728x90 AdSpace

Latest News

Selasa, 03 Januari 2012

lembaga-lembaga ilmiyah dinasti abasiyyah


BAB I
PENDAHULUAN
            Berbicara mengenai pendidikan, maka sebelumnya kita juga harus mengetahui apa itu pendidikan dan bagaimana pendidikan itu berlangsung. Seiring majunya zaman, maka pendidkan pun semakin berkembang. Hal tersebut juga merupakan suatu proses yang  menyeimbangi antara tantangan zaman dan pendidikan yang diberikan. Proses pendidikan yang berlangsung sekarang ini pastinya berbeda dengan proses pendidikan yang lalu. Namun hal itu menjadi sejarah, pengalaman, dan pelajaran bagi kita untuk menjadi lebih baik lagi dalam melakukan proses pendidikan, bahkan hal itu dapat menjadi motivasi bagi kita.
            Sebagai umat Islam, kita juga harus mengetahui bagaimana pendidikan Islam itu diberikan dan melalui
apa ilmu-ilmu Islam itu diberikan kepada umatnya. Proses pendidikan akan berjalan dengan baik, jika ada objek, subjek, dan fasilitas-fasilitas pendukung dari kegiatan pendidikan itu sendiri. Salah satu hal yang berperan penting adalam kegiatan pendidikan adalah lembaga pendidikan. Lembaga merupakan suatu wadah untuk kegiatan pendidikan berlangsung. Lembaga pendidikan yang kita ketahui terdiri dari lembaga formal, nonformal, dan informal. Taapi dahulu, tidak ada pembagian lembaga-lembaga pendidikan seperti itu, walaupun pada perkembangan selanjutnya lembaga-lembaga tersebut mulai bermunculan. Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimana proses yang terjadi hingga berdiri lembaga-lembaga pendidikan yang bersifat formal, non formal, dan informal seperti sekarang ini, kita harus mempelajari sejarah dari lembaga-lembaga pendidikan pada masa dulu, yang sudah pasti berkaitan dengan sejarah dari pendidikan itu sendiri.
            Kita mengenal beberapa periode pendidikan, yaitu dari mulai priode sebelum Muhammad, periode Muhammad sebagai Rasul, periode Muhammad di Madinah, periode Khulafaur Rasyidin, periode Bani Ummayah, periode Bani Abbasiyyah, sampai periode kini, Namun dalam pembahasan kali ini kami akan memaparkan mengenai lembaga-lembaga pendidikan periode Bani Abbasiyah.



BAB II
PEMBAHASAN

A.       Lembaga-Lembaga Ilmiah Dinasti Abbasiyyah
1.      Sekilas Tentang Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah didirikan oleh keturuunan Abbas (paman Rasulullah) yang bernama Abdullah Al-Saffah Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Al-Abbas. Kekuasaan dinasti ini berlangsung dari tahun 132 H (750 M) sampai dengan 656 K (1258 M). [1] Selama dinasti Abbasiyah berdiri, dinasti ini dipimpin oleh para khalifah keturunan Abbas. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Daulah Abbas menjadi lima periode:
·      Periode I (132 H/750 M - 232 H/847 M), masa pengaruh Persia pertama.
·      Periode II (232 H/847 M - 334 H/945 M), masa pengaruh Turki pertama.
·      Periode III (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih, pengaruh Persia kedua.
·      Periode IV (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa Bani Seljuk dalam pemerintahan pengaruh Turki kedua.
·      Periode V (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa kebebasan dari pengaruh dinasti lain. [2]
Pada masa dinasti Abbasiyah, pendidikan berkembang secara pesat dan hebat, sehingga muncul lembaga-lembaga pendidikan yang secara tidak langsung berperan mempengaruhi perkembangan pendidikan pada masa tersebut. Popularitas puncak kejayaan dinasti Abbasiyah terjadi pada masa khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mum (813-833 M). Pada masa kejayaan tersebut, telah banyak berdiri bangunan untuk keperluan sosial dan lembaga pendidikan. Berdirinya lembaga-lembaga ilmiah pada masa Dinasti Abbasiyah berkaitan dengan khalifah yang memimpin dinasti tersebut, karena sedikit banyaknya khalifah-khalifah tersebut ikut andil atau berperan dalam lembaga ilmiah tersebut. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa lembaga pendidikan dan hal-hal yang berkaitan dengannya pada masa Dinasti Abbasiyah.  
1.1.      Harun Ar-Rasyid (169 H)
Harun Ar-Rasyid merupakan khalifah kelima dari Dinasti Abbasiyah yang memerintah selama 23 tahun. Seperti sebelumnya dikatakan, bahwa puncak kejayaan dinasti Abbasiyah terjadi pada masa pemerintahannya. Salah satu puncak kejayaanya pada saat itu adalah mengenai ilmu pengetahuan, yang secara tidak langsung juga berpengaruh pada kemajuan pendidikan. Pada masa pemerintahannya, memang Harun lebih membawa perhatian kepada ilmu pengetahuan. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya beberapa lembaga ilmiah atau lembaga pendidikan yang sangat berpengaruh pada kemajuan pendidikan pada masa dinasti Abbasiyah. Lembaga-lembaga pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah kepemimpinan Harun Ar-Rasyid adalah :
a.               Kuttab
Kuttab atau maktab berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis, maka kuttab adalah tempat belajar dan menulis. Menurut George Makdisi, maktab berbeda dengan kuttab. Dia menjelaskan bahwa Abd Al-Ghafir Al-farisi belajar di maktab pada usia 5 tahun untuk belajar Al-Quran dan ilmu agama, kemudian pada umur 10 tahun ia memasuki kuttab untuk belajar sastra. Beberapa Ulama yang membedakannya, maktab adalah istilah zaman klasik, kuttab adalah istilah zaman modern.[3] Namun para ahli sepakat bahwa kuttab ataupun maktab merupakan lembaga pendidikan dasar untuk anak-anak. Menurut Ibnu Djubaer pendidikan ini berlangsung di luar masjid. Kurikulum pendidikan di kuttab ini berorientasi kepada al-qur’an sebagai suatu tex book, hal ini mencakup pengajaran membaca dan menulis, kaligrafi, gramatikal bahasa arab, sejarah Nabi SAW. [4] Belajar di kuttab tidak ditentukan lamanya, murid yang telah menguasai materi, maka lebih cepat selesai dan berpindah pada ilmu yang lain. Hal ini berkaitan dengan teori yang diberikan oleh Al-Ghazali mengenai pendidikan, yaitu pelajar yang masih dalam tingkat permulaan harus menjauhkan diri dari mendengar pendapat-pendapat yang berbeda, karena hal tersebut dapat membingungkan fikirannya. Setelah tepat waktunya, dan sudah mulai memahami materi dasar, barulah mempelajari pelajaran yang lebih tinggi tingkatannya dari sebelumnya.
Belajar di kuttab dilakukan pada waktu pagi hari sampai waktu shalat ashar, dari hari Sabtu sampai hari Kamis. Setiap tanggal 1 Syawal dan tiga hari pada hari raya Idul Adha merupakan hari libur. [5] Pembagian waktu mata pelajaran setiap harinya dibagi menjadi tiga, yaitu:
·         Pelajaran Al-Quran dari pagi hari sampai waktu dhuha
·         Pelajaran menulis dari waktu dhuha sampai waktu zuhur, setelah itu anak-anak diperbolehkan pulang ke rumahnya untuk makan siang
·         Pelajaran ilmu lain (nahwu, bahasa Arab, syair, berhitung, riwayat atau tarikh (dimulai setelah dzuhur sampai ashar). [6]
Metode pendidikan yang digunakan pada masa itu adalah :
Ø  Metode lisan, berupa dikte (imla), ceramah (al-sama), qiraat, dan diskusi. Hal-hal yang dilakukan adalah :
·      Guru memulai pelajaran dengan membaca basmalah dan mengucapkan shalawat untuk Rasulullah dan keluarga dan para sahabatnya, dan membacakan beberapa ayat Al-quran atau hadits
·      Guru memulai memberikan pelajaran, misalnya mengenai hafalan atau pendiktean (imla)
·      Guru mendiktekan suatu hadits secara lambat dan para murid menuliskan apa yang didiktekan
·      Guru memberikan penjelasan (ceramah) mengenai hadits yang didiktekan dan para murid menuliskan keterangan-keterangan tersebut di buku tulis mereka
·      Guru memerintahkan kepada salah seorang murid untuk membacakan apa yang telah ditulis, dan guru memberikan pembenaran jika terdapat kesalahan
·      Guru dan murid melakukan tanya jawab (diskusi)
·      Setelah selesai memberikan pelajaran, guru memberikan tanda tangan di buku-buku tulis para murid sebagi tanda memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan pelajaran tersebut kepada orang lain
Ø  Metode menghafal
Pada metode ini, murid harus membaca secara berulang-ulang, kemudian menghafalnya, sehingga pelajaran-pelajaran yang didiberikan melekat pada benak mereka.
Ø  Metode menulis[7]
Metode ini dilakukan dengan cara murid menulis apa yang disampaikan oleh gurunya sebagai catatan. Metode ini juga seringkali dikaitkan dengan metode imla dan ceramah.
b.Pendidikan Rendah Istana[8]
            Lembaga pendidikan ini berada di istana dan disediakan untuk anak-anak para pejabat. Dalam lembaga pendidikan ini, para pembesar istana yang menentuka pelajaran apa saja yang harus diterima oleh anak mereka, dan disesuaikan dengan tujuan yang dikehendaki mereka. Oleh karena itu, mereka memanggil guru-guru khusus untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka. [9]
c.    Toko-Toko Buku
Pada masa ini, banyak berdiri toko-toko buku. Toko-toko buku ini berperan sebagai pusat pengumpulan dan penjualan buku-buku, serta sebagai pusat study. Selanjutnya, toko-toko tersebut semakin berkembang dan merupakan tempat berkumpulnya para ulama, pujangga, dan ahli-ahli ilmu pengetahuan yang lainnya. Metode pendidikan yang dilakukan adalah berdiskusi dalam berbagai masalah ilmiah, dengan cara halaqah (melingkar). Pemilik toko kadang berperan sebagai pemimpin dari lingkaran study tersebut. [10]

