728x90 AdSpace

Latest News

Rabu, 06 Juli 2011

Argumen tentang Wujud Tuhan


BAB I
PENDAHULUAN


            Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat kepada hamba-Nya berupa ilmu, kesehatan jasmani dan rohani, serta kelembutan hati dan kecerdasan akal, sehingga hamba-Nya dapat mengeksplor alam semesta ini dengan penuh kearif-bijaksanaan.
            Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad saw, keluarganya, sahabat dan tabi’in yang telah memberikan contoh bagi kami generasi umat masa kini untuk menyongsong kehidupan yang cemerlang dengan mengambil pelajaran dari setiap masa yang telah berlalu.
            Berbicara tentang wujud Tuhan, akan ditemukan banyak argumen tentang hal tersebut. Manusia membicarakan tentang wujud Tuhan pada awalnya karena dirinya diliputi oleh keraguan tentang ada atau tidaknya Tuhan, seperti apakah wujudnya, dan banyak hal yang berkaitan tentang itu. Kemudian mulai mencari keterangan hingga akhirnya ada yang bertambah keimanannya dan bahkan ada pula yang tidak percaya sama sekali terhadap tuhan.
Sebenarnya para filosof sudah menggaris bawahi ketebatasan akal dan ketidakmampuannya untuk menjangkau metafisika. Emanuel Kant ( 1724-1804 M) misalnya yang dinilai sebagai salah seorang tokoh utama rasionalisme menyatakan bahwa soal-soal metafisika bukanlah wilayah garapan akal. Wujud Tuhan, kehadiran ruh, -  menurutnya -  tidak bisa dituntaskan dengan bukti -bukti rasional. Wujud ada yang hidup ada juga yang tidak hidup. Begitu secara umum logika kita berkata… karena hidup dalam pengertian umum ditandai oleh gerak, tabu atau rasa. Tetapi dari Al-Qur'an difahami bahwa ada wujud yang selama ini dikatagorikan sebagai tidak hidup, tetapi sebenarnya ia hidup. Bahkan seluruh wujud dalam pandangan kitab suci itu hidup, kendati panca indara dan nalar kita tidak menjangkau makna hidupnya.[1]
Untuk itu, penulis mencoba memaparkan sedikit tentang hal-hal yang berkaitan dengan wujud tuhan, melalui beberapa argumen dari para filosof.
Penulis akan membahas argumen tentang wujud Tuhan ke dalam tiga kelompok bagian, yaitu:
1.      dalîl al-hudûts/  argumen kebaruan, yang diwakili oleh al-Kindi (w.866)
2.      dalîl al-imkân/ argumen kemungkinan, yang diwakili oleh Ibnu Sina (w.1037)
3.      dalîl al-inâyah/ argumen teleologis, yang diwakili oleh Ibnu Rusyd (w.1198)
4.      dalîl burhân ash-shiddîqîn, yang diwakili oleh Mulla Shadra.
Penulis memilih untuk menjelaskan argumentasi dari pemikiran tokoh-tokoh filosof muslim dengan alasan agar keraguan terhadap agama -khususnya tentang Allah (Tuhan)- dapat terjawab secara logis dan dapat diterima oleh akal melalui penjelasan yang bertanggungjawab serta tidak bertentangan dengan wahyu, disamping referensi yang penulis dapat terbatas pada kajian filsafat Islam.

BAB II
PEMBAHASAN


Definisi Wujud
            Wujud berarti mencakup segala sesuatu, mengandaikan ketidakterbatasan. Sebagai konsekuensi logis dari pernyataan ini adalah bahwa wujud itu niscaya/ ada/ mutlak.[2]

