1.1. Latar Belakang
anak sekecil itu berkelahi dengan waktu demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal…
”Sore itu, saya dan seorang sobat baru saja keluar dari sebuah toko swalayan di wilayah Jalan Sudirman, Jakarta. Karena sudah lama tidak lagi sempat curhat dan ngobrol ngalor-ngidul karena kesibukan masing-masing, kami sepakat untuk menyeberang dan melewati sore itu di teras depan gedung kembar Danamon Aetna, yang setiap sore dijadikan tempat duduk-duduk atau “rendez-vous” bagi sebagian orang.
Kami duduk dan mengobrol sambil makan coklat. Menyadari begitu banyak orang yang menikmati sore yang indah itu di situ, kami melemparkan pandangan ke sekeliling. Kami tertegun, tidak jauh dari tempat kami duduk, duduklah tiga orang anak kecil—usia sekolah—dari pakaian mereka, tampang mereka yang kurus, kucel dan dekil, mereka adalah anak-anak jalanan, yang kapan saja mungkin kita temui mengamen di perempatan-perempatan lampu merah, atau di dalam bis-bis kota.
Ada satu pemandangan yang membuat kami tertegun. Mereka makan mie ayam, satu mangkuk bertiga.. Satu mangkuk, untuk tiga perut.. Mungkin karena recehan yang mereka kumpulkan hasil dari mengamen ternyata setelah dihitung-hitung hanya cukup untuk beli satu mangkuk mie ayam. Tetapi mereka tetap ceria, makan bergantian, —benar-benar berbagi—dan sabar menunggu giliran masing-masing, menyendok mie ayam. Yang satu menunggu yang lain menyendok, sebelum tiba giliran dirinya menyendok. Begitu terus, sampai mie ayam benar-benar habis dan bersih, bahkan airnyapun mereka seruput dari mangkok secara bergantian. Mereka tampak sangat menikmatinya.
Kami begitu tertegun, sampai-sampai kami sama-sama menunggu dengan penasaran adegan seperti apa lagi yang akan terjadi selanjutnya. Kemudian, mereka menghitung uang recehan itu, dan membeli air aqua ukuran gelas, dan lagi-lagi untuk dibagi bertiga. Penuh haru kami menyaksikannya.
Sahabat saya berkomentar, suatu hari nanti, jika Tuhan membuat kehidupan salah satu, atau ketiganya berhasil, ketika mereka memakai kemeja Arrow dan berdasi, berpenampilan seperti kebanyakan para manager,–who knows–dan berkantor di salah satu gedung yang ada di sekitar kami melihat pemandangan itu, mereka akan melihat ke bawah, mengenang puluhan tahun yang telah lewat, ketika suatu sore, di suatu masa, mereka makan mie ayam satu mangkuk bertiga.
Kami tergerak untuk menawari mereka makan mie ayam sekali lagi, satu mangkuk, untuk satu orang, tapi ketika kami akan mendekati mereka, mereka sudah beranjak pergi dan akan mulai mengamen lagi di bis-bis yang akan mereka tumpangi.
Mereka adalah anak-anak yang terpinggirkan, tetapi justru dari merekalah kami mendapatkan sesuatu yang bermakna untuk kami bawa pulang.”
(Diceritakan oleh Winny, Relawan di GARIS, sebuah rumah singgah untuk anak-anak jalanan di Bandung)
Kisah di atas merupakan realitas sosial yang kerap kita dapati di berbagai jalanan di kota-kota besar di Indonesia. Kenyataan yang membuat kita sering bertanya-tanya: Kenapa semua hal itu terjadi? Kenapa anak-anak yang seharusnya bermain dan belajar tetapi malah turun di jalan untuk mencari makan? Apakah tidak ada lagi yang peduli? Menyedihkan memang.
Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang komplek. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas, dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar dan solutif. Padahal mereka adalah saudara kita. Mereka adalah amanah Allah yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.
Menurut UUD 1945, “anak terlantar itu dipelihara oleh negara”. Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child (Konvensi tentang hak-hak Anak). Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan (civil righ and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family envionment and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan, rekreasi dan budaya (education, laisure and culture activites), dan perlindungan khusus (special protection).
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 1998 memperlihatkan bahwa anak jalanan secara nasional berjumlah sekitar 2,8 juta anak. Dua tahun kemudian, tahun 2000, angka tersebut mengalami kenaikan sekitar 5,4%, sehingga jumlahnya menjadi 3,1 juta anak. Pada tahun yang sama, anak yang tergolong rawan menjadi anak jalanan berjumlah 10,3 juta anak atau 17, 6% dari populasi anak di Indonesia, yaitu 58,7 juta anak (Soewignyo, 2002). Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa kualitas hidup dan masa depan anak-anak sangat memperihatinkan, padahal mereka adalah aset, investasi SDM dan sekaligus tumpuan masa depan bangsa. Jika kondisi dan kualitas hidup anak kita memprihatinkan, berarti masa depan bangsa dan negara juga kurang menggembirakan. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan, sebagian dari anak bangsa kita mengalami lost generation (generasi yang hilang).
SUSENAS tahun 2000 juga menunjukkan bahwa salah satu faktor ketidakberhasilan pembangunan nasional dalam berbagai bidang itu, antara lain, disebabkan oleh minimnya perhatian pemerintah dan semua pihak terhadap eksistensi keluarga. Perhatian dan treatment yang terfokus pada “keluarga sebagai basis dan sistem pemberdayaan” yang menjadi pilar utama kehidupan berbangsa dan bernegara relatif belum menjadi komitmen bersama dan usaha yang serius dari banyak pihak. Padahal, masyarakat dan negara yang sehat, kuat, cerdas, dan berkualitas dipastikan karena tumbuh dan berkembang dari dan dalam lingkungan keluarga yang sehat, kuat, cerdas dan berkualitas. Dengan demikian, masalah anak termasuk anak jalanan perlu adanya penanganan yang berbasis keluarga, karena keluarga adalah penanggung jawab pertama dan utama masa depan anak-anak mereka.
Anak jalanan di DKI Jakarta, sebagai salah satu kasus, berjumlah 31.304 anak, sedangkan Panti Pemerintah yang memberikan pelayanan sosial terhadap mereka hanya berjumlah 9 panti, yaitu : 4 Panti Balita Terlantar, 4 Panti Anak Jalanan dan 1 Panti Remaja Putus Sekolah. Daya tampung keseluruhannya adalah 2.370 anak. Sementara itu, Panti Sosial Asuhan Anak yang diselenggarakan masyarakat berjumlah 58 Panti dengan daya tampung 3.338 anak dan pelayanan sosial kepada anak di luar panti sebanyak 3.200 anak. Secara akumulatif jumlah yang yang mendapat pelayanan Panti dan non-Panti adalah 8.908 anak dan yang belum tersentuh pelayanan pemerintah maupun organisasi sosial atau LSM adalah 22.396 anak (Profil Dinas Bina Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, 2002).
Persebaran anak jalanan di DKI Jakarta juga cukup merata. Data yang diterbitkan oleh Dinas Bina Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial DKI Jakarta menyebutkan bahwa setidaknya ada 18.777 orang anak jalanan di DKI pada tahun 2003 ini.
Data tersebut cukup memperihatinkan kita semua, karena idealnya sebagai “kota percontohan” DKI dapat bebas dari masalah anak jalanan, atau setidak-tidaknya jumlah anak jalanan tergolong rendah di seluruh propinsi di Indonesia. Selama ini, penanganan anak jalanan melalui panti-panti asuhan dan rumah singgah dinilai tidak efektif. Hal ini antara lain terlihat dari “pola asuh” yang cenderung konsumtif, tidak produktif karena yang ditangani adalah anak-anak, sementara keluarga mereka tidak diberdayakan.
1.2. Pembatasan Masalah
Pembahasan mengenai masalah anak jalanan dan alternatif model penanganannya, akan dibatasi pada hal-hal berikut:
1. Apa saja latar belakang yang menyebabkan munculnya anak jalanan?
2. Bagaimana model alternatif penanganan anak jalanan?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk:
1. Mengetahui latar belakang munculnya anak jalanan.
2. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan fenomena munculnya anak jalanan.
3. Mengetahui alternatif model penanganannya, khususnya di wilayah JABODETABEK yang berbasis Keluarga.
2.1. Landasan Teori
2.1.1 Konsep Anak
Konsep “anak” didefinisikan dan dipahami secara bervariasi dan berbeda, sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan yang beragam. Menurut UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, anak adalah seseorang yang berusia di bawah 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan menurut UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan
Untuk kebutuhan penelitian ini, anak didefinisikan sebagai seorang manusia yang masih kecil yang berkisar usianya antara 6–16 tahun yang mempunyai ciri-ciri fisik yang masih berkembang dan masih memerlukan dukungan dari lingkungannya.
Seperti manusia pada umumnya, anak juga mempunyai berbagai kebutuhan: jasmani, rohani dan sosial. Menurut Maslow, kebutuhan manusia itu mencakup : kebutuhan fisik (udara, air, makan), kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk menyayangi dan disayangi, kebutuhan untuk penghargaan, kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri dan bertumbuh.