d.   Salon Kesusasteraan
Salon kesusastraan merupakan majlis khusus yang diadakan oleh khalifah untuk membahas berbagai macam ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahannya, lembaga pendidikan ini mengalami kemajuan yang pesat, bahkan pada saat itu, beliau juga aktif dalam majlis ini. Dalam sejarah pun dikatakan, bahwa khalifah Harun Ar-Rasyid merupakan ahli ilmu pengetahuan dan sangat cerdas, maka wajarlah jika beliau pun ikut terjun dalam lembaga pendidikan ini.
e.    Rumah Sakit
Sebelumnya telah dikatakan bahwa pada masa khalifah Harun ar-rasyid telah berdiri bangunan-bangunan social, salah satunya adalah rumah sakit. Bangunan ini tak hanya berperan sebagai lembaga sosial sebagai tempat merawat dan mengobati orang-orang sakit, namun di tempat ini juga mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Selain itu, rumah sakit ini juga berfungsi sebagai tempat praktikum bagi para mahasiswa dari sekolah kedokteran yang mengadakan berbagai penelitian dan percobaan dalam bidang obat-obatan, bahkan tidak jarang sekolah-sekolah kedokteran itu didirikan dekat dengan rumah sakit. [11]
f.     Perpustakaan
Pada masa ini, berbagai macam ilmu yang ada telah dikembangkan oleh para ilmuwan, sehingga dengan mudah para pelajar bisa belajar ilmu pengetahuan yang telah tertulis dalam buku melalui suatu lembaga, yaitu perpustakaan. Beriringan dengan hal tersebut, maka pada masa ini banyak berdiri perpustakaan, baik yang bersifat umum (didirikan oleh pemerintah), maupun bersifat khusus (didirikan oleh ulama).  Pada masa pemerintahannya, khalifah Harun mendirikan perpustakaan yang diberi nama Baitul Hikmah. Dalam perpustakaan tersebut, terdapat bermacam-macam buku ilmu pengetahuan yang berkembang padas masa itu, baik yang berbahasa Arab maupun bahasa lain, seperti Yunani, India, dan sebagainya. Oleh karena itu, Baitul Hikmah juga berperan sebagai pusat terjemahan.
g.   Masjid
Selain sebagai tempat ibadah, masjid juga berperan sebagai tempat melakukan kegiatan musyawarah dan pendidikan untuk anak-anak maupun orang dewasa. Pada masa ini, masjid-masjid mulai dilengkapi dengan berbagai macam sarana dan fasilitas untuk pendidikan. Pendidikan yang diadakan di masjid-masjid itu telah dibagi kelompok-kelompok yang berbeda taraf, yaitu tingkatan kedua dan ketiga (tingkat menengah). Tingkat kedua untuk anak-anak yang belajar pada lembaga kuttab (luar masjid), tingkat ketiga untuk anak-anak atau orang dewasa yang sudah melewati pelajaran pada tinggat dasar (kuttab yang berada di dalam masjid) dan tingkat kedua (kuttab yang berada di luar masjid).
h.      Rumah-Rumah Para Ulama
Pada masa ini, banyak pelajar yang berminat untuk mempelajari ilmu dari para ulama. Mereka berdatangan pergi ke rumah para ahli ilmu yang menjadi tempat belajar dan pengembangan ilmu pengetahuan. Seperti rumah Ibnu Sina, Al-Ghozali, Ali ibnu Muhammad Al-Fasihi, Ya’kub ibnu Killis, dan ulama lain, yang akhirnya para pelajar mendatangi tempat tinggal ulama tersebut. [12]
Pada tahun 809 Masehi, khalifah Harun Ar-Rasyid wafat, kemudian digantikan oleh puteranya yang bernama Al-Amin, namun masa pemerintahannya sangat singkat dan tidak memiliki kemajuan yang signifikan, bahkan khalifah Al-Amin lebih banyak melemahkan kekuatan-kekuatan yang pernah dirintis oleh ayahnya. [13] Pada tahun 814 M, terjadi perang saudara antara al-Amin dan al-Ma'mun, kemudian al-Amin terbunuh dan selanjutnya al-Ma'mun menjadi khalifah.
2.2.Al-Ma’mun (218 H)
Nama asli Al-Ma’mun adalah Abdullah Abu Al-Abbas bin Ar-Rasyid. Al-Mamun merupakan putera dari harun Ar-Rasyid yang dilahirkan pada tahun 170 H. Ia memerintah dinasti Abbasiyah dari tahun 198H-218 H. Al-Ma’mun merupakan khalifah yang sangat disegani. Sama seperti ayahnya, ia juga dikenal sebagai figur pemimpin yang cemerlang dan menguasai beragam ilmu pengetahuan. Setelah ayahnya wafat, maka usaha-usaha yang dilakukan oleh ayahnya dilanjutkan kembali. Salah satunya adalah mengembangkan Baitul Hikmah yang telah didirikan oleh ayahnya . Baitul Hikmah diperluas menjadi lembaga perguruan tinggi, perpustakaan, dan tempat penelitian. Lembaga ini memiliki ribuan buku ilmu pengetahuan. Pada masa Al-Ma’mun para ulama berlomba dalam menuliskan buku-buku ilmu pengetahuan, baik ilmu umum maupun agama, sehingga dalam situasi tersebut muncul tokoh-tokoh besar dalam sejarah ilmu di kalangan kaum muslimin. [14] Murid-murid yang pernah belajar pada masa Al-Ma’mun diantaranya adalah Al-Khawarizmi, Jabir Ibnu Hayyan, Hunayn Ibn Ishaq, dan lain-lain. Mengenai lembaga-lembaga pendidikan pada masa pemerintahan Al-Ma’mun, termasuk dalam kategori lembaga pendidikan Islam klasik, yang menurut George Makdisi lembaga pendidikan Islam klasik ini dibagi menjadi dua, yaitu yang bersifat terbuka terhadap pengetahuan umum (inklusif) dan bersifat tertutup terhadap pengetahuan umum (eksklusif). [15] Berdasarkan penggolongan tersebut, lembaga pendidikan Islam pada masa Al-Ma’mun terdiri dari :
1.         Kuttab (pendidikan dasar), materi yang diajarkan : khat, kaligrafi, Al-Quran, aqidah, dan syair. Kuttab terdiri dari dua, yaitu kuttab inklusif dan eksklusif.
2.         Halaqah (lingkaran), yaitu lembaga pendidikan Islam yang setingkat dengan pendidikan tingkat lanjutan
3.         Majlis, lembaga pendidikan ini digunakan untuk melakukan kegiatan transmisi keilmuan. Pada waktu itu terdapat 7 macam majlis, yaitu majelis al-Hadis, al-tadris, al-Munazharah, al-Muzakarah, al-Syu’ara, al-adab, dan majlis al-Fatwa.
4.         Masjid
5.         Khan, lembaga pendidikan ini berperan sebagai asrama bagi para pelajar, dan sebagai tempat pengajaran agama, biasanya ilmu fiqih
6.         Ribath, sebuah lembaga pendidikan untuk kaum sufi yang ingin menjauhkan dari sifat keduniawiaan, sehingga lebih berkonsentrasi untuk beribadah.
7.         Rumah-rumah ulama, lembaga pendidikan ini digunakan untuk melakukan kegiatan ilmiah , baik mengenai agama ataupun umum. Pada umumnya materi yang diberikan adalah  Al-Quran, ilmu-ilmu pasti, bahasa Arab dan kesusastraannya,  mantik, fiqih, ffalaq, tafsir, tarikh, hadist, ilmu-ilmu alam, nahwu dan shorof,  kedokteran, dan  musik.
8.         Toko buku dan perpustakaan
Seperti telah dikatakan sebelumnya, Al-Ma’mun merupakan khalifah yang menggantikan pemerintahan ayahnya setelah Al-Amin, kemudian Al-Ma’mun mengembangkan segala hal yang telah dilakukan ayahnya, khususnya dalam bidang pendidikan. Baitul Hikmah yang telah didirikan oleh ayahnya semakin dikembangkan. Lembaga yang awalnya hanya berbentuk perpustakaan, kemudian menjadi sebuah lembaga yang menggabungkan antara perpustakaan, sanggar sastra, lingkaran studi, dan observasi . Dengan demikian, Baitul Hikmah merupakan institusi pendidikan tinggi Islam yang pertama dibangun oleh Islam yang pada saat ini bisa dikatakan sebagai tingkat pendidikan yang setingkat dengan universitas.
9.         Rumah Sakit
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa rumah sakit selain berfungsi sebagai tempat merawat pasien, tempat ini juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan, di mana ketika itu rumah sakit dijadikan sebagai tempat untuk praktek dan penelitian bagi para pelajar kedokteran.

