728x90 AdSpace

Latest News

Rabu, 06 Juli 2011

Filsafat Klasik - Aristoteles

BAB I
PENDAHULUAN

*         Riwayat Hidup Aristoteles
Aristoteles (Bahasa Yunani: ‘Aριστοτέλης Aristotélēs), (384 SM322 SM) adalah seorang filsuf Yunani, murid dari Plato dan guru dari Alexander yang Agung. Ia menulis berbagai subyek yang berbeda, termasuk fisika, metafisika, puisi, logika, retorika, politik, pemerintahan. etnis, biologi dan zoologi. Bersama dengan Socrates dan Plato, ia dianggap menjadi seorang di antara tiga orang filsuf yang paling berpengaruh di pemikiran Barat.
Masa muda
Aristoteles lahir di Stagira, kota di wilayah Chalcidice, Thracia, Yunani (dahulunya termasuk wilayah Makedonia tengah) tahun 384 SM. Ayahnya adalah tabib pribadi Raja Amyntas dari Makedonia dan juga seorang ahli fisika kenamaan. Pada usia 17 tahun, Ari
stoteles bergabung menjadi murid Plato. Belakangan ia meningkat menjadi guru di Akademi Plato di Athena selama 20 tahun. Aristoteles meninggalkan akademi tersebut setelah Plato meninggal.
Pada tahun 342 SM Aristoteles pulang kembali ke Macedonia, menjadi guru seorang anak raja umur tiga belas tahun yang kemudian dalam sejarah terkenal dengan Alexander Yang Agung. Aristoteles mendidik si Alexander muda dalam beberapa tahun. Di tahun 335 SM, sesudah Alexander naik tahta kerajaan, Aristoteles kembali ke Athena dan di situ dibukanya sekolahnya sendiri, Lyceum. Dia berada di Athena dua belas tahun, satu masa yang berbarengan dengan karier penaklukan militer Alexander. Alexander tidak minta nasehat kepada bekas gurunya, tetapi dia berbaik hati menyediakan dana buat Aristoteles untuk melakukan penyelidikan-penyelidikan. Mungkin ini merupakan contoh pertama dalam sejarah seorang ilmuwan menerima jumlah dana besar dari pemerintah untuk maksud-maksud penyelidikan dan sekaligus merupakan yang terakhir dalam abad-abad berikutnya.
Walau begitu, pertaliannya dengan Alexander mengandung pelbagai bahaya. Aristoteles menolak secara prinsipil cara kediktatoran Alexander dan tatkala si penakluk Alexander menghukum mati sepupu Aristoteles dengan tuduhan menghianat, Alexander punya pikiran pula membunuh Aristoteles. Di satu pihak Aristoteles kelewat demokratis di mata Alexander, dia juga punya hubungan erat dengan Alexander dan dipercaya oleh orang-orang Athena. Tatkala Alexander mati tahun 323 SM golongan anti-Macedonia memegang tampuk kekuasaan di Athena dan Aristoteles pun didakwa kurang ajar kepada dewa. Aristoteles, teringat nasib yang menimpa Socrates 76 tahun sebelumnya, lari meninggalkan kota sambil berkata dia tidak akan diberi kesempatan kedua kali kepada orang-orang Athena berbuat dosa terhadap para filosof. Aristoteles meninggal di pembuangan beberapa bulan kemudian di tahun 322 SM pada umur enam puluh dua tahun.
Kontribusi dan karya
Filsafat Aristoteles berkembang pada waktu ia memimpin Lyceum, yang mencakup enam karya tulisnya yang membahas masalah logika, yang dianggap sebagai karya-karyanya yang paling penting, selain kontribusinya di bidang metafisika, fisika, etika, politik, kedokteran dan ilmu alam.
Di bidang ilmu alam, ia merupakan orang pertama yang mengumpulkan dan mengklasifikasikan spesies-spesies biologi secara sistematis. Karyanya ini menggambarkan kecenderungannya akan analisa kritis, dan pencarian terhadap hukum alam dan keseimbangan pada alam. Plato menyatakan teori tentang bentuk-bentuk ideal benda, sedangkan Aristoteles menjelaskan bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia ada (eksis). Selanjutnya ia menyatakan bahwa bentuk materi yang sempurna, murni atau bentuk akhir, adalah apa yang dinyatakannya sebagai theos, yaitu yang dalam pengertian Bahasa Yunani sekarang dianggap berarti Tuhan.
Logika Aristoteles adalah suatu sistem berpikir deduktif (deductive reasoning), yang bahkan sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari setiap pelajaran tentang logika formal. Meskipun demikian, dalam penelitian ilmiahnya ia menyadari pula pentingnya observasi, eksperimen dan berpikir induktif (inductive thinking).
Di bidang politik, Aristoteles percaya bahwa bentuk politik yang ideal adalah gabungan dari bentuk demokrasi dan monarki.