Sebagai manusia yang tengah tumbuh-kembang, anak memiliki keterbatasan untuk mendapatkan sejumlah kebutuhan tersebut yang merupakan hak anak. Orang dewasa termasuk orang tuanya, masyarakat dan pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak anak tersebut. Permasalahannya adalah orang yang berada di sekitarnya termasuk keluarganya seringkali tidak mampu memberikan hak-hak tersebut. Seperti misalnya pada keluarga miskin, keluarga yang pendidikan orang tua rendah, perlakuan salah pada anak, persepsi orang tua akan keberadaan anak, dan sebagainya. Pada anak jalanan, kebutuhan dan hak-hak anak tersebut tidak dapat terpenuhi dengan baik. Untuk itulah menjadi kewajiban orang tua, masyarakat dan manusia dewasa lainnya untuk mengupayakan upaya perlindungannya agar kebutuhan tersebut dapat terpenuhi secara optimal.
Berbagai upaya telah dilakukan dalam merumuskan hak-hak anak. Respon ini telah menjadi komitmen dunia international dalam melihat hak-hak anak. Ini terbukti dari lahirnya konvensi internasional hak-hak anak. Indonesiapun sebagai bagian dunia telah meratifikasi konvensi tersebut. Keseriusan Indonesia melihat persoalan hak anak juga telah dibuktikan dengan lahirnya Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Tanpa terkecuali, siapapun yang termasuk dalam kategori anak Indonesia berhak mendapatkan hak-haknya sebagai anak.
Anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya berada di jalanan atau di tempat-tempat umum. Anak jalanan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : berusia antara 5 sampai dengan 18 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, mobilitasnya tinggi
2.1.3 Konsep Keluarga
Keluarga adalah sejumlah orang yang bertempat tinggal dalam satu atap rumah dan diikat oleh tali pernikahan yang satu dengan lainnya memiliki saling ketergantungan. Secara umum keluarga memiliki fungsi (a) reproduksi, (b) sosialisasi, (c) edukasi, (d) rekreasi, (e) afeksi, dan (f) proteksi.
Pemberdayaan (empowerment) adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayan Barat utamanya Eropa. Secara umum pemberdayaan keluarga dipahami sebagai usaha menciptakan gabungan dari aspek kekuasaan distributif maupun generatif sehingga keluarga memiliki kemampuan untuk melaksanakan fungsi-fungsinya.
2.2 Landasan Bepikir
Kajian ini menganggap penting untuk menemukan beberapa alternatif model yang mungkin dapat digunakan untuk menangani permasalahan anak jalanan dan perlu diuji coba, tentunya dengan tidak lupa mengkaji ulang berbagai model yang telah pernah ada dalam permasalahan anak jalanan, seperti rumah singgah misalnya. Mengacu kepada kondisi yang demikian, ternyata upaya yang patut dikembangkan terus. Adapun alternatif model yang mungkin dapat di gunakan adalah sebagai berikut : yang berlandaskan keluarga, yang berlandaskan institusi (lembaga), gabungan antara keduanya.
Berdasarkan pembahasan yang telah diungkapkan pada bagian sebelumnya dapat dikemukakan pembahasan sebagai berikut.
Pertama, dilihat dari profil anak jalanan terdapat beberapa kecenderungan, yaitu (a) sebagian besar anak jalanan melakukan aktifitas berjualan di jalan, (b) tempat tinggal mereka di rumah, (c) memperoleh makanan dengan cara membeli sendiri, (d) lama tinggal di jalan dalam satu hari di atas 12 jam, (e) memperoleh uang dari hasil berjualan dan mengamen, (f) uang yang diperoleh digunakan untuk membantu keluarga, (g) jarang bertemu orang tua, (h) sering mendapat kesulitan di rumah, (i) kurang betah tinggal di rumah, (y) meminta tolong pada saudaranya ketika mengalami kesulitan sebagai pihak yang dianggap paling dekat.
Kedua, dilihat dari profil keluarga anak jalanan, terdapat beberapa kecenderungan, yaitu (a) sebagian besar keluarga anak jalanan orang tuanya menikah, (b) jumlah anaknya 3-4 orang, (c) bersikap mendukung anaknya bekerja di jalan, (d) bersikap mendukung bila anaknya sekolah, (e) pernah mendapat penyuluhan tentang usaha bersama tetapi tidak pernah mengikuti kegiatan tersebut karena berpandangan bahwa kegiatan tersebut tidak membantu perekonomian keluarga, (f) bekerja di sektor non-formal dengan pendapatan tidak tetap, dan (g) menempati rumah dengan status sewa atau tanah Negara.
Ketiga, Peta permasalahan anak jalanan di Jabodetabek dapat dikategorikan menjadi enam, yaitu (1) anak jalanan turun ke jalan karena adanya desakan ekonomi keluarga sehingga justru orang tua menyuruh anaknya untuk turun ke jalan guna mencari tambahan ekonomi keluarga, (2) rumah tinggal yang kumuh membuat ketidakbetahan anak berada di rumah sehingga perumahan kumuh menjadi salah satu faktor pendorong untuk anak turun ke jalan, (3) rendahnya pendidikan orang tua menyebabkan mereka tidak mengetahui fungsi dan peran sebagai orang tua dan juga tidak mengetahui hak-hak anak, (4) belum adanya payung kebijakan mengenai anak yang turun ke jalan baik dari kepolisian, Pemda maupun Departemen Sosial menyebabkan penanganan anak jalanan tidak terkoordinasi dengan baik, (5) peran masyarakat dalam memberikan kontrol sosial masih sangat rendah, dan (6) lembaga-lembaga organisasi sosial belum berperan dalam mendorong partisipasi masyarakat menangani masalah anak jalanan.
Keempat, Secara umum masyarakat memandang bahwa masalah anak jalanan merupakan masalah yang sangat kompleks bahkan ia membentuk sebuah lingkaran yang berujung yang sulit dilihat ujung pangkalnya. Kalangan aparat hukum, polisi misalnya, memandang bahwa payung kebijakan yang dapat digunakan untuk menangani anak jalanan belum ada. Mereka sulit untuk melakukan tindakan hukum berhubung tidak adanya undang-undang khusus mengenai anak jalanan seperti misalnya Perda, Perpu atau yang lainnya sehingga dirasa sulit untuk mengadakan pencegahan agar anak-anak tidak berada di jalan. Selanjutnya tokoh agama berpandangan bahwa munculnya masalah anak jalanan merupakan wujud dari tidak optimalnya pengelolaan zakat baik zakat mal, zakat fitrah, dan lainnya. Mereka mengharapkan agar dana zakat dapat dikelola sebaik mungkin agar disalurkan kepada mustahik dan dapat dimanfaatkan sebaik-sebaiknya oleh mereka. Disamping itu, kalangan akademisi memandang bahwa masalah anak jalanan merupakan masalah yang berkaitan dengan bagaimana hubungan antara pemerintah kota dengan daerah penyangga. Menurut mereka, penanganan masalah anak jalanan harus melibatkan juga aparat pemerintah pada daerah penyangga. Pemda DKI, misalnya, juga harus mengalokasikan dana pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat di Tangerang, Bekasi, dan daerah penyangga lainnya. Terakhir, aktifis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memandang bahwa penanganan anak jalanan harus dilakukan dengan melibatkan institusi sekolah, rumah singgah, dan pemberdayaan keluarga dengan memberikan modal usaha keluarga.
Kelima, alternatif model penangannan anak jalanan mengarah kepada 3 jenis model yaitu family base, institutional base dan multi-system base.
- Family base, adalah model dengan memberdayaan keluarga anak jalanan melalui beberapa metode yaitu melalui pemberian modal usaha, memberikan tambahan makanan, dan memberikan penyuluhan berupa penyuluhan tentang keberfungsian keluarga. Dalam model ini diupayakan peran aktif keluarga dalam membina dan menumbuh kembangkan anak jalanan.
- Institutional base, adalah model pemberdayaan melalui pemberdayaan lembaga-lembaga sosial di masyarakat dengan menjalin networking melalui berbagai institusi baik lembaga pemerintahan maupun lembaga sosial masyarakat.
- Multi-system base, adalah model pemberdayaan melalui jaringan sistem yang ada mulai dari anak jalanan itu sendiri, keluarga anak jalanan, masyarakat, para pemerhati anak ,akademisi, aparat penegak hukum serta instansi terkait lainnya.
3.1. Latar Belakang Munculnya Anak Jalanan
Berkaitan dengan anak jalanan, umumnya mereka berasal dari keluarga yang pekerjaannya berat dan ekonominya lemah. Anak jalanan tumbuh dan berkembang dengan latar kehidupan jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif.
Mereka itu ada yang tinggal di kota setempat, di kota lain terdekat, atau di propinsi lain. Ada anak jalanan yang ibunya tinggal di kota yang berbeda dengan tempat tinggal ayahnya karena pekerjaan, menikah lagi, atau cerai. Ada anak jalan yang masih tinggal bersama keluarga, ada yang tinggal terpisah tetapi masih sering pulang ke tempat keluarga, ada yang sama sekali tak pernah tinggal bersama keluarganya atau bahkan ada anak yang tak mengenal keluarganya.