Ø   Proses Pembelajaran
      Kegiatan mendapatkan ilmu pada masa pemerintahan Al-Ma’mun dilakukan dengan berbagai aktivitas. Beberapa aktivitas yang dilakukan adalah:
1.      Belajar Langsung Dengan Syekh
Proses pembelajaran ini langsung berhadapan dengan syekh (guru) dengan cara halaqqah. Pelajaran diberikan dengan cara dibacakan oleh guru, kemudian murid membacanya secara berulang-ulang. Selain itu, proses pembelajaran yang terjadi juga melalui metode imla atau dikte dengan cara guru mendiktekan atau murid diperintahkan menyalin dari buku yang telah ditulis tangan oleh guru.
2.      Berdebat Sebagai Latihan Intelektual
Murid-murid yng cerdas dapat membantu syekh sebagai mu’id. Pada sore hari mu’id mengulang materi yang disampaikan oleh syekh pada pagi hari dan membantu mahasiswa yang mendapatkan kesulitan belajar. Mahasiswa diberi waktu tiga hari (Selasa, Jumat ,Sabtu) untuk belajar sendiri dan melakukan aktivitas pribadinya. Pada hari Jumat dan hari-hari besar Islam sering kali diisi dengan debat khusus antara pengajar dan mahasiswa yang juga dilengkapi dengan ceramah-seramah ilmiah. Waktu setelah subuh juga tetap dijadikan sebagai proses pembelajaran. Setelah kegiatan membaca Al-Quran seusai solat Subuh, biasanya diikuti dengan kegiatan tafakkur singkat. Setelah itu syekh memulai pelajarannya dengan ceramah dan menyajikan materi-materi baru yang selanjutnya didiskusikan oleh para mahasiswa melalui kegiatan berdebat. Situasi ini dipimpin oleh syekh
3.      Rihlah Ilmiah
Aktivitas rihlah ilmiah yang dilakukan oleh para pelajar bukan hanya untuk mendengarkan ilmu pengetahuan dari guru-guru, tetapi juga ada beberapa pelajar yang melakukan penelitian. Mereka mengumpulkan bahan-bahan ilmu dari hasil penyelidikan, mencatat apa yang dialami dan dilihat sendiri. Setelah itu hasil penelitian tersebut dijadikan buku yang dapat menjadi sumber pengetahuan yang asli dan dapat dipertanggungjawabkan.
4.      Menerjemahkan Buku Dan Manuskrip
Kehidupan para penuntut ilmu juga dipenuhi dengan aktivitas menerjemahkan buku-buku orang lain. Aktivitas penerjemahan ilmu pengetahuan berlangsung diantara penuntut ilmu, walaupun berbeda agama. Mereka sepenuhnya melibatkan diri dalam pembahasan berbagai ilmu pengetahuan.
5.      Menulis Buku
Aktivitas pelajar yang tak kalah menarik adalah menulis buku sebagai karya yang menjadi bukti penguasaan ilmu yang telah diperolehnya. Ketika belajar, mereka juga melakukan kegiatan menulis. Pada awalnya tulisan mereka hanya berbentuk manuskrip saja, namun kemudian akan dibukukan, sehingga memiliki bobot kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pada masa pemerintahannya, hal yang paling tersohor adalah pendirian Bait Al-Hikmah . Bila ditelusuri lebih lanjut, di tempat tersebut telah ditemukan konsep dasar pendidikan multicultural. Dalam institusi ini tidak ditemukan diskriminasi , melainkan konsep demokrasi dan pluralitas sudah begitu kental dalam kegiatan pendidikan di institusi ini. Konsep dasar multikultural yang terjadi di Bait Al-Hikmah dapat digambarkan dari hal-hal yang akan dijelaskan dibawah ini:
·            Adanya nilai-nilai kebebasan berekspresi, keterbukaan, toleransi, dan kesetaraan yang diberikan kepada sarjana muslim dan non muslim. Hal ini dapat dijumpai pada proses pengumpulan manuskrip-manuskrip  dan penerjemahan buku-buku sains dari Yunani.
·            Perbedaan etnik cultural dan agama bukanlah penghalang dalam melakukan penerjemahan. Peserta didik yang belajar di lembaga ini berasal dari berbagai Negara yang memiliki etnik cultural yang berbeda-beda, seperti Abu Sahl Fazhl Bin Nawbakht dari Persia, Yuhanna (John) bin Masuya dari Syiria, Hunayn bin Ishaq, Abu Bisr Matta ibn Yunus, dan Hubaish yang beragama Kristen.
Beberapa murid atau mahasiswa yang memiliki keahlian pada masa pemerintahan Al-Ma’mun adalah :[16]
No
Nama Murid/mahasiswa
Masa Hidup
Keahlian
1
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Jabir Ibnu Hayyan
Abu Nawas
Imam Syafii
Muhammad Ibn Umar Al-Waqidi
Ibnu Hisya
Al-Nazzam
Ahmad Bin Hambal
Ibnu Said
Al-Khawarizmi
Imam Bukahri
Hunayn Ibn Ishaq
721-815 M
747-815 M
767-820 M
748-823 M
w.834 M
801-835 M
780-855 M
w.834 M
780-847 M
810-870 M
809-873 M
Kimia
Syair
Fikih
Sejarah,Fiqih,Hadis
Sejarah
Teologi
Fikih
Sejarah
Astronomi
Hadis
Fisika, Kedokteran


2.3.Nizhamul Mulk (485 H)
Nizhamul Mulk dilahirkan pada hari Jumat tanggal 21 Zulhijjah 408 H, Nuqan, propinsi Thus. Nizamul Mulk merupakan seorang wazir atau perdana menteri dari Dinasti Saljuk, yaitu sebuah dinasti kecil dari Dinasti Abbasiyah yang berhasil mengalahkan dinasti Buwaihi. Nizamul Mulk menjabat sebagai wazir, ketika dinasti Saljuk dipimpin oleh Alp Arselan. Setelah Alp Arselan wafat, kepemimpinannya digantikan oleh puteranya yang bernama Sultan Malik Syah, yang pada saat itu berumur 18 tahun. Kedudukan Sultan Malik Syah menjadi khalifah diawali dengan perebutan kekuasan dari saudara-saudaranya, namun ketika itu Nizamul Mulk membantu Sultan Malik Syah, hingga akhirnya Malik syah berhasil menjadi khalifah. Hal tersebut membuat Sultan Malik Syah merasa berhutang budi kepada Nizhamul Mulk, maka selanjutnya Nizhamul Mulk tetap diangkat sebagai wazir. Mengetahui dan menyadari umurnya yang masih muda dan kurang memiliki pengalaman, kemudian Sultan Malik memberikan wewenang untuk melaksanakan tugas-tugas negara kepada Nizhamul Mulk.
 Dengan bakat dan pengetahuan yang hebat, maka pada saat itu Nizhamul Mulk berhasil mengendalikan negara dan melaksanakan perbaikan-perbaikan yang besar. Salah satu perbaikan yang dilakukan adalah mengenai pendidkan. Lembaga-lembaga pendidikan yang berdiri ketika beliau menduduki jabatan wazir, tidak lagi bersifat klasik (kuttab, salon kesusasteraan, rumah ulama, dan lain-lain), namun pada saat itu lembaga pendidikan sudah maju dan berkembang. Hal itu ditandai dengan berdirinya madrasah. Selain itu, Nizamul Mulk juga mendirikan asrama yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendidikan untuk para pelajar. Tak hanya memperhatikan fasilitas pendidikan yang diberikan kepada para pelajar, tetapi Nizamul Mulk juga sangat memperhatikan keadaan para guru, sehingga siapapun yang dapat memberikan ilmunya untuk kemajuan pendidikan akan diberikan keperluan hidup dan gaji yang cukup. Selain bertujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, lembaga pendidikan yang didirikan oleh Nizamul Mulk ini juga untuk mempertahankan madzhab sunni, karena sebelumnya dinasti Buwaih bermadzhab syiah, dan diwaktu yang bersamaan Dinasti Fathimiyyah (dinasti yang memisahkan diri dari Abbasiyah) yang berada di mesir juga sedang mendakwahkan mazhab syiah. Penjelasan mengenai dinasti Fathimiyyah dan madzhab syiah ini akan dijelaskan pada bagian selanjutnya. Madrasah yang dibangun oleh Nizhamul Mulk dikenal dengan sebutan Madrasah Nizhamiyyah. Untuk lebih jelasnya pemaparan mengenai Madrasah Nizhamiyyah ini, maka akan dipaparkan pada berikut ini.





·         Madrasah Nizhamiyyah
Madrasah Nizhamiyyah didirikan pada tahun 457-459 M oleh Nizamul Mulk. [17] Pendirian madrasah ini di samping memiliki motif pendidikan, juga memiliki motif politik dan keagamaan, yaitu agar aliran sunni tetap eksis dan kuat melawan ajaran syiah. [18] Dalam beberapa buku dikatakan bahwa Madrasah Nizhamiyyah merupakan madrasah yang pertama kali berdiri pada masa Islam, namun beberapa ahli sejarah dan pendidikan berbeda pendapat mengenai hal ini:
Ibnu Challikan
Nizhamul Mulk merupakan seseorang yang pertama kali mendirikan madrasah atau  sekolah, kemudian ditiru oleh orang-orang lainnya.
As-Subky
Nizamul Mulk bukanlah seseorang yang pertama kali mendirikan madrasah, namun, dialah yang pertama kali memberikan tunjangan kepada para pelajar.
Al-Maqrizy
Nizhamul Mulk bukanlah orang yang pertama mendirikan sekolah dalam Islam, karena sebelum Nizhamul Mulk mendirikan sekolah, telah berdiri Sekolah As-Sya’idiyyah dan Baihaqiyyah di Naisabur yang didirikan oleh Al-Amir Naser Ibnu Sabaktaen (Gubernur Naisabur). Selain itu juga berdiri sekolah-sekolah yang dibangun oleh Abu Sa’id Ismail Ibnu ‘Ali dan Ustadz Abu Ishaq Al-Asfirainy juga di Naisabur. Sebelum Nizhamul Mulk menentukan tunjangan bagi para pelajar, seabad sebelumna Al-‘Aziz Billah Al-Fathimy telah menentukan tunjangan bagi para pelajar.
         Pada masa pemerintahan Dinasti Saljuk, di seluruh wilayah kekhalifahan dinasti Abbasiyah didirikan madrasah, selain itu juga didirikan Universitas Nizhamiyyah di Baghdad untuk menandingi Universitas Al-Azhar di Mesir yang dikuasai oleh Dinasti Fathimiyyah yang beraliran syiah. [19]

