Istilah Khairul Ummah, yang artinya adalah “ umat terbaik” ataupun “umat yang unggul” hanya sekali saja diantara 64 kata Ummah di sebut di dalam Alqur’an. Yakni dalam surat Al Imran: 110, Allah berfirman: Kamu adalah umat terabaik (umat yang unggul) yang dilahirkan untuk manusia, yang menyuruh kepada yang baik (ma’ruf) dan mencegah dari yang buruk(munkar), dan beriman kepada Allah. Pada umumnya para ahli tafsir, misalnya Muhammad Ali, dalam tafsir The Holy Qur’an, menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan umat pilihan itu adalah kaum muslim.
Pada masa abad pertengahan dan masa-masa lain dalam sejarah, umat Islam memang berhsil mencapai puncak peradaban dunia atau mencapai kejayaannya di berbagai bangsa dan kawasan, termasuk di Asia Tenggara. Namun jika kita melihat kondisi umat Islam sekarang di seluruh dunia, sulit untuk mengatakan bahwa kaum muslim adalah umat terbaik, bahkan bisa di golongkan sebagai bangsa-bangsa yang mundur dan terbelakang.
Dalam menjawab pertanyaan di atas timbul gagasan untuk melakukan interpretasi kembali tentang pengertian Khairul Ummah di atas. Sebenarnya dengan mencermati ayat di atas kita dapat memperoleh informasi tentang definisi Khairul Ummah itu dengan melihat criteria yang diberikan.Kriteria yang di sebut dalam ayat itu adalah pertama, (umat yang) menyuruh kepada kebaikan, kedua mencegah dari yang buruk serta beriman kepada Allah. Dr. Kuntowijoyo menafsirkan tiga criteria itu sebagai proses-proses humanisasi, liberalisasi (pembebasan) dan transendensi yang menjadi cirri atau persyaratan untuk menjadi yang unggul.
Dalam menjawab pertanyaan di atas timbul gagasan untuk melakukan interpretasi kembali tentang pengertian Khairul Ummah di atas. Sebenarnya dengan mencermati ayat di atas kita dapat memperoleh informasi tentang definisi Khairul Ummah itu dengan melihat criteria yang diberikan.Kriteria yang di sebut dalam ayat itu adalah pertama, (umat yang) menyuruh kepada kebaikan, kedua mencegah dari yang buruk serta beriman kepada Allah. Dr. Kuntowijoyo menafsirkan tiga criteria itu sebagai proses-proses humanisasi, liberalisasi (pembebasan) dan transendensi yang menjadi cirri atau persyaratan untuk menjadi yang unggul.
Apabila kita mengacu kepada criteria di atas, maka kita bias mengacu kepada sebuah ayat lain dalam surat yang sama, yaitu Ali Imran, :103 yang juga sangat popular. Ayat tersebut bersikap perintah atau anjuran untuk membentuk suatu umat dengan acuan tertentu, yaitu yang berbunyi : Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeruh kepada kebajikan (khair) yang menyuruh kepada yang baik (ma’ruf) dan mencegah dari yang buruk(mun’kar); merekalah orang-orang yang beruntung (berhasil). Ayat di atas tidak menyebut criteria “beriman kepada Allah”, tetapi menyebut acuan “kebajikan”(al khair) sebagai dasar atau akar dari amar ma’ruf nahi munkar.
Dalam ayat di atas tidak di sebut istilah khairul ummah. Tetapi dengan melihat kepada criteria yang sama yang disebut dalam ayat itu, maka umat yang dimaksud dalam umat yang unggul. Agaknya, criteria-kriteria atau kualifikasi yang lain di sebut dalam Al Qur’an. Dalam surat Al Baqarah : 143 umpamanya, terdapat ayat mengenai hal yang sama : Dan demikianlah kami telah menjadikan (menunjuk) kamu umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kamu. Dalam ayat ini juga di sebut kualifikasi yang lain yaitu “ dan agar Rasul menjadi saksi atas kamu.”Dalam ayat ini disebut kualifikasi yang lain yaitu ummatan wasathan yang di terjemahkan sebagai “umat yang adil dan pilihan.” Secara harfiah, wasathan berarti “pertengahan” atau “moderat” yang memang menunjuk kepada pengertian “adil”. Di Indonesia kita mengenal istilah “wasit” yang berasal dari akar kata yang sama dengan washatan. Seorang wasit hanya bias berperan jika ia bersikap adil. Esensi pekerjaan seorang wasit adalah bertindak adil. Oleh sebab itu, hanya dengan bersikap adil saja, suatu umat bisa berperan sebagai saksi atas manusia. Dan dengan sifat adil itu pula Rasul menjadi saksi atas umat yang di tunjuk. Dan di antara orang-orang yang kami ciptakan, ada umat yang memberi petunjuk (memimpin) dengan haq (kebenaran) dan dengan haq itu pulalah mereka menjalankan keadilan.