Berikut akan dijelaskan empat argument tentang wujud Tuhan:
*            Argumen Kebaruan (Dalîl al-Hudûts)
Argumen ini memberi tekanan yang berarti tentang barunya atau kesementaraan alam semesta (temporalitas), dan tokoh yang mewakilinya adalah Al-Kindi (w.866). Al-Kindi menunjukkan bahwa alam semesta karena dicipta, haruslah mempunyai pencipta. Berikut beberapa alasannya:
1)      Alam semesta adalah terbatas dan dicipta dalam waktu. Alam semesta terbatas dari sudut jasad (jism), waktu (zaman), dan gerak (harakah), yang berarti bahwa ia haruslah diciptakan. Menurut hukum kausalitas, segala sesuatu yang dicipta dalam waktu haruslah memiliki seorang pencipta. Karenanya Tuhan adalah penciptanya, dan karena itu haruslah ada.[3]
2)      Ide keesaan Tuhan merupakan sifat utama Tuhan. pertama, segala sesuatu yang tersusun (murakkab) dan beragam (katsrah) bergantung secara mutlak pada keesaan Tuhan; kedua,yang Esa sejati (yang pertama), adalah sebab terakhir dari mana setiap objek indrawi memancar, dan Dia yang membawa setiap objek tersebut menjadi wujud.
Setiap perwujudan semata-mata hanyalah akibat yang mewujud dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada.sebagai konsekuensinya,emanasi (pancaran) dari Yang Maha Esa, Yang Mahaawal, adalah objek indrawi dan sesuatu yang dilekatkan pada objek indrawi tersebut; sedang (Yang Maha Esa) menyebabkan setiap objek itu menjadi ada melalui wujud-Nya. Oleh karena itu, sebab kejadian sesuatu adalah kembali kepada Yang Maha Esa, yang tidak memperoleh kesatuan dari seorang pemberi tetapi melalui esensi-Nya sendiri.
Yang Maha Esa adalah sebab dari semua yang satu. Dia adalah pencipta yang mewujudkan segala sesuatu dan bahwa segala sesuatu itu ada sejauh Dia menghendakinya ada.[4]
3)      Ide bahwa secara logis, sesuatu tidak mungkin menjadi penyebab bagi dirinya. Karena ketidakmampuannya untuk menjadi sebab bagi dirinya, maka sesuatu itu secara mutlak membutuhkan sesuatu yang lain untuk mewujudkannya. Selanjutnya, sebab luar tadi juga membutuhkan sebab lain, dan seterusnya sampai rangkaian tersebut menjadi sebab yang tak bersebab, yang merupakan sebab sejati dan terakhir dari penciptaan. Sebab inilah yang kita rujuk sebagai Tuhan, satu-satunya sebab sejati dari alam semesta.
4)      Argumen kebaruan didasarkan pada analogi antara mikrokosmos (badan manusia) dan makrokosmos (alam semesta).
Ayat al-Qur’an yang biasa digunakan untuk menjelaskan dalil tentang Mikrokosmos:[5]
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ
1.  Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2.  Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.[6]

Ayat al-Qur’an yang biasa digunakan untuk menjelaskan dalil tentang Makrokosmos:
t,n=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÎŽötóÎ/ 7uHxå $pktX÷rts? ( 4s+ø9r&ur Îû ÇÚöF{$# zÓźuru br& yÏJs? öNä3Î/ £]t/ur $pkŽÏù `ÏB Èe@ä. 7p­/!#yŠ 4 $uZø9tRr&ur z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB $oY÷Gu;/Rr'sù $pkŽÏù `ÏB Èe@à2 8l÷ry AOƒÍx. ÇÊÉÈ #x»yd ß,ù=yz «!$# ÎTrâr'sù #sŒ$tB t,n=y{ tûïÏ%©!$# `ÏB ¾ÏmÏRrߊ 4 È@t/ tbqßJÎ=»©à9$# Îû 9@»n=|Ê &ûüÎ7B ÇÊÊÈ
 Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu; dan memperkembang biakkan padanya segala macam jenis binatang. dan kami turunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik.
Inilah ciptaan Allah, Maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang Telah diciptakan oleh sembahan-sembahan(mu) selain Allah. Sebenarnya orang- orang yang zalim itu berada di dalam kesesatan yang nyata.[7]