Menurut M. Ishaq (2000), ada tiga ketegori kegiatan anak jalanan, yakni : (1) mencari kepuasan; (2) mengais nafkah; dan (3) tindakan asusila.
Kegiatan anak jalanan itu erat kaitannya dengan tempat mereka mangkal sehari-hari, yakni di alun-alun, bioskop, jalan raya, simpang jalan, stasiun kereta api, terminal, pasar, pertokoan, dan mall.
Faktor-faktor yang Menyebabkan Anak Menjadi Anak Jalanan
Keadaan kota mengundang maraknya anak jalanan. Kota yang padat penduduknya dan banyak keluarga bermasalah membuat anak yang kurang gizi, kurang perhatian, kurang pendidikan, kurang kasih sayang dan kehangatan jiwa, serta kehilangan hak untuk bermain, bergembira, bermasyarakat, dan hidup merdeka, atau bahkan mengakibatkan anak-anak dianiaya batin, fisik, dan seksual oleh keluarga, teman, orang lain lebih dewasa.
Di antara anak-anak jalanan, sebagian ada yang sering berpindah antar kota. Mereka tumbuh dan berkembang dengan latar kehidupan jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif.
Seorang anak yang terhempas dari keluarganya, lantas menjadi anak jalanan disebabkan oleh banyak hal. Penganiayaan kepada anak merupakan penyebab utama anak menjadi anak jalanan. Penganiayaan itu meliputi mental dan fisik mereka. Lain daripada itu, pada umumnya anak jalanan berasal dari keluarga yang pekerjaannya berat dan ekonominya lemah.
2.2. Model Alternatif Penanganan Anak-anak Jalanan
Mengutip artikel dari kompas.com
KPAI: Penanganan Anak Jalanan Harus Sistemik
Senin, 22 Maret 2010 | 16:33 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengusulkan kepada pemerintah untuk menghentikan pemenjaraan serta kriminalisasi anak yang berhadapan dengan hukum. Menurut Ketua KPAI Hadi Supeno, penanganan masalah anak, termasuk anak jalanan dan anak terlantar harus sistemik dan menyeluruh.
"Akar permasalahan anak terlantar dan anak jalanan adalah ketidakberdayaan orangtua dan kebijakan negara dan seluruh sektor yang membuat mereka menjadi kelompok tersingkir. Penanganannya harus sistemik, karena mereka korban dari tindakan orang dewasa," kata Hadi di sela-sela jumpa pers, di Kantor KPAI, Jakarta, Senin (22/3/2010).
Hadi memaparkan anak terlantar dan anak jalanan dari tahun ke tahun meningkat tajam. Data terakhir menunjukkan bahwa jumlah anak terlantar mencapai 5,4 juta orang, anak hampir terlantar mencapai 12 juta orang atau ada 17 juta anak terlantar dan hampir terlantar. Dari jumlah tersebut, 230 ribu diantaranya menjadi anak jalanan yang tersebar di kota besar di Indonesia. Tercatat, 95 persen anak jalanan berasal dari keluarga miskin, berpendidikan rendah, dan dari lingkungan masyarakat yang eksploitatuf terhadap anak.
"Disamping jumlahnya yang mencengangkan, fakta lain menunjukkan anak jalanan tidak terpenuhi hak-haknya sebagai anak, baik pendidikan maupun kesehatan," tutur Hadi.
Selain lain,KPAI juga mendesak agar pemerintah segera menyelesaikan RUU Sistem Peradilan Anak. Usulan lainnya, KPAI mendesak agar pemerintah menarik target membersihkan kota dari anak jalanan tanpa disiapkan alternatif solusi yang memadai. Dan terakhir, KPAI merekomendasikan kepada pemerintah untuk membangun sistem Jaminan Sosial Anak sebagai solusi komprehensif penanganan anak terlantar dan anak jalanan.
Pemberdayaan Anak Jalanan
Masyarakat yang berdaya adalah mereka yang memperoleh pemahaman dan mampu mengawasi daya-daya sosial, ekonomi, dan politik sehingga harkat dan martabatnya meningkat.
Lebih jauh, Kindervatter (1979 : 13) mendefinisikan pemberdayaan atau empowering sebagai "people gaining an understanding of and control over social, economic, and/or political forces in order to improve their standing in society".
Anak jalanan adalah anak yang terkategori tak berdaya. Mereka merupakan korban berbagai penyimpangan dari oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Untuk itu, mereka perlu diberdayakan melalui demokratisasi, pembangkitan ekonomi kerakyatan, keadilan dan penegakan hukum, partisipasi politik, serta pendidikan luar sekolah.
Anak jalanan, pada hakikatnya, adalah "anak-anak", sama dengan anak-anak lainnya yang bukan anak jalanan. Mereka membutuhkan pendidikan. Pemenuhan pendidikan itu haruslah memperhatikan aspek perkembangan fisik dan mental mereka. Sebab, anak bukanlah orang dewasa yang berukuran kecil. Anak mempunyai dunianya sendiri dan berbeda dengan orang dewasa. Kita tak cukup memberinya makan dan minum saja, atau hanya melindunginya di sebuah rumah, karena anak membutuhkan kasih sayang. Kasih sayang adalah fundamen pendidikan. Tanpa kasih, pendidikan ideal tak mungkin dijalankan. Pendidikan tanpa cinta menjadi kering tak menarik.
Dalam mendidik anak, ibu dan ayah harus sepaham. Mereka harus bertindak sebagai sahabat anak, kompak dengan guru, sabar sebagai benteng perlindungan bagi anak, menjadi teladan, rajin bercerita, memilihkan mainan, melatih disiplin, mengajari bekerja, dan meluruskan sifat buruk anaknya (misalnya : berkata kotor, berkelahi, suka melawan, pelanggaran sengaja, mengamuk, keras kepala, selalu menolak, penakut, manja, nakal).
Keluarga yang ideal dan kondusif bagi tumbuh-kembangnya anak, sangat didambakan pula oleh anak-anak jalanan. Keluarga ideal bagi tumbuh kembang anak itu dapat digambarkan sebagai berikut :
Pendidikan, pada prinsipnya, hendaknya mempertahankan anak yang masih sekolah dan mendorong mereka melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu, juga memfasilitasi anak yang tak lagi bersekolah ke program pendidikan luar sekolah yang setara dengan sekolah. Program itu antara lain berupa : Kejar Paket A dan Kejar Paket B yang merupakan program pendidikan setara SD/SLTP dan pelatihan-pelatihan.
Khusus untuk anak jalanan, menurut Ishaq (2000), pendidikan luar sekolah yang sesuai adalah dengan melakukan proses pembelajaran yang dilaksanakan dalam wadah "rumah singgah" dan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), yaitu : anak jalanan dilayani di rumah singgah, sedangkan anak rentan ke jalan dan orang dewasa dilayani dalam wadah PKBM.
Rumah singgah dan PKBM itu dipadukan dengan-sekaligus menerapkan-pendekatan kelompok dan CBE (Community Based Education, pendidikan berbasis masyarakat) serta strategi pembelajaran partisipatif dan kolaboratif (participative and collaborative learning strategy).
Program pendidikan yang terselenggara itu, antara lain, dapat berupa : Kejar Usaha; Kejar Paket A (setara SD); Kejar Paket B (setara SLTP); bimbingan belajar; Diktagama (pendidikan watak dan dialog keagamaan); Latorma (pelatihan olahraga dan bermain); Sinata (sinauwisata); Lasentif (pelatihan seni dan kreativitas); Kelompok Bermain; Kampanye KHA (Konvensi Hak Anak-anak); FBR (forum berbagi rasa); dan pelatihan Taruna Mandiri (M. Ishaq, 2000 : 371).
Materi pembelajarannya mencakup : agama dan kewarganegaraan; calistung (membaca-menulis-berhitung); hidup bermasyarakat; serta kreativitas dan wirausaha.
Prestasi belajar dan keberhasilan program dievaluasi dengan tahapan self-evaluation berikut : (1) penetapan tujuan belajar; (2) perumusan kriteria keberhasilan belajar; (3) pemantauan kegiatan belajar; serta (4) penetapan prestasi belajar dan keberhasilan program.
Hasil evaluasi itu diungkapkan pada akhir masing-masing kegiatan melalui laporan lisan atau tertulis. Hasil evaluasi kegiatan belajar insidental dilaporkan secara lisan atau ditempel pada papan pengumuman yang terdapat di rumah singgah atau PKBM, sedangkan hasil evaluasi kegiatan belajar berkesinambungan dilaporkan melalui buku raport. Adapun keberhasilan program diungkapkan secara berkala : harian, mingguan, bulanan, dan tahunan.
Model Rumah Singgah Berbasis Kreativitas Perikanan sebagai Alternatif Pendidikan Nonformal
Rumah singgah adalah suatu wadah untuk proses belajar dan mengajar bagi anak-anak yang tidak memperoleh pendidikan yang layak. Rumah singgah ini berbentuk nonformal yang berorientasi pada pengembangan kapasitas anak didik, baik dari aspek keilmuan maupun pengembangan potensi dan kreativitasnya Fadli (2007), mengemukakan bahwa umumnya rumah singgah dibentuk oleh LSM-LSM atau masyarakat yang peduli terhadap pendidikan bagi anak-anak yang terlantar, hidup dijalanan, tidak sejahtera dan tidak mendapatkan kehidupan yang layak. Selain itu, Qaimudin (2005), menyatakan bahwa rumah singgah merupakan sarana yang produktif bagi anak putus sekolah untuk dibina dan dilatih agar menjadi generasi yang tangguh, mandiri dan siap pakai dalam dunia kerja.
