga baik itu positif maupun negatif akan tercermin di dalam diri seorang anak. Atau dengan kata lain, anak adalah gambaran dari keadaan keluarganya. Jadi, belajar dari sekolah tidaklah optimal jika keadaan di rumah tidak memungkinkan untuk itu.”Untuk belajar, diperlukan ketentuan dari 3 orang, yaitu; pelajar, guru, dan orang tua.” Seperti itulah hal yang di ungkapkan Az Zarnudji.
Sehubungan dengan ini kita biasa mengetahui dengan sebutan Tri Pusat Pendidikan yang mengisyaratkan bahwa program pendidikan formal berpusat pada lingkungan sekolah dari taman kanak-kanan sampai perguruan tinggi. Keterkaitan antara ketiga lingkungan pendidikan ini dibina dan dikembangkan atas prinsip konsistensi, kontinuitas, dan konvergensi (Tri-Kon). Prinsip konsistensi itu berjalan serasi, senyawa, dan saling menunjang. Prinsip kontinuitas mempunyai makna bahwa pendidikan di ketiga lingkungan itu berhubungan erat antara yang satu dengan yang lainnya dan berkesinambungan. Kegiatan pendidikan di lingkungan sekolah selalu berhubungan dengan pendidikan di lingkungan masyarakat dan lingkungan kerja, serta yang paling terpenting adalah lingkungan keluarga. Prinsip konvergensi menekankan bahwa tujuan pendidikan di tiga lingkungan itu mengarah pada pencapaian tujuan pendidikan nasional.[3]
Didalam buku yang berjudul ” menjadi guru yang dirindu” dituliskan bahawa guru adalah oarng yang bersamuderakan ilmu pengetahuan. Ia adalah cahaya yang meneragi kehidupan manusia, ia adalah musuh kebodohan dan penghapus kejahiliyahan. Ia juga yang mencerdaskan akal dan mencerahkan akhlak. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk memuliakan sang guru dan menghargainya. Karena, ia adalah pembawa risalah yang paling mulia yaitu, risalah ilmu dan pendidikan yang dibawa oleh nabi dan utusan Allah yang terakhir, Muhammad saw.[4]
2. HUBUNGAN ANTARA PEMERINTAH DAN GURU-GURU
Rasulullah datang membawa agama yang benar, lalu mengajak kaumnya untuk memeluk agama tersebut dan diajarkan kepada umatnya. Beliau adalah pemimpin politik dan agama. Mengemban dua tugas itu, beliau dikatakan penuh sukses yang kemudian di lanjutkan oleh Al Chulafaur Rasyidin. Dikarenakan semakin luasnya daerah kekuasaan Islam, maka di putuskan bahwa di setiap daerah memiliki ulama yang bertugas memberikan petunjuk-petunjuk kepada umat sesuai Al-Quran. Bahkan cara ini pun pernah di contoh kan dahulu oleh Rasulullah saat beliau hendak meninggalkan kota Mekkah menuju Madinah, beliau meninggalkan seorang sahabatnya disana yang bernama Mu’az untuk memberikan pelajaran kepada kaum muslimin yang baru masuk Islam.[5]
Pada masa selanjutnya, para ulama muslimin senantiasa menyertai pasukan Islam kemanapun mereka pergi. Jadi tentara kaum muslimin saat itu tidak hanya berisi pasukan tempur, tetapi juga di sertai ulama yang bertujuan untuk berdakwah dan menyebarkan agama Islam.
Setelah berdirinya Daulah Umayyah, para Khalifah berubah sifatnya. Mereka hanya bertindak sebagai pemegang kekuasaan semata. Berbeda seperti masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin dimana pemimpin bertindak sebagai pemegang kekuasaan, pemimpin politik, dan agama. Oleh karena itu, tugas pemimpin agama beralih ke para ulama.[6] Namun guru-guru ini belum di tunjuk dan di angkat oleh negara untuk melakukan tugasnya tersebut. Mayoritas dari mereka dengan sukarela mendidik dan memberikan pengajaran agama kepada rakyat.
Khalifah-khalifah pada dinasti umayyah tidak mempunyai pendidikan agama yang luas, sehingga tidak memungkinkan untuk memberi fatwa dan pelajaran agama kepada rakyat. Dengan demikian tanggung jawab dalam bidang ini beralih ketangan para ulama, baik itu didaerah-daerah maupun dikota, dan merekalah yang bertugas untuk memberikan bimbingan dan pengajaran kepada rakyat. Akan tetapi guru-guru tersebut belumlah ditunjuk dan diangkat oleh Negara untuk melakukan tugas tersebut, mereka melakukan pekerjaannya ikhlas hanya mengharapkan ridho Allah semata, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah. Diantara mereka ada yang sukarela melakukan perjalanan jauh untuk mengajarkan ilmu kepada rakyat. Mereka memilih masjid sebagai tempat yang strategis untuk mengajar dan rakyat pun meresponnya dengan positif, mereka dengan semangat mengikuti pelajaran yang sedang diberikan sang guru. Para guru mengajarkan apa saja ilmu yang mereka tau, selain itu mereka juga memberi fatwa mengenai apa saja yang dapat diberikannya. Kegiatan ini tidak termasuk dalam lingkungan kekuasaan dan campur tangan pemerintah, selama guru-guru tidak ditunjuk dan di angkat oleh pemerintah, serta tidak mengharapkan gaji dari negara maka mereka bebas melakukan pengajaran kepada rakyat.
Masjid-masjid dalam masa itu memegang peranan selain sebagai pusat ibadah, juga sebagai pusat pendidikan agama. Di masa itu, pemerintah belum turut campur tangan sehingga para ulama dapat dengan bebas memberikan paham dan ajaran agama. Semenjak pemerintah turun tangan, dan mulai di angkatnya ulama, dan di berikannya gaji kepada mereka, pemerintah mulai mengatur vak (Mata Pelajaran) yang diberikan kepada rakyat. Terlebih setelah didirikannya perguruan-perguruan agama pada saat itu. Kebanyakan vak yang di berikan adalah cerita-cerita yang membakar semangat. Hal ini mulai dilakukan sejak tahun 38 Hijriyah.[7]
Adanya campur tangan pemerintah ini lebih terlihat menonjol ketika banyak perguruan tinggi Islam yang berdiri di wilayah kekuasaan Islam pada saat itu. Pemerintah mengatur itu dengan tujuan melenyapkan Mazhab Syi’ah serta menghilangkan buah fikiran dari golongan orang yang bersimpati kepada Mazhab itu.
Yang harus diperhatikan disini adalah campur tangan pemerintah tersebut hanyalah dalam hal pengangkatan serta pembayaran gaji para guru dalam memberikan ajaran Islam.[8] Dengan demikian, campur tangan itu tidaklah mempengaruhi beribu-ribu guru yang masih tetap memberikan pengajaran di masjid-masjid.
Nizhamul muluk telah banyak mendirikan sekolah yang diberi nama menurut dirinya sendiri dan ia telah mengatur gaji yang tinggi untuk para guru serta ulama disana. Para guru diwajibkan untuk melenyapkan mazhab syiah yang telah tersebar dimasa kekuasaan bani buwaih dan harus mengajarkan mazhab ahlisunnah. Kemudian campur tangan pemerintah ini juga terlihat dari tindakan mereka untuk menghancurkan sekolah-sekolah yang bersimpati dan menganut kepada mazhab syi’ah. Sebagai penutup, penting dijelaskan dalam bab ini bahwa capmur tangan pemerintah hanyalah ditunjukkan khusus untuk guru-guru yang diangkat dan ditentukan pekerjaannya, serta dibayar gajinya oleh pemerintah. Dengan demikian campur tangan pemerintah tidaklah termasuk kepada guru-guru yang masih mengajar di mesjid-mesjid, dan ditangani oleh rakyat untuk menerima ilmu pengetahuan dari mereka.