Seperti halnya kita mampu mengidentifikasi keberadaan jiwa dengan mengamati akibat-akibat yang nampak dari badan kita, demikian juga kita bisa mengetahui wujud Tuhan dengan mengamati akibat-akibat dari administrasi-Nya (pengaturan-Nya) yang bijak, yang tercermin dalam dunia lahiriah.[8]
5)      Al-Kindi menyandarkan bukti yang kelima pada rancangan, keteraturan, dan tujuan dari alam semesta. Argument ini selanjutnya hampir sama dengan yang digunakan oleh Ibn Rusyd dalam dalil al-inâyah.
Argumen ini mencoba membuktikan adanya Tuhan denngan menunjukkan keterbatasan alam. Karena alam itu terbatas, maka ia haruslah baru (hadîts). Dan karena baru, maka mestilah dicipta (muhdats) oleh pencipta, yaitu Tuhan.

*            Argumen Kemungkinan (Dalîl al-Imkân)
Dalil ini diwakili oleh Ibn Sina (w.1037), argumen ini menyatakan bahwa alam ternyata bukanlah Wâjib al-wujûd (wujud yang niscaya), karena ia pernah tidak ada , dan akan pada waktunya, tiada. Alam juga bukan mumtani’ al-wujûd (wujud yang mustahil), karena nyatanya alam semesta ada pada saat ini.
Ibn Sina menguraikan argmennya tentang wujud menjadi tiga pemilahan, yaitu:
1)      Pemilahan antara esensi/quiditas/mâhiyah dan eksistensi (wujûd). Esensi adalah sesuatu sebagaimana adanya (it is what it is). Eksistensi adalah pengejawantahannya –perealisasiannya- dalam dunia lahiriyah. Ibn Sina memprioritaskan eksistensi di atas sifat-sifat yang ditimbulkan oleh esensi.
2)      Pemilahan antara yang tak mungkin (mumtani’) dan yang mungkin (mumkin). Tuhan, yang esensi dan eksistensinya sama, adalah satu-satunya wujud yang niscaya (wâjib al-wujûd) oleh dan dalam dirinya. Segala sesuatu selain Tuhan secara inheren (sifatnya yang melekat) dipengaruhi oleh kemungkinan. Sesuatu yang mungkin tidak pernah bisa melepaskan kemungkinannya dalam setiap tahap karirnya dan tidak pernah menjadi niscaya sendiri seperti Tuhan. Karena dalam setiap sesuatu yang mungkin, pasti ada suatu dualitas atau bahkan kesenjangan tertentu antara esensi dan eksistensi mereka, tidak seperti Tuhan yang esensi-Nya sama dengan eksistensi-Nya, sehingga kesatuan sejati dapat tercapai.
3)      Yang terakhir yaitu pemilahan antara substansi (jauhar) dan aksiden (‘aradh). Esensi merupakan aksiden-aksiden atau substansi. Semua esensi yang tidak berada dalam bentuk subjek adalah substansi; dan semua esensi yang bersifat konstitutif dalam sebuah subjek adalah aksiden.
Ibn Sina menyatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa wujud itu ada; dan bahwa setiap wujud yang ada bersifat niscaya atau mungkin. Jika niscaya, itulah yang kita cari; jika mungkin, maka kewajiban kita adalah menunjukkan bahwa ia berasal dari wujud yang harus bersifat niscaya.”[9]
            Beliau menyimpulkan bahwa alam ini mungkin (mumkin al-wujûd), maka pada dirinya alam itu hanyalah potensi. Potensi alam untuk ada tidak bisa teraktualkan dengan sendirinya. Agar potensi itu actual, maka membutuhkan agen yang telah aktual untuk mengaktualkan potensi alam untuk ada. Karena pada kenyataannya alam ini wujud, padahal sebagai potensi ia tidak dapat mewujudkan dirinya sendiri, maka harus ada wujud lain yang telah aktual yang bertanggung jawab atas aktualisasi alam seperti sekarang ini. Wujud aktual yang bertanggung jawab itu tidak lain adalah Tuhan, yang merupakan Wâjib al-wujûd (Wujud yang senantiasa aktual).