Ø  Kurikulum Dan Metode Pengajaran Madrasah Nizhamiyyah Baghdad
Menurut Mahmud Yunus, kurikulum madrasah Nizhamiyyah tidak diketahui dengan jelas, namun dapat disimpulkan bahwa materi-materi ilmu syariah di ajarkan, sedangkan ilmu hikmah (filsafat) tidak diajarkan. [20] Sedangkan dari keterangan lain disebutkan bahwa pelajaran di Madrasah Nizhamiyyah berpusat pada Al-quran (membaca, menghafal, dan menulis), sastra arab, sejarah Nabi Muhammad Saw, dan berhitung dengan menitikberatkan pada madzhab Syafii dan system teologi Asy’ariyah. [21] Namun, madzhab yang lain juga dipelajari melalui imam-imam khusus untuk masing-masing madzhab. Hamid Hasan Bilgrami mengatakan bahwa materi yang diberikan di Madrasah Nizhamiyyah juga mencakup ilmu bahasa tradisional, yaitu penelitian tanah, sejarah sastra, kesehatan, cara memelihara binatang, bercocok tanam, serta beberapa segi dari sejarah kealaman.[22]
Metode pengajaran yang dilakukan di Madrasah Nizhamiyyah adalah pengajaran dilakukan dengan cara para guru berdiri di depan kelas menyajikan materi-materi dengan cara berceramah, kemudian para murid mendengarkan , dan setelah itu dilanjutkan dengan dialog atau diskusi (munaqasyah) antara guru dan para murid.  Selain itu metode pengajaran yang dilakukan adalah dengan cara ta’liqah. Metode ini biasanya dilakukan dalam mempelajari ilmu fikih. Metode ini dilakukan dengan cara para murid menyalin tulisan dari para guru mengenai suatu ilmu pengretahuan yang telah dicatat atau disusun oleh gurunya dengan cara dikte (imla). [23]
Ø  Guru –Guru Madrasah Nizhamiyyah
Guru pertama yang mengajar di madrasah Nizhamiyyah Baghdad adalah Syekh abu Ishaq As-Syirazy. Guru-guru pada madrasah Nizhamiyyah ini bertugas mendidik para siswanya agar menghasilkan sarjana-sarjana yang berkedudukan di pemerintahan sebagai pegawai Negara. [24] Guru-guru yang memberikan pelajaran di Madrsah Nizhamiyyah adalah[25] :
1.      Abu Ishaq al-syrazy
2.      Abu Nashr al- Shabbagh
3.      Abu Qosim al-‘Alawi
4.      Abu Abdullah al-Thabari
5.      Abu Hamid al-Ghazali
6.      Radliyud Din al-Qazwaini
7.      Al-Firuzabadi
Ø  Pendanaan Madrasah Nizhamiyyah
Sumber dana dari pembangunan Madrsah Nizhamiyyah adalah lembaga waqaf, yaitu sebuah cara tradisional dalam Islam untuk mendukung lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat umum. [26] Untuk membangun madrasah tersebut, Nizamul Mulk menyediakan dana wakaf untuk membiayai guru, imam, dan mahasiswa yang menerima beasiswa dan fasilitas asrama. Anggaran untuk seluruh madrasah sebesar 600.000 dinar, untuk Madrasah Nizhamiyyah Baghdad mendapat anggaran sebesar 60.000 dinar tiap-tiap tahun. [27] Adapun waqaf-waqaf yang diberikan oleh Nizhamul Muluk untuk Sekolah-sekolah Nizhamiyyah yang berada di Ashfihan dapat menghasilkan sebanyak 10.000 dinar setiap tahun.[28] Beberapa sumber menjelaskan mengenai waqaf yang telah diberikan oleh Nizamul Mulk:
·        Subthu Ibnul Djauzy
Pada tahun 462 H Nizhamul Mulk telah memberikan waqaf untuk sekolah-sekolah Nizhamiyyah. Barang-barang yang di waqafkan diantaranya pasar sekolah dan beberapa bidang tanah. Dalam pembangunan madrasah, wazir Nizhamul Mulk menyediakan dana wakaf untuk membiayai mudarris, imam, dan mahasiswa yang menerima beasiswa dan fasilitas asrama. [29]
·         Abdul Faraj Abdurrahman Ibnu ‘Ali Ibnul Jauzy
Pada tanggal 26 Jumadil Akhir, Al-Amid Abu Nasher mengumpulkan pembesar-pembesar pemerintahan. Ketika itu dibacakan naskah pewaqafan dan daftar waqaf itu terdiri dari beberapa bidang tanah, pasar, dan barang-barang lainnya. Salah satu orang yang mewaqafkan adalah Nizamul Mulk.
·         Ibnu Djubaer
Nizhamul Mulk memberikan waqaf kepada sekolah tersebut berupa pasar dan barang-barang yang tak bergerak. Nizhamul Mulk mengeluarkan 600.000 dinar dalam satu tahun untuk waqaf sekolah-sekolahnya.
Sedangkan fasilitas-fasilitas yang diberikan dari Nizamul Mulk melalui Madrsah Nizhamiyyah adalah beasiswa, asrama, perpustakaan dan lain-lain. Setelah lama Nizhamul Mulk berperan dalam pemerintahan, Sultan Malik Syah merasa cemburu dan ingin mendapatkan kembali kekuasaannya yang sah, tanpa campur tangan Nizhamul Mulk. Oleh karena itu, ia menggunakan kesempatan itu dengan cara mencari kesalahan dari cucu-cucu Nizhamul Mulk, dan meminta kepada Nizhamul Mulk agar tetap memberikan hukuman. Hal tersebut disampaikan oleh Sultan Malik Syah melalui utusannya. Ketika mendapatkan hal tersebut, Nizhamul Mulk memberikan jawaban kepada utusan Sultan Malik dengan sindiran yang tajam dengan mempertanyakan kepada Sultan Malik mengenai kejayaan pemerintahannya. Mendengar jawaban dari Nizamul Mulk, Sultan Malik marah dan merencanakan untuk membunuh Nizhamul Mulk. Menurut riwayat, akhirnya Nizhamul Mulk meninggal karena dibunuh oleh seorang pemuda dari golongan Bathiniyyah yang menyamar menjadi pengemis.
2.4.            Nurrudin Zanky (569 H)
Nurrudin Zanky merupakan orang yang pertama kali mendirikan madrasah di Damaskus (Syiria). [30] Kerajaan Nurrudin berdiri di atas reruntuhan kerajaan Bani Saljuk. Nurrudin merupakan pahlawan Islam dalam Perang Salib. Hasil karyanya yang paling menonjol adalah pembaharuan dan perbaikan sosial dalam bidang pendidikan, serta pemeliharaan lembaga-lembaga ilmiah yang telah dibangun oleh Nizhamul Mulk. Beliau membangun beberapa sekolah di Syam. Di kota Damaskus ada 6 buah madrasah, diantaranya madrasah Nuiriyah Al-Kubra. [31] Madrasah tersebut didirikan pada tahun 563 H dan khusus mempelajari ilmu-ilmu syariat Islam madzhab Hanafi. Guru-guru di Madrasah An-Nuriyyah Al-Kubra diantaranya Bahaudin bin Al-‘Aqqadah (mengajar sampai tahun 596 H), Burhanudin Mas’ud (mengajar sampai tahun 599 H), Imaduddin bin Al-Thursusi (mengajar sampai 784H), dan lain-lain. [32]  Madrasah ini juga dilengkapi oleh beberapa bangunan yang menjadi fasilitas, diantaranya iwan (aula tempat kuliah), masjid, tempat istirahat untuk guru, asrama, tempat tinggal pesuruh madrasah, kamar kecil, dan lapangan.
2.5.            Salahuddin Al-Ayyubi (589 H)
        Salahuddin Yusuf al-Ayyubi adalah putra dari Najamuddin bin Ayyub yang mendirikan Dinasti Ayyubiyah. Pada masa pemerintahan Nuruddin Zanki (Gubernur Suriah dari bani Abbasiyah), Salahuddin diangkat sebagai kepala garnisum di Balbek. Pada tahun 1169, tentara salib menyerang Mesir dan ingin menguasainya. Khalifah al-Addid mengangkat Asaduddin Syirkuh sebagai Perdana Menteri Mesir pada tahun 1169 M. Namun kemudian Asaduddin meninggal, sehingga digantikan oleh Salahuddin Yusuf al-Ayyubi. Setelah Khalifah al-Adid (Khalifah Dinasti Fatimah) yang terakhir wafat pada tahun 1171 M, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi berkuasa penuh untuk menjalankan peran keagamaan dan politik. Dengan sifat kedermawanan dan kemurahan hatinya, Salahuddin memelihara dan menjaga sekolah-sekolah di Mesir yang telah dibangun oleh Nurrudin, agar tidak dirampas dan dihancurkan oleh bangsa Tartar. Selain itu, beliau juga melakukan perbaikan-perbaikan terhadap sekolah tersebut. Sifat-sifat baik dari Shalahuddin ini menjadi daya tarik bagi para ulama dan pelajar yang ingin menuntut ilmu di sekolah-sekolah tersebut. Madrasah-madrasah yang didirikan pada masa Al-ayubi sangat banyak, diantaranya adalah[33] :
·      Madrasah yang didirikan oleh Sultan :
ü  Di Mesir 7 madrasah
ü  Di Baitul Maqdis 3 madrasah
ü  Di Damaskus 7 madrasah
·      Madrasah yang didirikan oleh para pembesar :
ü  Di Mesir 13 madrasah
ü  Di Baitul Maqdis 2 madrasah
ü  Di Damaskus 12 madrasah

·      Madrasah yang didirikan oleh rakyat umum :
ü  Di Mesir 4 madrasah
ü  Di Damaskus 12 madrasah
Ø  Asrama Di Sekolah-Sekolah
     Umat Islam mengenal sistem asrama semenjak al-Azhar didirikan. Perguruan ini telah menerima rombongan-rombongan para pelajar dari pelosok Mesir dan berbagai negeri-negeri Islam lainnya. Sebagian dari mereka yang menetap di sana, diberikan fasilitas berupa asrama, makanan, roti dan kue-kue. Ketika masa pemerintahan Daulah Bani Ayyub, sistem asrama di mesir adalah mereka yang tinggal di asrama keperluan hidupnya dijamin setiap bulan. Menurut Stanley Lane Poole sekolah-sekolah yang didirikan Sultan Shalahuddin pelajar yang tinggal di asrama diberikan fasilitas berupa ruangan-ruangan untuk belajar, ruang perpustakaan, dan perlengkapan-perlengkapan lainnya yang dibutuhkan.
     Selain di Mesir, di Irak dan Baghdad juga terdapat asrama untuk para pelajar. Asrama yang termewah dan termegah saat itu adalah asrama yang terdapat di Sekolah Mushtanshiriyyah. Menurut Ibnul Ibry pelajar maupun para pengajar yang tinggal di asrama tersebut diberikan fasilitas yang mewah dengan para pengajar yang handal. Setiap bulannya mereka diberikan perbekalan, dan di asrama tersebut juga disediakan dokter yang selalu mengunjungi mereka setiap pagi.  Di Syiria pun disebutkan bahwa keberadaan asrama di setiap sekolah merupakan perlengkapan yang sangat penting. Para pelajar yang tinggal di asrama diberlakukan beberapa peraturan yang harus ditaati, peraturan itu diantaranya adalah :
Ø  Asrama untuk para pemuda hendaknya didirikan di tempat terpencil
Ø Apabila tinggal di asrama yang bertingkat agar berhati-hati dalam meletakan barang barang yang berat agar tidak mengganggu orang yang berada di bawahnya
Ø  Tidak berdiri di depan pintu atau pelataran sekolah atau asrama
Ø  Tidak sering keluar masuk
Ø  Menjauhi tingkh laku dan kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik

