BAB I : Pendahuluan
· Priode Nabi Muhammad
Pendidikan pertama kali ada sejak zaman Nabi Adam. Nabi adam diajarkan tentang Al Asma’ serta ditunjuk menjadi khalifah. Setelah priode Nabi Adam selanjutnya priode Nabi Ibrahim. Beliau diajarkan tentang keseimbangan, hablum millah dan hablum minan nas, diajarkan pula hasanah fid dunia wal akhiroh. Nabi Ibrahim juga disebut sebagai awwalul muslimin.
Pada priode pra-Muhammad pendidikan di mekkah pada saat itu bernama kuttab yaitu tempat untuk menulis dan membaca, terutama bagi anak-anak, kuttab tersebut berkembang dengan sangat pesat. Di awal perkembangan Islam, kuttab tersebut dijalankan di rumah guru-guru yang bersangkutan dan yang diajarkan
yaitu menulis dan membaca, sedangkan yang ditulis dan dibaca adalah syair-syair yang terkenal pada masa itu.
Sejarah mencatat data pendidikan yang lengkap mulai masa Nabi Muhammad. Nabi Muhammad di utus menjadi rosul dengan menerima wahyu yang harus disampaikan kepada masyarakat sekitar. Pendidikan selama periode Nabi Muhammad terbagi dua periode yaitu periode Mekkah dan Madinah.
1. Priode Mekkah
Wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad secara bertahap. Adapun salah satu proses penyampaiannya dalam dunia pendidikan. Wahyu yang diterima disampaikan kepada keluarganya terlebih dahulu.
Muhammad diangkat menjadi rasul beliau mengajarkan tentang wahyu yang bertempat di tumah Al-Arqam yang khusus mengajarkan tentang wahyu yang diterima nabi selama 13 tahun. Pada saat itu guru hanya satu yaitu Rasulullah.
2. Priode Madinah
Nabi pindah ke madinah beliau mendirikan ” Suffah “ yaitu ruang yang ada di dalam masjid untuk dijadikan tempat buat pendidikan. Kemudian suffah berkembang dalam 9 masjid yang ada di madinah dalam pengawasan nabi Muhammad saw.
Nabi Muhammad telah memberikan contoh penerapan sistem pendidikan islam. Rasulullah menanamkan kepada para sahabat nilai-nilai moral, etika dan agama. Rasulullah juga memberikan ilmu pengetahuan lain seperti pendidikan kesustraan, filsafat, ekonomi, arsitektur, physic, kedokteran, astronomi, politik, business science, psikologi, biologi dan sejumlah lapangan ilmu pengetahuan lain yang menyangkut aktivitas manusia. Rasulullah memberi gagasan menggunakan metode induktif untuk menemukan pengetahuan yang berguna bagi manusia dan tidak menghalangi pertumbuhan kesadaran yang non rasional.[1] Rasulullah membuktikan kebenaran ajaran-ajarannya. Sifat ajarannya adalah intelektual dan spiritual.[2]
· Priode Khulafaur Rasyidin
Pendidikan pada masa khulafauir rasidin tidak terlalu banyak perubahan. Pada masa khalifah abu bakar tidak jauh berbeda dengan pendidikan pada masa Rasullah. Pada masa khalifah Umar bin khattab, pendidikan Islam telah meningkat.
Pada masa khalifah Umar guru-guru sudah diangkat dan digaji untuk mengajar ke daerah-daerah yang baru ditaklukkan. Khalifah Umarpun mengeluarkan uang 25 ribu dinar untuk pendidikan. Pada masa Utsman bin Affan pendidikan diserahkan kepada rakyat. Sahabat tidak hanya terfokus di madinah saja, tetapi sudah diperbolehkan ke daerah-daerah untuk mengajar. Pada masa khalifah Ali bin Abi thalib, pendidikan kurang mendapat perhatian, ini disebabkan karena pemerintahan ali selalu dilanda konflik yang berujung kepada kekacauan.[3]
Pada masa khalifah Usman bin Affan (644-656 M) ilmu pengetahuanpun berkembang, namun ilmu qiraat lebih berkembang sehingga dilakukan standarisasi bacaan Al Qur’an yang disebut mushaf usmani. Ilmu kedokteraanpun mulai berkembang karena terdapat seorang dokter yang berasal dari thaif, yaitu al Harits bin Khaldah (belajar ilmu kedokteraan dari Persia).[4]
· Priode Daulah Umayyah
Periode dinasti umayah merupakan masa inkubasi. Pada masa ini peletakkan dasar-dasar dari kemajuan pendidikan dimunculkan. Intelektual muslim berkembang pada masa ini.[5] Munculnya rumah-rumah ulama serta ulama tersebut menulis buku-buku/kitab-kitab. Muncul pula maktab/perpustakaan biasa.