*             Argumen Teleologis (Dâlil al-‘Inâyah)
Argumen ini diwakili oleh Ibn Rusyd (w.1198), seorang filsuf muslim dari Andalusia. Argumen ini berasal dari pengamatan atas keteraturan dan keterpaduan alam semesta, melalui argumen pengalaman, dan berakhir dengan suatu kesimpulan bahwa hal-hal tersebut haruslah merupakan karya dari seorang perancang.[10] Ibn Rusy berkata, “Argumen yang paling meyakinkan bagi keberadaan Tuhan bukanlah argument kosmologis atau etiolugis seperti dikembangkan Aristoteles, juga bukan argumen dari yang mungkin seperti yang diajukan Ibn Sina dan teolog-teolog Asy’ariyah, melainkan argument dari penciptaan (al-Hudûts) dan argument providence/ rancangan/ dalil al-inâyah yang bersandar secara keseluruhan pada Al-Qur’an.
Menurut Ibn Rusyd, metode yang benar dan sesuai adalah dari Al-Qur’an. Jika kita memeriksanya dengan teliti, akan ditemukan bahwa argument (Al-Qur’an) terdiri atas dua komponen:
  1. Perlengkapan yang dibuat pada sesuatu demi kenyamanan dan kebahagiaan manusia adalah dicipta untuk kepentinagn manusia sendiri, merupakan bukti (adanya Tuhan) / rahmat Tuhan.
  2. Penciptaan yang menakjubkan untuk segala sesuatu seperti penciptaan kehidupan organik, persepsi indrawi, dan pengenalan intelektual, merupakan bukti dari penciptaan yang menakjubkan.
Kemudian, dengan kata lain metode Al-Qur’an didasarkan pada dua prinsip, yaitu:
  1. Segala yang ada di dunia adalah cocok untuk keberadaan manusia
  2. Keserasian haruslah ditimbulkan oleh sebuah agen yang sengaja melakukannya untuk tujuan tertentu, hal mana tidak bisa hanya sebagai hasil dari suatu kebetulan.[11]
Dari prinsip yang kedua ini, juga bersandar pada dua premis:
*      Segala yang ada (maujûdât) dicipta secara benar-benar menakjubkan, hal yang tidak perlu lagi penjelasan
#sŒÎ)ur 4n?÷Gè? öNÎgøŠn=tæ $uZçF»tƒ#uä ;M»oYÉit/ Ú͍÷ès? Îû Ínqã_ãr šúïÏ%©!$# (#rãxÿx. tx6ZßJø9$# ( šcrߊ%s3tƒ šcqäÜó¡o šúïÏ%©!$$Î/ šcqè=÷Gtƒ öNÎgøŠn=tæ $uZÏG»tƒ#uä 3 ö@è% Nä3ã¥Îm;tRé'sùr& 9ht±Î0 `ÏiB â/ä3Ï9ºsŒ 3 â$¨Y9$# $ydytãur ª!$# šúïÏ%©!$# (#rãxÿx. ( }§ø©Î/ur 玍ÅÁyJø9$# ÇÐËÈ
Dan apabila dibacakan di hadapan mereka ayat-ayat kami yang terang, niscaya kamu melihat tanda-tanda keingkaran pada muka orang-orang yang kafir itu. hampir-hampir mereka menyerang orang-orang yang membacakan ayat-ayat kami di hadapan mereka. Katakanlah: "Apakah akan Aku kabarkan kepadamu yang lebih buruk daripada itu, yaitu neraka?" Allah Telah mengancamkannya kepada orang-orang yang kafir. dan neraka itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.[12]
*      Segala sesuatu yang diciptakan harus mempunyai pencipta, hal ini pun telah jelas.

Ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang keberadaan Allah, menurut Ibn Rusyd ada tiga macam:
a)      Beberapa ayat mengandung bukti dan Rahmat Tuhan (al-Qashash [28]: 6-7, al-Furqan [25]: 62, ‘Abasa [80]: 24).
uqèdur Ï%©!$# Ÿ@yèy_ Ÿ@øŠ©9$# u$yg¨Y9$#ur Zpxÿù=Åz ô`yJÏj9 yŠ#ur& br& tž2¤tƒ ÷rr& yŠ#ur& #Yqà6ä© ÇÏËÈ
Dan dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.[13]
b)      Ayat lain mengandung bukti penciptaan yang menakjubkan (al-Insân/ad-Dahr [76]: 6, al-Ghasyiyah [88]: 17, al-Hajj [22]: 72, al-An’am [6]: 79).
$YZøŠtã Ü>uŽô³o $pkÍ5 ߊ$t7Ïã «!$# $pktXrãÉdfxÿム#ZŽÉføÿs? ÇÏÈ
(yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya.[14]
c)      Beberapa ayat yang mengandung keduanya (al-Baqarah [2]: 19-20, Yasin [36]: 33, Ali ‘Imran [3]: 188, dan lainnya).
×ptƒ#uäur ãNçl°; ÞÚöF{$# èptGøyJø9$# $yg»uZ÷uômr& $oYô_{÷zr&ur $pk÷]ÏB ${7ym çm÷YÏJsù tbqè=à2ù'tƒ ÇÌÌÈ
Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. kami hidupkan bumi itu dan kami keluarkan dari padanya biji-bijian, Maka daripadanya mereka makan.[15]

Dalil al-inâyah dapat disamakan dengan argument from design, yang menyatakan bahwa adanya keserasian, keteraturan, dan rancangan yang Nampak jelas pada manusia di ala mini, menunjukkan adanya sang perancang, yang bertanggung jawab atas keserasian dan keteraturan alam yang begitu mengagumkan.

*      Argumen Burhân Ash-Shiddîqîn
Argumen ini dipaparkan oleh Mulla Shadra. Nama aslinya adalah Shadruddin Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami asy-Syirazi, ia adalah seorang filosof Syi’ah (1571-1640 M). Argumennya tentang wujud Tuhan disebut burhân ash-shiddîqîn; yang membuktikan wujud Tuhan, tidak dari wujud yang nisbi menuju wujud yang niscaya (wajîb), tetapi dimulai dari wujud yang niscaya terlebih dahulu. Ia menyatakan bahwa Tuhan itu adalah Wujud Murni, sehingga kita tahu bahwa Dia adalah sumber di mana semua wujud lain berasal. Namun, wujud murni ini tidak memerlukan bukti dari yang lain, melainkan dari dirinya sendiri (self-evident).[16]
           
3 Prinsip filsafat Mulla Shadra berkaitan dengan wujud Tuhan, antara lain:
  1. Ketunggalan Wujud (Wahdah al-wujud)
Keseluruhan eksistensi bukanlah sebagai objek-objek yang ada (exist)/eksistensi, yang menemukan partikularnya di dunia objektif karena berbagai quiditas/ esensi yang menyertainya, melainkan tidak lain kecuali sebagai satu realitas tunggal. Ia memahami teori inidengan penghubungannya antara kesatuan wujud dengan kemajemukan eksistensi layaknya cahaya-cahaya matahari dalam hubungannya dengan  matahari itu sendiri. Cahaya-cahaya itu bukanlah  matahari, namun pada saat yang sama tidak lain adalah juga matahari.
Ada itu setara dan sama bagi semua benda, baik yang konkret maupun yang abstrak. Adanya Tuhan adalah murni, sedangkan adanya yang lain telah bercampur dengan esensi. Semakin sempurna suatu wujud, semakin sedikit esensi yang ditunjukannya.[17]
Wujud adalah satu realitas yang membentang, yang kemudian menemukan partikularitasnya dalam realitas objektif melalui esensi. Objektif melalui esensi.
Jika alam ini satu, maka Tuhan alam dan penciptanya pun adalah satu. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam ketuhanan-Nya, sebagaimana tidak ada sekutu bagi-Nya dalam Zat-Nya.[18]
$tB xsƒªB$# ª!$# `ÏB 7$s!ur $tBur šc%Ÿ2 ¼çmyètB ô`ÏB >m»s9Î) 4 #]ŒÎ) |=yds%©! @ä. ¥m»s9Î) $yJÎ/ t,n=y{ Ÿxyès9ur öNßgàÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ 4 z`»ysö6ß «!$# $£Jtã šcqàÿÅÁtƒ ÇÒÊÈ ÄNÎ=»tã É=øtóø9$# Íoy»yg¤±9$#ur 4n?»yètFsù $£Jtã šcqà2ÎŽô³ãƒ ÇÒËÈ
Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada Tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada Tuhan beserta-Nya, masing-masing Tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu,
Yang mengetahui semua yang ghaib dan semua yang nampak, Maka Maha Tinggilah dia dari apa yang mereka persekutukan.[19]
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ
Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.  Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.[20]