Disini perlu ditekankan bahwa rumah singgah tidak dapat menggantikan pendidikan formal. Rumah singgah berfungsi untuk memperkuat pendidikan formal. Selain itu, rumah singgah juga berfungsi memotivasi anak-anak untuk mengikuti pendidikan formal dan di dalam rumah singgah juga diajarkan mengenai muatan lokal. Muatan lokal yang di desain dalam rumah singgah sesuai dengan kondisi atau keadaan lingkungan sasaran siswa yang mengikuti rumah singgah. Selain itu, rumah singgah sebagai salah satu media agar siswa yang dibina dalam rumah singgah tersebut bisa belajar mandiri melalui kewirausahaan.
Rumah singgah yang berbasis kreativitas perikanan memiliki peranan yang sangat besar bagi anak-anak suku Bajo. Selain dapat meningkatkan sumberdaya manusia masyarakat pesisir pada umumnya, juga yang menjadi dampak utama adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia anak suku Bajo. Dilihat dari tingkat konsumsi sumberdaya perikanan yang sangat besar dapat menjadi peluang yang baik untuk mengembangkan pola pemikiran generasi penerus bagi masyarakat pesisir. Orang Bajo sebenarnya cerdas, jika selama ini terlihat tertinggal itu karena kebijakan pemerintah dan sistem yang layak saja yang belum berpihak kepada mereka. Oleh karena itu, rumah singgah dijadikan sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat pesisir yang setara tingkat pengetahuan dan kemandiriannya dengan masyarakat perkotaan pada umumnya. Sebenarnya, masyarakat suku Bajo merupakan salah etnis yang memiliki disiplin tinggi. Salah satu contohnya adalah ketika mereka menambatkan perahu di pesisir pantai, mereka mengetahui satu atau dua jam kemudian harus diambil. Jika tidak diambil, masyarakat Bajo tidak akan jadi melaut, karena air sudah surut dan perahu tidak bisa ditarik ke lepas pantai, jadi jika membentuk rumah singgah di sekitar lingkungan masyarakat Bajo tidak akan menemukan kesulitan yang berarti karena dilihat dari hal tersebut mereka merupakan tipe masyarakat yang disiplin dengan budaya dan kearifan lokalnya. Jadi sendi modernitas dan kaum terpelajar sudah dimiliki masyarakat Bajo, cuma formalnya saja yang belum mereka nikmati sehingga kecerdasan dan keterampilan sepertinya tertutupi.
Syamsinar (2006), mengemukakan bahwa 90% rumah singgah yang dibentuk di Sulawesi Tenggara yang saat ini berjumlah 5 buah berhasil baik dari aspek pelaksanaan maupun tujuan pembentukannya. Siswa rumah singgah sangat respek dan peduli dengan program rumah singgah karena orientasi programnya pengembangan sumberdaya manusia dan pemberdayaan.
Umumnya rumah singgah dikelola secara mandiri oleh yayasan, kelompok masyarakat dan kelompok binaan lembaga pendidikan formal. Program kurikulumnya juga berbeda dengan lembaga pendidikan formal seperti SD, SMP dan SMA. Akan tetapi katagori program rumah singgah teori 40% dan praktek lapangan 60%. Fadli (2007), menyatakan bahwa terjadi perubahan karakter siswa dalam memahami materi yang frekuensinya lebih banyak prakteknya jika dibandingkan dengan teori.
Rumah singgah berbasis kreativitas perikanan memiliki model pengajaran antara lain : a) Belajar sambil bermain, b) belajar melalui komik, c) belajar melalui film dan, d) belajar sambil berwirausaha. Materi yang diajarkan adalah mata pelajaran umum 30% (bahasa Indonesia/membaca dan menulis), pendidikan agama dan motivasi 10% dan materi perikanan (pengenalan ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang serta budidaya laut) sebesar 50% serta praktek usaha 10%.. Materi umum khususnya membaca dan menulis memiliki peringkat kedua dalam jumlah persentase materi, tetapi menjadi faktor utama dan terpenting diajarkan pada anak suku Bajo. Hal ini disebabkan 98% anak suku Bajo yang tergabung dalam rumah singgah belum mengetahui baca dan tulis. Sawonua, (2009), menyatakan bahwa anak-anak suku Bajo yang tidak menikmati dunia pendidikan formal rata-rata tidak dapat membaca dan menulis dan bahkan ada diantara siswa rumah singgah yang kurang memahami bahasa Indonesia. Selanjutnya dikatakan bahwa muatan lokal yang didesain dalam rumah singgah disesuaikan dengan karakteristik lingkungan, dukungan sumberdaya perikanan dan pola hidupnya. Muatan lokal menjadi keyword dalam rumah singgah berbasis kreativitas perikanan.
Pola pengajaran dalam rumah singgah berbasis kreativitas perikanan, yaitu guru dominan dan aktif dalam membina dan memotivasi siswa rumah singgah. Hal ini disebabkan karena salah satu faktor yang menyebabkan anak-anak suku Bajo tidak bersekolah pada sekolah formal adalah faktor motivasi dan budaya nenek moyang mereka yang hanya melaut tanpa memperhatikan kualitas pendidikan dan sumberdaya manusianya.
Ubaidillah (2007), menyatakan bahwa tingkat keberhasilan model pembelajaran pada rumah singgah disajikan pada Tabel 2 berikut:
Tabel 2. Model Pembelajaran dan Implementasinya
Model Pembelajaran
|
Implementasi
|
Persentase Keberhasilan (%)
| |
1.
|
Belajar sambil bermain
|
6 pertemuan
|
24,30
|
2.
|
Belajar melalui komik
|
6 pertemuan
|
21.70
|
3.
|
Belajar melalui film
|
6 pertemuan
|
16,80
|
4.
|
Belajar sambil berwirausaha
|
6 pertemuan
|
37,2
|
Model pembelajaran belajar sambil berwirausaha memiliki persentase keberhasilan yang lebih tinggi karena siswa yang dididk dalam rumah singgah memiliki motivasi berwirausaha dan wadah ini dijadikan sebagai media pembelajaran dalam meningkatkan kemampuan dirinya dalam berusaha untuk membantu kehidupan keluarganya.
Tati (2004), mengemukakan bahwa program rumah singgah umumnya kreatif dan inovatif serta produktif. Kreativitas bahan ajar sangat menentukan keberhasilan daya serap siswa karena motivasi siswa berbeda dengan pelajar pada sekolah formal.
Sawonua, (2009), mengemukakan bahwa rumah singgah berbasis perikanan dapat ditempuh beberapa tahap, mulai dari tahap persiapan sampai dengan tahap pelaksanaan. Materi pelajaran yang akan disajikan berupa materi umum (Bahasa indonesia dan pendidikan agama) dan materi khusus (Pengenalan potensi sumberdaya hayati perairan yang harus dilindungi dan dilestarikan sampai dengan bagaimana mengolah hasil perikanan tersebut dalam skala yang lebih besar, Budidaya rumput laut, Pengenalan ekosistem terumbu karang, Pengenalan Ekosistem Mangrove, Pengenalan Ekosistem Lamun dan Belajar berwirausaha).
Peningkatan kemampuan SDM merupakan hal yang sangat menentukan keberhasilan pengelolaan sumberdaya dalam menjaga lingkungan, sehingga dalam pengelolaan sumberdaya perairan yang ada lebih terjaga kelestariannya. Dalam model pembelajaran rumah singgah yang berbasis perikanan ada fokus pembinaan yang dilakukan adalah mendidik anak-anak suku Bajo dengan pendidikan yang mengarah kepada model kreativitas perikanan. Melalui model pendidikan rumah singgah berbasis perikanan ini diharapkan anak-anak suku Bajo dapat menggunakan pengetahuan yang didapatkan di dalam mengelola sumberdaya perairan yang ada. Selain itu, model pendidikan rumah singgah berbasis perikanan ini diadakan guna menumbuhkembangkan serta memajukan sumberdaya manusia yang lebih maju. Dalam model rumah singgah berbasis perikanan, tidak merubah budaya yang ada pada masyarakat Bajo, sehingga anak-anak suku Bajo selain mendapatkan pendidikan mereka juga tidak kehilangan jati diri mereka sebagai “orang laut”.
Perbandingan antara Model pembelajaran pada rumah singgah dan Model pembelajaran pada Pendidikan formal dapat dilihat pada Tabel 3 berikut:
Model pembelajaran Pendidikan Formal
| |
· Proses belajar dan mengajar tidak formal berdasarkan kebutuhan dan kondisi diri dan lingkungan sekitarnya.
· Tidak terdapat mekanisme formal dan terstruktur serta berjenjang pada tingkatan pendidikan lanjutan.