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah (661-750 M) bahasa dn sastra Arab berkembang dan memiliki kemajuan yang sangat berarti hingga sekarang karena pemikiran dan kreativitas mereka.[6]
Pada dinasti umayah pola pendidikan bersifat disentralisasi, tidak memilki tingkatan dan standar umur. Kajian ilmu pada periode di damaskus, kuffah, mekkah, madinah Mesir dan cordova dan beberapa kota lainya seperti kuffah, basrah(irak), damsik. Palestina(Syam), fistat(mesir). Diantara ilmu-ilmu yang dikembangkanya yaitu kedokteran, filsafat, astronomi, ilmu pasti, sastra baik seni bangunan, seni rupa maupun seni suara. Jadi pendidikan tidak hanya terpusat di madinah seperti pada masa nabi dan khulafaurrasisin, melainkan ilmu telah mengalami ekspansi seiring dengan ekspansi teritorial. Adapun bentuk pendidikan pada masa dinasti umayah antara lain:
Pendidikan istana
Pendidikan ini tidak hanya mengajar tingkat rendah tetapi juga mengajar tingkat tinggi seperti khalaqoh, masjid dan madrasah. Guru istana dinamakn muaddib, tujuan pendidikan istana tidak hanya mengahjarkan iilmu pengetahuan tetapi muaddib harus mendidik kecerdasan Hati dan jasmani anak. Adapun rencana pelajaran di istan ssebagai berikut :
· Al-Quran (kitabullah),
· Hadits-hadits yang termulia
· Syair-syair yang terhormat.
· Riwayat hukamah
· Menulis mebaca dan lain-lain.[7]
Seorang ahli piker perancis à Dr Gustave Le Bone mengatakan, “ dalam 1 abad/3 keturunan, tidak ada bangsa-bangsa manusia dapat mengadakan perubahan yang berarti. Bangsa Perancis memerlukan 30 keturunan /1000 tahun, baru dapat mengadaakan suatu masyarakat yang tercelup perancis. Hal ini terdapat pada seluruh bangsa dan umat, kecuali umat islam. Karena Muhammad dapat mengadakan suatu masyarakat baru dalam waktu 1 keturunan (23 tahun) yang tak dapat ditiru oleh orang lain.
BAB II
Pembahasan
§ Munculnya Perpustakaan dan Pengajaran
Sebelum adanya daulah Abbasyiah perpustakaan sudah ada di kota Iskandariah (Alexandria). Namun bangunannya saat ini sudah lenyap seperti Faros. Daya tarik kota tersebut yaitu perpustakaan kerajaan. Didirikan pada awal abad sebelum masehi dan didukung sepenuhnya oleh keluarga Ptolemeus. Perpustakaan ini menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia hellenstik dan memiliki 700.000 gulungan papirus.
Para ilmuan yang bekerja di perpustakaan itu banyak menghasilkan karya dalam ilmu pengetahuan yaitu dalam bidang geometri, trigonometri, astronomi, bahasa, kesusustraan dan kedokteran. Para cendekiawa yang berjumlah 72 menerjemahkan kitab bahasa ibrani ke dalam bahasa yunani yang menghasilkan Septuaginta. Perpustakaan ini sering menyelenggarakan pertemuan yang bersifat intelektual.
Beberapa editor terkenal yaitu Zenodotus dan Ephesus (akhir abad 3SM), Aristophanes dari Bizantium (awal abad 2SM), Aristarchus dari Smothres (pertengahan abad 2 SM) dan Didymus Chalcenterus (abad 1 SM). Perpustakaan ini memiliki pengaruh yang sangat besar jika kita lihat dari editor. Editor terkenal yaitu Erasthostenes (270-190 SM), ahli filosof, matemtika dan astronomi dari Yunani ayng menjabat sebagai kepala perpustakaan Alexandria.[8]
Pada bulan Oktober 2002 perpustakaan ini diresmikan kembali dengan nama Bibliotek Alexandria yang memiliki koleksi 400.000 buku, sistem komputer yang canggih. Saat ini memiliki 8.000.000 buku (banyak tentang peradaban mediterania timur).[9]
Setelah lenyapnya perpustakaan Alexandria, semua beralih kepada perpustakaan muslim (sekitar 7 M). Perpustakaan pada masa daulah Abbasyiah berkembang sangat pesat. Perpustakaan Pada Abbasyiyah adalah suatu cara yang ditempuh oleh orang terdahulu untuk menyiarkan ilmu pengetahuan. Dahulu, buku sangat mahal harganya, karena ditulis dengan tangan, maka hanya orang kaya sajalah yang dapat membeli dan mempunyai buku-buku. Oleh sebab itu, didirikanlah perpustakaan agar orang-orang dapat memberikan pelajaran dan dapat menyiarkan ilmu pengetahuan. Buku-buku merupakan bibit dalam pertumbuhan Universitas Islam yang pertama, seperti Universitas Baitul Hikmah di Baghdad dan Universitas Darul Hikmah di Kairo. Perpusatakaan dunia Islam pada masa itu menjalankan fungsinya sebagai perguruan di zaman modern selain fungsinya sebagai perpustakaan.[10]
· Berkembangnya Perpustakaan Islam dan Pengajaran
Abad keemasan peradaban Muslim dimulai dengan bangkitnya Dinasti Abasiyah (132 H/750 M). Dalam waktu 5 abad, pada masa kekhalifahan Abasiyah ini mulailah berkembangnya para jenius Islam. Akan tetapi Dinasti ini kurang berminat melakukan penaklukan sebagaimana pada masa Dinasti Umayah, melainkan dinasti ini lebih berminat pada pengetahuan dan masalah dalam negeri. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya penekanan besar pada upaya penerjemahan dan menyerap pengetahuan dari peradaban lain, termasuk Mesir, Babilonia, Yunani, India, Cina, dan Persia. Dalam kurun 3 fase buku-buku dalam bahasa Yunani, Syria, Sansekerta, Cina, dan Persia diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.[11]
· Fase Pertama, (132 H/750 M – 232 H/847 M), pada masa khalifah al-Mansyur hingga Harun al-Rasyid.