Karena luasnya lingkup karya-karya dari Aristoteles, maka dapatlah ia dianggap berkontribusi dengan skala ensiklopedis, dimana kontribusinya melingkupi bidang-bidang yang sangat beragam sekali seperti fisika, astronomi, biologi, psikologi, metafisika (misalnya studi tentang prisip-prinsip awal mula dan ide-ide dasar tentang alam), logika formal, etika, politik, dan bahkan teori retorika dan puisi.
Pengaruh
Meskipun sebagian besar ilmu pengetahuan yang dikembangkannya terasa lebih merupakan penjelasan dari hal-hal yang masuk akal (common-sense explanation), banyak teori-teorinya yang bertahan bahkan hampir selama dua ribu tahun lamanya. Hal ini terjadi karena teori-teori tersebut karena dianggap masuk akal dan sesuai dengan pemikiran masyarakat pada umumnya, meskipun kemudian ternyata bahwa teori-teori tersebut salah total karena didasarkan pada asumsi-asumsi yang keliru.Misalnya teori Evolusi yang dianut oleh Charles Darwin, yang telah terbantahkan berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dapat dikatakan bahwa pemikiran Aristoteles sangat berpengaruh pada pemikiran Barat dan pemikiran keagamaan lain pada umumnya. Penyelarasan pemikiran Aristoteles dengan teologi Kristiani dilakukan oleh Santo Thomas Aquinas di abad ke-13, dengan teologi Yahudi oleh Maimonides (1135 – 1204), dan dengan teologi Islam oleh Ibnu Rusyid (1126 – 1198). Bagi manusia abad pertengahan, Aristoteles tidak saja dianggap sebagai sumber yang otoritatif terhadap logika dan metafisika, melainkan juga dianggap sebagai sumber utama dari ilmu pengetahuan, atau "the master of those who know", sebagaimana yang kemudian dikatakan oleh Dante Alighieri.
Pengaruh Aristoteles terhadap cara berpikir Barat di belakang hari sungguh mendalam. Di jaman dulu dan jaman pertengahan, hasil karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Latin, Arab, Itali, Perancis, Ibrani, Jerman dan Inggris. Penulis-penulis Yunani yang muncul kemudian, begitu pula filosof-filosof Byzantium mempelajari karyanya dan menaruh kekaguman yang sangat. Perlu juga dicatat, buah pikirannya banyak membawa pengaruh pada filosof Islam dan berabad-abad lamanya tulisan-tulisannya mendominir cara berpikir Barat. Ibnu Rusyd (Averroes), mungkin filosof Arab yang paling terkemuka, mencoba merumuskan suatu perpaduan antara teologi Islam dengan rasionalismenya Aristoteles. Maimomides, pemikir paling terkemuka Yahudi abad tengah berhasil mencapai sintesa dengan Yudaisme. Tetapi, hasil kerja paling gemilang dari perbuatan macam itu adalah Summa Theologia-nya cendikiawan Nasrani St. Thomas Aquinas. Di luar daftar ini masih sangat banyak kaum cerdik pandai abad tengah yang terpengaruh demikian dalamnya oleh pikiran Aristoteles.
Kekaguman orang kepada Aristoteles menjadi begitu melonjak di akhir abad tengah tatkala keadaan sudah mengarah pada penyembahan berhala. Dalam keadaan itu tulisan-tulisan Aristoteles lebih merupakan semacam bungkus intelek yang jitu tempat mempertanyakan problem lebih lanjut daripada semacam lampu penerang jalan. Aristoteles yang gemar meneliti dan memikirkan ihwal dirinya tak salah lagi kurang sepakat dengan sanjungan membabi buta dari generasi berikutnya terhadap tulisan-tulisannya.
Beberapa ide Aristoteles kelihatan reaksioner diukur dengan kacamata sekarang. Misalnya, dia mendukung perbudakan karena dianggapnya sejalan dengan garis hukum alam. Dan dia percaya kerendahan martabat wanita ketimbang laki-laki. Kedua ide ini-tentu saja mencerminkan pandangan yang berlaku pada jaman itu. Tetapi, tak kurang pula banyaknya buah pikiran Aristoteles yang mencengangkan modernnya, misalnya kalimatnya, "Kemiskinan adalah bapaknya revolusi dan kejahatan," dan kalimat "Barangsiapa yang sudah merenungi dalam-dalam seni memerintah manusia pasti yakin bahwa nasib sesuatu emperium tergantung pada pendidikan anak-anak mudanya." (Tentu saja, waktu itu belum ada sekolah seperti yang kita kenal sekarang).
Di abad-abad belakangan, pengaruh dan reputasi Aristoteles telah merosot bukan alang kepalang. Namun, saya pikir pengaruhnya sudah begitu menyerap dan berlangsung begitu lama sehingga saya menyesal tidak bisa menempatkannya lebih tinggi dari tingkat urutan seperti sekarang ini. Tingkat urutannya sekarang ini terutama akibat amat pentingnya ketiga belas orang yang mendahuluinya dalam urutan.