  1. Ambiguitas Wujud (Tasykik al-wujud)
Wujud bukan sama dengan satu, tapi bersifat hierarkis. Wujud tersebut membentang membentuk hierarki dari yang tertinggi menuju ke tingkatan yang lebih rendah. Teori ini menyatakan bahwa segala sesuatu dapat dibedakan melalui sesuatu yang juga menyatukan mereka.
Sebagai contoh: cahaya matahari dan cahaya lampu disatukan oleh cahaya, tapi satu sama lainnya yang dibedakan oleh intensitas yang ada dalam cahaya masing-masing.
Namun, berbeda dengan iluminisme yang mengalami graditas daam esensi, Mulla Shadra menempatkan graditas pada eksistensi.
Proporsi yang menyatakan keambiguitasan wujud yang bersifat sistematis berarti:
-          wujud dalam segala sesuatu, dalam satu pengertian, pada dasarnya sama seperti eksistensi Tuhan yang wajib, dan makhluk yang mumkin adalah sama dari sisi predikat eksistensinya; sebaliknya jika ada perbedaan mencolok antara benda-benda dalam titik wujud, maka istilah wujud sama sekali tidak mempunyai makna yang sama dan tidak menjadi ambigu/ analog, tapi perbedaan mencolok.
-          Wujud,karena sama, bahkan menciptakan perbedaan-perbedaan mendasar yang membuat setiap maujud unik.
-          Semua bentuk wujud yang lebih rendah dikandung dalam dan dilampaui oleh bentuk-bentuk yang lebih tinggi. Dalam istilah Shadra : “bashit al-haqiqah kullu syaiy” (wujud yang bersifat sederhana adalahwujud yang mencakup seuruh entitas yang disebut sesuatu.[21]

  1. Ashalah al-wujud
Wujud adalah prinsip dari segala maujud-maujud yang ada. Lawannya adalah Ashalah al-mahiyah, yang menyatakan mahiyahlah prinsip, sementara wujud sekadar asumsi akal. Maujud adalah gabungan antara wujud dan mahiyah.[22]
Yang riil adalah wujud, sementara esensi adalah abstraksi mental semata-mata. Argumen ashalah al-wujud:
-          Esensi/ Quiditas/ Mahiyah pada dasarnya netral, tidak menolak untuk diberi predikat ‘ada’ atau ‘tiada’.
-          Wujud adalah benang merah antara segala sesuatu, sedangkan esensi adalah cirri pembeda antara segala sesuatu.
-          Sesuatu disebut memiliki realitas objektif bila ia mempunyai eksistensi. Esensi dapat memiliki realitas bila menyandang wujud. Berarti yang riil dan objektif hanyalah eksistensi.
-          Karena wujud adalah sumber dan prinsip kesempurnaan, maka wujudlah yang orisinil.
-          Perbedaan antara wujud (maujud) objektif dan wujud subjektif adalah bahwa maujud objektif member pengaruh yang diniscayakan, sedangkan maujud subjektif tidak memberikan pengaruh-pengaruh objektif yang diniscayakan.
-          Berkat wujud, segala sesuatu yang awalnya netral (antara ada dan tiada), maka menjadi ada.
BAB III
PENUTUP