· Tidak menggunakan seragam sekolah pada umumnya
· Hubungan sosial antara pengajar dan diajar lebih erat karena guru harus menjadi bagian dari siswa agar dapat mentransfer ilmu yang diajarkan
· Proses belajar dan mengajar dapat ditentukan atas dasar kesepakatan bersama antara pengelola, guru dan siswa.
· Materi lebih berorientasi pada ilmu dan kemandirian serta profesionalisme
· Pengelolaan materi dilakukan secara parsial oleh guru
|
· Proses belajar dan mengajar formal
· Pendidikannya berjenjang dari Taman Kanak-Kanak, SD, SLTP, SMA dan Perguruan Tinggi.
· Wajib menggunakan seragam sekolah sesuai dengan ketentuan yang ada.
· Interaksi guru dan siswa terbatas dalam batasan tteori yang disampaikan.
· Proses belajar dan mengajar terikat oleh waktu.
· Materi pembelajarannya terstruktur berdasarkan kurikulum yang ada.
· Pengelolaan materi secara kolektif.
|
Sumber : (Sawonua, 2009 dan Fadli, 2007)
Zumrah (2006), mengemukakan bahwa model rumah singgah juga menitikberatkan pada pendidikan karakter, bergerak dari knowing menuju doing atau acting. Salah satu penyebab ketidakmampuan seseorang anak suku Bajo adalah motivasi untuk knowing sangat rendah, sehingga sangat minim doing atau acting yang produktif dan ramah lingkungan.
Untuk mencapai pendidikan karakter tersebut sentuhan motivasi yang diberikan mencapai 10%, dimana motivasi yang diberikan bagaimana anak suku Bajo dapat lepas dari belenggu keterbelakangan pendidikan menuju kecerdasan anak bangsa. Selanjutnya agar dapat menuju acting, maka sentuhan pembelajaran yang diberikanan dalam rumah singgah untuk kategori praktik mencapai 50%. Pengajaran diarahkan bagaimana mereka memenej lingkungan dan memelihara lingkungannya baik kekayaan potensi terumbu karangnya, padang lamun maupun ekosistem mangrovenya, Selain itu dikembangkan aspek praktik budidaya laut seperti belajar berwirausaha rumput laut, belajar berwirausaha budidaya ikan. Untuk mendukung hal tersebut, pengelola rumah singgah harus mampu membuat kerjasama atau kemitraan dengan pelaku bisnis ditingkat petani, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu media percontohan pembelajaran langsung di lapangan. Hal tersebut dapat mengikis dan membuka rantai kemiskinan, sehingga anak suku Bajo dapat lepas dari keterbelakangan ekonomi menuju kemandirian hidup yang baik dan sejahtera.
Anak jalanan merupakan fenomena perkotaan yang kompleks dan terus meningkat kuantitas dan kualitasnya. Fenomena permasalahan tersebut disebabkan berbagai faktor terkait seperti peradigma pembangunan yang sentralistik ditambah dengan nuansa reformasi serta mencuatnya konsep HAM, gaya hidup individualist materialisiik, konsumeristik serf a kebijakan pemerintah yang tidak saling sinergi dan tidak berkoodinasi antar departemen.
Lingkungan perkotaan yang kumuh juga membuat sebagian anak twin ke jalan. Merebaknya anak jalanan juga diakibatkan oleh kegagalan sistem pendidikan yang cenderung kapitalislik, tidak banyak memberikan kesempatan kepada masyarakat miskin dan marjinal. .
Memang, kehadiran anak jalanan tidak bisa dilepaskan dari keberadaan kota-kota besar. Anak jalanan merupakan fenomena kola besar di mana saja Semakin cepat perkembangan sebuah kota semakin cepat pula peningkatan jumlah anak jalanan.
Namun banyaknya anak jalanan yang menempati fasilitas-fasilitas umum di kota-kota, bukan melulu disebabkan oleh faktor penarik dari kota itu sendiri. Sebaliknya ada pula faktor-faktor pendorong yang menyebabkan anak-anak memilih hidup di jalan. Kehidupan rumah tangga asal anak-anak tersebut merupakan salah satu faktor pendorong penting.
Banyak anak jalanan berasal dari keluarga yang diwarnai dengan ketidakharmonisan, baik itu perceraian, percekcokan, hadirnya ayah atau ibu tiri, absen nya orang tua baik karena meninggal dunia maupun tidak bisa menjalankan fungsinya. Hal ini kadang semakin diperparah oleh hadirnya kekerasan fisik atau emosional terhadap anak. Keadaan rumah tangga yang demikian sangat potensial untuk mendorong anak lari meninggalkan rumah.
Dirjen Pelayanan Dan Rehabilitasi Sosial Depsos, dr Pudji Hastuti Msc PH. mengungkapkan, 150.000 anak jalanan di berbagai kota besar di Indonesia bekerja dan hidup di jalan-jalan. Mereka tidak memiliki rumah tinggal dan tidak terlindungi. “Data ini jauh lebih besar tiga kali lipat dari data yang mampu dihimpun Depsos padalahun2000yaitusekilar 50.000 anak dari 12 kota besar,” kata Pudji.
Pudji juga memperkirakan, sekitar 40.000- 70.000 anak, terutama anak perempuan, di eksploitasi secara seksual dan teikat dengan jaringan protitusi anak. Mereka adalah bagian dari 6 juta anak Indonesia yang berusia 6-15 tahun yang tidak pernah sekolah atau putus sekolah.
Sekitar 4000 anak juga terlibat dalam kriminilitas dan di penjara tanpa ada jalan keluar dan alternatif lainnya. Sementara 120.000 anak terlibat dalam penyalah-gunaan narkotika dan zat aditif. Pemprov DKI Jakarta pada tahun 2000 mencatat pula jumlah anak jalanan ibu kota mencapai 11.000 orang, sementara anak terlantar ada sekitar 18.000 orang. “Meningkatnya jumlah anak jalanan ini karena kemiskinan masih membelenggu kehidupan keluarga mereka,” kala dr Pudji Hastuti Msc PR
Depsos sendiri menurut Pudji, terus melakukan upaya untuk menanggulangi anak jalanan. Namun, upaya yang telah dilakukan. Depsos kalah cepat dengan meningkatnya anak jalanan seiring dengan masih menderanya krisis multidimensi di Indonesia ini. “Depsos telah berbuat banyak. Hanya saja, metode penanganan anak jalanan yang lalu perlu di revisi dan disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan anak jalanan itu,” katanya.
Depsos berkomitmen memberikan yang terbaik dalam menanggulanginya. Paling tidak menekan jumlah anak jalanan itu. Depsos makin membangun 6 rumah singgah untuk anak jalanan di 6 kota besar di Indonesia. Anak jalanan yang tinggal di rumah singgah itu nantinya benar-benar yang tidak memiliki orang tua.
Berdasarkan latar belakang tersebut, Tim Peneliti Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) bekerjasama dengan Pusat penelitian dan Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial Badan pelatihan dan Pengembangan Sosial Depsos (PPP-UKS Balat bangsos) melakukan penelitian mengenai “Model Pemberdayaan Anak Jalanan Berbasis Keluarga” (Studi Kasus di 3 Kota Tangerang, Bandung, dan Surabaya).
Masalah anak jalanan ini menjadi salad satu topik seminar hasil penelitian masalah sosial di Indonesia dengan tema “konsepsi dan strategi penanganan konflik sosial dan kemiskinan” yang digelar di Depsos, pekan lalu.
Mufidz Tim Peneliti dari UMJ dalam seminar itu mengemukakan, berdasarkan UUD 1945 pasal 34, anak terlantar dipelihara oleh negara. Artinya, pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan.
UU No 39 tahun 1999 tentang HAM dan Keputusan Presiden RI No 36 tahun 1990 tentang pengesyahan Convention, of the Rights of Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak) juga menegaskan bahwa anak-anak mempunyai hak-hak yang kurang lebih sama dengan hak-hak asasi manusia. pada umumnya. Sehingga mereka berhak hidup layak dan manusiawi.
Hasil penelitian tentang anak jalanan pada tahun 2003, menurut Mufidz, menunjukkan bahwa kegagalan pemerintah dan masyarakat dalam menangani anak jalanan disebabkan oleh minimnya perhatian semua pihak terhadap eksistensi keluarga sebagai penanggung jawab utama anak jalanan. Perhatian khusus terhadap keluarga sebagai basis pemberdayaan selama ini tampaknya belum menjadi komitmen bersama dan usaha yang serius dari banyak pihak,” katanya.
Penelitian itu juga menyimpulkan bahwa penanganan anak jalanan perlu dilakukan dengan pendekatan multi system, yang; melibatkan semua pihak secara terpadu.ini mengingat persoalan anak jalanan merupakan persoalan yang kompleks dan tidak dapat diselesaikan hanya dengan satu pendekatan saja.
Pemerintah RI melalui Depsos dan jajarannya sebenarnya telah berupaya menangani anak jalanan dengan regulasi, pengalokasian dana, fasilitas pelayanan hingga penyediaan fasilitas rumah singgah, “Namun, kompleksitas permasalahan dan jumlah anak jalanan yang terus meningkat menyebabkan hasil penanganan anak jalanan masih belum optimal dan efektif. karena belum mempunyai model penanganan yang jelas, sistematik, dan komprehensif,” katanya.