Pada permulaan masa abbasiyah, bangsa Persia sangat berpengaruh dalam Negara islam, sehingga kebudayaan islam pun mempengaruhinya. Setelah hilang pengaruh Persia, muncullah pengaruh turki. Pada masa itu berdirilah madrasah-madrasah yang jumlahnya banyak di seluruh Negara islam. Diantara penyebab berdirinya madrasah pada masa tersebut sebagai berikut[9]:
1. Untuk mengambil hati rakyat
Pembesar-pembesar turki yang berkuasa dalam Negara tertutama di bidang militer, mereka bukan bangsa arab dan bukan keturunan nabi Muhammad saw. Maka dari itu mereka harus mengambil hati rakyat dengan tujuan memajukan agama dan mementingkan pendidikan dan pengajaran. Bahkan terkadang beberapa dari mereka nikah dengan anak gadis khalifah.
2. Untuk mengaharapkan rahmat dan ampunan tuhan
Pada masa itu banyak orang yang melakukan maksiat. Pembesar-pembesar dan sultan hidup dalam kemewahan, berpesta ria dan melakukan perbuatan yang memuaskan hawa nafsu. Karena itu mereka beramal menyebarkan agama dengan mendirikan madrasah-madrasah untuk menyebarkan ilmu kepada seluruh rakyat. Dengan harapan semoga mendapat keredaan dan ampunan Allah.
3. Untuk menjamin kehidupan anaknya
Pembesar-pembesar turki yang menjadi khalifah dalam satu wilayah telah menjadi kaya raya dengan hasil bumi dan kekayaan yang dipungutnya dalam wilayahnya. Mereka khawatir, apabila mereka mati harta kekayaan mereka akan di ambil sultan seluruhnya, sehingga anak-anak mereka hidup melarat menjadi fakir miskin. Maka dari itu mereka wakafkan tanah atau rumah-rumah mereka. Mereka menetapkan diantara persyaratan wakaf itu, adalah yang menjadi pengurus wakaf adalah anak mereka sendiri lalu berlanjut di terus ke cucu-cucunya. Dengan demikian terjaminlah kehidupan anak dan cucu mereka karna harta wakaf itu tidak dapat di ganggu gugat oleh siapapun sebab ia milik Allah.
4. Untuk memperkuat aliran ke-agamaan bagi sultan atau pembesar
Pada masa kekuasaan turki banyak perselisihan antara aliran-aliran agama, terutama antara syi’ah dan ahli sunnah. Oleh sebab itu sultan mendirikan madrasah untuk menyiarkan aliran (mazhabnya), misalnya salahuddin mendirikan madrasah di baitul maqdis dalam rangka menyiapkan kader-kader untuk menentang syi’ah.
Eksistensi madrasah memiliki sejarah yang panjang selama perjalanan peradaban islam, dan berkontribusi terhadap lahirnya tradisi intelektual islam. Ia merupakan transformasi institusi pendidikan islam sebelumnya, seperti kuttab, masjid dan lain-lain. Meskipun tradisi keilmuwan secara langsung tidak lahir di institusi madrasah, karena madrasah langsung di tangani oleh pemerintah, namun institusi ini telah menumbuhkan kecintaan dan gairah para intelektual islam terhadap ilmu pengetahuan.[10]
3. KEDUDUKAN SOSIAL GURU-GURU
Al Jahizh, sebuah media tulis zaman itu menempatkan semua guru berada pada tingkatan sosial yang sangat rendah. Dalam kitabnya itu dijelaskan bahwa guru ada dua macam, pertama adalah guru yang tadinya memberi pelajaran ke rakyat biasa yang kemudian meningkat menjadi mengajar ke putra-putri raja, dan yang kedua adalah guru yang tadinya mengajar kepada rakyat biasa dan pada akhirnya tetap mengajar kepada rakyat.
Namun jika di pandang dari segi kedudukan sosial dan penghasilan, para guru itu terbagi atas tiga golongan[11], yaitu;
1. Para Mu’allim Kuttab (Guru-guru di sekolah Anak-anak)
2. Para Muaddib (Pendidik putra-putri para pembesar Kerajaan)
3. Para guru yang memberikan pelajaran langsung di masjid-masjid dan di sekolah-sekolah.
Masing-masing dari golongan tersebut memiliki keadaan yang berbeda dari golongan lainnya. Penjelasan lebih lengkapnya adalah sebagai berikut;
a. Para Mu’allim Kuttab ( guru pengajian al qur’an dan guru sekolah anak-anak )
Para Mu’allim Kuttab atau Mualimu Shibjan (Guru Kanak-kanak) adalah pameo untuk menunjukkan kehinaan atau kerendahan seseorang. Hal ini didasarkan karena kebanyakan guru-guru pada saat itu adalah orang-orang yang tidak berpendidikan yang bodoh dan takut berperang. Sehingga mereka memilih menjadi guru karena pada saat itu para guru dapat terbebas dari tugas jihad.
Awalnya masyarakat percaya bahwa guru-guru tersebut adalah para ulama yang adil dan ahli dalam mengeluarkan fatwa. Akan tetapi kebodohan dan kejelekan akhlak mereka belakangan di ketahui masyarakat. Bahkan pemimpin mereka yang dikenal dengan sebutan “Al-Milthath”, yaitu orang yang amat berani menjadi saksi palsu. Karena hal ini, kesaksian para Mu’allimul Kuttab dalam persidangan di ragukan pada saat itu.[12]
Akan tetapi, hal itu tidak mempengaruhi para pembahas yang teliti. Bahkan ada diantara Mu’allimul Kuttab yang mempunyai kedudukan yang di hargai, di hormati, ahli chath, dan ahli sastra. Seorang ahli ketimuran bernama Goldziher dan Lammens berpendapat bahwa yang menyebabkan pandangan orang begitu rendah kepada para Mu’allim Kuttab ialah karena kebanyakan dari mereka terdiri dari bekas hamba sahaya. Bisa jadi cara pandang yang di timpakkan kepada para guru disebabkan oleh riwayat jenaka dari Yunani, karena dalam riwayat tersebut digambarkan bahwa guru adalah seseorang yang menggelikan.