· Fase Kedua, (232 H/847 M – 334 H/945 M), berlangsung pada masa khalifah al-Makmun. Yang banyak diterjemahkan adalah karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Sedangkan buku yang diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran.
· Fase Ketiga, (334 H/945 M – 347 H/1005 M), setelah adanya pembuatan kertas, bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.[12] Setelah gerakan penerjemahan, maka dimulailah tugas yang sulit dan lama untuk menyaring, menganalisis, menerima, atau menolak pengetahuan dari peradaban lain.[13]
Seiring dengan perkembangan berbagai macam cabang ilmu dan munculnya karya tulis para sarjana, maka bekembang pula produksi kertas yang tersebar luas di seluruh wilayah Islam. Hal ini kemudian memberikan dorongan besar tidak hanya bagi gerakan penulis, penerjemahan dan pengajaran, akan tetapi juga berpengaruh pada gerakan pengumpulan naskah.[14] Keadaan ini berlangsung ketika seluruh peradaban Muslim dilanda debat hebat, dan kemudian menjadikan buku sebagai kunci utama dan media untuk menyampaikan gagasan. Kebutuhan akan buku menyebabkan merebaknya perpustakaan di berbagai penjuru dunia Islam. Mereka berlomba untuk membeli karangan ilmiah dari para penulisnya begitu tulisan tersebut selesai ditulis.
Ø Nilai moril buku-buku
Buku mempunyai nilai moril yang sangat tinggi pada pandangan bangsa Arab, mereka sangat mencintai dan memuliakan buku-buku. Setiap kali orang Arab berbicara tentang buku, maka pendengarannya akan mengira bahwa dia sedang berbicara kepada seorang kekasih yang sudah lama tidak bertemu, seorang teman yang sangat setia dan jujur, atau seorang pemimpin yang membimbingnya kepada jalan kebenaran dan tujuan yang suci.[15]
Penghargaan yang tinggi terhadap buku-buku itu disebabkan oleh tulisan-tulisan al-Djahizh. Pujangga inilah yang telah mengalihkan perhatian manusia kepada buku dan tulisan, padahal sebelumnya perhatian mereka tertuju kepada syair dan prosa.[16]
Tulisan dan buah pikiran al-Djahizh ini telah mendapat perhatian dan sambutan yang baik. Mulailah orang mengalihkan perhatiannya kepada buku. Sebagai contoh Muhammad Ibnu Abdul Malik Az Zajjat pernah beberapa waktu lamanya dia tidak keluar rumah. Kemudian al-Djahizh bermaksud berkunjung ke rumahnya, dan dia hendak membawakan hadiah untuknya. Lalu teringatlah olehnya tak ada yang lebih baik dari pada buku yang dia bawa. Hadiah tersebut disambut gembira oleh Ibnu Az Zajjat, seraya berkata ; “Tak suatu hadiahpun yang lebih saya sukai dari pada ini.”[17]
Tetapi sayangnya, buku-buku yang paling dihormati dan dimuliakan oleh al-Djahizh itu pulalah yang menjadi sebab kematiannya. Diceritakan bahwa meninggalnya al-Djahizh disebabkan karena ditimpa oleh buku-buku. Sudah menjadi kebiasannya kalau dia menelaah buku-buku, maka buku tersebut disusunnya tegak berdiri disekelilingnya laksana dinding, sedangkan dia duduk di tengah-tengahnya. Maka suatu ketika dia sedang duduk di tengah buku tersebut, namun keadaan tubuhnya yang sedang sakit dan juga karena faktor usia yang telah lanjut, tiba-tiba jatuhlah buku-buku itu dan terhimpitlah dia, dan meninggallah dia akibat kejadian tersebut.[18]
Walaupun meninggalnya dia disebabkan oleh buku-buku, namun faktanya dia meninggal sesudah usahanya menghadapkan perhatian orang-orang kepada buku telah berhasil, dan buah fikirannya telah tersiar dan ajarannya telah bersemi di dada manusia.
Ø Nilai moril perpustakaan
Penghargaan terhadap perpustakaan dan kegemaran mendirikan perpustakaan itu bukan hanya terdapat dalam lingkungan para ulama dan orang pandai saja, melainkan telah meluas sampai kepada orang awam. Adanya perpustakaan dalam rumah telah menjadi suatu keharusan, karena bagaimanapun juga perpustakaan menjadikan rumah itu bersemarak, dan tuan rumahnya menjadi orang yang trerpandang dan mulia.[19]
Ø Bangunan perpustakaan dengan cara menyusun buku-buku
Gedung yang dibangun untuk perpustakaan Fatimiyin di Kairo besarnya hingga di dalamnya terdapat 40 buah ruangan untuk buku-buku, masing-masing ruang dapat memuat 18.000 buah buku.
Kaum Muslimin pada abad pertengahan belum mengenal cara menyusun buku-buku pada rak-rak buku yang dipakai pada zaman sekarang ini, yaitu dengan menegakkan buku-buku tersebut. Oleh mereka buku tersebut ditidurkan, yang satu diletakkan di atas yang lain. Oleh karena itu mereka menasehatkan agar buku-buku yang besar jangan diletakkan di atas buku yang kecil, agar tidak jatuh / runtuh.