Menurut Mufidz, anak jalanan tentu bukan, merupakan panggilan dan pilihan hidup yang menyenangkan. Sebab, hampir pasti anak akan tumbuh berkembang secara tidak wajar. Hak asasi mereka, seperti hak mendapatkan pendidikan, perlindungan, kasih sayang dan sebagainya, pada umumnya tidak terpenuhi dengan baik.
Keluarga dari anak jalanan pada dasarnya merupakan akar persoalan karena pihak keluarga “kurang bertanggung jawab” dalam mengemban anak sebagai amanat dan anugerah Tuhan. “Keluarga menjadi kurang bertanggung jawab dan kurang perhatian terhadap anaknya antara lain disebabkan oleh faktor ekonomi. Pendapatan keluarga tidak cukup untuk membiayai dan menumbuhkembangkan anak-anak secara layak,” kalanya seraya menambahkan secara teoritik solusinya adalah pemberdayaan ekonomi keluarga.
Dari 10 keluarga yang diteliti di Tangerang, mereka umumnya berusia antara 30-50 tahun, beragama Islam, pernah mengenyam pendidikan meskipun hanya pada tingkat SD dan ada juga yang sampai SMA. Tingkat pendapatan mereka antara Rp 10.000 – Rp l5.000 per hari dengan pengeluaran Rp 10.000 – Rp 15.000 per hari. Sumber penghasilan diperoleh melalui berjualan dan lainnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Dari 10 keluarga tersebut, empat keluarga tinggal dalam rumah petak/kontrakan yang disewa antar Rp 150.000-200.000 per bulan. Sementara keluarga lainnya telah memiliki rumah sendiri meskipun ukurannya kecil antara 30 m2-40m2. Domisili mereka di sekitar Desa Kedaung, Desa Serua Indah. Desa Cipayung yang berada di kecamatan Ciputat, Tangerang.
Persoalan pemberdayaan ekonomi pun muncul. Bagaimana memberdayakan, ekonomi mereka padahal tidak semua, keluarga memiliki, keterampilan kerja? Salah satu alternatif jawabannya adalah pemberian pelatihan dan program pendampingan disertai dengan pemberian bantuan modal usaha yang relevan dengan kondisi sosial lingkungan tempat mereka hidup.
Dengan pelatihan dan pendampingan melalui usaha ekonomi produktif, mereka bisa memperoleh tambahan penghasilan Jika usaha mereka makin maju, penghasilan mereka pun akan dapat meningkatkan kualitas hidup mereka. Dan, pada gilirannya mereka diberdayakan untuk dapat memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka.
Melalui pelatihan dan pendampingan yang berwira usaha produktif selama kurun waktu tertentu, diharapkan dalam jangka waktu tertentu pula mereka menjadi keluarga mandiri dan sejahtera. Dengan demikian model serupa dapat ditularkan kepada keluarga lainnya secara terprogram dan berkelanjutan.
Dalam seminar itu dibahas pula dua hasil penelitian masing-masing Uji coba Model Kedamaian Sosial Di Wilayah Rawan Konflik, kerja sama PPP UKS Balatabangsos Depsos dengan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Uji coba Model Pemandu Studi Kasus pemandirian Masyarakat Miskin Terpadu kerja sama BPP UKS Balaibangsos Depsos dengan STKS Bandung.
Penerapan UUD 45 Pasal 34
Anak : Bapak, Kapan kita bisa kaya pak, bisa naik mobil, tidur di rumah mewah?
Bapak : Nanti nak kalau sudah tak ada pemilu atau pilkada nak.
Anak : Kenapa dengan pemilu dan pilkada pak?
Bapak : Karena biayanya besar nak.
Anak : Lalu kenapa dengan biaya besar?
Bapak : Mereka pasti ingin balik modal dong.
Anak : terus apa hubungannya dengan kita gak bisa kaya pak?
Bapak : Yaa mereka akan memperhatikan ‘balik modalnya’ dulu dibanding memperhatikan kita.
Anak : Kan kita dilindungi UUD 45 pasal 34, Fakir miskin dan anak2 terlantar dipelihara oleh Negara.
Bapak : Lho iya toh…kenyataannya Pemerintah kan memang memelihara Fakir Miskin.
Anak : Gak mudeng aku paaakk….(garuk..garuk..garuk)
Bapak : Kamu pernah kan pelihara kelinci atau ayam. Semakin dipelihara, semakin berkembang biak kan? Semakin bertambah banyak jumlahnya kan? Nah, begitulah penerapan UUD 45 pasal 34 itu.
Anak : Oooohhh….(bulet)
Repoter (Orang yang selalu bikin repot) Nyamuk melaporkan untuk Kompasianer
Beragam upaya yang dilakukan Pemprov, tidak menyelesaikan masalah. Penanganan yang dilakukan belum menyentuh pangkal permasalahan, yakni kemiskinan.Kasus pembunuhan dengan cara mutilasi kembali menghentak publik Ibu Kota. Baehaki atau akrab disapa Babe mengaku membunuh tujuh anak jalanan sejak 2007. Tiga di antaranya dimutilasi. Semua korban adalah anak jalanan.
Kasus Babe tersebut mengingatkan kita pada sosok Robot Gedek yang juga membunuh dan memutilasi korbannya yang juga anak jalanan dalam jumlah yang lebih banyak, 12 orang. Latar belakang Babe dan Robert sama, kelainan seksual (pedofilia).Kasus Babe dan Robert bisa jadi merupakan fenomena gunung es dari perilaku kelainan seksual di Ibu Kota. Artinya, jika diungkap, masih banyak Babe dan Robert yang lain. Bahkan, bukan tidak mungkin lebih banyak dan sadis. Apalagi jumlah anak jalanan di Jakarta setiap tahun kian bertambah.
Berdasarkan catatan Komisi Nasional Perlindungan- Anak (Komnas PA), pada 2008, ada 8 ribu anak jalanan. Jumlah itu meningkat 50 persen pada 2009 menjadi 12 ribu anak jalanan."Mereka tersebar di 25 titik di wilayah DKI jakarta," ujar Sekretaris Jenderal Komnas PA Arist Merdeka Sirait di Jakarta, Minggu (17/1).Mengatasi anak jalanan, sambungnya, tidak bisa dengan pendekatan kriminal seperti yang tertera dalam Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988. Dalam perda itu, anak jalanan diposisikan sebagai perusak keindahan kota dan pengganggu ketertiban umum. Perda tersebut memandang anak jalanan melalui pendekatan kriminal.
"Pendekatan itu tidak memberikan solusi. Karena seharusnya mereka beri kesempatan pada anak jalanan untuk menunjukkan potensinya. Artinya, pendekatan yang harus dilakukan Pemprov adalah pendekatan kasih sayang," ujar Arist Yang harus dilakukan Pemprov, lanjut Aries, adalah memberikan sejumlah alternatif agar mereka bisa memilih mana yang sesuai dengan minat. Dengan demikian, anak jalanan akan dengan senang hati menaati peraturan yang berlaku untuk menjalankan minat mereka.Aries mencontohkan anak-anak jalanan yang berminat di bidang musik, otomotif, atau yang lainnya harus diarahkan sesuai dengan kemampuan mereka. Caranya, pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan stakeholder melalui program corporate social responsibility (CSR) setelah sebelumnya melakukan pemetaan minat terhadap anak-anak jalanan.
"Jika sudah diberikan pilihan, mereka akan dengan senang hati menerima pendidikan atau pelatihan dalam bidang mereka," jelasnya.Sementara itu, psikolog Sarlito Wirawan Sarwono menilai penanganan anak jalanan masih sangat jauh dari harapan. Seharusnya anak jalanan ditangani secara bertahap dan lama.Dengan penanganan itu, ia optimistis anak jalanan tidak akan terlihat lagi di persimpangan jalan dan atau pusat keramaian Jakarta."Kunci penanganan anak jalanan adalah jangan pernah menganggap masalah yang ada sebagai sesuatu yang kecil dan diselesaikan dengan kacamata makro. Permasalahan anak jalanan harus diselesaikan dengan cara mikro. Itu bisa membantu menyelesaikannya," tutur Sarlito.Beragam upaya yang dilakukan Pemprov, dalam pandangan Sarlito, tidak bisa menyelesaikan masalah. Makanya ia tidak terkesan dengan cara-cara yang dilakukan Pemprov selama ini. Penanganan yang dilakukan belum menyentuh pangkal permasalahan, yakni kemiskinan.
Panti Sosial
Pemprov mengandalkan panti sosial untuk menampung dan membina anak jalanan. Beberapa panti sosial yang menangani anak jalanan adalah Bina Insan Bangun Daya 1, 2, dan 3, Bina Remaja Taruna Jaya, Asuhan Anak Putera Utama 3, Asuhan Anak Putera Utama 2, Plumpang dan Kedoya. Di tempat itulah anak jalanan mendapat pembinaan.Namun, karenaketerbatasan tempat, ndak semua panti bisa menampung anak jalanan yang terjaring dalam operasi pemberantasan penyakit masyarakat. Mereka yang terjaring dibawa ke panti di Kedoya. Setelah didata, mereka disebar ke beberapa panti.