b. Para Muaddib (pendidik putera-putera pembesar)
Berbeda dengan Mu’allim Kuttab, pekerjaan sebagai Muaddib adalah pekerjaan dambaan dan terhormat karena dapat mendatangkan keuntungan moril dan materil yang besar bagi orang yang melakukannya, karena di pandang sebagai pembimbing raja dan pemelihara kerajaan. Tak jarang, sang pendidik di nisbahkan mencantumkan nama keluarga yang di didik di belakang namanya tersebut.[13] Contohnya seperti Abu Muhammad Yahya Ibnu Mughirah sering disebut Al-Jazidi, lantaran ia berteman dengan Jazid Ibnu Mansur, paman Al Mahdi yang bekerja sebagai muaddib bagi puteranya, maka ia dinisbatkan kepadanya
Muaddib perlu pula menghubungkan pendidikan sebagai proses “memperadabkan” insan. Pendidik dalam konteks muaddib harus mempunyai kualiti ilmu dan tahu sumber ilmu yang dinukilkan agar dapat menggunakan nila-nilai al-qur’an dan Sunnah sebagai jalan “memperadabkan” para pelajar.[14]
Memang benar diantara para ulama ada yang menolak untuk menjadi muaddib, seperti Al-Khalil ibnu Ahmad. Namun hal tersebut bukanlah berarti mereka menganggap rendah pekerjaan tersebut, melainkan semata-mata karena sifad zuhud dan waranya, serta keinginan untuk menjauhkan diri dari kemewahan dan kemashuran. Khalifah-khalifa dan para pembesar telah memberikan perhatian kepada para muaddib yang mendidik putra-putra mereka dengan memberikan kedudukan social yang sesuai dengan fungsi mereka. Dibawah ini sebagian daftar nama-nama para muaddib yang pernah bekerja sebagai pengajar putra-putra khalifah dan para pembesar:
Muaddib
|
Murid-muridnya
|
Sumber
|
Ad-dahhak ibnu Muzahim ‘amir As sya’bi
|
Putra-putra khalifah Abdul Malik Ibnu Marwan
|
Brockelman, SI, 235
|
Muhammad Ibnu Muslim Azzuhri
|
Ibnu Hisam Ibnu ‘Abdil Malik
|
Tazkiratus sami’ wal Mutakalim, h: 17
|
Abdushshamad Ibnu Abdil A’la
|
Al walid Ibnu Jazid
|
Alaghani, VI: 134
|
Jazid Ibnu Musahiq Assulami
|
Al walid Ibnu Jazid
|
Brockel. GI 190, S. 1332
|
Al-Ja’du Ibnu Adham
|
Marwan Ibnu Muhammad
|
Duhal Islam,II: 54
|
Al mufaddal ad dibbi
|
Al-Mahdi
|
Thabaqatul Udaba’, h: 67
|
Syarqi Ibnul Quthami
|
Al-Mahdi
|
‘Ashrul Ma’mun I: 174
|
c. Guru di Masjid dan Madrasah-Madrasah
Kedudukan para Guru di Masjid dan Alim Ulama pada masa itu berada pada posisi dan martabat yang tinggi. Hal ini dikarenakan mereka telah diyakini masyarakat memiliki pengetahuan dan ahli dalam bidang tersebut. Hal ini di buktikan dengan adanya kisah dan cerita menyangkut Khalifah dan kerajaan yang secara teknis menjunjung tinggi derajat dan martabat Para Alim Ulama.
Jika dihubungkan dengan zaman sekarang di negeri kita ini, dalam buku “’menjadi guru profesional” dituliskan bahwa tugas dan peran guru tidaklah terbatas didalam masyarakat, bahkan guru pada hakikatnya merupakan komponen strategis yang memilih peran yang penting dalam menentukan gerak maju kehidupan bangsa. Keberadaan guru bagi suatu bangsa amatlah penting, apalagi bagi suatu bangsa yang sedang membangun, terlebih-lebih bagi keberlangsungan hidup bangsa ditengah-tengah lintasan perjalanan zaman dengan teknologi yang kian canggih dan segala perubahan serta pergeseran nilai yang yang cenderung memberi nuansa kepada kehidupan yang menuntut ilmu dan seni dalam kadar dinamik untuk dapat mengadaptasikan diri.[15]
4. SITUASI KEUANGAN GURU-GURU
Sebelum membahas siatuasi keuangan guru-guru lebih lanjut, ada baiknya kita memahami bahwa kebanyakan guru-guru Islam pada mulanya mengajarkan ilmunya hanya karena ingin berkhidmat kepada pengetahuan dan semata-mata mengharap ridho dan pahala dari Allah SWT. Para Ulama pada masa itu berkata: “Orang-orang yang bekerja dalam bidang ilmu pengetahuan itu adalah orang-orang yang bercita-cita tinggi dan berjiwa suci, yang mencari ilmu semata-mata karena kemuliaan dan kesempurnaannya. Akan tetapi bila ilmu pengetahuan itu di ajarkan dengan mendapatkan gaji, niscaya ia di dekati oleh orang-orang yang berjiwa rendah dan pemalas, sehingga menyebabkan kemerosotan dan kelemahan ilmu pengetahuan itu.”
Lalu muncul dalam benak kita tentang bagaimana awal adanya pembayaran gaji bagi Ulama Islam? Singkatnya, jawaban tersebut tersimpul dalam dua fakta sebagai berikut;
1. Sudah sejak masa permulaan Islam telah ada beberapa orang Islam yang memberikan pelajaran di masjid-masjid kepada pendengarnya dengan tidak bertujuan untuk berkhidmat kepada ilmu pengetahuan dan mendapat keridhoan Allah SWT, tetapi dengan tujuan untuk mendapatkan upah materil. Hal ini muncul pada zaman Khalifah Mu’awiyyah guna menyebarkan propaganda bagi golongan tertentu dan untuk menanamkan fikiran tertentu kepada rakyat.
2. Banyak kaum muslimin yang ingin berkhidmat di bidang ilmu pengetahuan menggunakan tenaga-tenaga dari umat Non-Muslim untuk menterjemahkan buku-buku ke dalam bahasa Arab. Mereka ini menerima gaji yang tinggi untuk pekerjaan tersebut.[16]
Praktek ini terus berlanjut sehingga lama kelamaan pemberian gaji kepada guru-guru itu dianggap sebagai soal biasa dan wajar tanpa memandang mata pelajaran apa yang di ajarkan maupun agama apa yang di anut mereka. Demikian fikiran tentang pemberian gaji tersebut mulai timbul dan kemudian berkembang keseluruh pelosok alam Islami. Namun, tak jarang juga Ulama yang masih tetap zuhud dan senantiasa mengikuti jejak Nabi dan sahabat-sahabatnya dalam mengajarkan ilmu pengetahuan semata-mata mencari Ridho Allah SWT.
Sekarang kita berbicara tentang situasi keuangan guru-guru menurut golongan dan tingkatannya masing-masing dengan sistem yang telah kita pakai dalam membicarakan taraf hidup kedudukan sosial mereka dahulu.
a. Para Guru Sekolah Kanak-Kanak (Mu’allimul Kuttab)
Pada umumnya keuangan mereka sangat kerdil, mungkin karena kedudukan sosial mereka yang begitu rendah di mata masyarakat. Benar atau salahnya pendapat ini, tentu berpengaruh besar terhadap situasi keuangan mereka. Oleh karena itu, digambarkan bahwa situasi keuangan mereka amat minim. Di Sicillia, penghasilan Mu’allimul Kuttab tak lebih dari sepuluh dinar pertahun.
Secara umum, gaji tersebut terbagi dalam dua golongan;
1. Sejumlah kecil uang di tambah sepotong roti yang di berikan setiap minggu oleh hampir semua anak.
2. Gaji yang di bayarkan oleh anak yang dalam pelajarannya telah mencapai kesuksesan atau dalam hal ini hafal suatu surat dari surat-surat tertentu. Apabila si anak telah berhasil menghafal seluruh isi Al-Quran, barulah tampak kemurahan hati yang berlimpah-limpah seperti bahan sandang, pangan, uang, dan sebagainya sesuai dengan keadaan keluarga si anak.[17]
b. Para Muaddib (Guru Putra-Putri Pembesar)
Para Muaddib telah dapat menikmati kekayaan dan kemakmuran seperti yang dapat dinikmati oleh pembesar-pembesar kerajaan itu sendiri. Kebanyakan para muaddib selain mendapatkan uang, mereka juga mendapatkan tempat tinggal, pembagian bahan-bahan makanan secara tetap dan teratur, serta hadiah-hadiah dan pemberian-pemberian lainnya. Banyaknya sumber yang menyatakan bahwa gaji seorang Muaddib adalah seribu dirham perbulan atau setara 70 dinar perbulan.
c. Para Guru Alim Ulama di Masjid dan Sekolah
Suatu hal yang dapat kita pastikan adalah para ulama dan guru dari golongan ini telah berada dalam taraf kehidupan yang makmur. Mereka menikmati ini karena Khalifah, Sultan, dan para Pembesar sangat memperhatikan kepentingan mereka.