Lebih konkrit lagi, dalam surat al A’raf : 159 yang disebutkan bahwa memang ada dalam sejarah, suatu umat yang unggul, yakni terdapat di antara umat nabi Musa: Dan diantara kaum Musa itu terdapat suatu umat yang member petunjuk (memimpin) dengan haq (kebenaran) dan dengan kebenaran itulah mereka menjalankan keadilan. Tapi dari catatan sejarah kita mengetahui zaman keemasan umat Musa, yakni pada Raja Daud dan Raja Sulaiman, keduanya nabi. Dalam surat Shad: 26 dikatakan sebagai berikut : Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (atas masalah-masalah yang timbul) di antara manusia itu dengan adil, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya, orang-orang yang sesat dari jalan Allah itu akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
Dari ayat-ayat di atas kita memperoleh beberapa kata kunci yang menjelaskan apa yang di maksud dengan umat yang unggul itu. Pertama adalah al khair, yang secara harfiah diterjemahkan sebagai “kebajikan”. Dalam berbagai hadits dan ayat al Qur’an al khair bisa berarti kekayaan atau mungkin juga kemakmuran. Dalam surat Al Baqarah : 269, al khair itu adalah hikmah atau ilmu pengetahuan. Istilah kedua yang menjadi sangat popular dan sering dijadikan jargon politik adalah yang kemudian dirumuskan sebagai amar ma’ruf nahi munkar. Jargon ini sekarang memiliki arti khusus, misalnya, ketika orang sedang berjuang melawan perjudian atau korupsi, kegiatan itu dipersepsikan sebagai bentuk atau perwujudan amar ma’ruf nahi munkar. Tetapi jika sedang melakukan upaya pemberantasan kemiskinan umpamanya, maka kegiatan ini tidak lazim disebut amar ma’ruf nahi munkar.
Amar ma’ruf tidak bisa dipisahkan dengan nahi munkar dalam arti, dalam perbuatan amar ma’ruf terkandung pengertian mencgah yang munkar. Jika kebaikan ditegakkan, maka dengan sendirinya yang buruk dapat dicegah. Demikian pula sebaliknya, dalam nahi munkar tercakup pengertian nahi munkar, karena mencegah kejahatan umpamanya, adalah termasuk ke dalam perbuatan baik. Dalam kehidupan masyarakat, mekanisme amar mad’ruf nahi munkar itu sebenarnya tercakup ke dalam aturan atau peraturan-peraturan, tata hokum dan konstitusi, bahkan juga rencana-rencana pembangunan yang bisa menciptakan kebaikan dan mencegah keburukan, seperti kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan perkataan lain, mekanisme tersebut dapat dilembagakan ke dalam suatu Negara hokum atau masyarakat hukum.
Al-Qur’an sebenarnya telah member penjelasan tentang Khairul Ummah yang dimaksud. Yakni kumpulan orang yang memiliki kesamaan budaya a group of people who share common culture. Budaya itu adalah orientasi kepada al khair, memiliki mekanisme amar ma;ruf nahi munkar, aturan, tatanan atau perintah yang adil, dan beriman kepada Allah. Dengan demikian, al ummah yang mengemban misi di atas, bisa berbentuk Negara atau masyarakat warga (civil of society).
Negara dan Masyarakat
Al-Qur’an menyebut adanya dua macam masyarakat pada masa nabi. Pertama adalah masyarakat badui atau masyarakat nomaden yang kehidupannya mengembara dan praktis belum membentuk suatu masyarakat yang menetap (salah satu cirri masyarakat adalah hidup dalam satu batas wilayah tertentu dan karena itu merasa dirinya satu atau menyatu). Kedua adalah masyarakat madani, yang telah menetap disuatu tempat tertentu dan merasa dirinya menjadi bagian dari suatu kesatuan. Keadaan menetap tersebut memungkinkan mereka menyepakati suatu tata cara hidup tertentu, yang oleh Rousseau disebut le contract sociale atau perjanjian kemasyarakatan.