B.        Lembaga-Lembaga Ilmiah Dinasti Fathimiyyah
1.         Sekilas Tentang Dinasti Fathimiyyah Di Mesir         
            Dinasti Fathimiyyah berdiri sekitar abad ke 10, ketika kekuasaan Dinasti Abbasiyah di Baghdad mulai melemah, karena banyak daerah kekuasaannya yang tidak terkondisikan. Hal ini mengakibatkan munculnya dinasti-dinasti kecil di daerah-daerah. Diantara dinasti tersebut ada sebuah dinasti yang bernama Dinasti Fathimiyyah. Dinasti ini memisahkan diri dari Abbasiyah. Dinasti  Fathimiyyah mengambil nama dari Fathimah Az-Zahra, oleh karena itu kaum Fathimiyyah mengembalikan asal usul mereka kepada Ali Bin abi Thalib dan Fathimah. Dinasti ini menganut madzhab syiah ismailiah. Mereka mengakui sebagai keturunan Rasulullah melalui Ali dan Fathimah dari garis Ismail putera Jafar al’ Sadiq. [34]
            Pada tahun 909 M Dinasti Fathimiyyah memperkuat khalifahnya di Tunisia dengan bantuan Abdullah Syi’ii yang merupakan seorang dai ismailiyah. Dia merupakan seseorang yang yang sangat berperan dalam mendirikan Dinasti Fathimiyyah dan menyebarkan madzhab ismailiah. Kemudian pada tahun 973 M, Khalifah Muidz Lidinillah memindahkan ibukota dinasti Fathimiyah dari Kirawan (Tunisia) ke Mesir, setelah mereka berhasil menduduki Mesir pada 358 H atau 969 M. Ketika menduduki Mesir, dinasti ini ingin menyebarluaskan madzhab syiah ismailiah, namun mereka merasa tertekan karena bangsa Mesir melarang untuk menyebarkan madzhab Isma’ily di Mesir. Sejak saat itu, Fathimiyyin merasa harus melakukan program-program khusus untuk menaklukan mereka yang berkuat hati mempertahankan madzhabnya dan tak mau menerima madzhab Isma’ily. Program dari kaum Fathimiyyin ini terdiri dari dua, yaitu :
·      Tahap pelaksanaan pengajaran serta pembentukan perundang-undangan dan peraturan,
·                    Dakwah secara rahasia
            Kedua program  ini dipakai oleh Propagandis Agung beserta wakil-wakilnya. Mereka mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan dan hukum-hukum madzhab syiah secara terbuka dan terang-terangan. Setelah mereka menemukan orang-orang yang bersedia menerima dakwah mereka, barulah mereka pindahkan orang-orang tersebut ke suatu majlis untuk mendapatkan ilmu-ilmu rahsia secara bertahap. Disebutkan bahwa ilmu rahasia tersebut terdiri dari sembilan tingkatan, namun informasi mengenai ilmu-ilmu apa saja yang diberikan tidak didapatkan.
2.        Aqidah Madzhab Syiah Isma’iliyah
2.1           Tentang Al-Washy Dan Imam-Imam
                 Kaum syiah ini memiliki kepercayaan bahwa setiap nabi memiliki seorang washy, yaitu seseorang yang dipercaya sebagai wakilnya setelah Rasulullah wafat. Selain itu, menurut mereka, Allah yang telah memilih washy dari para nabi. Kaum Syiah Ismailiyah mempercayai washy dari Rasulullah yang telah disediakan Allah adalah Ali Ibn Abi Thalib. Alasan mereka ini diperkuat dengan dalil dari Surat Al-maidah ayat 67:                                       
 $pkšr'¯»tƒ ãAqߧ9$# õ÷Ïk=t/ !$tB tAÌRé& šøs9Î) `ÏB y7Îi/¢ ( bÎ)ur óO©9 ö@yèøÿs? $yJsù |Møó¯=t/             ¼çmtGs9$yÍ
Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.
              Kaum Syiah mengartikan ayat tersebut adalah agar memberitakan kepada kaumnya, bahwa Ali telah dipilih menjadi washy Rasulullah. Menurut mereka, setelah Rasulullah mengerjakan haji wada’, beliau sampai di suatu tempat yang disebut Ghadir Chum, kemudian di tempat itulah Rasulullah mengumumkan kepada kaum mslimin bahwa kedudukan Ali Ibn abi Thalib terhadap Rasulullah adalah sama seperti kedudukan Harun terhadap Musa. Setelah Ali Bin Abi Thalib wafat, maka yang menggantikan adalah Hasan, kemudian dilanjutkan oleh Husein. Bagi mereka, ketaatan terhadap washy dan imam merupakan suatu kewajiban mutlak. Menurut Abu Ja’far Muhammad Ibn Ali, hal yang menjadi dasar dari kaum syiah menjadikan hal tersebut sebagai aqidah adalah surat An-Nisa ayat 59:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB (
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”
                 Dalam ayat tersebut, ulil amri bagi mereka adalah imam-imam Syiah. Kaum syiah juga berkeyakinan bahwa adanya imam adalah suatu hal yang mutlak bagi ummat manusia dan agar mereka meyakini bahwa bumi ini tak akan pernah kosong dari imam, baik yang tampak maupun yang tersembunyi atau tidak.
1.2.      Tentang Ishmah
            Orang-orang Isma’iliyyah menganut kepercayaan adanya ishmah bagi para imam dan Rasul, yakni meyakini bahwa Imam dan Rasul itu tidak mungkin berbuat dosa. Kepercayaan tentang ishmah nabi-nabi dan bahwa mereka itu tidak mungkin berbuat kesalahan-kesalahan baik kesalahan yang kecil maupun kesalahan yang besar adalah dasar-dasar kepercayaan yang mutlak bagi kaum syiah, jadi menurut mereka, Imam adalah pemelihara syara dan pelaksanannya.[35] Oleh sebab itu, ia harus bersifat ma’shum, yaitu terhindar dari kesalahan-kesalahan. Ayat yang menjadi dalil atas klaim ini adalah Surat al-azhab ayat 33:
t$yJ¯RÎ) ߃̍ムª!$# |=ÏdõãÏ9 ãNà6Ztã }§ô_Íh9$# Ÿ@÷dr& ÏMøt7ø9$# ö/ä.tÎdgsÜãƒur #ZŽÎgôÜs? ÇÌÌÈ  
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”
Dari ayat tersebut, kaum syiah berpendapat bahwa Rasulullah pernah berkata: “Saya, Ali, hasan, Husein, serta tujuh orang diantara anak cucu Husein adalah disucikan Tuhan dan ma’shum dari segala dosa.

1.3.         Tentang Sifat-Sifat Para Imam
         Banyak buku yang dikarang oleh kaum syiah untuk mengemukakan sifat-sifat para imam mereka. Mereka mempercayai bahwa sifat-sifat imam mereka yang setaraf dengan martabat para nabi adalah sebuah pengangkatan dari Allah, maka para penyair dari golongan mereka pun memuji imam-imam syiah ini dengan kasidah dan lirik-lirik yang senafas dengan itu. Kaum Isma’iliyyah berkeyakinan bahwa:
1.         Yang pertama-tama diciptakan adalah Al-qur’an
2.         Allah adalah bersih dari sifat-sifat yang biasanya dihubungkan kepadaNya oleh Ahlussunnah
3.         Al-Aqlul kully atau Al-Qalam itu adalah sesuatu yang dilambangkan. Sedang nabi pada masa itulah yang menjadi lambang bagi akal umum tersebut.
4.         Lambang tersebut juga memiliki sifat-sifat yang sama dimiliki oleh yang dilambangkannya, artinya imam-imam juga memiliki sifat-sifat yang kaum Ahlussunnah hubungkan kepada Allah.
Bagi mereka, imam adalah wajah Allah, tangan Allah dan cahaya Allah. Cahaya Allah ini akan selalu berpindah dari seorang imam kepada imam yang lain dan imam ini adalah merupakan sebab bagi wujudnya segala makhluk dan mereka pulalah yang menjadikan khalifah Allah di muka bumi ini.
1.4.   Yang Zahir Dan Yang Batin
Masalah yang zhahir dan yang bathin merupakan cirri khas dari kaum Ismailiyah. Prinsip “yang zhahir dan yang bathin” adalah prinsip yang sangat penting bagi mereka, sehingga sebagian ulama dari ulama Isma’iliyyah menggunakan prinsip ini untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits. Prinsip yang zahir dan yang batin ini dianut oleh adzhab Ismailiyyah berdasarkan Surat Al-an’am ayat 6 yang mereka jadikan dalil:
(#râsŒur tÎg»sß ÉOøOM}$# ÿ¼çmoYÏÛ$t/ur
“Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi”
Berikut ini adalah contoh ayat-ayat Alquran yang diartikan menggunakan prinsip yang zahir dan yang batin :
Ø  Surat Al-Insyirah ayat 1  :          
óOs9r& ÷yuŽô³nS y7s9 x8uô|¹
Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?”(yang zahir)"
Kami telah menegakan dasar untukmu” (yang batin)"
3.      Surat al-Hijr ayat 87 :
ôs)s9ur y7»oY÷s?#uä $Yèö7y z`ÏiB ÎT$sVyJø9$#
“Dan Sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang” (yang zahir)
“Telah Kami dijadikan dalam keturunan tujuh orang Imam” (yang batin)
4.      Surat Al-Baqoroh ayat 272:
$tBur šcqà)ÏÿZè? žwÎ) uä!$tóÏFö/$# Ïmô_ur «!$# 4
“Dan janganlah kamu menafkahkan harta benda kamu , melainkan hanya mengharapkan ridho Allah “(yang zahir)
“Sedekah yang diterima Allah adalah sedekah yang menyenangkan hati Rasul atau imam-imam sesudah beliau” (yang batin)