Setelah sekolah-sekolah di bangun, dan guru-gurunya diangkat, maka guru-guru ini mendapat gaji bulanan yang teratur. Gaji tersebut dapat di ambil di kantor perbendaharaan umum atau dari penghasilan badan-badan waqaf yang memang di beri tugas untuk membiayai lembaga-lembaga tersebut. Gaji yang mereka terima umumnya tergantung pada hasil badan waqaf dan tingkatan ilmu mereka, akan tetapi umumnya gaji yang di terima cukup tinggi.
Berikut faktor yang mempengaruhi besar kecilnya penghasilan seorang guru;
1. Besar kecilnya waqaf yang di berikan untuk sekolah-sekolah,
2. Kedudukan dan kemasyuran guru itu di kalangan masyarakat,
3. Penguasa yang menjabat, apabila penguasa dermawan maka penghasilan besar, begitu pula sebaliknya. Hal ini disebabkan adanya kegoncangan moril pada masa itu.[18]
5. GURU BESAR-GURU BESAR DI SEKOLAH NIZHAMIYAH
Sekolah–sekolah nizhamiyah merupakan suatu perguruan tinggi yang bertujuan menyebarkan ilmu-ilmu pengetahuan. Guru-guru disekolah ini memilih para ulama dan guru besar yang terkenal untuk menjadi pengajar. Nizamiyah adalah salah satu nama sekolah/madrasah yang dibangun pada masa Dinasti Saljuq, yang mana pada zaman Dinasti Saljuq ini telah banyak didirikan lembaga-lembaga pendididkan. Karena dalam catatan sejarah periode Saljuq ini merupakan periode ke-2 dari kekhalifahan Abbasiyah. Dinasti saljuq didirikan oleh Tughril Beg pada tahun 429 H/1037 M.[19] Dinasti ini berkuasa di lingkungan Abbasiyah setelah mengalahkan kekuasaan Dinasti Buwaihi yang dikuasai oleh penganut Syi’i. Sedangkan Dinasti Saljuq sendiri menganut aliran Sunni, sejak itulah kekuasaan Dinasti Syi’i berakhir dan digantikan oleh Dinasti Sunni. Hal ini berlangsung kurang lebih selama dua abad.
Sekolah Nizamiyah ini didirikan oleh seorang wazir/menteri yang terkenal di Dinasti Saljuq, yang bernama “Nizam Al-Mulk”. Sekolah-sekolah nizamiyah didirikan di beberapa kota, seperti kota Baghdad, Balkh, Naisabur, Harat, Ashfahan, Basrah, Marw, mausul dan lain-lain. Namun Nizamiyah yang terkenal dan terbesar ada di kota Baghdad.
Sekolah Nizamiyah setara dengan Universitas-universitas tinggi pada zaman sekarang. Guru-guru/ulamanya pun dipilih yang termasyhur, terkenal dan mempunyai ilmu pengetahuan yang luas. Diantara guru-guru Nizamiyah adalah Abu Ishaq As-Syirazi (guru pertama di Nizamiyah), kemudian dilanjutkan oleh Abu Nash Ash-Shabagh, dan ada pula seorang ImamAl-Haramain yang menjadi guru di Nizamiyah, yang bernama Abul Ma’ali Yusuf Al-Jawaini dan masih banyak lagi guru-guru yang mengajar di Nizamiyah.
Setiap sekolah itu didirikan sudah tentu mempunyai tujuan. Dan tujuan Nizamiyah ini didirikan ialah untuk memperkuat pemerintahan Turki Saljuq dan untuk menyiarkan Mazhab ahli Sunnah ke seluruh rakyat, karena pada sebelumnya bermazhab Syi’i dari kaum syiah dibawah pemerintahan Buawiyah.[20]
Materi yang diajarkan di sekolah Nizamiyah ini lebih ditekankan kepada materi keagamaan versi Sunni ke dalam kurikulum sekolah Nizamiyah. Hal ini dilakukan karena Dinasti Saljuq mendirikan sekolah ini mempunyai tujuan, yaitu dijadika alat propaganda tandingan untuk menekan pengaruh aliran Syi’i dan menyebarluaskan aliran Sunni di tengah-tengah masyarakat di seluruh wilayah kekuasaan Dinasti Saljuq.[21]
Berikut ini beberapa nama guru di sekolah nizhamiyah antara lain sebagai berikut:
Nama guru
|
Tahun wafatnya
|
Tempat mengajar di sekolah nizhamiyah
|
Sumber informasi
|
Abu Ishaq As-syiraji
|
476 H
|
Baghdad
|
Ibnu Chalikan I : 6
|
Imam Ah haramain Abul Ma’ali Jusuf Al Djawaini
|
478 H
|
Nisyabur
|
Ibnu Chalikan I: 407
|
Abu Bakr Muhammad Ibnu Tsabit As-syafi’i
|
483 H
|
Isfahan
|
Ibnul Atsir I: 251
|
Muhammad Ibnu ‘Ali Ibnu Hamid
|
495 H
|
H’arat
|
Ibnu Qadli syuhbah, hal. 65-a
|
Ahmad Al Maihani
|
527 H
|
Merw
|
Thabaqatus Syafi’iyah, 4: 203
|
Jusuf Ad-dimasyqi
|
563 H
|
Churistan
|
Ibnul Atsir II: 219
|
Muhjidin Abu Hamid
|
586 H
|
Mausil (mosul)
|
Dr.Dawud Djalbi, machthuthat Almausil, h.10
|
Keterangan:
Madrasah nizhamiyah di baghdad lebih panjang masanya dari madrasah-madrasah nizhamiyah yang lainnya. Madrasah di bagdad yang terletak di ibukota ini lebih kaya dan besar, sehingga berhasil mendapat kekuatan dan sanggup menghadapi masalah-masalah yang ada. Tetapi pada saat terjadi peperangan di bagdad, madarasah nizhamiyah adalah salah satu lembaga yang ditimpa bencana peperangan ini. Akhirnya madrasah rubuh dan menjadi puing-puing.
6. PARA PENGULANG
Pengulang bukanlah guru, tetapi lebih tinggi kedudukannya dari pelajar biasa. Tugasnya adalah membantu para pelajar yang lain dalam mempelajari pelajaran sesudah guru mereka memberikan kuliah yang pada masa itu disebut “Khutbah”. Atau dengan kata lain, pengulang tersebut adalah “Assisten” bagi guru yang menyiarkan ilmu pengetahuan.
Adapun tugas pengulang antara lain;
1. Menjelaskan bagian yang sukar dari pelajaran yang telah di berikan,
2. Membantu pelajar yang kecerdasannya terbatas,
3. Memahami bagian yang sukar di waktu guru menerangkan pertama kali.
Jabatan sebagai pengulang barulah timbul pada abad kelima hijriah, disamping itu tenyata ada hubungan erat antara pengulang dengan sekolah-sekolah. Hal ini disebabkan sekolah-sekolah menerima pelajar yang berbeda tingkat kefahaman mereka, sehingga dibutuhkan pengulang untuk membantu para pelajar yang tingkat kefahamannya rendah agar mereka sejajar dengan teman-teman yang lainnya. Adapun pelajaran yang diselenggarakan di mesjid-mesjid , apabila ada seorang pelajar yang merasa tertinggal dari kawan-kawan sekelompoknya,maka ia dapat saja pindah kelompok yang sesuai dengan taraf kesanggupannya.