Buku yang berharga mahal atau yang belum dijilid disimpan di dalam koper kecil sebesar buku itu pula. Koper itu biasanya terbuat dari karton. Nama buku dan nama pengarang dituliskan pada sisi koper itu.
Biasanya di perpustakaan terdapat berbagai macam rak, ada rak yang terbuka, dan ada pula rak yang tertutup. Rak yang terbuka dimaksudkan agar semua orang dapat mengambil bukunya dengan mudah. Buku yang mereka inginkan untuk dibaca atau diturun. Sedangkan rak yang tertutup ditujukan untuk menyimpan manuskrip-manuskrip yang berharga, atau buku yang susah didapat. Untuk menggunakan manuskrip atau buku semacam ini haruslah mendapat izin dari pemimpin tata usaha.[20]
Ø Daftar buku-buku
Untuk memudahkan pemakaian buku-buku maka setiap perpustakaan, baik perpustakaan umum ataupun perpustakaan golongan tertentu harus menyediakan daftar buku-buku. Di perpustakaan sekolah An Nizhamijah di Baghdad sudah mempunyai daftar buku yang teratur rapi. Ibnul Djauzi (w 597 H), pernah melihatnya. Menurut beliau, daftar buku sekolah An Nizhamijah itu berisi 6000 nama-nama buku. Begitu juga perpustakaan Fatimiyin di Kairo besarnya hingga di dalamnya terdapat 40 buah ruangan untuk buku-buku, pada mulanya tidak mempunyai daftar buku yang lengkap, hanya masing-masing ruangan mempunyai daftar yang ditempelkan pada pintu ruangan itu. Pada daftar itu dituliskan nama buku dan nomornya saja.
Kemudian menteri Abul Qasim Al Dzurdjani berpendapat bahwa perpustakaan yang besar harus mempunyai daftar buku yang lengkap. Maka pada tahun 435 H diperintahkanlah Al Qadhi Abdullah Al Qadha’i dan Abu Khalaf Al Warraq untuk menyusun daftar buku-buku itu.[21]
Ø Meminjam buku-buku
Meminjami buku merupakan suatu perbuatan yang disukai, selama tidak merugikan, baik yang dipinjami atau yang meminjami. Meminjami para pelajar dan guru lebih diutamakan dan terpuji, karena dengan seperti itu ilmu pengetahuan akan tersiar luas, yang manfaatnya akan dirasakan juga oleh umum.
Bahwa di dunia Islam ada juga perpustakaan yang didirikan hanya untuk dibaca di sana, tidak dibolehkan maminjam buku untuk dibaca diluar gedung perpustakaan, seperti perpustakaan di Britania. Dan perpustakaan yang mempunyai peraturan seperti di Britania adalah perpustakaan yang didirikan oleh Al-Qadli Ibnu Hibban An Naisabari. Beliau mewakafkan seluruh bukunya kepada para ahli ilmu pengetahuan dengan syarat buku itu tidak boleh dipinjamkan keluar, dalam keadaan apapun juga. Lalu ada perpustakaan sekolah Al Mahmudijah yang dibangun oleh Djamaluddin Mahmud Ibnu Ali. Beliau mencantumkan dalam piagam wakaf bahwa tidak boleh ada satu bukupun yang dibawa keluar gedung sekolah itu.[22]
Ø Petugas Perpustakaan
Jumlah petugas perpustakaan dan macam-macam tugas yang dipegang mereka adalah berbeda-beda sesuai dengan keadaan perpustakaan itu masing-masing. Tetapi ada beberapa macam petugas yang hampir sama dengan semua perpustakaan kaum Muslimin yang ternama, yaitu:
§ Pemimpin Perpustakaan
§ Para Penerjemah
§ Para Penurun
§ Para Penjilid Buku
§ Para Pembantu (Para Munawil)
Pemimpin Perpustakaan
Pemimpin perpustakaan memegang tugas ilmiah dan tugas ketatausahaan. Dia berkewajiban mencarikan buku baru untuk perpustakaan, memeriksa daftar buku agar tersusun rapi dan memuat seluruh buku yang ada pada perpustakaan itu, memberi petunjuk kepada peminjam buku, menjaga agartidak ada buku yang hilang, menggolongkannya kepada bagian-bagian, memerintahkan menjilid buku yang perlu dijilid, menjaga agar sesuatu buku hanya dipinjamkan kepada yang patut meminjamnya dan agar yang meminjam tidak terhalang.[23]
Para Penerjemah
Para penerjemah menjadi jembatan yang menghubungkan bangsa Arab dengan ilmu pengetahuan, selain ilmu pengetahuan agama dan bahasa Arab. Dengan perantara penerjemah dapatlah disalin ilmu pengetahuan Yunani, Suryani, Qibthi, Persia dan India ke dalam bahasa Arab. Puncak penerjemahan pada masa Harun ar Rasyid, yaitu Baitul Hikmah. Penerjemah yang terkenal pada perpustakaan ini adalah Abu Sahl Al Fadhl Ibnu Nawbacht. Menurut Ibnu Nadim, Ibnu Nawbacht banyak menerjemahkan buku dari bahasa Persia ke dalam bahasa Arab.