           
Demikianlah makalah yang dapat penulis sampaikan, dengan menguraikan empat argument tentang keberadaan Tuhan dari empat filosof utama muslim. Meskipun tergolong klasik, tetapi kiranya masih relevan dengan zaman sekarang.
Pembuktian rasional mungkin tidak begitu berarti bagi orang yang keimanannya telah menghujam dan tertanam dalam hati, dan hanya bermanfaat untuk menghilangkan keraguan yang mungkin timbul, seperti yang disindirkan oleh Ibn Rusyd di atas.
Kendatipun demikian, pembuktian wujud Tuhan dalam bentuk rasionalisasi sangat penting bagi orang awam yang haus ilmu, serta menangkal pengaruh materialisme dan sekularisme yang mengglobal disaat ini, di mana wacana tentang bukti-bukti adanya Tuhan sangat krusial. Selain pembuktian itu harus tampil menjadi benteng aqidah dan keimanan, ia juga tampil sebagai bahan dialog sehat terhadap sikap skeptis dari mereka yang terkena pengaruh negatif dari virus sepilis (sekularisme, pluralisme –tanpa landasan-, dan liberalisme –tanpa batas-), yang jika dibiarkan dapat mendangkalkan akidah.
Dalam pembuatan makalah ini, penulis tidak menggunakan pemaparan secara detail mengenai argumen-argumen seperti ontologis, kosmologis, teleologis dan moral. Tetapi menurut penulis, argumen-argumen tersebut telah ada dalam argument yang dipaparkan para filosof. Penulis menyamakan argumen ontologis termasuk dalam hampIr ke semua argument, tapi penulis cenderung kepada argumen Burhân Ash-Shiddîqîn oleh Mulla Shadra. Argumen Kosmologis termasuk dalam dalîl al-hudûts/  argumen kebaruan dan argumen teleologis sama dengan pemaparan Ibn Rusyd.



CATATAN

Pertanyaan:
  1. Kenapa makhluk yang sempurna (manusia) tidak boleh berangan atau tidak boleh untuk tahu tentang wujud Tuhan? [Khadijah Al-Kubraa]
  2. Kenapa setiap agama mengimani wujud Tuhan yang beda? Dan bagaimana pandangan Islam tentang hal tersebut? [Nur Mawadah Rahma]
  3. Apa perbedaan esensi dan eksistensi yang diangkat oleh Ibnu Sina? [Ahfas]

Jawaban:
1.      Manusia boleh untuk mencari tahu tentang wujud Tuhan. Kita diberi akal, kemudian ditunjang dengan panca indera. Dengan panca indera inilah kita bias melihat, mendengar dan merasakan sesuatu di sekitar kita. Lalu akal/ otak kita menangkap proses tersebut sehingga kita berpikir, hingga kita berpikir bahwa siapa perancang dibalik semua yang kita alami. Melalui proses berpikir, bertanya-tanya, kemudian berusaha mencari jawaban atas rasa ingin tahu diri kita merupakan cara kita untuk mengetahui tentang wujud Tuhan.

2.      Jangankan setiap agama, bahkan dalam Islam pun (setiap individu muslim) mempunyai argumen yang berbeda tentang wujud Tuhan. Hal ini sah saja, karena pemikiran setiap orang dalam otaknya berbeda-beda, berdasarkan denngan pengalaman yang pernah dilalui masing-masing individu tersebut. Walaupun tentunya orang Islam tetap berpedoman pada Al-Qur’an sebagai referensi utama untuk mengetahui tentang Allah.
Kemudian terhadap yang berbeda agama, jelas sangat terlihat perbedaan argumen tentang Tuhan, apalagi rujukan utama setiap orang dalam mencari tahu wujud Tuhan tentu dari kitab sucinya.
Pandangan Islam dalam menyikapi hal tersebut, bahwa setiap orang boleh berargumen tentang Tuhan, asalkan tidak melampaui batas ketentuan yang ada dalam al-Qur’an, (yaitu dengan menyamakan Allah dengan makhluk ciptaanNya dan dengan tetap pada esensinya bahwa Allah itu Esa).