Pembagian masyarakat oleh Al-Qur’an tersebut barangkali akan menjadi lebih jelas jika diterangkan dengan teori civil society, suatu istilah yang mula-mula diperkenalkan oleh Cicero, seorang sastrawan dan orator Romawi (106 – 143 SM) dengan istilah civilis societas. Istilah tersebut dapat diartikan dua. Pertama suatu masyarakat yang hidup dalam memiliki budaya politik atau budaya kekuasaan (civilized political community). Dengan perkataan lain itu adalah sebuah “Negara”. Dan kedua, adalah lembaga, kode dan pengaturan social dan ekonomi, di luar atau tidak merupakan bagian dari Negara. Dua makna itu memang menimbuilkan kebingungan dan kerancuan pemikiran hingga sekarang ini. Tetapi lebih logis untuk mengikuti makna yang kedua itu karena dengan begitu kita bisa membedakan pengertian tentang “Negara” dan “masyarakat” yang sangat bermanfaat dalam membuat analisis tentang gejala-gejala politik dan kemasyarakatan.
Dalam bukunya yang termasyhur Essay on the history of civil society (1767), Adam Ferguson menjelaskan beberapa ciri civil society. Pertama, masyarakat yang hidup di kota (konsentrasi pemukiman) dan cara hidup orang kota. Kedua, memiliki kode hukum atau perundang-undangan sebagai dasar pergaulan social, ekonomi dan politik. Ketiga, memiliki perilaku yang berdasarkan kesopanan (mempertimbangkan yang patut) atau tak patut dilakukan, menhindarkan diri dari sikap atau perilaku yang tercela, menghormati orang lain dan memperhalus ucapan (pada saat-saat tertentu). Dan keempat, melakukan kerjasama antar sesame wargamasyarakat berdasarkan aturan-aturan dan pranata-pranata yang disepakati. Dengan perkataan lain “masyarakat madani” adalah masyarakat yang berkeadaban dan berbudaya, masyarakat yang mampu mengatur dirinya sendiri, yang pada masa-masa lalu disebut sebagai masyarakat kota yang memiliki pola hidup dan sifat-sifat perkotaan (urbanity), sejalan dengan pengertian al Madinah atau kota dan al Madinah al munawwarah, kota cahaya yakni kota setelah terbentuknya apa yang dikenal oleh orientalis barat sebagai “konstitusi Madinah”.
Mayarakat madani adalah sebuah pergaulan yang sama sekali sudah berbeda dank arena itu dilawankan dengan kehidupan asli atau kehidupan alami (state of nature). Masyarakat alami ini adalah semua masyarakat yang masih sederhana, lugu dan bebas, setidak-tidaknya mereka hidup dengan kebudayaan yang terbatas ruang lingkupnya, seperti masyarakat suku atau bahkan kelompok. Contoh yang jelas adalah masyarakat badui yang disebut Al-Qur’an. Masyarakat madani bergaul untuk memenuhi kebutuhannya yang lebih layak itu dengan melakukan produksi atau pertukaran dalam suatu lembaga atau mekanisme penawaran dan permintaan yang disebut pasar dengan mempergunakan uang sebagai alat tukar. Dengan perkataan lain masyarakat madani adalah masyarakat ekonomi (economic society) dan masyarakat uang (money economy). Dibalik pertukaran tersebut, masyarakat madani telah mengembangkan teknologi guna memenuhi kebutuhan hidup yang lebih banyak melakukan aktifitas fikir, bertukar pikiran atau belajar satu sama lain. Hal ini terjadi lantaran mereka ingin mencapai kemajuan-kemajuan (progress) dalam hidup.
Gambaran-gambaran di atas agaknya, masyarakat yang seperti itulah yang dikehendaki oleh Al-Qur’an. Kita jadi teringat pada perintah-perintah dan anjuran-anjuran Allah dalam Al-Qur’an, seperti untuk mencari rezki guna memperoleh kehidupan yang lebih mulia, perintah membaca dan untuk senantiasa berpikir dan menciptakan peralatan-peralatan dan perhiasan-perhiasan hidup. Al-Qur’an menghendaki suatu masyarakat yang berpendidikan dan terpelar (learnig society).