Roda penerjemahan terus berputar, setelah zaman Al Wassiq maka berhentilah kegiatan itu, sehingga tidak ada lagi orang yang menerjemahkan, biarpun pada perpustakaan umum atau pada perpustakaan pribadi. Hal ini disebabkan karena para penerjemah menerjemahkandengan giat seluruh buku yang bagus dan bermutu dalam berbagai macam ilmu pengetahuan telah lengkap diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.[24]
Para Penurun
Penurun adalah jalan satu-satunya untuk mendapatkan naskah baru dari sesuatu buku tulisan tangan (manuskrip) ialah dengan menurun buku itu. Seorang penurun haruslah melaksanakan tugasnya dengan rapi dan cermat. Dia tidak boleh meninggalkan sesuatu kata, huruf, titik, atau apapun juga karena ingin cepat selesai atau lupa. Dia harus mengikuti petunjuk dan melaksanakan perintah dari orang yang mempunyai buku atau dari orang mengupahkannya.
Sebuah fakta yang mengagumkan tentang para penurun ini adalah menurut riwayat di perpustakaan Bani Ammar di Tripoli-Syam terdapat 180 orang penurun. Para penurun ini bekerja siang dan malam dengan bergiliran agar penurunan tidak terputus, dan tiap kali bekerja tidak kurang dari 30 orang penurun yang bekerja.[25]
Para Penjilid Buku
Pembicaraan tentang para penurun dapat dipandang juga sebagai para penjilid. Pada buku literature yang ada di tangan kita, para penjilid ini selalu disebutkan di samping para penurun. Dengan kata lain, para penurun itu adalah juga para penjilid.
Penjilidan dikalangan kaum Muslimin pada mulanya sangat sederhana sekali. Akan tetapi mengalami perkembangan yang cepat, sampai menjadi seperti kesenian yang rapi dan indah. Penyamakan Kufah itu telah membuat kulit menjadi halus, dan dipakailah kulit yang halus itu untuk menjilid buku-buku. Lalu lahir pulalah seni mengukir kulit buku dan menghiasinya dengan air mas. Inilah puncak keindahan dan kerapihan dalam seni penjilidan buku. Perusahaan menjilid dalam kalangan kaum Muslimin dikenal pertama kali di Mesir pada abad ke 8 dan 9 Masehi.[26]
Para Munawil
Tugas seorang pembantu adalah menunjukkan kepada para pengunjung perpustakaan di mana letaknya buku yang mau mereka baca, atau mengambil buku-buku itu dari tempatnya dan mengantarkannya kepada para pengunjung.
Kedudukan seorang pembantu di perpustakaan tidaklah terlalu tinggi, seperti halnya kedudukan seorang pemimpin perpustakaan, akan tetapi tidak pula setingkat dengan pelayan atau pegawai kebersihan. Kedudukannya boleh dikatakan tinggi karena seorang pembantu harus mengetahui buku-buku dan tempatnya, tetapi hanya di sini saja artinya tidak sampai taraf ilmiah karena dia tidak mengetahui ide buku-buku itu. Mengetahui ide buku adalah kewajiban Pemimmpin perpustakaan, karena dengan mengetahui ide suatu buku, maka dia mengetahui isi buku itu, seterusnya dia dapat menyusun dan meletakkannya di tempat yang seharusnya.[27]
Ø Keuangan Perpustakaan
Pada umumnya, wakaflah yang menjadi sumber keuangan untuk membelanjai perpustakaan dan melengkapi kebutuhannya, seperti renovasi bangunan, mendatangkan buku baru, pembayaran gaji pegawai.
Pegawai perpustakaan Al Mustanshiriyah mendapat gaji sebagai berikut : Pemimpin perpustakaan mendapat 5 kg roti, 2 kg daging per hari, dan 10 dinar tiap bulan. Pengawas mendapat 2,5 kg roti, 1 kg daging per hari, dan 3 dinar tiap bulan. Sedangkan pembantu mendapat 2 kg roti, beberapa sendok makanan yang telah dimasak tiap hari, dan 2 dinar tiap bulan.[28]
Ø Jenis-jenis Pepustakaan
Ada 3 jenis perpustakaan, penggolongan perpustakaan pada 3 jenis ini berdasarkan kepada banyaknya saham masing-masing dalam berkhidmat kepada ilmu pengetahuan. Khidmat yang diberikan oleh sesuatu perpustakaan kepada para sarjana yang sedang melakukan penelitian atau para mahasiswa dan pelajar yang sedang belajar dan mencari pengetahuan dan kebudayaan pada perpustakaan itulah yang utama dan menjadi norma bagi kita dalam menilai suatu perpustakaan. Adapun 3 jenis perpustakaan itu adalah :
§ Perpustakaan Umum
§ Perpustakaan Semi Umum
§ Perpustakaan Khusus /Pribadi
Perpustakaan Umum
Perpustakaan umum yang dimaksud adalah perpustakaan yang diselengarakan atas swadaya masyarakat dan dibuka untuk memberikan layanan informasi bagi seluruh lapisan masyarakat secara mutlak.[29] Perpustakaan jenis ini biasanya didirikan di masjid-masjid, agar dapat memudahkan orang yang ingin belajar di masjid dan para pengunjungnya dapat membaca buku yang mereka perlukan. Setelah madrasah atau sekolah berdiri maka dibangunlah perpustakaan di samping madrasah tersebut.[30]Perpustakaan umum pada masa keemasan Islam, adalah :[31]
§ Perpustakaan Baitul Hikmah di Baghdad. Baitul Hikmah mencapai puncaknya dalam kegiatan intelektualnya pada masa khalifah al-Makmun (813-833). Lembaga ini menggabungkan perpustakaan, sanggar sastra, lingkaran studi dan observasi, pada umumnya para sejarawan mengaitkan pendirinya dengan khalifah al-Makmun, tapi Shalabi mengatakan, bahwa lembaga itu sudah berjalan semasa pemerintahan khalifah al-Rasyid (786-809 M).[32]
§ Perpustakaan di Marv, Persia Timur. Koleksi bukunya mencapai 100.000 buah buku. Menurut Yaqut yang tinggal di Marv menulis dalam kamus geografinya menjelaskan bahwa kota itu memiliki perpustakaan yang besar, dua diantaranya di masjid utama dan sisanya di madrasah-madrasah.