Dikarenakan taraf ilmiah setiap sekolah berbeda-beda, tak jarang ada seorang guru selalu bersedia menjadi pengulang di sekolah lain yang taraf ilmiahnya lebih tinggi karena ia mengharapkan agar ilmunya bertambah apabila bekerja di bawah pengawasan guru yang luas ilmunya dan banyak pengalamannya. Tak jarang juga seorang pengulang di suatu sekolah dapat di angkat menjadi guru di sekolah lain karena sekolah pertama lebih tinggi taraf didikannya dari sekolah yang kedua.[22]
7. KEADAAN MENTAL GURU DAN KEWAJIBAN MEREKA
Al-Qalqasyandi dalam bukunya yang berjudul “Shubhul-A’sya” menyatakan bahwa syarat-syarat fisik yang harus dipenuhi oleh calon-calon guru antara lain;[23]
1. Perawakannya bagus,
2. Keningnya jelas,
3. Dahinya lebar dan tiada di tumbuhi rambut.
Sedangkan syarat-syarat fikirannya antara lain;
1. Kecerdasan fikiran,
2. Cepat tanggap dan mudah memahami.
Dan syarat akhlak antara lain;
1. Memiliki rasa keadilan,
2. Berhati Suci dan bersih,
3. Lapang dada.
Menurut Piaget, untuk mengkondisikan anak berpikir kreatif, guru hendaknya memberikan suatu persoalan, lalu ketika anak dapat menjawab soal tersebut, guru mengembangkan persoalan tadi ke taraf atau level yang lebih tinggi, sehingga anak dapat menemukan struktur intelektual yang lebih tinggi.[24]
Guru hendaknya ingat bahwa ilmu pengetahuan diperoleh dengan pandangan hati nurani, sedangkan tindakan di tanggap dengan pandangan mata, sedangkan orang yang memiliki pandangan mata lebih banyak. Maka hendaknya guru mengajar dengan tindakannya, karena mengajar dengan perbuatan lebih tepat ketimbang mengajar dengan lidah.
Guru merupakan public figur yang selalu menjadi sorotan dan perhatian murid-murid. Oleh karena itu, seorang guru harus menjadi “uswatun hasanah” dalam setiap sikap dan perilakunya bagi mereka, di samping sebagai pembimbing moral dan spiritual yang konsisten.[25]
Di samping itu, guru hendaknya bersikap kasih sayang terhadap muridnya, dan memperlakukan mereka seperti anaknya sendiri. Jangan segan memberikan nasihat kepada si murid. Dan hendaknya melarang murid untuk naik ke tingkat lebih lanjut bila ia belum berhak dan belum sanggup untuk itu. Selain memajukan akal murid, seorang guru juga hendaknya memberikan perhatian besar terhadap akhlak murid-muridnya. Guru juga sebaiknya menjauhkan muridnya dari akhlak buruk dengan cara sindiran sebisa mungkin. Hindari teguran secara terus terang kecuali jika memang terpaksa.
Dalam memilih masalah untuk diajarkan, guru sebaiknya memilih masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari hari untuk pelajar tingkat pemula. Hal ini didasari karena masalah semacam ini mudah mereka fahami dan lebih meresap dalam fikiran mereka. Guru juga berkewajiban memberikan perlakuan yang sama terhadap murid-muridnya, tanpa adanya diskriminasi.[26]
Menurut al-Qalqasyandi, guru itu apabila ingin berbicara untuk menyampaikan suatu materi, maka pikiran terlebih dahulu kata-kata apa yang ingin dikeluarkan. Sebaiknya kata-kata itu yang baik, mudah diserap dan dipahami oleh seorang murid. Dan janganlah sekali-kali berbicara terlalu cepat dan samar-samar didengarnya. Karena hal itu akan membuat mental seorang guru itu turun dan murid yang mendengarkannya pun tidak memahami apa yang disampaikan oleh guru tersebut.
Bahasa menurut arti dan pemakaiannya merupakan suatu struktur dengan unsur-unsur permanen yang terbatas jumlahnya, baik dipandang sebagai teks sendiri maupun dalan bidang kehidupan manusia seperti budaya, kepribadian dan bahasa-satra. Unsure-unsur ini merupak relasi-relasi dan oposisi-oposisi satu dengan yang lainnya, yang sedemikian berat kaitannya, sehingga jikalau satu unsure berubah maka seluruh struktur ikut berubah. Ini juga berlaku untuk bahasa, apabila satu konsep berubah maka konsep lainnya ikut berubah. Jadi dengan bahasa, guru-guru juga harus diperhatikan dan lebih baik menggunakan bahasa yang baik. Karena jika tidak, anak murid pun akan mengikuti bahasa kita yang kurang baik. Hal ini kurang baik dalam pendidikan, khususnya dalam kegiatan belajar-mengajar.
Telah diriwayatkan oleh Ibnu Muqaffa, bahwasannya ia adalah seorang imam bagi masyarakat, beliau telah memberikan nasehat bahwa seorang guru itu sebelum ia memulai mengajar dan mendidik orang lain, terlebih dahulu ia harus mengajar dan mendidik dirinya sendiri, serta membetulkan segala tindak tanduknya, pikirannya dan kata-katanya, karena mengajar dengan tingkah laku lebih baik daripada mengajar dengan lidah.[27]
Dan yang terakhir seorang guru mempunyai kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap murid-muridnya, tanpa adanya deskriminasi, harus selalu insaf dan berlaku adil.[28]
Menurut Prof. Suyanto, Ph.D. Dirjen Mendikdasmen : “Guru harus diajak berubah dengan dilatih terus-menerus dalam pembuatan satuan pelajaran, metode pembelajarannya yang berbasis inquiry, discovery, contextual teaching and learning, menggunakan alat bantu, menyusun evaluasim perubahan filosofinya, dan lain-lain.”[29]
Jika guru telah memiliki kapasitas guru profesional, tuntutan kurikulum bagaimanapun akan mudah dijalankan. Guru harus kompeten dengan materi yang akan disampaikan, selain itu yang terpenting setiap guru harus berkomitmen untuk menjadi guru professional.