"Di Tebet, kami menerima limpahan itu, dan kemudian dididik dan diberi pendidikan nonformal," ujar Kepala Sub Bagian Tata Usaha PS Bina Remaja Taruna Jaya, Saebun.Pendidikan nonformal yang diberikan antara lain menjahit, merias kecantikan, dan mekanik. Lamanya pembinaan tidak bisa diukur waktunya. Yang terpenting, anak jalanan itu harus sudah siap untuk bisa bersaing di masyarakat dan bisa berubah perilakunya.Kepala PS Bina Insan Bangun Daya 3, Purwono, mengakui pola pembinaan belum menyentuh titik terdalam dari anak jalanan. Tetapi yang dilakukan pemerintah, menurutnya, sudah menjadi usaha yang bagus karena masalah anak jalanan tidak bisa diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat.Purwono menjelaskan setiap panti yang merawat dan membina anak jalanan rata-rata menampung maksimal 120 orang. Daya tampung maksimal itu tercapai setelah hari besar seperti Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru datang. Di panti yang dikelolanya, ada 55 anak jalanan dari berbagai usia yang ditampung sementara.
Namun, tidak seperti di PS Bina Remaja Taruna Jaya yang semua anak jalanan binaannya hanya mendapatkan pendidikan nonformal, di Plumpang dan Duren Sawit, semua anak jalanan mendapat pendidikan formal di sekolah milik Pemprov."Biasanya sekolah dipilihkan langsung oleh panti. Biar anak jalanan juga bisa berubah lebih baik," cetus Wanaim, pengurus panti Duren Sawit.Dari 90 anak jalanan yang dibina, Wanaim mengatakan semuanya perempuan dan bersekolah di sekolah negeri yang ada di Kali Malang, Cipinang, dan Duren Sawit. Usia anak jalanan yang dibina itu bervariasi, dari 6 tahun hingga yang terbesar 19 tahun. Mereka mayoritas berasal dari luar Jakarta.
4.1. Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, marilah kita tanggalkan ego dan perbedaan untuk mengatasi masalah ini. Dan marilah juga kita akhiri perdebatan atas siapa yang patut dipersalahkan. Karena membicarakan siapa yang salah dan siapa yang benar dalam hal ini hanya akan membuang-buang waktu dan menunda usaha menemukan solusi mengentaskan anak jalanan. Yang diperlukan saat ini adalah bagaimana semua pihak bisa bersama-sama mengatasi masalah ini, memahami peta permasalahan Anak Jalanan dan juga berfikir formula apa yang dapat digunakan dalam upaya membantu mewujudkan kehidupan yang layak bagi mereka. Bagaimanapun juga, mereka tetaplah anak Indonesia yang seharusnya mendapatkan haknya sebagai bagian dari Republik ini.
Menurut kelompok kami, upaya untuk Menanggulangi Permasalahan ini adalah dengan;
1. Berantas korupsi
Apabila kita kembali melihat Pasal 34 UUD 1945 yang berbunyi ;
1. Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
2. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Seharusnya dengan segala kekayaan alam Indonesia fakir miskin dan anak-anak terlantar, khususnya anak jalanan benar-benar bisa dipelihara oleh Negara. tapi permasalahannya sekarang ini, malah lebih banyak uang yang masuk kekantong daripada sampai kepada rakyat, dengan kata lain korupsi. Menurut kelompok kami, pertama pemerintah harus lebih ketat lagi dalam memberantas korupsi.
Anak jalanan di DKI Jakarta, sebagai salah satu kasus, berjumlah 31.304 anak, sedangkan Panti Pemerintah yang memberikan pelayanan sosial terhadap mereka hanya berjumlah 9 panti, yaitu : 4 Panti Balita Terlantar, 4 Panti Anak Jalanan dan 1 Panti Remaja Putus Sekolah. Daya tampung keseluruhannya adalah 2.370 anak. Sementara itu, Panti Sosial Asuhan Anak yang diselenggarakan masyarakat berjumlah 58 Panti dengan daya tampung 3.338 anak dan pelayanan sosial kepada anak di luar panti sebanyak 3.200 anak. Secara akumulatif jumlah yang yang mendapat pelayanan Panti dan non-Panti adalah 8.908 anak dan yang belum tersentuh pelayanan pemerintah maupun organisasi sosial atau LSM adalah 22.396 anak (Profil Dinas Bina Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, 2002).
Walaupun dari data diatas ada bukti nyata yang dilakukan pemerintah, tetapi apabila tidak ada yang korupsi jumlah panti pemerintah pasti bisa lebih banyak lagi.
2. Model Rumah Singgah Berbasis Kreativitas Perikanan sebagai Alternatif Pendidikan Nonformal.
Rumah singgah adalah suatu wadah untuk proses belajar dan mengajar bagi anak-anak yang tidak memperoleh pendidikan yang layak. Rumah singgah ini berbentuk nonformal yang berorientasi pada pengembangan kapasitas anak didik, baik dari aspek keilmuan maupun pengembangan potensi dan kreativitasnya Fadli (2007), mengemukakan bahwa umumnya rumah singgah dibentuk oleh LSM-LSM atau masyarakat yang peduli terhadap pendidikan bagi anak-anak yang terlantar, hidup dijalanan, tidak sejahtera dan tidak mendapatkan kehidupan yang layak. Selain itu, Qaimudin (2005), menyatakan bahwa rumah singgah merupakan sarana yang produktif bagi anak putus sekolah untuk dibina dan dilatih agar menjadi generasi yang tangguh, mandiri dan siap pakai dalam dunia kerja.
Rumah singgah berbasis kreativitas perikanan memiliki model pengajaran antara lain : a) Belajar sambil bermain, b) belajar melalui komik, c) belajar melalui film dan, d) belajar sambil berwirausaha. Materi yang diajarkan adalah mata pelajaran umum 30% (bahasa Indonesia/membaca dan menulis), pendidikan agama dan motivasi 10% dan materi perikanan (pengenalan ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang serta budidaya laut) sebesar 50% serta praktek usaha 10%.. Materi umum khususnya membaca dan menulis memiliki peringkat kedua dalam jumlah persentase materi, tetapi menjadi faktor utama dan terpenting diajarkan pada anak suku Bajo. Hal ini disebabkan 98% anak suku Bajo yang tergabung dalam rumah singgah belum mengetahui baca dan tulis. Sawonua, (2009), menyatakan bahwa anak-anak suku Bajo yang tidak menikmati dunia pendidikan formal rata-rata tidak dapat membaca dan menulis dan bahkan ada diantara siswa rumah singgah yang kurang memahami bahasa Indonesia. Selanjutnya dikatakan bahwa muatan lokal yang didesain dalam rumah singgah disesuaikan dengan karakteristik lingkungan, dukungan sumberdaya perikanan dan pola hidupnya. Muatan lokal menjadi keyword dalam rumah singgah berbasis kreativitas perikanan.
Pola pengajaran dalam rumah singgah berbasis kreativitas perikanan, yaitu guru dominan dan aktif dalam membina dan memotivasi siswa rumah singgah. Hal ini disebabkan karena salah satu faktor yang menyebabkan anak-anak suku Bajo tidak bersekolah pada sekolah formal adalah faktor motivasi dan budaya nenek moyang mereka yang hanya melaut tanpa memperhatikan kualitas pendidikan dan sumberdaya manusianya.
Ubaidillah (2007), menyatakan bahwa tingkat keberhasilan model pembelajaran pada rumah singgah disajikan pada Tabel 2 berikut:
No.
|
Model Pembelajaran
|
Implementasi
|
Persentase Keberhasilan (%)
|
1.
|
Belajar sambil bermain
|
6 pertemuan
|
24,30
|
2.
|
Belajar melalui komik
|
6 pertemuan
|
21.70
|
3.
|
Belajar melalui film
|
6 pertemuan
|
16,80
|
4.
|
Belajar sambil berwirausaha
|
6 pertemuan
|
37,2
|
Model pembelajaran belajar sambil berwirausaha memiliki persentase keberhasilan yang lebih tinggi karena siswa yang dididk dalam rumah singgah memiliki motivasi berwirausaha dan wadah ini dijadikan sebagai media pembelajaran dalam meningkatkan kemampuan dirinya dalam berusaha untuk membantu kehidupan keluarganya.
3. Pemberdayaan Anak Jalanan Berbasis Keluarga
Namun banyaknya anak jalanan yang menempati fasilitas-fasilitas umum di kota-kota, bukan melulu disebabkan oleh faktor penarik dari kota itu sendiri. Sebaliknya ada pula faktor-faktor pendorong yang menyebabkan anak-anak memilih hidup di jalan. Kehidupan rumah tangga asal anak-anak tersebut merupakan salah satu faktor pendorong penting.
Banyak anak jalanan berasal dari keluarga yang diwarnai dengan ketidakharmonisan, baik itu perceraian, percekcokan, hadirnya ayah atau ibu tiri, absen nya orang tua baik karena meninggal dunia maupun tidak bisa menjalankan fungsinya. Hal ini kadang semakin diperparah oleh hadirnya kekerasan fisik atau emosional terhadap anak. Keadaan rumah tangga yang demikian sangat potensial untuk mendorong anak lari meninggalkan rumah.