§ Perpustakaan Madrasah Nizamiyah di Baghdad. Menurut Shalabi, koleksi buku di perpustakaan ini memuat 6.000 judul buku. Rak perpustakaan diberi tanda untuk membantu pencari / peminjam dan dibuatkan pula catatan tentang apakah seri buku itu komplit atau tidak.
§ Perpustakaan Darul Hikmah di Kairo. Berdiri pada tahun 1004 dibawah dukungan Dinasti Fathimiyyah. Para pendukungnya yang kaya menyediakan tinta, kertas, meja-meja dan ruang belajar bagi para ilmuwan dan para pelajar.
§ Perpustakaan Universitas Cordova di Spanyol. Didirikan oleh Abdurrahman al-Nasyir, perpustakaan ini memiliki koleksi ratusan buku, menyaingi perpustakaan yang berada di Daulat Abbasiyah.[33]
§ Perpustakaan Khalifah Dinasti Fathimiyyah kedua, al Aziz (975-996). Di perpustakaan ini, terdapat buku ilmu-ilmu kuno, diantaranya ilmu alam dan ilmu hellenistik yang ada di perpustakaan tersebut berjumlah 18.000 buku.
Perpustakaan Semi Umum
Perpustakaan ini bukanlah untuk umum, tidak semua lapisan masyarakat dapat masuk ke dalamnya dan bukan pula milik pribadi, karena pendirinya tidak bermaksud mendirikan untuk dirinya saja. Biasanya perpustakaan ini didirikan oleh khalifah dan raja-raja untuk mendekatka diri kepada ilmu pengetahuan atau untuk memperlihatkan bahwa mereka adalah ahli ilmu pengetahuan. Yang boleh mengunjungi perpustakaan ini adalah orang dari golongan tertentu saja. Menurut al Maqdisi : Tidak diperbolehkan mengunjungi perpustakaan semi umum ini kecuali mereka yang mempunyai kedudukan yang tinggi dalam lapisan masyarakat.[34] Beberapa contoh perpustakaan semi umum, yaitu :[35]
§ Perpustakaan An Nashir Li Dinillah. Betapa besarnya perpustakaan ini kalu diingat bahwa dengan sebagian dari buku-buku yang berada pada perpustakaan ini dapat didirikan 3 buah perpustakaan besar, yaitu ; pertama, perpustakaan Ar Ribath Al Khatuni As Saldjuqi; kedua, perpustakaan sekolah An Nizhamijah; ketiga, perpustakaan Darul Masnah.
§ Perpustakaan Al Musta’shim Billah. Nama perpustakaannya sama dengan nama pendirinya, beliau adalah khalifah terakhir dari Dinasti Bani Abbas. Dia naik tahta kerajaan pada tahun 640 H, dan dibunuh oleh bangsa Moghul tahun 566 H, setelah jatuhnya Baghdad. Beliau mempunyai perpustakaan yang besar. Banyak literature memperbincangkan perpustakaan ini yang menunjukkan bagaimana kebesaran dan kemegahannya. Ada 2 orang ahli tulisan indah, yaitu syekh Zakijuddin dan Syafiuddin Abdul Mu’min Ibnu Fachir yang ditunjuk untuk jadi penurun di perpustakaan Al Musta’shim ini.
§ Perpustakaan Khalifah Fathimiyyin. Menurut Abu Syamah, koleksi buku pada perpustakaan ini sebanyak 2.000.000 buku. Kemudian di perpustakaan ini terdapat 1200 naskah dari Tarikh Ath Thabari, satu diantaranya adalah tulisan tangan dari pengarangnya sendiri. Lalu ada 100 naskah dari kitab Al Djamaharah, karangan Ibnu Duraid, dan 30 naskah lebih dari kitab Al ‘Ain, satu diantaranya adalah tulisan tangan dari pengarangnya sendiri Al Khalil Ibnu Ahmad.
Perpustakaan Pribadi
Perpustakaan ini dibangun untuk kepentingan mereka pribadi, yang didirikan oleh para Ulama dan Sastrawan. Perpustakaan semacam ini sangatlah banyak jumlahnya, karena perpustakaan ini menjadi sumber dan tempat untuk membahas dan meneliti.[36]
Perpustakaan ini tidak dibuka untuk umum, dan hanya dimanfaatkan oleh pemiliknya. Banyak Bangsawan yang dekat dengan golongan Abbasiyah yang mempunyai perpustakaan semacam ini.[37]
Beberapa contoh perpustakaan pribadi, yaitu :[38]
§ Perpustakaan Al Fathu Ibnu Khaqan. Beliau adalah wazir dari khalifah Al Mutawakil Al ‘Abbasi, dia dibunuh bersama dengan khalifah Al Mutawakil di Sammura tahun 247 H. dia seorang yang alim dan sangat gemar membaca buku, dan sangatlah wajar apabila seorang yang cukup kaya dan mempunyai kemauan untuk membaca memiliki sebuah perpustakaan yang besar.