Pada abad 21 sekarang ini, para guru di tuntut untuk profesional. Maksud dari professional yaitu ia harus memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Atau dengan kata lain guru professional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya dibidangnya. Mengingat tugas dan tanggung jawab guru yang begitu banyak, maka profesi ini memerlukan persyaratan khusus antara lain dikemukakan sebagai berikut:
1. Menuntut adanya keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam.
2. Memfokuskan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya.
3. Menuntut adanya tingkat pendidikan keguruan yang memadai.
4. Menyadari bahwa pekerjaan yang dilakukannya berhubungan dengan masyarakat.
Selain persyaratan tersebut menurut Drs.Moh.Uzer Usman masih ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap pekerjaan yang tergolong kedalam suatu profesi antara lain[30]:
1. Memiliki kode etik, sebagai acuan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
2. Memiliki klien atau objek layanan yang tetap, seperti dokter dengan pasiennya, guru dengan muridnya.
3. Diakui oleh masyarakat karena memang diperlukan jasanya di masyarakat.
8. IJAZAH-IJAZAH ILMIAH
Pada masa permulaan Islam belum di kenal adanya Ijazah sekolah. Pelajar berusaha menuntut ilmu sesuai kesanggupan bakat dan keuangan yang ada padanya. Mereka puas dengan mendapatkan sedikit ilmu atau pengetahuan yang banyak sesuai keadaan pribadinya. Apabila ingin menjadi guru, maka ia diberi kebebasan untuk menetapkan sendiri yang tepat dimana kemampuannya sudah di rasa cukup untuk menduduki posisi guru. Menjadi guru merupakan hal yang di takuti dikarenakan khawatir akan adanya hujan pertanyaan yang kadang meningkat ke taraf “menantang” jika jawabannya dapat memuaskan hadirin, maka hal itu berarti ia sanggup meneruskan pekerjaan sebagai guru. Apabila masa ini sudah terlewati, bisa di katakan ia akan aman bila sewaktu-waktu khilaf atau salah.
Akan tetapi sebaliknya, bila ia tidak sanggup melewati badai pertanyaan yang di ajukan murid-muridnya, maka ia harus kembali kepada keadaan yang semula dimana ia belajar lagi kepada guru-gurunya. [31]
Kata-kata “ijazah” disini adalah suatu istilah yang menunjukan adanya izin yang diberikan, tanpa memberikan pelajaran terlebih dahulu kepada yang diberikan ijazah tersebut. Namun pengertian disini berlawanan dengan Imam Syafi’i, beliau tidak setuju apabila ijazah tersebut diberikan begitu saja tanpa mendengarkan dan belajar secara langsung kepada guru tersebut. Ijazah semacam ini menunjukan taraf ilmiah, bahwa sebagaimana yang dilakukan oleh seorang syech/guru, bersedia memberikan ijazah apabila seseorang itu memiliki ilmu pengetahuan yang memungkinkannya untuk mengajarkan dengan baik buku yang telah diizinkan kepadanya atau untuk meriwayatkan suatu hadits yang telah diizinkannya.
Selanjutnya keadaan tetap berjalan demikian, akan tetapi Hadist dan cara meriwayatkannya mendapatkan perhatian khusus di kalangan kaum Muslimin. Pembahasan pada ilmu tersebut jauh lebih luas dari ilmu-ilmu lainnya. Sistem “An-Anah” (Dari si Fulan, dari si Fulan, dan seterusnya.) dalam meriwayatkan hadis Hadist pada masa itu sangat penting dan diikuti dimana-mana. Guru-guru pun tidak berani meriwayatkan Hadist sebagaimana mengajarkan ilmu-ilmu yang lain. Demi untuk ketelitian dalam hal ini, maka para ahli hadist memberikan Syahadah (Surat Keterangan) mengenai hadis-hadis yang diriwayatkannya dari guru-guru tersebut, dan mereka memberikan izin kepada murid-muridnya itu untuk meriwayatkan Hadist tersebut dari mereka kepada orang lain.
Kemudian cara ini dipakai dalam ilmu lainnya. Apabila pelajar telah mencapai kesuksesan dalam memahami ilmu yang di turunkan gurunya, maka guru itu menulis Syahadah pada halaman pertama atau halaman terakhir dari bukunya. Misalnya dikatakan: “Si Fulan telah selesai membaca kitab ini ............. dan aku telah memberikan izin baginya untuk mengajarkannya.”[32]
Dengan demikian, maka jurusan pendidikan yang telah di tempuh pelajar menjadi jelas lewat buku tersebut, dan menjelaskan tingkatan pendidikan yang di perolehnya dengan sendirinya karena tingkatan buku-buku tersebut memang berbeda-beda isi dan pembahasannya. Dengan demikian, ada kemungkinan seorang pelajar berhasil mendapatkan Ijazah dalam suatu mata pelajaran tertentu tetapi ia masih menjadi pelajar dalam mata pelajaran lainnya.
Adapun syarat sahnya sebuah Ijazah antara lain;
1. Cabang tersebut cocok dengan ajaran pokok.
2. Orang yang memberikan Ijazah hendaknya paham betul ilmu yang di Ijazahkan, dapat di percaya agama dan riwayat-riwayatnya, dan terkenal ilmu pengetahuannya.
3. Yang menerima Ijazah haruslah termasuk kalangan ahli ilmu pengetahuan (Sarjana), dan memiliki sifat layaknya seorang sarjana dimana ia paham dan tahu meletakkan ilmu pengetahuan di tempatnya yang wajar.
Cara memberikan Ijazah pun ada bermacam-macam, diantaranya:
1. Lewat Pemberian
Seorang guru mengatakan kepada muridnya, “Ambillah bagian ini, sebab ini adalah sebagian dari Hadist yang kuhafal dan aku mengetahui arti yang terkandung di dalamnya. Maka aku riwayatkanlah dengan mengatakan bahwa engkau telah menerimanya dariku atau turunkanlah Hadist ini dan cocokkan turunan itu dengan asalnya, kemudian riwayatkanlah dengan mengatakan engkau telah menerimanya dariku.”
Ijazah semacam ini disebut “Munawalah” dan inilah yang tertinggi tingkatnya. Sedangkan perawi yang meriwayatkan haditsberdasarkan munawalah biasanya dengan menyertakan kata-kata : [33]
2. Lewat Tulisan
Seorang guru menulis kepada muridnya sebagai berikut: “Kepada Fulan Ibnu Fulan, aku telah memberikan izin kepadamu untuk meriwayatkan apa-apa yang di dengar si Fulan dariku atau apa-apa yang di terkandung dalam bagian itu.”
Izin semacam ini hampir sama dengan “Munawalah” tersebut di atas kalau tulisannya dapat di pastikan.
3. Lewat Lisan
Seorang Guru berkata kepada muridnya, “Aku telah memberimu izin untuk meriwayatkan Hadist Shahih yang ada padamu yang benar-benar kau peroleh dariku.”
Ijazah ini lebih rendah tingkatannya dari pada Ijazah yang dituliskan dengan menentukan apa yang di izinkan itu.
Beberapa ilmu pengetahuan seperti ilmu kedokteran misalnya, mempunyai arti penting karena terkadang akibat kelalaian nyawa orang bisa melayang. Oleh sebab itu, sejak masa permulaan sudah di tentukan syarat-syarat bagi siapa yang ingin bekerja sebagai dokter harus lulus ujian dan mendapatkan Ijazah tertulis dimana di tetapkan penyakit apa saja yang bisa diobatinya.
9. HUKUMAN-HUKUMAN
Apabila sang guru mengalami kesukaran dalam menghadapi anak didiknya padahal ia telah mencurahkan segenap perhatiannya untuk melatih anak didiknya tersebut, maka hendaklah dibiarkan anak tersebut tanpa sesuatu perasaan kurang senang terhadapnya. Kemudian barulah menuntun dan mendidik anak itu sesudah ia beristirahat beberapa waktu.
Ibnu Khaldun mengemukakan masalah hukuman dalam bukunya al-muqoddimah yaitu dalam Bab “Kekerasan pada siswa dapat membahayakan”. Ia mengkhritik para ulama pada zamannya yang mendidik anak dengan keras dan kasar. Ia mengisyaratkan pentingnya kita memahami jiwa psikologis siswa, sehingga kita dapat mengerti dan meluruskan kesalahannya. Menurutnya perlakuan buruk yang dilakukan guru terhadap siswa juga akan menyebabkan perlakuan menyimpang sebagai bentuk pengarus psikologis, dan selanjutnya anak terjadi penyimpangan pula pada perilakunya akibat dari kekerasan dan kekasaran dalam mendidik siswa.[34] Ia memiliki pandangan bahwa memakai kekerasan atau menerapkan hukuman fisik dalam lembaga-lembaga pendidikan merupakan sesuatu yang buruk. Oleh karena itu masyarakat muslimin membedakan antara kekerasan dan pukulan ringan yang terpaksa dilakukan oleh guru.