3.      Esensi adalah sesuatu sebagaimana adanya, dan merupakan hakikat. Esensi Allah yaitu sebagaimana tertera dalam al-Qur’an Surat Al-Ikhlas ayat 1-2, bahwa Allah itu Esa. Di sini kita temukan hakikat bahwa Allah Esa, tanpa kita ketahui tanda-tanda yang membuktikannya.
Kemudian, pengejawantahan ke dalam dunia lahiriyah, baru disebut eksistensi. Seperti ketika Allah mengatur pergantian siang dan malam, hidup dan mati, dan lain sebagainya. Ini adalah tanda-tanda bahwa dibalik yang mengatur alam semesta ini ada pengaturnya, yaitu Allah Zat Yang Esa.
Dari sinilah mengapa Ibnu Sina menyatukan atau menyamakan antara esensi dan eksistensi Tuhan, karena keduanya saling berkaitan dan akan hilang maknanya jika hanya salah satu saja yang ada. 

DAFTAR PUSTAKA


Digital, Al-Qur’an, versi 2.0, 2004.

http://www.icc-jakarta.com, diakses 25 November 2008.

http://www.ivanko.wordpress.com, diakses 28 November 2008.

http://www.scribd.com, diakses 25 November 2008.

http://www.wisdom4all.com, diakses 29 November 2008.

Kartanegara, Mulyadi, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia,
         (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007).

Rahman, Fazlur, Filsafat Shadra, (Bandung: Pustaka).

Shadra, Mulla, Manifestasi-manifestasi Ilahi, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2004).

Shahab, Hussein, Filsafat Wujud dalam Jurnal Al-Huda, Vol. III, No. 1, 2003.






[1] http://www.scribd.com, diakses 25 November 2008
[2] http://www.ivanko.wordpress.com, diakses 28 November 2008
[3] http://www.wisdom4all.com, diakses 29 November 2008
[4] Mulyadi Kartanegara, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia, (               Jakarta:                 Penerbit Erlangga, 2007), h. 21-22.
[5] http://www.icc-jakarta.com, diakses 25 November 2008
[6] Al-Qur’an Surat Al-Alaq : 1-2
[7] Al-Qur’an Surat Luqman : 10-11
[8] Mulyadi Kartanegara, Nalar Religius…, h. 22-23.
[9] Mulyadi Kartanegara, Nalar Religius…, h. 27.
[10] Mulyadi Kartanegara, Nalar Religius…,h. 28.
[11] Ibid., h. 34-35.
[12] Al-Qur’an Surat al-Hajj [22] : 72
[13] Al-Qur’an Surat al-Furqan [25]: 62
[14] Al-Qur’an Surat al-Insân [76]: 6
[15] Al-Qur’an Surat Yasin [36]: 33
[16] Mulyadi Kartanegara, Nalar Religius…,h. 97.
[17] Fazlur Rahman, Filsafat Shadra, (Bandung: Pustaka), h. 39.
[18] Mulla Shadra, Manifestasi-manifestasi Ilahi, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2004), h.48.
[19] Al-Qur’an Surat al-Mu’minun [23]: 91-92
[20] Al-Qur’an Surat al-Ikhlas [112]: 1-2
[21] http://www.ivanko.wordpress.com, diakses 28 November 2008
[22] Hussein Shahab, Filsafat Wujud dalam Jurnal Al-Huda, Vol. III, No. 1, 2003.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Argumen tentang Wujud Tuhan Description: Rating: 5 Reviewed By: Unknown
Scroll to Top