BAB II
PEMBAHASAN

*         Pemikiran Aristoteles Dan Perkembangannya Dalam Kehidupan
Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan segalanya.  Dia setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu "berubah" (menjadi besar dan tegap, misalnya), dan bahwa tidak ada kuda yang hidup selamanya. Dia juga setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi idea-kuda adalah konsep yang dibentuk manusia sesudah  melihat (mengamati, mengalami) sejumlah kuda. Idea-kuda tidak memiliki eksistensinya sendiri: idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang ada pada (sekurang-kurangnya) sejumlah kuda. Bagi Aristoteles, idea ada dalam benda-benda.
Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar akal yang masuk dalam kesadarannya  oleh pendengaran dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada idea-bawaan.
Aristoteles menegaskan bahwa ada dua cara untuk mendapatkan kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru, yaitu metode rasional-deduktif  dan metode empiris-induktif.  Dalam metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan yang benar, dibuat konklusi yang berupa pernyataan ketiga yang mengandung unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang merupakan fondasi penting dalam logika, yaitu cabang filsafat yang secara khusus menguji keabsahan cara berfikir.  Logika dibentuk dari kata logikoz, dan logoz berarti sesuatu yang diutarakan.  Daripadanya logika berarti pertimbangan pikiran atau akal yang dinyatakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.
Dalam metode empiris-induktif pengamatan-pengamatan indrawi yang sifatnya partikular dipakai sebagai basis untuk berabstraksi menyusun pernyataan yang berlaku universal. Aristoteles mengandalkan pengamatan inderawi sebagai basis untuk mencapai pengetahuan yang sempurna.  Itu berbeda dari Plato.  Berbeda dari Plato pula, Aristoteles menolak dualisme tentang manusia dan memilih "hylemorfisme":  apa saja yang dijumpai di dunia secara terpadu merupakan pengejawantahan material ("hyle") sana-sini dari bentuk ("morphe") yang sama.  Bentuk memberi aktualitas atas materi (atau substansi) dalam individu yang bersangkutan. Materi (substansi) memberi kemungkinan ("dynamis", Latin: "potentia") untuk pengejawantahan (aktualitas) bentuk dalam setiap individu dengan cara berbeda-beda.   Maka ada banyak individu yang berbeda-beda dalam jenis yang sama.  Pertentangan Herakleitos dan Parmendides diatasi dengan menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala yang "tetap" dan yang "berubah".
Dalam konteks ini dapat dimengerti bila Aristoteles ada pada pandangan bahwa wanita adalah "pria yang belum lengkap".  Dalam reproduksi, wanita bersifat pasif dan reseptif, sedang pria aktif dan produktif. Semua sifat yang aktual ada pada anak potensial terkumpul lengkap dalam sperma pria. Wanita adalah "ladang", yang menerima dan menumbuhkan benih, sementara pria adalah "yang menanam".  Dalam bahasa filsafat Aristoteles, pria menyediakan "bentuk", sedang wanita menyumbangkan "substansi".
Dalam makluk hidup (tumbuhan, binatang, manusia), bentuk diberi nama "jiwa" ("psyche", Latin: anima).  Tetapi jiwa pada manusia memiliki sifat istimewa: berkat jiwanya, manusia dapat "mengamati" dunia secara inderawi, tetapi juga sanggup "mengerti" dunia dalam dirinya.  Jiwa manusia dilengkapi dengan "nous" (Latin: "ratio" atau "intellectus") yang membuat manusia mampu mengucapkan dan menerima "logoz".  Itu membuat manusia memiliki bahasa.
Pemikiran Aristoteles merupakan harta karun umat manusia yang berbudaya.  Pengaruhnya terasa sampai kini, itu berkat kekuatan sintesis dan konsistensi argumentasi filsafatinya, dan cara kerjanya yang berpangkal pada pengamatan dan pengumpulan data.  Singkatnya, ia berhasil dengan gemilang menggabungkan (melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan rasional-deduktif tersebut diatas.
Aristoteles menempatkan filsafat dalam suatu skema yang utuh untuk mempelajari realitas.
Studi tentang logika atau pengetahuan tentang penalaran, berperan sebagai organon ("alat") untuk sampai kepada pengetahuan yang lebih mendalam, untuk selanjutnya diolah dalam theoria yang membawa kepada praxis. Aristoteles  mengawali, atau sekurang-kurangnya secara tidak langsung mendorong, kelahiran banyak ilmu empiris seperti botani, zoologi, ilmu kedokteran, dan tentu saja fisika.  Ada benang merah yang nyata, antara sumbangan pemikiran dalam Physica (yang ditulisnya), dengan Almagest (oleh Ptolemeus), Principia dan  Opticks (dari Newton), serta Experiments on Electricity (oleh Franklin), Chemistry (dari Lavoisier), Geology (ditulis oleh Lyell), dan The Origin of Species (hasil pemikiran Darwin). Masing-masing merupakan produk refleksi para pemikir itu dalam situasi dan tradisi yang tersedia dalam zamannya masing-masing.