Kesalahan yang dilakukan anak-anak pertama kali hendaknya dimaafkan. Untuk yang kedua kali hendaklah di beri arahan tidak langsung dengan berkata: “Perbuatan begini atau begitu adalah perbuatan jelek”. Dan untuk ketiga kali baru di tegur secara langsung, dan jika ternyata masih diulangi maka dibolehkan di beri hukuman ringan atau pukulan.[35]
Sesungguhnya tujuan pemberian hukuman dalam pendiidkan islam tiada lain hanyalah untuk memberikan bimbingan dan perbaikan, bukan untuk pembalasan apalagi kepuasan hati. Oleh karena itulah, harus diperhatikan watak dan kondisi anak yang bersangkutan seb[36]elum guru menjatuhkan hukuman terhadap siswa. Selain itu harus pula diberikan keterangan mengenai kekliruan yang dilakukan oleh siswa tersebut, serta memberinya semangat untuk memperbaiki diri setelahnya. Setelah itu kita juga harus memaafkan kesalahan-kesalahan dan kealphaan manakala anak yang bersangkutan telah memperbaiki diri.
Fakta yang harus di perhatikan dalam memberikan hukuman antara lain:
1. Hukuman badan atau pukulan hanya boleh dilakukan terhadap anak yang berumur lebih dari 10 tahun tetapi belum mencapai usia remaja. Maka tidak boleh memukul anak-anak yang berusia di bawah sepuluh tahun, dan kepada pelajar yang telah lanjut usia.
2. Guru dapat menggunakan hukuman badan jika keadaan memang mendesak dan terpaksa melakukan itu. Dan jika keadaan memang memaksa guru melakukannya, hendaknya hal tersebut dilakukan dengan resa kasih sayang sebagai seorang pendidik, bukan semata-mata pelampiasan kemarahan dan emosi.
3. Pukulan hendaknya menggunakan cambuk yang lembut dan tidak menimbulkan kerusakan pada si anak. Jangan memukul di bagian wajah dan kepala murid, melainkan pukullah pada paha dan bagian bawah kakinya karena pada tempat itu tidak di khawatirkan menimbulkan penyakit atau cacat.[37]
Para guru seyogyanya memang adil antara memberikan penghargaan (reward) atau hukuman (punishment) bagi siswa secara obyektif dapat diterima oleh orang yang bersangkutan dan dipandang layak. Ini amat diperlukan untuk menumbuhkan rasa percaya diri, dan hormat pada tata aturan, serta menumbuhkan komitmen bersama secara adil.[38]
10. HADIAH DAN TANDA PENGHARGAAN
Di samping hukuman, adapula hadiah untuk murid. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memberi semangat kepada murid tadi dan juga untuk meningkatkan prestasi anak. Masyarakat telah menerima pendapat ini dengan baik. Sebab itu mereka memuliakan secara moril dan memberikan tanda-tanda penghargaan berupa materi kepada setiap anak yang telah memperlihatkan keunggulan dan kecerdasannya.
Dahulu Rasulullah SAW membariskan ‘Abdullah ‘Ubaidillah dan sejumlah anak-anak pamannya, Al-Abbas RA, dalam satu barisan, kemudian beliau bersabda: “Barangsiapa yang paling dulu sampai kepadaku, maka ia akan mendapatkan anu dan anu.” Mereka pun berlomba lari menuju ke tempat Nabi SAW berada. Setelah mereka sampai kepadanya, maka ada yang memeluk punggungnya dan ada pula yang memeluk dadanya dan Nabi menciumi mereka semua serta menepati janjinya kepada mereka.” (Ahmad, Musnad Bani Hasyim 1739)[39]. Dapat kita lihat, rasulullahpun member semangat dengan hadiah.
Apabila perangai murid baik atau kelihatan unggul dari segi prestasi maupun akhlak maka diberi hadiah atau tanda penghargaan. Bentuk-bentuk penghargaan bermacam-macam seperti: pujian, motivasi atau hadiah berupa benda. Adapun hadiah-hadiah yang berwujud uang, memang telah umum dilakukan. Disebutkan dalam piagam wakaf Malik alasyraf untuk sekolahnya di damaskus sebagai berikut: untuk pelajar yang berkerja disediakan uang delapan dirham, apabila ia bekerja lebih banyak meka ditambahkan lagi, untuk setiap pelajar pendengar disediakan tiga atau empat dirham, dan barang siapa yang hasil prestasinya tinggi bolehlah ia bergabung pada kelompok pelajar yang bekerja. Selain itu siapa yang berhasil menghafal sebuah kitab dari kitab-kitab hadis maka guru menyediakan hadiah baginya.
11. PAKAIAN GURU-GURU
Pakaian Rasulullah SAW telah menjadi model yang ditiru oleh para Khalifah, sarjana fiqih, dan penguasa sampai pada masa berdirinya Daulah Umawiyah. Setelah Daulah Umawiyah berdiri, pakaian yang di pakai para pembesar dan Khalifah mengikuti pakaian yang di pakai di daerah yang mereka kuasai. Kemudian setelah berdiri Daulah ‘Abbasiyah maka muncullah pakaian ala Persia di istana para Khalifah dan pembesar istana.
Pakaian beliau mudah dan praktis biasanya terdiri dari sarung, celana, gamis (kemeja panjang), jubah, sorban dan pantofel. Warna putih adalah warna yang disukai rasulullah. Setelah berdirinya daulah umawiyah, mulailah para khalifah dan pembesar-pembesar meniru pakaian-pakaian orang Persia dan rumawi. Juga termasuk daulah abbasiyah, khalifah al Mansur adalah orang yang pertama memberontak terhadap soban tradisionil dan memilih menggunakan hiasan Persia untuk dipakai dikepalanya. Bersamaan dengan itu muncul pulalah kemeja dan celana Persia yang longgar, celana dan kemeja ini dipakai dengan qufthan dan jubah atau dengan ‘abaan yang ditutupi lagi dengan thailasan sebagai pakaian luar. Semuanya itu membentuk pakaian “golongan istimewa” dalam kerajaan.
Para sarjana, terutama mereka yang memegang peranan penting dalam negara memakai pula pakaian ala Persia seperti kemeja dan celana yang longgar. Abu Jusuf adalah orang yang pertama merubah pakaian para Ulama ke bentuk yang mereka pakai pada masa itu. Sedangkan pada masa sebelumnya, pakaian orang sama, tak berbeda satu sama lain. Bentuk yang diusulkan Abu Jusuf adalah sorban hitam atau “Thailasan” atau “Thailas” yang harus di pakai para guru dan fuqaha (Sarjana Hukum).[40]
Berbeda dengan para muslimin di Andalusia, mereka lebih condong beradaptasi dengan adat Eropa dan mulai meninggalkan Sorban. Tak jarang mereka tampil di depan umum tanpa memakai tutup kepala. Kebalikan dari Andalusia, guru dan sarjana di Universitas Eropa telah mendapat jalan untuk memakai pakaian yang bahkan masih di pakai hingga saat ini dengan mengalami perubahan sesuai kebiasaan dan keadaan mereka di Eropa.