§ Perpustakaan Hunain Ibnu Ishaq. Beliau adalah seorang doctor dan penerjemah yang paling terkenal di masa Al Ma’mun, selain itu dia juga orang yang pandai dalam bahasa Yunani, Suryani, dan Persia. Banyak sekali buku yang diterjemahkan oleh oleh Hunain ke dalam bahasa Arab, dan yang paling menarik perhatian beliau adalah menerjemahkan buku ilmu kedokteran dan filsafat. Oleh karena itu, buku yang berkaitan dengan kedokteran itu sangatlah banyak jumlahnya di dalam perpustakaan pribadinya.
§ Perpustakaan Ibnul Khasyayab. Abdullah Ibnu Ahmad Al Khasyayab Al Baghdadi (w 567 H) adalah salah seorang yang terkenal, dan dipercaya dalam Ilmu Hadits, seorang jujur dan dapat dijadikan hujjah, sayangnya dalam agamanya dia tidak demikian. Dia mengumpulkan buku tetapi cara untuk mendapatkan bukunya itu salah. Dia seorang yang kikir, tidak mau membeli buku dengan harga yang mahal,
§ Perpustakaan Al Muwaffaq Ibnul Mathran. Muwaffaqud Din Ibnul Mathran Al Masyqi (w 587 H) adalah seorang berotak tajam, berhati pemurah, rajin bekerja. Karangannya yang banyak dalam ilmu kedokteran menunjukkan kemahirannyadalam bidang ini. Dia mempunyai kemauan yang keras dalam mendapatkan buku-buku. Ketika dia meninggal, koleksi buku di perpustakaannya sebanyak 10.000 buku.
§ Perpustakaan Djamaluddin Al Qifthi. Beliau adalah seorang wazir yang dilahirkan di Mesir dan bertempat tinggal di Aleppo. Dia pintar dalam ilmu bahasa, nahwu, fiqh, hadits, ilmu Al-Qur’an, ushul, mantiq, perbintangan, ilmu ukur, dan sejarah. Wafat pada tahun 646 H. sebelum dia meninggal, semua bukunya diwasiatkan untuk Al Nashir, penguasa Aleppo. Seluruh bukunya jika dinominalkan sebanyak 50.000 dinar.
§ Perpustakaan Al Mubasyiyir Ibnu Fatik. Beliau adalah seorang pangeran Mesir yang terkenal, dan ulama yang terkemuka disana. Dia mahir dalam ilmu falak, ilmu pasti, dan filsafat. Beliau sangat gemar mendapatkan ilmu pengetahuan, dan dia mempunyai sebuah perpustakaan. Kemauannya hanyalah membaca dan menulis, walaupun demikian dia juga menikah dan mempunyai istri yang baik, namun tetap merasakan cemburu terhadap buku-buku tersebut. Beliau wafat pada akhir abad 5 H.
§ Perpustakaan Ifraim Ibnul Zaffan. Wafat pada tahun 500 H, seorang dokter yang terkenal di Mesir. Bekerja kepada para khalifah dan banyak mendapatkan hadiah dari pemberian mereka. Dia belajar ilmu kedokteran dari Abil Hasan Ali Ibnu Ridwan. Koleksi bukunya ketika beliau meninggal dunia sebanyak 20.000 jilid
§ Perpustakaan Imaduddin Al Ishfahani. Pada suatu hari beliau menghadap sultan, kebetulan dihadapannya terdapat buku-buku yang sangat banyak jumlahnya, lalu buku itu dipilih oleh beliau dari perpustakaan istana. Sultan pun menawarkan kepadanya buku yang dia inginkan, lalu beliau pun menjawab menginginkan semua buku-buku tersebut. Kemudian sultan pun menghadiahkan semua buku yang diinginkannya, dan dikeluarkanlah buku-buku itu dengan dibawa oleh beberapa ekor onta.
§ Hancurnya Perpustakaan Islam dan Pengajaran
Adapun petaka yang menimpa perpustakaan di dunia Islam, antara lain adalah :
1. Tentara Tartar ketika menaklukkan Baghda, sebelum menghancurkan yang lain, yang pertama kali dihancurkan adalah perpustakaan. Tentara Tartar yang biadab melemparkan semua buku ke sungai Dajlah, sehingga sungai itu penuh dengan buku-buku.[39]
2. Akibat peperangan Salib, kita harus kehilangan perpustakaan yang berharga di Tripoli, Maarah, Al-Quds, Ghazza, Asqalan dan kota-kota yang dihancurkan mereka. Jumlah buku yang telah dimusnahkan oleh tentara Salib di Tripoli sebanyak 3 juta buah buku.
3. Perang antara penduduk Spanyol atas Andalusia juga telah menjadi sebab kehilangan perpustakaan besar, semua buku di bakar oleh pemeluk agama yang fanatic karena dianggap membahayakan, sehingga semua buku yang di bakar dalam waktu sehari di lapangan Granada, jumlah buku yang telah di bakar sebanyak 1 juta buah buku.