Dalam perkembangannya, teori akan konsep yang dicetuskan oleh Aristoteles memilki andil yang besar. Hal ini terutama dalam perkembangan pengetahuan. Suatu pengetahuan dimulai dari penalaran yang tentunya melalui proses yang dapat dilihat dengan indera kita. Selanjutnya berkembang menjadi teori yang dapat dibuktikan. Sebagaimana kita ketahui dalam kehidupan bahwa akal manusia memilki keistimewaan yang dapat membedakan, mengerti serta menelaah berbagai fenomena yang ada. Tentunya hal ini yang membedakan antara manusia dengan mahluk yang lain. Berawal dari berbagai teori tersebut maka hingga saat ini dikembangkan berbagai penemuan yang baru berangkat dari konsep pengetahuan yang dilihat melalui indera manusia. Salah satu contoh aplikasinya adalah dalam perkembangan ilmu fisika. Ilmu ini pada awalnya berangkat dari sejumlah teori yang hanya bersifat kecil saja.
Hasil pemikiran Aristoteles antara lain:
Silogisme Aristoteles, sebuah perjalanan logika deduktif yang amat panjang sejak 2500 tahun yang silam, sejak Aristoteles dilahirkan  di Stagira 384 SM, tetapi logika ini akan tetap aktual dalam perjalanan manusia mencari makna diri di alam semesta ini, bahkan sesungguhnya silogisme Aristoteleslah yang mendasari prinsip-prinsip Antropik Kosmos (Cosmic Anthropic_principle). Konsep silogisme Aristoteles adalah konsep dasar tatkala kesadaran manusia harus menapak awal melihat  fenomena Jagad Semesta dan mulai menganalisa keajaiban kehidupan bumi, kemudian manusia menyadari bahwa dirinya sendiri akan menjadi tiada seperti spesies makhluk hidup lainnya, mortal.
Silogisme Aristoteles lebih mudah difahami dari persamaan matematika berikut, jika :
A = B dan B = C maka A = C 
Inilah pertanyaan-pertanyaan abadi tentang kesadaran manusia  :
  1. Jika kita harus berkata bahwa kesadaran manusia itu lahir dari kegelapan goa goa awal peradaban manusia, maka adalah logis jika suatu hari kelak kita akan lahir kembali dalam kondisi yang sama, kegelapan di goa awal peradaban. Dalam bentuk silogisme Aristoteles A = B = C.
  2. 100.000 tahun yang lalu, dimana kesadaran semesta itu berada? Apakah masih berevolusi dalam diri dalam spesies Homo_erectus?
  3. 10.000 tahun yang lalu, peradaban manusia lantas muncul dan sampai saat ini, apakah yang sebenarnya terjadi pada 200 milayr sel-sel syaraf spesies manusia? Angka 10,000 tahun adalah tidak sebanding dengan 3 juta tahun atau 4.5 milyar tahun yang silam untuk menyatakan bahwa kesadaran manusia itu baru memulai evolusi. Angka 10,000 tahun lebih tepat kita lihat sebagai fenomena revolusi kesadaran semesta  dari munculnya kesadaran manusia.
  4. Sederhananya bandingkan 200 milayr sel-sel syaraf  manusia itu dengan sebuah transformator listrik Jika input transformator adalah fungsi tegangan/arus/frekwensi  listrik A maka outputnya adalah fungsi tegangan/arus/frekwensi B. Sedangkan input dari 200 milyar sel-syaraf kita adalah suatu 'Dimensi Kesadaran Semesta' yang memang kekal eksistensinya melihat 'Masa Depan Semesta' sebagai ouputnya. Fungsi kesadaran manusia adalah untuk melihat Masa Depan Jagad Semesta sambil 'bermain-main' di Bumi ini, tetapi bukan untuk mengeksekusi Semesta Kosmos sejauh 13.7 milyar tahun cahaya.  
  5. Kita bertemu di bumi berbangsa-bangsa berbeda bahasa adalah untuk memahami bahwa Bumi tinggal Satu untuk kelak menghadap Sang Pencipta. Pada akhirnya manusia akan faham bahwa Logika Hari Kiamat adalah realitas indahnya Keabadian Kesadaran Semesta, betapapun perbedaan kita dalam bermimpi tentang makna keabadian.