1.5.Imam Imam Dan Pembinaan Hukum
        Agama Islam adalah agama yang hakiki dan memiliki hukum, hukum tersebut telah jelas ialah berlandasan pada Al-Qur’an serta hadist-hadist yang shohih, baik itu qauliyah, fi’liyah dan taqririyah. Namun pada saat itu banyak kita ketemui permasalahan yang tak dapat di jawab secara jelas, dengan demikian para ulama banyak yang melakukannya ijtihad yang bertujuan untuk dapatkan jawaban atas segala permasalahan. Kaum syiah mempercayai bahwa Al-Quran dan hadits merupakan sumber hukum, namun mereka tidak mengenal adanya ijtihad sebagai penentuan hukum setelah Rasulullah wafat. Mereka berkeyakinan bahwa imam-imam mereka telah dikaruniai ilmu pengetahuan yang tidak pernah dikarniakan kepada orang lain, maka jika ingin mengetahui sesuatu Allah akan langsung memberitahukan hal itu kepadanya. Maka, kaum syiah memiliki fiqih khusus untuk kaum syiah. Berikut ini adalah beberapa contoh fiqih kaum syiah yang diambil dari buku At-Tarjamah Al-Abqariyyah:
1.      Mereka tidak mewajibbkan suci dari tempat sholat, selama najis tidak melekat pada pakaian
2.      Mereka membolehkan menjama sholat Zuhur dan Asar atau magrib dan Isya walaupun tanpa udzur
3.      Rakaat kedua pada shalat jumat membaca qunut
4.      Puasa pada tanggal 18 Zulkaidah bagi mereka sunnah muakad
5.      Zakat tidak wajib pada harta perdagangan
6.      Mereka membolehkan nikah mut’ah
7.      Mereka mendahulukan anak perempuan daripada anak laki-laki dalam pembagian warisan
8.      Dalam ucapan adzan ditambahkan kalimat: “Hayya ‘alaa khairil ‘amal”

2.        Usaha Usaha Kaum Fathimiyyin Menyiarkan Madzhab Ismailiyah
2.1.      Kelompok-Kelompok Pendidikan
            Sejak awal memasuki Mesir, kaum Fathimiyyiah merasa kesulitan menyebarkan madzhabnya. Maka, merekapun menyiarkan madzhabnya melalui kelompok-kelompok pendidikan. Mereka menggunakan kelompok-kelompok pendidikan sebagai suatu usaha, karena mereka mengetahui, setiap penduduk di Mesir pasti ingin memperoleh pendidikan. Maka, kelompok-kelompok pendidikan yang didirikan juga sudah terkonsep  dengan rapih dalam menyelenggarakan programnya, di mana dalam program tersebut sengaja diselipkan ajaran madzhab syiah Ismailiyah. Program tersebut diantaranya adalah mendirikan lembaga ilmiah, mengangkat guru-guru untuk meladeni masyarakat, dan memberikan pelajaran dan bimbingan-bimbingan kepada masyarakat.
Ø  Lembaga-lembaga pendidikan
Lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan pada masa dinasti fathimiyah , diantaranya adalah:
1.      Masjid Dan Istana
      Pada masa dinasti ini, masjid berfungsi sebagai tempat berkumpulnya ulama fiqih yang menganut madzhab syiah ismailiyah. Mereka berkumpul untuk membuat buku tentang madzhab Ismailiyah untuk diajarkan kepada masyarakat. Diantara tokoh yang membuat buku tersebut adalah Ya’qub Ibn Killis. Sedangkan di istana, para khalifah mengumpulkan para penulis untuk menyalin buku-buku, seperti Al-Quran, hadits, fiqih, dan buku-buku ilmu kedokteran.
2.      Perpustakaan
      Lembaga pendidikan ini memiliki peran penting dalam menyebarkan madzhab syiah, karena banyak buku-buku yang menjadi sumber dalam memberikan pelajaran. Selain itu di sini juga adanya kegiatan penterjemahan buku-buku. Penerjemah yang handal pada sat itu misalnya, Abu Asrawi, Abu Yusuf Al-katib, dan lain-lain. Perpustakaan terbersar yang dimiliki oleh dinasti fathimiyah adalah dar al ‘Ulum, yang didirikan pada tahun 998 M oleh khalifah Fathimiyyah Al-Aziz.
3.      Dar al ‘Ilm
      Atas saran Ya’qub bin Killis, pada tahun 1005 M khalifah Al-Hakim mendirikan sebuah lembaga riset yang diberi nama Dar al Hikmah. Di tempat ini berkumpul para ahli fiqih, astronom, dan para ahli nahwu untuk mengadakan penelitian.


4.      Al-Azhar
      Al-Azhar didirikan oleh seorang panglima Dinasti Fathimiyyah yang bernama Jauhar Al-Katib Al-Siqqili pada tahun 970 M atas perintah Khalifah Al-Muidz Lidinillah sebagai tempat ibadah (masjid) yang sekaligus tempat melakukan propaganda ajaran syiah dan lambing kepemimpinan spiritual umat Islam. [36] Pembangunan masjid ini dimulai pada tanggal 4 April 970 M dan selesai pada tanggal 22 Juni 972 M.[37] Pada perkembangan selanjutnya,  masjid tersebut juga dijadikan sebagai lembaga pendidikan. Hal ini merupakan atas saran dari Ya’qub Bin Kallas, sehingga setelah itu pada akhir masa kepemimpinan Al-Mu’idz Lidinillah muncul study - study di jami Al-azhar yang berperan sebagai lembaga pendidikan. Pada awalnya masjid al-Azhar ini bernama masjid Al-Qahirah atau Jami Al-Qahirah. Setelah al-Azhar resmi berdiri menjadi masjid Negara, kegiatan ilmiah yang dilakukan pertama kali adalah para ilmuwan dan fuqoha terkenal, serta para pejabat berkumpul di masjid tersebut untuk mendengarkan ceramah umum (Studium Generalle) yang disampaikan oleh Abu Al-Hasan Nu’man Ibn  Muhammmad Al-Qirawaniy yang bergelar Hakim Agung . Dalam ceramah terasebut Hakim Agung menguraikan tentang prinsip-prinsip fiqih syiah yang terdapat dalam kitab Al-Ikhtisar. Kegiatan kuliah umum ini merupakan awal proses terbentuknya kuttab dan halaqah di Al-Azhar. [38]Sistem pengajaran yang dilakukan di Al-Azhar pada masa awal berbentuk halaqah dan pengajarnya merupakan seorang Syekh. Ketika melakukan pengajaran, syekh tersebut duduk di atas kasur kecil atau sebuah bangku. Para asisten dan orang-orang yang istimewa duduk di kanan dan kiri syekh, sedangkan para pelajarnya duduk membentuk satu lingkaran yang menghadap syekh. Selain itu juga disediakan tempat kosong untuk orang-orang yang ingin ikut belajar, namun tidak menghadiri pelajaran secara teratur.
      Metode pembelajaran yang dilakukan saat itu adalah diskusi, seorang guru hanya berperan sebagai fasilitator dan memberikan penajaman dari materi yang didiskusikan. Kurikulum pendidikan di Al-Azhar pada masa Dinasti Fathimiyyah dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1.      ilmu yang berhubungan dengan Al-Quran (naqliyah), contoh : ilmu tafsir, hadfis, qiraat, ilmu kalam, nahwu, lugah
2.      ilmu pengetahuan yang bukan bersumber dari Arab.  (aqliyah), contoh : filsafat, arsitektur, ilmu nujum, music, kedokteran, kimia, matematika, sejarah, dan lainnya.
Mahasiswa yang belajar di Al-Azhar dilarang mempelajari mazhab selain mazhab syiah. Pada masa itu, system pengajaran dibagi menjadi empat kelas, yaitu :[39]
1.      Kelas umum diperuntukan bagi orang yang dating ke Al-Azhar untuk mempelajari Al-Quran dan penafsirannya.
2.      Kelas para mahasiswa Universitas Al-Azhar kuliah dengan para dosen yang ditandai dengan mengajukan pertanyaan dan mengkaji jawabannya.
3.      Kelas Darul Hikam, kuliah formal ini diberikan oleh para mubaligh seminggu sekali pada hari Senin yang dibuka untuk umum, dan pada hari Kamis dibuka khusus untuk mahasiswa pilihan.
4.      Kelas non formal, yaitu kelas untuk pelajar wanita.

Ø      Sumber Pendanaan Lembaga Pendidikan Di Mesir
Pada masa pemerintahan Al-‘Aziz Billah, tepatnya sejak tahun 378 kegiatan waqaf telah berjalan. Hal itu terjadi ketika Al-Azhar tak hanya berperan sebagai sebuah masjid, tetapi juga berperan sebagai suatu lembaga ilmiah. Pada masa ini muncul Ya’qub Bin Kallas seorang menteri khalifah al aziz Billah. [40]Atas permintaanyalah, maka akhirnya Khalifah Al’Aziz Billah memberikan tunjangan hidup kepada sejumlah ulama. Selain itu Khalifah Aziz juga memerintahkan untuk membangun gedung di samping masjid Al-Azhar. Setiap hari Jumat, Al-Azhar sudah dipenuhi oleh orang-orang yang ingin melakukan solat Jumat dan ingin mendapatkan pelajaran yang diberikan seusai sholat Jumat sampai ashar tiba.
Sedangkan pada masa pemerintahan Khalifah Al-Hakim, ia menyediakan waqaf yang keuntungannya digunakan untuk biaya masjid-masjid dan badan-badan kebudayaan. Ia juga memberikan waqaf untuk Masjid Al-Azhar, Masjid Rasyidah, dan darul ‘Ilm. Waqaf-waqaf tersebut terdiri dari gedung-gedung (Darul Qurb), gedung-gedung bekas milik kaisar-kaisar Romawi (Qishariyyatus Shuf), dan gedung-gedung lainnya.
Setelah itu, ketika Bani Ayyub berada di Mesir, ia lalu memelihara dengan baik peninggalan-peninggalan tersebut dengan mengembangkannya melalui ilmu-ilmu pengetahuan. Hal tersebut juga mengakibatkan adanya perlombaan antara amir, wazir, dan ulama untuk melakukan pembaharuan. Beberapa ahli sejarah memberikan penjelasan mengenai waqaf-waqaf tersebut, yaitu :
·      Ibnu Djubaer mengatakan bahwa di setiap masjid, sekolah atupun asrama yang bangunannya diperbaharui, sultan shalahuddin akan memberikan waqaf untuk pembiayannnya, serta untuk para petugas dan penghuninya.
·      Al-Maqrizy mengatakan bahwa Shalahuddin memberikan waqaf untuk sekolah Nashiriyyah berupa kamar mandi, toko, dan pulau. Dia juga menyebutkan adanya delapan pojok di Masjid Amru (Mesir) yang diadakan kelompok-kelompok pelajaran, seperti pojok Imam Syafii, pojok Al-Kamaliyyah, dan pojok At-Tajiyyah
     Waqaf yang juga bernilai penting adalah waqaf yang diberikan Situs Syam untuk Sekolah Asy-Syamiyyah Al-jawaniyyah. Waqaf tersebut terdiri dari jirmana (hasil perkebunan), bazinah (desa), dan lain-lain yang akan diberikan kepada para foqaha dan pelajar. Selain itu, pembelanjaan juga diatur dengan baik, dengan rincian:
·      Pembelanjaan untuk gedng-gedung sekolah, harga minyak, lampu-lampu, tikar, permadani, dan lainnya
·      Sekarung gandum hinthan, gandum syair, dan uang perak Nashiriyyah sejumlah 130 dirham dibagikan untuk para guru
·      Sepersepuluh sisanya diberikan untuk honor nazir waqaf
·      Pengeluaran sebanyak 300 dirham untuk bahan-bahan makanan
·      Sisanya diberikan untuk para fuqaha, pelajar, dan muadzin, dan petugas yang membersihkan dan penjaga sekolah.
Gaji-gaji guru pada masa Fathimiyyin bersama gaji para petugas adalah sebagai berikut [41]:
·                                Wazir (menteri)                                  500 dinar sebulan
·                                Anak Wazir                                        200-300 dinar sebulan
·                                Sekretaris                                           150 dinar sebulan
·                                Yang menjaga pintu                           120 dinar sebulan
·                                Kepala Qadi                                       100 dinar sebulan
·                                Kepala Penyiaran                               100 dinar sebulan
·                                Guru Besar                                         100 dinar sebulan
·                                Kepala Kas Negara                            100 dinar sebulan
·                                Dokter khusus                                                50 dinar sebulan
·                                Mubaligh di masjid                            10-20 dinar sebulan
·                                Tukang syair khalifah                         10-20 dinar sebulan