Keindahan dan kerapian pakaian, kebersihan rambut, adalah sesuatu yang sedap di pandang. Rasulullah sendiri memakai jubah gaya Romawi yang berlengan sempit. Jika diperhatikan, maka hendaknya guru menjadi contoh dan suri tauladan dalam hal kerapihan dan kebersihan seperti Baginda Rasulullah SAW. Karena mata murid-muridnya akan selalu tertuju kepadanya dan terus mengamatinya, maka hendaknya pandangan para guru terjatuh kepada sesuatu yang elok dan terpuji.
12. SERIKAT KERJA KAUM GURU
Serikat Kerja telah ada sejak abad pertengahan yang meliputi berbagai macam organisasi dan telah tersebar luas, sehingga tukang sapu pun memiliki satu ikatan yang berkewajiban menjaga kepentingan dan membela hak-hak mereka. Demikian pula kaum guru, terlebih karena guru merupakan golongan sarjana dan orang-orang yang utama bahkan sejak masa Khalifah sekalipun. Karena dari golongan sarjana dan terpelajar, sudah dipastikan bahwa pemimpin agung, Khalifah, dan pembesar tidak dapat melangkahi pemimpin organisasi dan pemimpin agung serikat kerja kaum guru. Jadi keputusan pemimpin serikat kerja kaum guru lebih kuat dan lebih berhak dilaksanakan ketimbang perintah Khalifah itu sendiri.
Diriwayatkan oleh Abu Syamah bahwa anggota serikat kerja guru itulah yang memilih pemimpin mereka, dan Sultan sama sekali tidak campur tangan kecuali timbul pertikaian di antara anggota-anggota itu sendiri. Dan itupun dengan syarat bahwa campur tangan tersebut hanya sebatas mencari penyesuaian pendapat dan perdamaian, bukan untuk memberikan perintah atau menggunakan kekuasaan.[41]
Bukti-bukti telah menjelaskan bahwa kaum muslimin pada abad pertengahan telah mengenal pula adanya syarikat sekerja. Syarikat tersebut telah meliputi berbagai macam organisasi. Jaqut al hamawi menceritakan tentang al murhada abu qasim, yaitu ketua ikatan kaum pelajar yang kepadanya diserahkan untuk mengurus perpustakaan darul ilm yang telah dibangun oleh sabur ibnu ardasir. Dalam hal ini guru tidak kalah penting dengan golongan-golongan lainnya, terlebih lagi karena guru adalah golongan sarjana dan orang-orang utama, selain itu mereka mempunyai kekuasaan yang begitu besar dalam Negara. Oleh karena itu tidak ada alasan untuk tidak adanya syarikat kaum guru dalam mendirikan organisasi untuk menghimpun golongan mereka dan mengatur kepentingan-kepentingan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Ali Budaiwi, Imbalan dan Hukuman, Pengaruhnya Bagi Pendidikan Anak. Jakarta : Gema Insani Press, 2005.
Ahmad Rizali, Indra Djati Sidi, Satria Dharma, Dari Guru Konvensional Menuju Guru Profesional. Jakarta: Grasindo, 2002.
Assegaf, Abdur Rahman. Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta : Suka Press, 2007.
Hasballah M. Saad, Perkelahian Pelajar. Yogyakarta : Galang Press, 2003.
Jamaal Abdu Rahman, Tahapan Mendidik Anak Teladan Rasulullah. Bandung : IBS, 2005.
Khalifah, Mahmud dan usamah quthub. Menjadi Guru Yang Dirindu. Surakarta: ziyad visi media, 2009.
Mock Eksan, Kiai Kelana – Biografi KH. Muchits Muzadi. Yogyakarta : LKiS Yogyakarta, 2000.
Sidek Baba, Pendidikan Rabbani – Mengenal Allah Melalui Ilmu Dunia . Malaysia : Karya Bestari, 2006.
Suwito dan Fauzan. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta : Kencana, 2005.
Syalabi. Sejarah Pendidikan Islam. Jakata: Bulan Bintang, 1973.
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP – UPI. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung : IMTIMA, 2007.
Usman, Moh.uzer. Menjadi Guru Professional, Bandung: PT Remaja rosdakarya, 2011.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1992.
Kesimpulan
Guru memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa, apalah jadinya nasib negeri ini tanpa jasa mereka. Para guru pada awal mula islam tidak mendapat gaji berupa uang, mereka mengajar hanya mengharap ridho Allah semata. Tetapi setelah adanya campur tangan pemerintah dalam bidang pendidikan yang diiringi perkembangan masa, maka muncullah istilah penggajian untuk guru. Kemudian dilihat dari sisi kedudukan social dan penghasilan (pendapatan) para guru, terdapatlah tiga golongan yang dibagi sebagai berikut: mu’allim kuttab, muaddib serta guru-guru di mesjid dan sekolah. Selain itu, istilah asisten dosen “asdos” tidak hanya dikenal pada masa kini. Ternyata, pada abad ke lima pekerjaan seperti asdos juga sudah dimulai, tetapi mereka disebut “pengulang”.
Tentang kriteria menjadi guru, hal yang sangat harus diperhatikan dan tidak boleh dilupakan oleh masyarakat ialah bagaimana cara memilih guru yang baik secara rohani dan jasmani. Hal tersebut penting dilakukan karena baik buruk seorang anak tergantung didikan dari gurunya, tentu orang tua juga mempunyai andil dalam hal ini. Oleh karena itu orang tua tidak boleh sembarang dalam memilih guru. Guru yang bermutu adalah guru yang selalu memperhatikan segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaannya, antara lain seperti: penampilannya dari cara berpakaian dan berhias agar selalu terlihat rapi di mata muridnya pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, hukuman yang bersifat mendidik para muridnya serta hadiah atau penghargaan yang diberikan oleh guru atas kesungguhan para murid dalam menuntut ilmu.
[3] Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP – UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Bandung : IMTIMA, 2007) Hal. 29.
[4] Mahmud khalifah dan usamah quthub. Menjadi guru yang dirindu. Hlm.9.
[9] Prof.DR.H. Mahmud yunus. Sejarah pendidikan islam, Jakarta: PT.hidakarya agung, hlm. 69 - 72
[10] Prof.Dr.Suwito, MA dan Fauzan. Sejarah sosial pendidikan islam, rawamangun: prenada madia, hlm: 222
[11] Syalabi, Op. Cit. hal. 207.
[14] Sidek Baba, Pendidikan Rabbani – Mengenal Allah Melalui Ilmu Dunia (Malaysia : Karya Bestari, 2006) hal. 8.
[20] Mahmud Yunus, sejarah Pendidikan Islam, cet ke-7. Hal. 72
[24] Abdur Rahman, Pendidikan Islam di Indonesia, (Suka Press: 2007) cet 1. Hal 216
[25] Mock Eksan, Kiai Kelana – Biografi KH. Muchits Muzadi (Yogyakarta : LKiS Yogyakarta, 2000) hal. 37.
[28] Ibid, hal. 253
[29] Ahmad Rizali, Indra Djati Sidi, Satria Dharma, Dari Guru Konvensional Menuju Guru Profesional. (Jakarta: Grasindo, 2002) hal. 17.
[31] Ibid, hal. 254
[34] Ahmad Ali Budaiwi, Imbalan dan Hukuman, Pengaruhnya Bagi Pendidikan Anak. (Jakarta : Gema Insani Press, 2005) hal. 29.
0 komentar:
Posting Komentar