A. Empirisme
David Hume adalah tokoh fisafat Barat yang mengembangkan filsafat empirisisme Locke dan Barkley secara konsekuen.
Menurut David Hume manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuannya dari pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal yuaitu :
1. Kesan –kesan ( Empressions )
Kesan – kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah atau batiniah, yang menampakkan diri dengan jelas, hidup dan kuat seperti merasakan tangan terbakar.
2. Idea –idea (ideas)
Gambaran tentang pemgamatan yang redup , samar – samar yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau terefleksikan dalam kesadaran kesan – kesan yang diterima dari pengalaman.
David Hume menegaskan bahwa pengalaman lebih memberi keyakinan disbanding kesimpulan logika atau kemestian sebab – akibat. Menurut Hume akal tidak bias bekerja tanpa bantuan pengalaman. Untuk pertama kali kita tidak mungkin menangkap idea sebab – akibat karena kekuatan –kekuatan particular yang berjalan secara alami belum tertangkap oleh inderanya. Begitu juga akal tidak mampu sekaligus menyimpulkan berdasarkan satu peristiwa bahwa suatu sebab menimbulkan akibat tertentu karena hubungan itu bias berubah – ubah dan kasuistis.
Dengan penolakan terhadap teori kausalitas, Hume menghujat argument ontologism dan kosmologis tentang keberadaan Tuhan dan sekaligus membatasi kem,ampuan akal. Munculnya positivism yang dipelopori oleh Auguste Comte diwarnai ole hide David hume, bahkan materialism bias dikatakan sebagai puncak dari empirisisme.
Para filsafat sebelum Hume percaya bahwa alam adalah akibat dari Tuhan adalah sebab alam. Menurut katyegori logika, keberadaan sebab lebih dahulu ketimbang akibat. Oleh karena itu, Tuhan sebagai sebab wajib ada, wujud-Nya mendahului alam, sedangkan alam sebagai akibat mungkin adanya wujud setelah Tuhan. Hume mulai menggugat dalil tersebut dengan menjungkilbalikkan teori kausalitas itu.
Menurut Hume ketika kita percaya kepada Tuhan sebagai pengatur ala mini berarti kita berhadapan dengan dilewma, kita berfikir tentang Tuhan menurut pengalaman masing – masing. Hume tidak mampu membuktikan tuhan kecuali Tuhan itu tidak sempurna seperti dunia ini. Agama berasal dari penghargaan dan ketakkuatan manusia terhadap tujuan hidupny. Itulah sebabnya manusia mengangkat dewa untuk disembah.
Alasan Hume menolak mukjizat,
Pertama, Sepanjang sejarah mukjizat tidak pernah diakui oleh sejumlah ilmuan dan kaum terpelajar.
Kedua, Sebagian manusia memang memiliki kecenderungan untuk percaya kepada peristiwa-peristiwa yang luar biasa, namun keyakinan ini tidak mendukung kebenaran mukjizat.
Ketiga, kajian peradaban membuktikan bahwa mukjizat cocok terutama bagi masyarakat terbelakang, sedangkan bagi masyarakat yang telah maju justru menolaknya.
Empat, semua agama wahyu memonopoli kebenaran mukjizat
Kelima, data sejarah yang dapat dipercaya menunjukkan bahwa peritiwa-peristiwa di dunia ini jelas, seperti kita mengetahui tanggal terbunuhnya Julius Caesar.
Hume meragukan eksistensi tuhan karena tidak ada argument yang kuat untuk membuktikan adanya tuhan baik secara a posteriori maupun a priori. Kita hanya tahu alam ini adalah materi, jika kita mengasumsikan adanya kesejajaran sebab akibat kita akan mengatakan bahwa alam ini disebabkan oleh sebab material, bukan sebab spiritual.
Menurutnya, sumber utama dari agama itu adalah tahayul. Manusia pertama kali menemukan cermin di alam kemudian menciptakan tuhan-tuhan sesuai selera masing-masing. Diantara kritikan hume yang tidak relevan adalah :
1. Hume cenderung mempertentangan dua bentuk-bentuk teisme yang monopolar, dan mengabaikan sentesis dipolar. Dalam hal ini ada dua pola, yaitu mistisisme dan antropomorphisme. Dalam mistisisme tuhan berada dalam konsep positif tetapi tidak sempurna. Ketidak sempurnaan tuhan dapat digambarkan dari ketidak sempurnaan dunia.