2.2.            Syair-Syair Kepentingan Madzhab Isma’ilyyah
                 Syair-syair merupakan hal yang menjadi ciri khas orang Mesir. Oleh karena itu, kaum Fathimiyyah juga menyebarkan madzhabnya melalui syair-syair. Hal ini dilakukan, karena merupakan suatu media yang penting untuk pengiriman berita dan sebagai sarana politik. Dari hal tersebut, maka nampak jelaslah tujuan khalifah Fathimiyyin merangkul para penyair, yaitu agar berpihak kepada mereka melalui syair-syair yang dibuatnya. Para khalifah akan memberikan hadiah-hadiah yang berlimpah kepada para penyair yang ikut bergabung dengan mereka. Para penyair diperintahkan untuk membuat syair –syair yang memuji para khalifah Fathimiyyin dan memasukan ajaran-ajaran madzhab Syiah dalam syair-syair tersebut. Oleh karena itu, para penyair sangat berperan penting dalam usaha penyebaran madzhab syiah Ismailiyah.
·                    Perayaan-Perayaan Dalam Kesempatan-Kesempatan Tertentu
             Untuk memperkokoh pengaruh dakwah kepada para pengikut dan berusaha untuk mendapat pengikut-pengikut baru mereka mengadakan acara perayaan. Kaum Fathimiyyin merasa perlu memperkokoh kekuatan dakwah mereka melalui tindakan ritualitas, oleh karena itu mereka mengadakan berbagai perayaan dalam berbagai kesempatan, di mana dalam kegiatan perayaan-perayaan tersebut akan dimasukkan ajaran-ajaran dari madzhab syiah. Dengan dipenuhi aktifitas dan ritualitas tersebut, mereka berfikir maka dalam satu tahun rakyat akan mudah menerima ajaran madzhab syiah. Berikut ini akan dijelaskan beberapa perayaan yang dilakukan oleh kaum Fathimiyyin
Ø    Hari Raya Telaga
                 Hari tersebut merupakan hari yang diagungkan oleh kaum syi’ah, dimana menurut mereka pada hari itu Rasullullah Saw pernah mengumumkan kepada para umatnya tentang kedudukan Ali sama seperti kedudukan Rasulullah. Hal itu terjadi pada tanggal 18 Zulhijjah di Ghadir Chump. Pada perayaan tersebut mereka merayakan dengan penuh kegembiraan bahkan kemeriahan perayaan itu lebih meriah dibandingkan hari-hari raya  yang lainnya. Menurut Al-Maqrizy kaum Sayiah merayakan hari raya tersebut dengan cara melakukan sembayang dua rakaat pada malam harinya, kemudian pada pagi harinya juga melakukan sembayang dua rakaat, memakai pakaian-pakaian baru, memerdekakan budak-budak, memperbanyak amal kebaikan, dan menyembelih hewan kurban. Pada saat itu, rakyat juga berkumpul di masjid Jami’ Kairo bersama para ahlul bait, ahli baca Al-Quran, para fuqaha, dan para pendeklamator syair. Acara tersebut berlangsung hingga waktu zuhur. Selain itu, pada perayaan hari telaga khalifah juga mengirimkan pakaian sutera kepada khatib dan uang senilai 30 dinar. Setelah itu khatib membacakan naskah mengenai pernyataan Rasulullah tentang kedudukan Ali yang telah ditulis oleh dewan insya. Kegiatan selanjutnya yang dilakukan adalah Propagandis Agung bersembahyang dua rakaat bersama para hadirin. Setelah selesai, maka orang-orang menuju istana, dan mereka akan menerima hadiah. Al-Maqrizy juga meriwayatkan bahwa pada hari raya tersebut, orang-orang saling mengucapkan selamat. Khalifah juga memerintahkan untuk membagikan daging sembelihan kepada orang-orang tertentu Jumlah hewan sebelihan selama tiga hari raya korban tersebut sebanyak 2561 ekor, yang terdiri dari unta, sapi, kerbau, dan biri-biri. 
Ø    Hari Raya Asyura
                 Hari raya As’yura jatuh pada tanggal 10 muharram, dimana saat itu bertepatan dengan peristiwa terbunuhnya Husein Ibn Ali di tangan kaum Bani Umayah. Maka, untuk mengenang peristiwa tersebut, kaum Fathimiyyin merayakan hari duka cita tersebut. Untuk menghormati hari duka itu, maka pasar-pasar diliburkan, para penyair dan deklamator datang ke Masjid Jami Kairo untuk mendeklamasikan syair-syair untuk meratapi ahli bait dan membacakan cacian-cacian terhadap orang-orang yang telah merampas jabatan Khalifah. Pada saat itu, khalifah, juru-juru dakwah, para amir, dan para bangsawan duduk di atas tanah dengan alas tikar dan wajah tertutup. Selain itu juga tersedia hamparan makanan duka cita yang terdiri dari adas hitam, asin asinan, asam asaman, keju, dan roti gandum yang warnanya dibedakan dari biasanya.
Ø      Hari Raya Maulid
                 Dalam perayaan maulid, kaum Fathimiyyin melakukan enam macam perayaan maulid, yaitu : maulid Nabi SAW, maulid ‘Ali, maulid Fathimah, maulid Hasan, maulid Husein, dan maulid untuk para khalifah. Menurut riwayat Al-Maqrizy, kaum Fathimiyyin merayakan maulid-maulid tersebut untuk mempropagandakan madzhab Ismailiyyah. Pada hari itu dihidangkan kue-kue, roti-roti, susu dan gula yang akan diberikan kepada ahli baca Al-Quran dan fakir miskin. Pada saat itu,para khatib menyampaikan khutbah yang berisi tentang ahlul bait yang dimaulidkan, kemudian membacakan doa untuk para khalifah.

3.     Menyerahkan Jabatan –Jabatan Negara Kepada Orang Isma’iliyyah
       Khalifah Fathimiyyin memberikan mandat kepada orang-orang yang termasuk golongan Syiah dalam mengendalikan urusan-urusan negara, bahkan pada saat itu dapat faham syiah menjadi persyaratan untuk menjadi pegawai. Selain itu kaum fathimiyyin juga memberikan balas jasa kepada para pengikut madzhabnya yang berada di Afrika Utara. Semakin lama, kaum fathimiyyin juga berfikir jika hal tersebut terus dilakukan, maka kestabilitasan suatu negara akan menurun. Oleh karena itu, untuk sementara waktu mereka memberikan jabatan kepada orang-orang ahlusunnah, tapi di samping itu mengangkat orang-orang dari golongan Syiah untuk menyingkirkan orang-orang ahlusunnah. Pada masa Dinasti Fathimiyyah, Hakim Agung pernah dijabat oleh 40 orang hakim, yang semuanya menganut faham syiah, kecuali beberapa orang saja. Namun, beberapa orang tersebut diberikan syarat agar memutuskan suatu perkara berdasarkan madzhab syiah. Orang-orang yang pernah menjadi Hakim Agung  yang bukan dari golongan syiah, diantaranya adalah Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Abil ‘Awam. Orang-orang Mesir berpendapat, bahwa tunduk kepada kaum Fathimiyyin merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari, maka pada saat itu untuk menghindari sasaran kemarahan kaum Fathimiyyin, orang-orang Mesir hanya berpura-pura mengikuti madzhab mereka agar dapat menikmati jabatan.

4.      Orang-Orang Mesir dan Madzhab Isma’iliyyah
            Selama pemerintahan Fathimiyyin memimpin Mesir, sebenarnya para penduduk Mesir pada saat itu tidak menganut madzhab isma’ily. Mereka hanya berpura-pura menganut madzhab tersebut, karena mereka takut terhadap kekerasan kaum fathimiyyin serta para petinggi negara. Orang-orang Mesir tidak terpengaruh dengan syair-syair dan pelajaran yang diberikan oleh kaum Fathimiyyin. Maka, ketika Daulah fathimiyyah hancur, hancur pula madzhab mereka di Mesir. Seseorang yang mampu menumpas dinasti Fathimiyyim adalah Sahalahuddin Al-Ayyubi. Dia mampu menumpas madzhab Ismailiy dan menggantinya dengan madzhab ahlussunnah. Hal pertama yang dilakukan oleh Shalahuddin adalah menghapuskan nama Khalifah Al-Adhid Al-Fathimiy dalam kegiatan khutbah Jumat, dan menggantinya dengan membacakan doa untuk Khalifah Al-Mustadhi Billah Al-‘Abbasy. Setelah itu Shalahuddin juga merobah pemerintahan dengan cara menjatuhkan pembesar-pembesar dari kaum Fathimiyyin.Hal selanjutnya yang dilakukan Shalahuddin adalah mendirikan sekolah-sekolah di Mesir yang terdiri dari sekolah untuk ahli-ahli hukum madzhab Syafii dan madzhab Maliki. Maka akhirnya lenyaplah madzhab syiah dari negeri Mesir tersebut. 