Fungsi Kesadaran Semesta >>
>> Fungsi Masa Depan Semesta
   
Fungsi (V,I,f,A)  >>
>> Fungsi (V,I,f,B)

Tatkala kesadaran manusia harus muncul dan tumbuh, maka mulailah kita mencari asal muasal kesadaran itu muncul. Kesadaran kita akan selalu mengarah kepada penyederhanan dan penyederhanaan dari kompleksitas observasi seorang manusia seperti Aristoteles. Solusinya adalah membuat sistematika yang logis dengan cara membuat klasifikasi, inilah cara berfikir logis sang jenius Aristoteles tanpa mikroskop dan tanpa teleskop disampingnya. Kita membayangkan pribadi pribadi  pengamat kosmos seperti Plato, Socrates, atau Aristoteles yang harus berfikir tentang alam semesta tanpa penemuan dasar seperti mikroskop, teleskop, atau mesin cetak Gutenberg, maka hasilnya berupa istilah klasifikasi orisinal mereka  seperti  analytica, dialectica, physica, matematica, scientifica, etica, politica, medica adalah penemuan luar biasa. Lucunya saat kini kita seolah kembali ke cara berfikir ala Aristoteles dimana pada saat ini fitrah manusia millennium mengalami ‘kebuntuan kosmologi’ dalam menyimpulkan angka 13.7 milyar tahun cahaya. Lantas apa maknanya silogisme Aristoteles 2500 tahun silam dan prinsip antropika millennium dalam memandang kosmos. Jangan jangan Aristoteles-lah yang benar bahwa bumi adalah pusat alam semesta, dan paling tidak kesadaran manusia di bumi adalah satu satunya kesadaran yang pernah ditemukan di alam semesta, jadi barangkali bumi-lah pusat kesadaran kosmos semesta.
Fisika
Salah satu tradisi Aistoteles adalah bahwa orang dapat menyusun semua hukum yang mengatur jagat raya ini dengan pemikiran murni semata, pemikiran itu tidak perlu dicek
dengan pengamatan dan beliau pun berpendapat bahwa keadaan alami suatu benda adalah diam, dan bergerak hanya bila ada gaya (force) atau dorongan (impuls) karenanya beliau pun berpendapat bahwa benda berat akan jatuh lebih cepat daripada benda ringan karena tarikan kearah bumi lebih besar.
Memang fisika merupakan salah satu produk proses transisi sektoral yang dialami oleh filsafat alam (jamannya Aristoteles), dan sama-sama kita mafhumi bahwa filsafat (umum) menggunakan metode penalaran yang disebut kontemplasi (renungan). Kemudian orang-orang pada zaman tersebut memang lebih cenderung rasionalis ketimbang empiris.
Kesimpulannya konsep Aristoteles kira-kira sebagai berikut:
1. orang dapat menyusun semua hukum yang mengatur jagat raya ini dengan pemikiran murni semata, pemikiran itu tidak perlu dicek dengan pengamatan = paham ini disebut rasionalisme. Metode ilmiah yang dipakai saat ini menggunakan rasionalisme maupun empirisme.
2. keadaan alami suatu benda adalah diam, dan bergerak hanya bila ada gaya (force) atau dorongan (impuls)
3. benda berat akan jatuh lebih cepat daripada benda ringan karena tarikan kearah bumi lebih besar.
4. Kemudian Aristoteles meyakini waktu yang mutlak (juga Newton).
Memang pemikiran fisis tentang gerak sudah ada sejak dulu, tapi baru bersifat kualitatif. Hukum Newton adalah suatu upaya untuk mengkuantifikasi postulat-postulat tsb. Akibat langsung pernyataan Aristoteles, bahwa waktu mutlak adalah : segala peristiwa dimanapun, akan terditeksi secara serentak, secara bersamaan atau waktunya sama.
*      Serentak (bersamaan) artinya waktu = T, sama.
Jarak (L) : kecepatan (V) = waktu (T)
Bila serentak artinya T selalu sama, maka :
 L / V = T (tetap), karena serentak.
Mari kita menghitung (aritmatik, bukan matematik) misal :
contoh 1. (misal).
L1 = 1200.000 km (jarak)
V1 (cahaya) = 300.000 km/detik (kecepatan), maka
T1(waktu tempuh) = L1 : V1
= 1200.000 km : 300.000 km/det = 4 detik
contoh 2.
L2 = 1600.000 km
Waktu bersamaan atau serentak, jadi T2 =T1 = 4 detik, maka,
V2 (kecepatan cahaya) = L2 : T1
= 1600.000 km : 4 detik = 400.000 km/det.
Kesimpulan :
Bila waktu serentak, maka dari contoh 1 dan contoh 2 adalah :
Cahaya mempunyai kecepatan yang berbeda yaitu :
V1 (kecepatan cahaya 1) = 300.000 km/det
V2 (kecepatan cahaya 2) = 400.000 km/det
Kondisi ini bisa dibenarkan, dengan syarat, bahwa waktu adalah mutlak. Konsep mutlak maksudnya: mempunyai nilai yang sama untuk semua pengamat alias tidak bergantung keadaan gerak pengamat. Waktu mutlak berarti bahwa untuk jarak yang sama, obyek yang sama (dalam hal ini cahaya) akan menempuhnya dalam waktu yang sama. Jadi bukan lantas waktu tempuh sama untuk jarak berapapun. Kalau jaraknya berbeda (L1 tidak sama dengan L2) maka waktu tempuhnya pun berbeda.