2. Hume mengabaikan peranan akal dalam menangkap realitas. Akal mampu menggabungkan kejadian-kejadian yang lampau dengan kejadia yang sekarang dan bahkan meramalkan sesuatu yang akan dating. Akal juga mampu memberikan ide-ide umum tentang fakta-fakta yang beragam.
3. Hume terlalu meredusir semua realitas dalam kajian empiris sehingga dia terjerumus pada determinisme empiris
Skeptisisme hume terhadap agama juga berdasarkan determinisme yang kaku ini. Jika tuhan maha baik, kenapa tidak menghilangkan kejahatan. Unutk masalah ini, dapat dijawab dengan kejahatan adalah bagian dari dunia yang tidak sempurna. Kekuasaan tuhan tidak diukur lewat entitas yang tidak memlki kekuatan sama sekali atau lewat kekuatan natural. Tuhan memang berkuasa, manusia juga berkuasa. Tuhan maha bebas, dan manusia juga bebas. Tetapi kebebasan dan kekuasaan manusia lebih rendah tingkatannya ketimbang kebebasan dan kekuasaan tuhan. Dengan demikian kesempurnaan kebebasan tuhan diukur lewat kekurang bebasan manusia.
B. Positivisme
Positivisme adalah kelanjutan dari empirisme. Kalau empirisme menekankan pada pengalaman saja dan merendahkan fungsi akal, adapun positivisme menggabungkan keduanya. Bagi positivisme, pengalaman perlu untuk mengumpulkan data sebanyak mungkin agar akal mendapatkan suatu hukum yang bersifat universal. Empisisme menerima pengalaman subjektif, sedangkan positivisme terbatas pada pengalaman yang objektif saja. Positivisme asal katanya adalah “positif”, berarti yang diketahui, yang factual, dan yang positif. Segala uraian yang di luar fakta atau kenyataan dikesampingkan. Oleh karena itu, metafisika ditolak. Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang tampak dan yang dapat diukur. Dengan demikian positivisme membatasi filsafat dan ilmu pada bidang gejala-gejala saja. Gejala-gejala disusun dalam hukum-hukum tertentu dengan melihat hubungan antara gejala tersebut. Setelah hukum itu tersusun, barulah seseorang melihat ke masa depan untuk mengembangkan ilmu.
Positivisme memandang agama sebagai gejala peradaban manusia yang primitive. August comte, tokoh positivisme, membagi umat sejarah manusia atas tiga tahap. Pertama, tahap teologis, yaitu manusia masih terpaku pada hakikat ‘batin’ segala sesuatu, sebab pertama, dan tujuan terakhir. Jadi seseorang masih percaya kepada Yang Mutlak. Tahap ini terbagi lagi atas tiga tahap, yaitu animisme, politeisme, dan monoteisme. Kedua, tahap metafisika, yaitu perubahan bentuk saja dari zaman teologis. Kekuatan-kekuatan adikodrati yang berupa dewa diganti dengan kekuatan yang abstrak lewat proses generalisasi. Ketiga, tahap positif, yaitu ketika orang sadar bahwa tidak ada gunanya untuk berusaha mencapai pengenalan, baik teologis maupun metafisis. Zaman ini sesesorang tidak mau lagi meneliti awal dan tujuan alam semesta, tetapi berusaha menemui hukum-hukum kesamaan yang ada di belakang fakta lewat pengamatan dan akalnya. Tujuan tertinggi dari zaman ini akan tercapai, bilamana segala gejala telah dapat disusun dan diatur di dalam satu fakta yang umum saja.
Comte berpendapat bahwa tiga tahap perkembangan manusia tidah saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku, tetapi juga individu dan ilmu. Ketika masa kanak-kanak, seseorang menjadi teolog. Ketika remaja, dia menjadi metafisikus, dan ketika dewasa dia menjadi positivis. Ilmu juga demikian , pada awalnya ilmu dikuasai oleh teologis, sesudah itu diabstraksikan oleh metafisika, dan akhirnya baru dicerahkan oleh hukum-hukum positif.