C.      Periode-Periode Pendidikan Masa Dinasti Abbasiyah
     Dari beberapa lembaga pendidikan yang telah dijelaskan sebelumnya beserta dengan kurikulum dan para peserta didiknya, maka kita dapat menyimpulkan, bahwa bahwa tingkatan pendidikan terdiri dari empat tingkatan, yaitu:
1.      Periode Pertama
Periode pendidikan pertama pada saat itu disebut kuttab. Menurut Ibnu Djubaer pendidikan ini berlangsung di luar masjid. Pelajaran-pelajaran yang diberikan yaitu membaca al-Quran dan dasar-dasar pengetahuan.
2.      Periode Kedua
Periode pendidikan ini disebut periode menengah, atau lebih tepatnya menengah pertama. Kegiatan pendidikan yang berlangsung dalam tingkatan ini sudah di dalam masjid dan bergabung dengan kelompok, namun pelajaran yang diterima sedikit lebih tingi dibanding tingkat dasar. Mereka mulai mempelajari buku-buku yang mudah difahami
3.      Periode Ketiga
Mungkin tepatnya periode pendidikan ini disebut menengah kedua, karena kegiatan pendidikan yang berlangsung dalam tingkatan ini juga di masjid, namun pada tingkatan ini mereka dapat menggabungkan diri kepada kelompok-kelompok lain dalam masjid tersebut ataupun di masjid yang lain.
4.      Periode Keempat
Periode pendidikan ini disebut tingkat research dan study tingkat tinggi. Pada saat itu, periode pendidikan ini bisa berlangsung di masjid, rumah-rumah ulama, salon-salon kesusasteraan, bahkan di toko-toko buku. Pada periode ini pelajaran yang diberikan juga sudah tinggi, Menurut Ibnu Al-Anbary Khalifah Al-Makmun telah memerintahkan Al-Farra’ untuk menyusun suatu buku yang menghimpun pokok-pokok ilmu nahwu, yang kemudian buku itu diberi judul Kitabul Ma’any. Itu meruakan salah satu buku yang dipelajari oleh murid-murid yang berada pada tingkatan periode keempat. Selain itu para peserta didik di tingkatan ini juga belajar di perpustakaan yang tidak hanya berperan sebagai tempat sumber pencarian buku, tetapi juga berperan sebagai lembaga pendidikan.
Dalam sumber lain[42], dikatakan pada masa Abbasiyah pendidikan sudah  mulai berkembang, dimana sekolah-sekolah terdiri dari bebrapa tingkatan, yaitu :
a.   Tingkat sekolah rendah, namanya kuttab, lembaga pendidikan terendah untuk tempat belajar anak-anak mengenai dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan. Selain kuttab ada juga anak-anak yang belajar di rumah, istana, toko dan dipinggir-pinggir pasar.
b. Tingkat sekolah menengah, yaitu dimasjid dan dimajlis sastra dan ilmu pengetahuan sebagi sambungan pelajaran di kuttab. Selain itu biasanya para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah untuk menuntut ilmu kepada seseorang atau kepada seorang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pengjarannya berlangsung dimasjid atau di rumah ulama yang bersangkutan.
c.   Tingkat sekolah tinggi atau perguruan tinggi. Lembaga dari tingkat pendidikan ini adalah perpustakaan. Perputakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas karena disamping terdapat-kitab-kitab, disana juga orang dapat mebaca, menulis dan berdiskusi.


BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, maka kami memberikan kesimpulan:
1.                Setiap lembaga pendidikan memiliki fungsi sesuai dengan tingkat pendidikan peserta didik.
2.               Pendanaan lembaga-lembaga ilmiah pada masa Dinasti Abbasiyah berasal dari wakaf.
3.               Kurikulum pada mada awal Dinasti Abbasiyah lebih dominan bersifat keagamaan, namun seiring perkembangan selanjutnya ilmu-ilmu umum juga masuk dalam kurikulum pembelajaran.
4.               Metode pendidikan yang sering diberikan dalam setiap lembaga pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah adalah ceramah dengan system halaqoh
5.               Lembaga pendidikan perpustakaan dan madrasah merupakan salah satu tanda kemajuan dalam pendidikan Islam
B.        Saran
Setelah mengetahui sejarah pendidikan Islam pada masa Dinasti abbasiyah mengalami kemajuan yang pesat, maka seharusnya hal ini menjadi acuan dan motivasi bagi kita semua untuk memajukan pendidikan Islam agar kembali memimpin dunia, melalui berbagai hal, agar kelak bermanfaat bagi umat Islam itu sendiri dan umat lain, serta tidak menjadi sesuatu yang dimanfaatkan oleh bangsa ataupun agama lain.





DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shayim, Muhammad  (terj:Abdul Hayyim Al-Kattani).2003. Shalahuddin Al-Ayyubi Lil athfal  (Shalahuddin Al-Ayyubi Sang Pejuang Islam),  Jakarta : Gema Insani Press
Asrohah Hanun. 1999.  Sejarah Pendidikan Islam,Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Harun, Salman. 1993. Sistem Pendidikan Islam (Terjemah M.Quthb), Bandung: PT. Al-Maarif,
Hasjmi,A. 1993. Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Masruri, Anis dkk. 2006. Sejarah Perpustakaan Islam. Yogyakarta:Pokja Akademi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Mukti, Ali. 1995. Sejarah Islam PraModern, Jakarta:Raja Grafindo Persada
Munir, Syamsul Amin. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah
Murodi. 2006. Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Tsanawiyah Kelas 3. Semarang : PT Karya Toha Putra
Nata, Abudin. 2004. Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik Dan Pertengahan, Jakarta:, PT Raja Grafindo Persada
Nizar, S. 2001, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Gaya Media Pratama
Nizar, Samsul .2007. Sejarah Pendidikan Islam,Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta: Prenada
Qalyubi, Syihabuddin dkk, 2003. Dasar-dasar Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Yogyakarta: Jur Ilmu Perpustakaan dan Informasi Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga
Stanton, Charles Michael.  PendidikanTinggi Dalam Islam, (Terj Afandi dan Hasan Asari), Jakarta : 1994
Sulistiyo, Basuki. 1997. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama
Sunanto, Musyrifah.2007. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Suwito. 2005. Sejarah Sosial Pendidiokan Islam, Jakarta : Prenada
Syalabi, Ahmad (penerjemah : Prof. Muchtar Yahya). 1973. Jakarta : PT Bulan Bintang
 www. Wikipedia.com
Yatim, Badri .2000. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Yusuf, Zaghlul. 1992. Sistem Pendidikan Islam, Jakarta : Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam As-Syafiiyah
Yunus, Mahmud. 1992. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta PT.Hida Karta Agung,
Zuhairini, Dra. 2008. Sejarah pendidikan Islam, (cetakan ke 9) Jakarta : Bumi Aksara,
















[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000, hlm 49
[2] Suwito, Sejarah Sosial Pendidiokan Islam,Jakarta :Prenada, 2005, hlm 11
[3]Fauzi Muzakir, Pendidikan Islam Sebelum Datang Madrasah, http://dakir.wordpress.com/2009/04/14/pendidikan-islam-sebelum-periode-madrasah/

[4]Prof.Dr. Mahmud Yunus. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : PT.Hida Karta Agung, 1992 hlm 42
[5] Suwito,Op.Cit, hlm 11
[6] Ibid
[7]Prof.Dr. H. Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam,Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta: 2007, Prenada, hlm 114
[8] Suwito, Loc.Cit,hlm 102
[9] Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam, hlm 92
[10] Charles Michael Stanton, Pendidikan tinggi Dalam Islam, Terj Afandi dan Hasan Asari, Jakarta : 1994,hlm 163-164
[11] Ibid,hlm 97
[12] Ibid.hlm 93
[13] Prof. Dr.H. Samsul Nizar, Loc.Cit,hlm 71
[14] Suwito, Loc.Cit  hlm 59
[15] Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam,Jakarta :Logos, 1999, hlm 46
[16] Suwito, Loc.Cit  hlm 75
[17] Samsul Nizar, Loc.Cit, hlm 158
[18] Loc.Cit, hlm 151
[19] Suwito, Loc.Cit,hlm 152
[20] Prof. Dr. H. Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik Dan Pertengahan, Jakarta: 2004, PT Raja Grafindo Persada , hlm 71
[21] Ibid
[22] Samsul Nizar, Loc.Cit, hlm 162
[23] Prof. Dr. H. Abudin Nata, Op.Cit,hlm 69
[24] Op.Cit, hlm 163
[25] Ibid, hlm 164
[26] Prof. Dr. H. Abudin Nata, Loc.Cit,hlm 70
[27] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : 1989 PT Hidakarya Agung, hlm 75
[28] Sa’id Nafis : Madrasah Nizhamiyyah Baghdad, hlm. 2
[29] Prof. Dr. H. Abudin Nata,Op.Cit,hlm 71
[30] Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : 1989 PT Hidakarya Agung, hlm 76
[31] Ibid
[32] Ibid, hlm 77
[33] Ibid, hlm 78
[34] Suwito, Loc.cit, hlm 122
[35]Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam hal. 29.
[36] DR.Murodi,MA, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Tsanawiyah Kelas 3,Semarang : PT Karya Toha Putra,hlm 72
[37] Ibid
[38] Ibid, hlm 73
[39] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Hidakarya Agung ,1990,hlm 174
[40] Loc. Cit, hlm 180
[41] Prof. Dr. H. Abudin Nata,Loc.Cit,hlm 133
[42] http://madura-elasukron.blogspot.com/2010/11/pendidikan-masa-bani-abbasiyah.htm
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: lembaga-lembaga ilmiyah dinasti abasiyyah Description: Rating: 5 Reviewed By: Unknown
Scroll to Top