> Catatan : kecepatan cahaya (C) menurut para ahli adalah tetap yaitu sekitar 300.000 km/det (299.792,5 km/det). Nilai c yang mutlak (untuk semua pengamat mempunyai nilai sama) ini justru
yang menumbangkan konsep mekanika klasik di atas (bhw ruang dan waktu adalah mutlak). Dalam relativitas khusus, waktu dan ruang jadi nisbi/relatif.
Metafisika
Aristoteles adalah orang yang pertama sekali memahami sederet persoalan yang tidak ada hubungannya dengan pengetahuan yang sudah dikenal pada masa itu seperti matematika, etika, sosial, pengetahuan alam ataupun logika. Persoalan persoalan yang ditemukan ini disadarinya sebagai inti dari semua persoalan yang daripadanya kemudian diketahui hubungan dan keterpisahan persoalan suatu ilmu dengan ilmu yang lainnya.
Persoalan ilmu ini dikemudian hari semakin luas seiring dengan pengamatan yang semakin intensif terhadapnya. Sehingga Aristoteles merasa perlu untuk memisahkan ilmu ini dari ilmu-ilmu yang sudah dikenal saat itu karena ilmu ini memiliki sisi khusus disisi berbagai ilmu lainnya. Tetapi perlu diingat, bahwa saat itu Aristoteles tidak memberikan nama untuk jenis ilmu ini sampai dia meninggal.
Setelah Aristoteles meninggal barulah orang-orang mengumpulkan hasil karyanya ini dan disusun dalam sebuah ensiklopedia. Dari sisi urutannya, bahasan yang belum diberi nama tadi terletak setelah bagian ilmu fisika (ilmu alam) .  Dari urutan tadi dan dikarenakan memang belum diberi nama, maka mereka saat itu memberikannya nama sesuai dengan urutannya, yaitu ‘setelah fisika’  atau ‘metafisika’ , yang terambil dari kata ‘meta’= setelah dan ‘fisika’ = fisika.
Namun apa yang terjadi kemudian sebagaimana yang kita saksikan sekarang, lambat laun orang-orang mulai lupa akan ‘cerita penamaan’ terhadap ilmu (metafisika) ini. Mereka lupa bahwa nama metafisika adalah penamaan terhadap ilmu yang di urutkan berdasarkan ensiklopedia yang berarti ‘setelah fisika’.  Setelah pembahasan filsafat rendah (filsafat fisika )  dan BUKAN karena ilmu ini semata-mata membahas Akal Murni, Tuhan dan segala sesuatunya yang diluar jangkauan ilmu alam (fisika). Karena kalau alasannya adalah karena ilmu ini membahas tentang ketuhanan saja, maka seyogyanya ilmu ini dinamakan PROFISIKA atau ‘sebelum fisika’ , karena Tuhan sesungguhnya jauh sebelum adanya alam dan fisika, dan bukan sesudahnya.
Karena kekeliruan dalam pendefinisian verbal itu, maka sampai sekarang masih banyak ilmuwan barat yang mengatakan bahwa ilmu metafisika adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan ketuhanan atau sesuatu yang tidak bisa dilihat dan diraba secara fisik / terpisah dari alam material.
Padahal jelas Aristoteles sendiri tidak menamakan demikian terhadap fenomena keterhubungan dan keterpisahan antara satu ilmu dengan yang lainnya itu yang diketahui sebagai pusat faktor keterkaitan dan keterpisahan antara alam materi dan non materi.
Pembahasan ini menjadi semakin jelas tatkala diadakan perbandingan antara metafisika Aristoteles dengan metafisika Ibnu Sina, terlebih dengan metafisika Shadr al Muta'allihin. Alhasil, Aristoteles menpakan orang pertama yang berhasil menemukan dan menyingkap bahwa ilmu ini (metafisika) merupakan suatu ilmu yang terpisah dan mandiri, dan memiliki posisi khusus di sisi berbagai ilmu yang lain. Akan tetapi Aristoteles tidak memberikan suatu nama bagi jenis ilmu ini. Kemudian setelah Aristoteles meninggal dunia mereka mengumpulkan berbagai karya dan gagasannya dalam sebuah ensiklo­pedia. Bagian yang tengah kita bahas sekarang ini, dari sisi urutannya, terletak setelah bagian ilmu alam (fisika), dan dikarenakan tidak memiliki nama khusus maka mereka menamakan pembahasan ini dengan metaphiysika, meta = sesudah dan Physika = fisika (sesudah fisika). Kata metaphysika oleh orang Arab diterjemahkan dengan istilah maa
ba'da ath thabi'ah. Lambat laun mereka lupa bahwa sebenarnya peletakan nama ini (metafisika) adalah dikarenakan pembahasan ini terletak sesudah pembahasan filsafat fisika dalam buku karya Aristoteles. Kemudian banyak yang mengira bahwa penamaan ilmu ini dengan metafisika, dikarenakan ilmu ini berisikan penibahasan mengenai Tuhan, akal murni, yang kesemuanya itu di luar alam fisika. Oleh karena itu, orang­orang semacam Ibnu Sina inengungkapkan keberatannya sebagai berikut: "Seharusnya ilmu ini disebut dengan profisika (qabla ath thabi'ah) dan bukan metafisika (ma ba'da ath thabi'ah). Karena jika alas alasan bahwa ilmu ini mengandung pembahasan mengenai ketuhanan lalu disebut dengan metafisika, pada dasarnya Tuhan adalah sebelum alam dan fisika, dan bukan sesudahnya."' Kemudian di kalangan orang-orang yang disebut-sebut sebagai filsuf modern, terjadi kesalahan dalam pengertian verbal dan terjemahan, dan hal itu menyebabkan kesalahan arti dan makna. Banyak kelompok orang Eropa yang mengira bahwa kata maa ba`da ath thabi'ah adalah lama dengan maa waraa 'a ath thabi'ah, dan mengira bahwa subjek ilmu ini adalah berbagai fenomena di luar fisika (alam). Sedangkan yang kita ketahui bersama adalah subjek dan topik ilmu ini mencakup fisika dan nonfisika; apa pun bentuk keberadaan. Alhasil, kelompok filsuf modern ini mendefinisikan ilmu ini secara keliru sebagai berikut, "Metafisika adalah suatu ilmu yang hanya membahas masalah ketuhan­an dan berbagai perkara yang terpisah dari alam material."