Dengan demikian, seorang positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, yang bisa diukur, dan yang bisa dibuktikan kebenarannya. Karena agama maksudnya Tuhan tidak bisa dilihat, diukur, dan dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan faedah. Suatu pernyataan dianggap benar oleh positivisme apabila pernyataan itu sesuai oleh fakta, contoh ada badak bercula satu di ujung kulon. Jika memang ada badak bercula satu disana berarti, pernyataan itu benar, dan jika sebaliknya, berarti pernyataan itu salah. Ukuran ini, dalam epistemologi, disebut dengan teori korespondensi, yaitu suatu pernyataan dinyatakan benar apabila cocok dengan fakta empiris.
Positivisme mengatakan banyak pembicaraan yang tidak ada faedahnya dan tidak mengandung arti. Contohnya “Apa maksud Tuhan menciptakan alam?” pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang kosong dan tidak berarti. Pertanyaan yang demikian bukan saja karena kita tidak dapat mengetahui maksud Tuhan karena kita manusia, tetapi karena setiap susunan kata yang mengenai ketuhanan tidak mengandung arti apa pun. Begitu juga dalam bidang etika, positivisme lebih menekankan pada relativisme. Kalau ada pernyataan bahwa kezaliman itu jelek, maka kata tersebut tidak ada artinya karena jelek itu tidak dapat diukur dan diuji. Jadi, ungkapan dalam bidang moral bersifat emosional ynag tergantung pada perasaan kita tentang sesuatu dan bukan keadaan sesuatu itu sendiri.
Alfred yules ayer, salah seorang penganut positivisme berkata, “Argumen tentang pengalaman keagamaan adalah tidak benar. Bahwa banyak orang yang mempunyai pengalaman keagamaan adalah suatu yang menarik perhatian dari sudut psikologi, tetapi tidak berarti memang ada pengetahuaan keagamaan yang objektif. Begitu juga bila seseorang memiliki pengalaman moral, tidak berarti bahwa ada sesuatu hal yang dinamakan pengetahuan ideal. Orang yang percaya pada Tuhan dan orang yang memegang paham-paham moral mungkin percaya bahwa pengalamannya merupakan pengalaman yang berdasarkan pada pengetahuan. Tetapi, kalau dia tidak dapat menyusun pengetahuannya dalam susunan kata yang dapat dibuktikan secara empiris, kita dapat mengatakan orang itu menipu dirinya sendiri.” Selain itu para positivisme berpendapat, menyibukkan diri dalm hal-hal yang demikian (eksistensi tuhan, agama) adalah sia-sia. Lebih baik menyibukkan diri pada hal-hal yang mungkin diketahui, yaitu gejala-gejala yang telah dikenal atau yang disajikan dengan panca indra.
Dalam beberapa aspek, positivisme memiiki hal-hal yang konstuktif untuk kehidupan umat manusia. Sebab, positivisme menyuguhkan suatu metode ilmiah dan ukuran-ukuran yang dapat dipertanggungjawabkan secara empiris. Dalam hal ini, positivisme menyumbangkan gagasan baru dalam kemajuan sains dan teknologi. Namun dalam aspek lain positivisme mempersempit alam pada hal-hal yang terukur saja, tidak mau melihat alam yang lebih besar dan luas. Bahkan kesenangan rohani atau penderitaan rohani dianggap sesuatu yang tidak berarti. Padahal kesenangan dan penderitaan, kendati tidak dapat diukur dengan tepat, tetapi dialami oleh semua orang hingga penganut positivisme sendiri.
Positivisme terlalu mereduksi kemampuan akal pada hal-hal yang dapat diuji secara empiris. Padahal daya akal tidak hanya tergantumg pada pengujian secar empiris. Akal mampu merekayasa sesuatu yang belum pernah dilihatnya dan akal juga mampu ‘menulis’ tanpa memakai kertas dan pulpen. Tulisan itu dapat digambarkan dengan pikiran saja tanpa perlu diempiriskan. Karena itu, positivisme sebenarnya harus mengakui hal yang demikian sebagai suatu realitas. Dengan demikian kepercayaan kepada tuhan berarti tidak mustahil karena daya akal mampu mencapai relitas dibalik dunia empiris.