4. Perpustakaan khalifah Dinasti Fathimiyyah berakhir riwayatnya setelah diserang oleh masa dari kalangan budak Turki. Mereka menyalakan api dalam perpustakaan tersebut, dan seorang budak yang lain membagi-bagikan cover buku dan dijadikan sandal mereka. Sejumlah buku yang lainnya dolemparkan ke sungai Nil, sebagian lagi dibuang ke wilayah lain, dan sisanya dikumpulkan dalam tumpukan besar. Lalu angin sedikit demi sedikit menerbangkan pasir sehingga gundukan buku itu berubah menjadi bukit bdan akhirnya terkenal dengan sebutan “bukit buku”.[40]
BAB III
Kesimpulan
Pendidikan Islam mempunyai hubungan erat dengan perpustakaan. Pada masa Abbasiyah keamjuan intelektual dan ilmu pengetahuan ditunjang oleh perpustakaan yang menjadi penopangnya.
Pada periode ini perpustakaan mempunyai Sistem manajemen yang sangat bagus dan struktur dalam perpustakaan dikelola oleh orang yang berkompeten dibidang nya antara lain:
§ Pemimpin Perpustakaan
§ Para Penerjemah
§ Para Penurun
§ Para Penjilid Buku
§ Para Pembantu (Para Munawil)
Pada masa Dinasti Abbasyiyah (750-1258 M) ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat pesat. Terdapat maktab dan 30.000 masjid yang digunakan untuk lembaga pendidikan dan pengajaran tingkat dasar.[41] Lahirnya imam mazhab fiqh.[42] Perpustakaan menjadi sumber terpenting dalam kemajuan suatu peradaban.
Berkembangnya Perpustakaan maka, akan melahirkan ilmuan yang sangat luar biasa serta generasi penerus yang berkualitas. Namun, pengelolaan perpustakaan menjadi syarat yang penting dalam sistem perpustakaan.
Saat ini fungsi perpustakaan sebagai media pembelajaran. Karena sudah ada lembaga pendidikan formal yang mengelola sekolah.
Perpustakaan hingga saat ini, memiliki peran yang penting dalam pendidikan.
[1] Rahmat, Afzalur, Muhamad, The Educator of Mankaind, the muslim school trust, London, 1980. hh. 3-5
[2] Haekal, Muhammad Husein, hayatu Muhammad, ter. Pustaka antara Jakarta, 1980 h. 113
[3]Syamsul, Nizar, Sejarah Pendidikan islam : Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia, Jakarta : Kencana, 2008. h.51
[4] Dr. H. Murodi, MA, Sejarah Kebudayaan Islam. PT Karya Toha Putra. 2009. Hh. 70-71.
[5] Ahmad Amin dan Musrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik perkembangan Ilmu Pengetahuan islam, Jakarta : kencana, 2004. hh.42-43
[6] Ibid. h. 85.
[7] Syamsul, Nizar, Op,.Cit. hh. 61-62
[10] A. Syalabi. Sedjarah Pendidikan Islam, (Djakarta : Bulan Bintang, 1973), h. 132.
[11] Ziauddin Sardar dan Zafar Abbas Malik, Mengenal Islam for Beginners, penerjemah Julianto, (Bandung : Mizan, 1999), h.76.
[12] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 55.
[13] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, op.cit., h. 98.
[14] Nur Ahmad Fadhil Lubis, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, (Jakarta : PT Ikhtiar Baru Van Hauve, 2002), h. 107.
[15] Ibid., h.134.
[16] Ibid., h. 135.
[17] Ibid., h. 136.
[18] Ibid., h. 137.
[19] Ibid., h. 140.
[20] Ibid., h. 144.
[21] Ibid., h. 146.
[22] Ibid., h. 149.
[23] Ibid., h. 150.
[24] Ibid., h. 154.
[25] Ibid., h. 159.
[26] Ibid., h. 165.
[27] Ibid., h. 165.
[28] Ibid., h. 168.
[29] Dr. Suwito, dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2005), h. 37.
[30] A. Syalabi. Sedjarah Pendidikan Islam, op.cit., h. 169.
[31] Dr. Suwito, dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, op.cit., hh. 38-40.
[32] A. Shalabi, History of Muslim Education, (Beirut : Dar al-Khashaf, 1954), hh. 96-97.
[33] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, op.cit., h. 96.
[34] A. Syalabi. Sedjarah Pendidikan Islam, op.cit., h. 182.
[35] Ibid., hh. 183-187.
[36] Ibid., h. 188.
[37] Dr. Suwito, dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, op.cit., h. 41.
[38] A. Syalabi. Sedjarah Pendidikan Islam, op.cit., hh. 188-194.
[39] Musthofa Munir Mursi, At-Tarbiyah Al-Islamiyyah Ushuluha Wa Tathawwuruha Fi Al Biladi Al Arabiyyah, (Kairo : Alamu Al Kuttub, 1977), h. 105.
[40] Johannes Pedersen, Fajar Intelektual Islam, Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab, (Bandung : Mizan, 1996), h. 105.
[41] Dr. H. Murodi, MA, Sejarah Kebudayaan Islam. PT Karya Toha Putra. 2009. h. 100.
[42] Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1993.
0 komentar:
Posting Komentar