Negara dan Lembaga
Hegel berkesimpulan bahwa civil society itu suatu ketika akan runtuh, yang merupakan keruntuhan dari dalam karena civil society dikemudikan oleh kepentingan pribadi dan kelompok sempit. Dengan perkataan lain, civil society akan selalu dirongrong oleh konflik yang tak habis-habisnya. Menurut Hegel, untuk mengatasinya, diperlukan lembaga yang dapat berdiri di atas semua golongan dan kepentingan. Lembaga seperti itu pada intinya berfungsi menegakkan keadilan, melakukan modernisasi dan mediasi terhadap beberapa konflik akibat terjadinya persaingan antar kepentingan dan antar golongan. Lembaga yang ideal tersebut adalah Negara. Dengan demikian Negara adalah perwujudan dari semua yang ideal. Dan dengan terbentuknya negara, maka civil society akan lenyap ditelan negara.
Marx setuju dan mengikuti pendapat Hegel. Tetapi ia mempunyai pengertian yang lebih gambling, bahwa yang dimaksud dengan civil society tersebut adalah masyarakat kapitalis atau borjuis. Masyarakat ini, menurut Marx membutuhkan dan menciptakan negara guna mengurus kepentingan mereka. Sama halnya dengan pendapat Hegel, Marx juga melihat civil society sebagai masyarakat yang penuh dengan konflik. Negara, bagi Marx memang diperlukan. Tetapi Negara yang diperlukan itu adalah Negara yang dibentuk dan mengabdi untuk kepentingan proletariat. Negara yang disebut negara sosialis itu mengemban misi untuk menghilangkan kelas.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan civil society makin membutuhkan lembaga mekanisme amar ma’ruf nahi munkar. Namun secara teoritis timbul pertanyaan, apakah lembaga amar ma’ruf nahi munkar tersebut diwujudkan dalam lembaga-lembaga civil society yang mandiri dan dengan meningkatkan kualitas civil society yang mandiri ataukah dengan membentuk negara dan mengembagkan kualitas negara? Apabila kita mengikuti pandangan Hegel, maka perintah untuk membentuk “umat” (Q.S Ali Imran: 104) diwujudkan dengan membentuk negara, sebab civil society adalah sebuah masyarakat yang penuh dengan kemunkaran.
Namun pandangan itu mengandalkan sebuah pandangan negative tentang civil society, jika kita mengikuti Marx, maka negara, sebagai wadah eksekutif yang mengurusi kepentingan kaum borjuis juga harus dilenyapkan, tetapi untuk diganti dengan sebuah negara yang mengurusi kepentingan rakyat pekerja. Setelah tak ada lagi eksploitasi manusia atas manusia, yang juga merupakan bentuk kemunkaran, maka negara tak dibutuhkan. Yang tinggal adalah sebuah masyarakat yang berkeadilan. Dalam hal ini, yang dimaksud ummatan washatan oleh Al-Qur’an adalah masyarakat yang berkeadilan.
Sebenarnya dalam perspektif liberalisme, civil society adalah entitas primer. Civil society itulah asal-usul negara modern, melalui proses kontrak social. Masyarakat madani sendiri juga terbentuk melalui banyak kontrak social. Tetapi akhirnya dibentuk kontrrak social yang tertinggi, yakni negara. Dan Negara dalam perspektif ini juga berfungsi menyelenggarakan kepentingan masyarakat secara adil. Jika perspektif ini yang diikuti, maka yang dimaksud dengan khairu ummah adalah sebuah masyarakat madani yang diselenggarakan atas dasar prinsip musyawarah (Q.S Ali Imran: 159 ; al Syura: 38 ; dan surat al Thalaq: 6). Disatu pihak sebuah Negara dibutuhkan untuk menegakkan keadilan, menjalankan amar ma’ruf nahi munkar dan berorientasi kepada kebajikan, di lain pihak sebuah masyarakat yang mandiri dan kritis juga sangat dibutuhkan sebagai pondasi dari berdirinya sebuah Negara yang pemerintahannya harus dikontrol secara terus menerus untuk mencegah kemunkaran yang mungkin dilakukan oleh negara.
0 komentar:
Posting Komentar