Dirjen Pelayanan Dan Rehabilitasi Sosial Depsos, dr Pudji Hastuti Msc PH. mengungkapkan, 150.000 anak jalanan di berbagai kota besar di Indonesia bekerja dan hidup di jalan-jalan. Mereka tidak memiliki rumah tinggal dan tidak terlindungi. “Data ini jauh lebih besar tiga kali lipat dari data yang mampu dihimpun Depsos padalahun2000 yaitu sekilar 50.000 anak dari 12 kota besar,” kata Pudji.
Pudji juga memperkirakan, sekitar 40.000- 70.000 anak, terutama anak perempuan, di eksploitasi secara seksual dan teikat dengan jaringan protitusi anak. Mereka adalah bagian dari 6 juta anak Indonesia yang berusia 6-15 tahun yang tidak pernah sekolah atau putus sekolah.
Sekitar 4000 anak juga terlibat dalam kriminilitas dan di penjara tanpa ada jalan keluar dan alternatif lainnya. Sementara 120.000 anak terlibat dalam penyalah-gunaan narkotika dan zat aditif. Pemprov DKI Jakarta pada tahun 2000 mencatat pula jumlah anak jalanan ibu kota mencapai 11.000 orang, sementara anak terlantar ada sekitar 18.000 orang. “Meningkatnya jumlah anak jalanan ini karena kemiskinan masih membelenggu kehidupan keluarga mereka,” kala dr Pudji Hastuti Msc PR
Depsos sendiri menurut Pudji, terus melakukan upaya untuk menanggulangi anak jalanan. Namun, upaya yang telah dilakukan. Depsos kalah cepat dengan meningkatnya anak jalanan seiring dengan masih menderanya krisis multidimensi di Indonesia ini. “Depsos telah berbuat banyak. Hanya saja, metode penanganan anak jalanan yang lalu perlu di revisi dan disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan anak jalanan itu,” katanya.
Depsos berkomitmen memberikan yang terbaik dalam menanggulanginya. Paling tidak menekan jumlah anak jalanan itu. Depsos makin membangun 6 rumah singgah untuk anak jalanan di 6 kota besar di Indonesia. Anak jalanan yang tinggal di rumah singgah itu nantinya benar-benar yang tidak memiliki orang tua.
Berdasarkan latar belakang tersebut, Tim Peneliti Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) bekerjasama dengan Pusat penelitian dan Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial Badan pelatihan dan Pengembangan Sosial Depsos (PPP-UKS Balat bangsos) melakukan penelitian mengenai “Model Pemberdayaan Anak Jalanan Berbasis Keluarga” (Studi Kasus di 3 Kota Tangerang, Bandung, dan Surabaya).
Masalah anak jalanan ini menjadi salad satu topik seminar hasil penelitian masalah sosial di Indonesia dengan tema “konsepsi dan strategi penanganan konflik sosial dan kemiskinan” yang digelar di Depsos, pekan lalu.
Mufidz Tim Peneliti dari UMJ dalam seminar itu mengemukakan, berdasarkan UUD 1945 pasal 34, anak terlantar dipelihara oleh negara. Artinya, pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan.
UU No 39 tahun 1999 tentang HAM dan Keputusan Presiden RI No 36 tahun 1990 tentang pengesyahan Convention, of the Rights of Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak) juga menegaskan bahwa anak-anak mempunyai hak-hak yang kurang lebih sama dengan hak-hak asasi manusia. pada umumnya. Sehingga mereka berhak hidup layak dan manusiawi.
Hasil penelitian tentang anak jalanan pada tahun 2003, menurut Mufidz, menunjukkan bahwa kegagalan pemerintah dan masyarakat dalam menangani anak jalanan disebabkan oleh minimnya perhatian semua pihak terhadap eksistensi keluarga sebagai penanggung jawab utama anak jalanan. Perhatian khusus terhadap keluarga sebagai basis pemberdayaan selama ini tampaknya belum menjadi komitmen bersama dan usaha yang serius dari banyak pihak,” katanya.
Penelitian itu juga menyimpulkan bahwa penanganan anak jalanan perlu dilakukan dengan pendekatan multi system, yang; melibatkan semua pihak secara terpadu.ini mengingat persoalan anak jalanan merupakan persoalan yang kompleks dan tidak dapat diselesaikan hanya dengan satu pendekatan saja.
Pemerintah RI melalui Depsos dan jajarannya sebenarnya telah berupaya menangani anak jalanan dengan regulasi, pengalokasian dana, fasilitas pelayanan hingga penyediaan fasilitas rumah singgah, “Namun, kompleksitas permasalahan dan jumlah anak jalanan yang terus meningkat menyebabkan hasil penanganan anak jalanan masih belum optimal dan efektif. karena belum mempunyai model penanganan yang jelas, sistematik, dan komprehensif,” katanya.
Menurut Mufidz, anak jalanan tentu bukan, merupakan panggilan dan pilihan hidup yang menyenangkan. Sebab, hampir pasti anak akan tumbuh berkembang secara tidak wajar. Hak asasi mereka, seperti hak mendapatkan pendidikan, perlindungan, kasih sayang dan sebagainya, pada umumnya tidak terpenuhi dengan baik.
Keluarga dari anak jalanan pada dasarnya merupakan akar persoalan karena pihak keluarga “kurang bertanggung jawab” dalam mengemban anak sebagai amanat dan anugerah Tuhan. “Keluarga menjadi kurang bertanggung jawab dan kurang perhatian terhadap anaknya antara lain disebabkan oleh faktor ekonomi. Pendapatan keluarga tidak cukup untuk membiayai dan menumbuhkembangkan anak-anak secara layak,” kalanya seraya menambahkan secara teoritik solusinya adalah pemberdayaan ekonomi keluarga.
Dari 10 keluarga yang diteliti di Tangerang, mereka umumnya berusia antara 30-50 tahun, beragama Islam, pernah mengenyam pendidikan meskipun hanya pada tingkat SD dan ada juga yang sampai SMA. Tingkat pendapatan mereka antara Rp 10.000 – Rp l5.000 per hari dengan pengeluaran Rp 10.000 – Rp 15.000 per hari. Sumber penghasilan diperoleh melalui berjualan dan lainnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Dari 10 keluarga tersebut, empat keluarga tinggal dalam rumah petak/kontrakan yang disewa antar Rp 150.000-200.000 per bulan. Sementara keluarga lainnya telah memiliki rumah sendiri meskipun ukurannya kecil antara 30 m2-40m2. Domisili mereka di sekitar Desa Kedaung, Desa Serua Indah. Desa Cipayung yang berada di kecamatan Ciputat, Tangerang.
Persoalan pemberdayaan ekonomi pun muncul. Bagaimana memberdayakan, ekonomi mereka padahal tidak semua, keluarga memiliki, keterampilan kerja? Salah satu alternatif jawabannya adalah pemberian pelatihan dan program pendampingan disertai dengan pemberian bantuan modal usaha yang relevan dengan kondisi sosial lingkungan tempat mereka hidup.
Dengan pelatihan dan pendampingan melalui usaha ekonomi produktif, mereka bisa memperoleh tambahan penghasilan Jika usaha mereka makin maju, penghasilan mereka pun akan dapat meningkatkan kualitas hidup mereka. Dan, pada gilirannya mereka diberdayakan untuk dapat memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka.
Melalui pelatihan dan pendampingan yang berwira usaha produktif selama kurun waktu tertentu, diharapkan dalam jangka waktu tertentu pula mereka menjadi keluarga mandiri dan sejahtera. Dengan demikian model serupa dapat ditularkan kepada keluarga lainnya secara terprogram dan berkelanjutan.
4. Menggalakan berbagai penyelenggaraan program pendidikan luar sekolah
selanjutnya, upaya pemberdayaan kepada anak-anak jalanan seyogyanya terus digalakkan melalui berbagai penyelenggaraan program pendidikan luar sekolah (misalnya : Kejar Paket A, Kejar Paket B, Kejar Usaha, bimbingan belajar dan ujian persamaan, pendidikan watak dan agama, pelatihan olahraga dan bermain, sinauwisata, pelatihan seni dan kreativitas, kampanye, forum berbagi rasa, dan pelatihan taruna mandiri).
Penyelenggaraan program tersebut seyogyanya menerapkan partisipasi/kolaborasi maksimal, yaitu melibatkan berbagai pihak secara lintas sektoral, lintas disiplin ilmu, dan lintas kawasan dalam kerjasama secara maksimal, baik para akademisi maupun praktisi.
Anak jalanan masih berpeluang untuk mengubah nasibnya melalui belajar; karena itu perlu menggali sumber atau pendukung program. Agar anak-anak jalanan mau mengikuti program, maka sumber belajar harus bersikap empati dan mampu meyakinkan kepada mereka, bahwa program pendidikan tersebut benar-benar mendukung pengembangan diri mereka. Untuk itu, penguasaan terhadap karakteristik dan kebutuhan belajar anak-anak jalanan akan sangat membantu para sumber belajar untuk bersikap empati kepada mereka.
0 komentar:
Posting Komentar