C. Materialisme
Materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi. Pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material. Materi adalah satu-satunya substansi. Sebagai teori materialisme termasuk paham ontologi monistik. Materialisme berbeda dengan teori ontologis yang didasarkan pada dualisme atau pluralisme. Dalam memberikan penjelasan tunggal tentang realitas, materialisme berseberangan dengan idealisme
Materialisme tidak mengakui entitas-entitas nonmaterial seperti : roh, hantu, setan dan malaikat. Pelaku-pelaku immaterial tidak ada. Tidak ada Allah atau dunia adikodrati/supranatural. Realitas satu-satunya adalah materi dan segala sesuatu merupakan manifestasi dari aktivitas materi. Materi dan aktivitasnya bersifat abadi. Tidak ada Penggerak Pertama atau Sebab Pertama. Tidak ada kehidupan, tidak ada pikiran yang kekal. Semua gejala berubah, akhirnya melampaui eksistensi, yang kembali lagi ke dasar material primordial, abadi, dalam suatu peralihan wujud yang abadi dari materi.
Definisi materialisme
Kata materialisme terdiri dari kata materi dan isme. Dalam kamus besar bahasa indonesia materi adalah bahan;benda;segala sesuatu yang tampak.
Masih dari kamus yang sama disebutkan bahwa materialis adalah pengikut paham (ajaran) materialisme atau juga orang yang mementingkan kebendaan(harta,uang,dsb).
Materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra. Ini sesuai dengan kaidah dalam bahasa indonesia. Jika ada kata benda berhubungan dengan kata isme maka artinya adalah paham atau aliran.
Ciri-ciri paham materialisme
Setidaknya ada 5 dasar ideologi yang dijadikan dasar keyakinan paham ini:
· Segala yang ada(wujud) berasal dari satu sumber yaitu materi(ma’dah).
· Tidak meyakini adanya alam ghaib
· Menjadikan panca-indra sebagai satu-satunya alat mencapai ilmu
· Memposisikan ilmu sebagai pengganti agama dalam peletakkan hukum
· Menjadikan kecondongan dan tabiat manusia sebagai akhlaq.
D. Freudianisme
Istilah Freudianisme mungkin tidak lazim digunakan dibandingkan dengan Marxisme. Freudianisme bukan merupakan sebuah idiologi, tetapi lebih mendekati suatu paham atau aliran. Istilah Freudianisme tidak sepopuler Marxisme. Freudianisme digunakan dalam tulisan ini untuk menunjukkan pemikiran sigmund freud yang berpengaruh pada agama, terutama tinjauannya dari aspek psikologi. Kendati sigmund freud berbeda dengan karl marx dalam beberapa hal. Keduanya sama-sama menganut teori relativisme. Relativisme psikologi freud memperkuat relativisme sosiologi yang dikemukakan Marx. Baik Freud maupun Marx sebenarnya terpengaruh oleh Feurbach, terutama dalam konsep proyeksi. Namun, ferud menjadikan konsep proyeksi sebagai dasar ajarannya.
Salah satu jasa Freud yang banyak diakui oleh para ahli adalah teori psikoanalisis yang berguna untuk merawat orang sakit jiwa. Adapun pandangannya tentang agama tercantum dalam tiga karyanya, yaitu Totem and Taboo, The an illusion, dan Moses and Monotheism. Menurut Freud, hidup manusia mengandung misteri dan penderitaan. Seseorang merasakan penderitaan yang disebabkan oleh teman-temannya, penderitaan dari bencana alam, dan akhirnya penderitaan mengingat kematian, yang merupakan suatu misteri yang tidak mungkin diketahui artinya. Dalam keadaan yang amat sukar itulah manusia ingin mencari pemecahan.
Langkah pertama untuk memecahkan problem ini, menurut freud, adalah menganggap bahwa alam itu seperti manusia. Didalam alam ada kekuatan-kekuatan yang merupakan person. Menurut Freud, peristiwa seperti bencana alam adalah sesuatu yang jelas dan logis, semestinya manusia tidak lagi mencari sesuatu di balik itu. Menurut Sigmund freud, kepercayaan keagamaan itu tidak ada dasarnya sebab kepercayan tersebut dapat diterangkan dari segi psikologi.