Astronomi (Pusat Tata Surya Bukan Hanya Matahari)
Pemahaman manusia akan ilmu pengetahuan (sains) tentang alam semesta pada tiga setengah abad sebelum masehi hanya didasarkan pada pengamatan (observasi) tanpa ada penjelasan yang didukung oleh eksperimen atau percobaan seperti yang lazim dilakukan untuk mengetahui suatu fenomena alam. Planet Bumi yang kita tempati ini mempunyai letak yang cukup unik, yaitu planet ketiga dalam susunan tata surya (solar system) maka ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan pergerakan benda langit yang salah satunya menunjukkan pergerakan yang unik seperti pergerakan retrograd Mars. Banyak pertanyaan yang terlintas pada masyarakat awam pada saat itu seperti, “Kenapa Mars mempunyai lintasan yang seolah dapat bergerak bolak-balik (retrograd) sedangkan planet lain tidak?”
Tentu saja pertanyaan tersebut pada saat itu belum dapat dijawab karena pada zaman itu teori yang diterima paling benar adalah teori Aristoteles yang menerangkan bahwa Bumi merupakan pusat tata surya. Selama berabad-abad teori ini dipertahankan bersamaan dengan kepercayaan pada saat itu bahwa Bumi itu datar. Sebelumnya Pytagoras telah membuat suatu model tata surya yang jauh berbeda dengan pandangan Aristoteles. Menurut Pytagoras dalam model tata suryanya, Bumi bukanlah pusat tata surya tapi letak Bumi, Bulan, Venus, Merkurius, Mars, Jupiter dan Saturnus bersama-sama mengitari suatu pusat yang oleh Pytagoras disebut sebagai titik api pusat. Dari sini sebenarnya kita bisa berpendapat bahwa teori Pytagoras telah menuju pada konsep Galaksi. Setelah beberapa abad kemudian manusia mendapatkan kenyataan bahwa Bumi bukan hanya berevolusi mengitari Matahari tapi juga bersama-sama Matahari berevolusi terhadap pusat Galaksi yang sekarang kita sebut sebagai Bima Sakti (Milky Way).
Sampai pada abad ke-15, teori Geosentris Aristoteles bertahan cukup lama sampai Nicolas Copernicus menemukan dan mengusulkan ide bahwa yang menjadi pusat tata surya bukanlah Bumi melainkan Matahari. Temuan dan usulannya ini mendukung usulan Aristacus yang sebelumnya telah menyatakan bahwa Mataharilah pusat tata surya. Sampai pada akhirnya usulan ini disebut sebagai teori Heliosentris (Helios artinya Matahari dalam bahasa Yunani). Teori ini telah banyak memakan korban, bukan hanya dari orang-orang awan yang percaya tapi juga dari kalangan ilmuwan. Di kalangan Gereja Ortodok, teori Aristoteles dianggap sebagai teori yang paling benar karena dianggap sesuai dengan yang tertulis dalam kitab suci sehingga mereka menganggap bahwa setiap teori baru yang menentang teori Aristoteles sama dengan menentang kitab suci dan yang menentang harus dihukum mati karena kalau tidak akan membawa umat pada jalan yang sesat.