Manusia, menurut sigmund freud, pada hakikatnya merasa aman dikandungan ibunya. Setelah dia lahir, mulai merasakan kenyamanan sehingga mulai terasing dan terpisah dari dunia nyaman. Dari sini muncul konflik dalam dirinya, yaitu keinginan untuk hidup nyaman dan tidak keterbedayaan untuk kembali pada dunia yang nyamn tersebut. Kemudian timbul kebimbangan. Kebimbangan ini mencari tempat yang aman,yaitu agama. Agamalah yang memberikan alternatif untuk itu. Artinya, orang yang beragama sama dengan orang yang putus asa dan lari dari kenyataan untuk mencari perlindungan sebagaimana dia dalam kandungan.
Agama, demikian freud, mengajarkan bahwa alam diciptakan oleh pencipta yang mirip manusia, tetapi lebih agung dan berkuasa dalam beberapa hal. Bahkan pencipta itu digambarkan sebagai Tuhan Yang Esa, kendati dipercayai juga tuhan yang banyak. Anehnya, tuhan itu selalu digambarkan dengan laki-laki bukan perempuan. Fungsi lain dari agama, menurut freud adalah ajaran moral yang dapat juga dihubungkan dengan masa kanak-kanak. Orang beragama, demikian freud, tidak ubahnya seperti anak kecil yang perlu bimbingan tersebut. Tuhan menjalankan dunia dengan memberikan aturan-aturan, pahala dan dosa.
Sebagaimana Feurbach dan Marx, Freud menginginkan manusia kembali pada kesejatian dirinya, yaitu dengan meninggalkan ilusi dan ketergantungan kepada tuhan. Dari penjelasan freud di atas ada beberapa hal yang perlu di koreksi. Pertama, freud menganalogikan Tuhan sebagai pencipta alam dengan bapak dan ibu sebagai ‘pencipta’ seorang anak. Bapak yang didunia jelas tidak bisa disamakan dengan tuhan sebagai pencipta.
Kedua, wawasan freud tentang tuhan hanya terbatas pada agama kristen, sebab ada tuhan yang fungsinya tidak sebagaimana digambarkan oleh freud, sebagai pencipta, pelindung, berkuasa, dan sebagai. Tapi, ada paham yang mengatakan bahwa Tuhan hanya sebab alam kemudian Dia tidak ada lagi berhubungan dengan alam, sebagaimana yang terdapat dalam paham deistik.
Ketiga, adalah suatu kesalahan jika Freud mengira Tuhan itu zat yang diinginkan manusia adanya. Memang benar ada orang yang mempunyai pengalaman keagamaan sesuai dengan keinginannya, tetapi tidak benar bahwa pengalaman keagamaan semacam itu bersifat umum. Freud mengatakan bahwa semua permintaan atau doa ditunjukkan untuk kepentingan yang berdo’a.
Keempat, Freud mengkritik orang beragama karena agama menyebabkannya menderita gangguan kejiwaan(neurosis). Kritikan ini dibantah oleh Ignace Lepp. Menurutnya tidak mungkin untuk mengidentikkan faktor neurosis pada saat seseorang tidak beragama. Selanjutnya dia mengatakan bahwa seseorang dapat saja menderita neurosis meskipun dia tidak beragama bila dia tidak memiliki pembawaan neurosis.
Latar belakang argumen ateisme dan teisme jelas berbeda. Ateisme bertitik tolak dari kenyataan empiris masyarakat di Eropa abad ke-18 dan ke-19 yang secara sosiologis banyak’tertipu ‘oleh tokoh agama. Adapun teisme berdasarkan pada kemestian logis, yang mustahil sesutau disebabkan oleh dirinya sendiri. Ateisme mengatakan bahwa manusia tidak perlu terikat pada hal-hal yang supernatural, tetapi harus terikat kepada kemampuan diri sendiri. Sebaliknya, teisme berpendapat bahwa manusia terikat dengan kekuatan supernatural dan tidak bebas menentukan nasib sendiri.
Disamping itu, teisme, juga mendasari argumennya pada keterbatasan manusia. Salah satu argumen teisme adalah manusia tidak mampu mengetahui semua realitas ini, dan realitas ini sangat kompleks dan serba teratur. Keteraturan dan ketrbatasan itu mendorong manusia berpikir tentang alam, termasuk manusia. Dalam ateisme pengetahuan manusia terbatas pada hal-hal yang bersifat materi dan tidak mengakui realitas diluar materi. Jadi, bedanya, ateisme memandang realitas hanya sebatas materi, sedangkan teisme melihat realitas tidak saja terbatas materi, tetapi ada realitas yang nonmateri.