Tak terkecuali ilmuwan sekelas Galileo pun mendapatkan perlakuan yang sama seperti para penganut heliosentris yang lain. Akan tetapi ilmuwan ini masih beruntung karena dia tidak sampai dihukum mati, melainkan hanya dikenakan hukuman tahanan rumah. Ironis memang, ilmuwan yang banyak mendapat ide justru dari gereja ini ternyata harus mendapat hukuman dari para petinggi gereja. Beberapa kejadian yang pernah tercatat adalah ketika dia memperhatikan lampu-lampu gantung gereja yang bergoyang tertiup angin. Saat itu dia mendapat kesimpulan bahwa yang ditempuh bandul (lampu-lampu gantung) adalah sama seberapa pun jauhnya dia terlontar. Setelah melakukan beberapa eksperimen, diketahui bahwa kecepatan gerakan bandul bukan ditentukan oleh seberapa jauh dia terlontar, melainkan oleh panjang tali penggantung bandul. Peristiwa lain yang juga cukup kita kenal adalah saat ilmuwan Italia ini membuktikan bahwa kecepatan benda jatuh tidaklah ditentukan oleh berat benda yang bersangkutan tapi ditentukan oleh bentuk benda yang berhubungan erat dengan gaya hambat udara. Pytagoras – Susunan tata surya menurut teori Pytagoras (Heliosentris) secara berurutan dimulai dari Api pusat,, Bumi, Bulan, Merkurius, Venus, Matahari, Mars, Jupiter, Saturnus.

Politik Aristoteles
Dari sederetan nama-nama filsuf, Aristoteles bisa disebut sebagai pemikir yang memberi kontribusi besar pada perkembangan ilmu politik. Karyanya yang berjudul  La Politica memiliki peran besar dalam perkembangan dasar-dasar ilmu politik hingga saat ini. Tak heran jika Alexander Agung pun terpana dengan pandangan-pandangan politiknya tentang negara. Selain La Politica, guru dari Alexander Agung ini juga menulis Ethica.
La Politica mengulas seluk beluk persoalan negara secara mendasar. Berisi banyak pertanyaan yang sederhana hingga memunculkan jawaban-jawaban yang tidak sederhana, bahkan menimbulkan efek berdebatan intelektual yang masih relevan dengan kondisi saat ini. Inilah kelebihan dari Aristoteles yang bisa dibilang memiliki pemikiran yang kritis, mendalam, holistik, dan visioner. Wajar saja karena beginilah salah satu ciri dari para pemikir di masa lampau. Hasil pemikirannya yang kontemplatif itu masih awet untuk dibaca kapanpun dan di manapun.
Selain memberikan sumbangan pemikiran pada Etika, metafisika, dan politik, filsuf yang paling berpengaruh di dunia Barat ini juga memberikan sumbangan terhadap peletakan dasar-dasar ilmu logika.  Pemikirannya adalah antitesa dari Plato. Ia lebih mengagumi penggunaan nalar yang rasional terukur.
Tentang negara amatlah menarik dari kacamata Aristoteles. Dalam bab pertamanya ia membuka dengan satu paragraf sebagai berikut: “Setiap negara adalah kumpulan masyarakat dan setiap masyarakat dibentuk dengan tujuan demi kebaikan, karena manusia bertindak untuk mencapai sesuatu yang mereka anggap baik. Namun, jika seluruh masyarakat bertujuan pada kebaikan, negara atau masyarakat politik memiliki kedudukan tertinggi dari yang lain dan meliputi elemen-elemen penunjang lainnya, serta bertujuan pada kebaikan yang tertinggi.”
Aristoteles pun mencermati tentang unit terkecil dari negara yang disebut sebagai keluarga.  Ia menjelaskan tentang manajemen rumah tangga. Seperti bagaimana seorang suami dan ayah mengatur istri dan anak-anaknya sesuai aturan yang berlaku.

BAB III
PENUTUP

*          Kesimpulan

Aristoteles merupakan salah seorang filsuf yang namanya bgitu melegenda. Karya serta kontribusinya dalam bentuk ilmu sangatlah berharga. Walaupun sebagai manusia kita tetap selalu membentuk citra positif terhadap karya orang lain, di sisi lain harus mencermati secara kritris tentang segala bentuk pola ataupun metode berpikir manusia.
Filsafat Aristoteles ini membahas tentang logika, kemudian dari logika ini berkembang lagi menjadi berbagai ilmu lainnya seperti fisika, metafisika, politik dan lain sebagainya.
Sampai saat ini tak bisa dipungkiri bahwa dunia pendidikan masih banyak menggunakan pemikiran Aristoteles. Bagi kita sebagai Muslim, seharusnya mengimbangi pemikiran manusia dengan apa yang telah dituliskan dalam Al-Qur’an, karena kita perlu menggali potensi nilai-nilai Qur’ani agar tidak terjerumus dalam kesesatan. Misalnya saja, kita bisa menghubungkan pemikiran Aristoteles (seperti fisika, astronomi, dan logika) dengan ilmu-ilmu yang telah ada di Al-Qur’an, karena sesungguhnya Allah yang lebih mengetahui ketimbang hambanya, dan dalam Al-Qur’an pun kita bisa mendapatkan ilmu yang sangat banyak jauh dibanding pemikiran manusia yang sifatnya sementara. Dan ketika kita semakin kritis dalam memaknai suatu hal, maka kita akan menemukan jawaban itu dalam berbagai versi.

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Filsafat Klasik - Aristoteles Description: Rating: 5 Reviewed By: Unknown
Scroll to Top