Oleh karena itu, alternatif yang terbaik bagi orang yang beragama adalah keyakinan dan ditambah dengan argumen yang kuat. Keyakinan ditambah dengan pengalaman religius dan diperkuat dengan argumen rasional. Iman yang berasal dari wahyu untuk diri sendiri, sedangkan argumen rasional, disamping untuk memperkuat keyakinan juga untuk menangkis serangan dari berbagai pihak.
Serupa dengan behaviorisme adalah Freudianisme, mazhab yang lebih tua dari behaviorisme dan masih berpengaruh luas, yang menyatakan bahwa adalah insting yang bernama eros (insting hidup) dan tanatos (insting mati) yang menjadi penyebab dan landasan untuk menafsirkan segala tingkah laku manusia. Sedangkan nilai-nilai, demikian beberapa penulis kaum Freudian, tidak lain hanyalah mekanisme pertahanan diri, reaksi-reaksi formasi dan sublimasi-sublimasi. Dus, nilai-nilai tak memiliki dasar yang kokoh.
Di mata Sigmund Freud manusia adalah produk evolusi yang terjadi secara kebetulan. Dalam pandangannya, keberadaan manusia, kelahiran dan perkembangannya hanyalah sebagai akibat dari bekerjanya daya-daya kosmik terhadap benda-benda inorganik. Jadi, manusia hanya dipandang sebagai makhluk fisik, makhluk biologi. Ini suatu pemikiran yang jelas sangat dipengaruhi pemikiran Charles Darwin bahwa manusia tak lebih dan tak kurang hanyalah binatang.
Dalam kata-katanya sendiri, sebagaimana tertulis pada bukunya On Creativity and the Unconscious (1958). Freud menegaskan pendiriannya: Dalam gerak perkembangannya ke arah peradaban, manusia memperoleh posisi berkuasa atas sesama makhluk dalam kerajaan binatang. Tapi, tak cukup puas dengan superioritas ini, manusia mulai menciptakan jurang pemisah antara sifatnya dengan sifat makhluk lainnya. Ia menyangkal bahwa yang selain dirinya juga memiliki akal, sedang dirinya sendiri dipertautkan dengan suatu jiwa yang abadi, dan mengklaim dirinya bercitra Ilahi agar dapat memutuskan tali persamaan antara dirinya dengan kerajaan binatang… Kita tahu bahwa setengah abad lebih sedikit yang silam, penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan oleh Charles Darwin dan para koleganya telah mengakhiri kecongkakan manusia ini. Sesungguhnya, manusia bukanlah makhluk yang berbeda apalagi lebih unggul daripada binatang…
Tak aneh jika, seperti dikatakan Frank G. Goble, selama karirnya Freud berusaha mereduksikan tingkah laku manusia ke dalam ukuran kimiawi dan fisik belaka. Model psikologi mekanistiknya menyembulkan kesimpulan bahwa kesadaran manusia semata-mata merupakan derivat dari proses materialisme, sama seperti teori kesadaran Marx. Ucapannya, bahwa pada waktu seorang manusia mulai bertanya mengenai apa tujuan hidupnya maka pada waktu itulah gangguan kejiwaannya muncul, menggambarkan betapa ia seorang materialis sejati. Dari situ mudah dipahami jika Freud menganggap konsep Tuhan sebagai delusi ciptaan manusia.
Alhasil, kedua mazhab Psikologi itu sama-sama deterministik. Manusia diasumsikan tak memiliki kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri, sehingga mustahil manusia dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakannya. Tak ada nilai benar dan salah karena bukan kemauan manusia sendiri yang menggerakkan tingkah lakunya. Sebagai makhluk yang keberadaannya di muka bumi ini hanyalah karena kebetulan, manusia tak perlu mempertanyakan tujuan dan makna hidupnya. Dengan demikian jelaslah, sekurang-kurangnya pada tataran filosofis, kedua mazhab psikologi ini bertentangan secara diametral dengan pandangan Islam, yang menegaskan keniscayaan tuntutan pertangungjawaban moral dari setiap tindakan manusia.
0 komentar:
Posting Komentar