Dalam bahasa Persia, kata Hindu berakar dari kata Sindhu (Bahasa Sanskerta). Dalam Reg Weda, bangsa Arya menyebut wilayah mereka sebagai Sapta Sindhu (wilayah dengan tujuh sungai di barat daya anak benua India, yang salah satu sungai tersebut bernama sungai Indus). Hal ini mendekati dengan kata Hapta-Hendu yang termuat dalam Zend Avesta (Vendidad: Fargard 1.18) — sastra suci dari kaum Zoroaster di Iran. Pada awalnya kata Hindu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu. Hindu sendiri sebenarnya baru terbentuk setelah Masehi ketika beberapa kitab dari Weda digenapi oleh para brahmana.
Agama Hindu (Bahasa Sanskerta: Sanātana Dharma "Kebenaran Abadi"), dan Vaidika-Dharma ("Pengetahuan Kebenaran") adalah sebuah agama yang berasal dari anak benua India. Agama ini merupakan lanjutan dari agama Weda (Brahmanisme) yang merupakan kepercayaan bangsa Indo-Iran (Arya). Agama ini diperkirakan muncul antara tahun 3102 SM sampai 1300 SM dan merupakan agama tertua di dunia yang masih bertahan hingga kini. Agama ini merupakan agama ketiga terbesar di dunia setelah agama Kristen dan Islam dengan jumlah umat sebanyak hampir 1 miliar jiwa.
Penganut agama Hindu sebagian besar terdapat di anak benua India. Di sini terdapat sekitar 90% penganut agama ini. Agama ini pernah tersebar di Asia Tenggara sampai kira-kira abad ke-15, lebih tepatnya pada masa keruntuhan Majapahit. Mulai saat itu agama ini digantikan oleh agama Islam dan juga Kristen. Pada masa sekarang, mayoritas pemeluk agama Hindu di Indonesia adalah masyarakat Bali, selain itu juga yang tersebar di pulau Jawa,Lombok, Kalimantan (Suku Dayak Kaharingan), Sulawesi (Toraja dan Bugis - Sidrap).
Suku Bangsa yang Membangun Agama Hindu di India
Bangsa Dravida
Penduduk India yang asli pada waktu bangsa Arya menyerbu ke India terutama masuk bangsa Dravida. Bangsa ini ialah penduduk asli yang diketemukan menduduki Harappa di Punyab dan di sebelah utara kota Karachi pada tahun 3000 – 2000 s.M. Mula – mula mereka tinggal tersebar di seluruh India, tetapi lama – kelamaan hanya tinggal di sebelah selatan dan memerintah negerinya sendiri. Di sebelah utara mereka hidup di daerah jajahan penjajah. Mereka adalah bangsa yang berkulit hitam, berhidung pipih, berperawakan kecil dengan rambut keriting. Bangsa Dravida mempunyai peradaban tinggi waktu itu, ternyata di daerah Punyab dan lereng sungai Gangga terdapat daerah yang subur yang sudah dikerjakan oleh mereka. Di kota Mohenyo Daro dan Harappa, mereka sudah dapat membuat rumah – rumah batu, bercocok tanam, dan pandai berlayar menyusuri pantai.
Bangsa Arya
Bangsa Arya adalah bangsa yang masuk ke India pada tahun 2000 – 1000 s.M. dari sebelah utara. Mereka adalah kaum yang memisahkan diri dari bangsanya di Iran dan memasuki India melalui jurang – jurang di pegunungan Hindu Kush, Bangsa Arya itu serumpun dengan bangsa German, Yunani, Romawi dan bangsa – bangsa lainnya di Eropa dan Asia.
Bangsa Arya menetap di dataran sungai Sindhu. Karakteristik mereka adalah berkulit putih, berbadan tegap, dan bentuk hidungnya melengkung sedikit. Kemudian mereka telah jauh memasuki India sampai di tepi sungai Gangga dan sampai di sebelah selatan. Mereka di sana melakukan akulturasi budaya sehingga muncullah kebudayaan India.
A. SEJARAH LAHIR DAN PERKEMBANGAN AGAMA HINDU
Agama Hindu adalah agama yang mempunyai usia terpanjang merupakan agama yang pertama dikenal oleh manusia. Dalam uraian ini akan dijelaskan kapan dan dimana agama itu diwahyukan dan uraian singkat tentang proses perkembangannya. Agama Hindu adalah agama yang telah melahirkan kebudayaan yang sangat kompleks dibidang astronomi, ilmu pertanian, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Karena luas dan terlalu mendetailnya jangkauan pemaparan dari agama Hindu, kadang-kadang terasa sulit untuk dipahami.
NAMA AWAL DARI AGAMA HINDU
Sanatana Dharma, artinya “kebenaran yang abadi” (“righteousness forever”) dari “yang tidak memiliki awal dan akhir” adalah nama aslinya. Adalah orang-orang Persia yang menyerbu India pada abad 6 sebelum masehi, yang memberikan nama Hindu. Kata ini berasal dari akar kata “Indus”. Beberapa ahli mengatakan kata ini berasal dari satu kata Persia yang berarti “sungai rakyat.”
Dengan nama Sanathana Dharma, agama Hindu menyatakan dirinya kepada dunia bahwa kebenaran abadi akan ada untuk selamanya, dan para Rishi kebetulan yang pertama-tama membuka kerannya. Santo Agustinus pada bagiannya mengatakan, “Agama yang benar sudah (senantiasa) ada dan (agama yanag sudah ada itu) menjadi Kristen setelah kemunculan Yesus Kristus.” Demikianlah kebenaran yang sama dapat ditemukan oleh siapa saja yang mencari kebenaran itu tanpa mengenal lelah, bahkan kalaupun dia sama sekali tidak memiliki ide mengenai agama Hindu.
Sama seperti para ilmuwan di seluruh dunia, sewaktu-waktu tanpa sengaja menemukan penemuan yang sama, kebenaran abadi dikenal oleh para Sufi, Buddha, Socrates, Nanak dan lain-lain sekalipun mereka tahu ataupun tidak tahu sepatah katapun mengenai kitab-kitab suci Hindu.
AGAMA HINDU DI INDIA
Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 fase, yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India pada jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa. Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada jaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap Dewa-dewa.
Jaman Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang disebut "Rta". Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.
Pada Jaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Jaman Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya "Tata Cara Upacara" beragama yang teratur. Kitab Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.
Sedangkan pada Jaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini muncullah ajaran filsafat yang tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.
Selanjutnya, pada Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama "Sidharta", menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan. Agama Hindu, dari India Selatan menyebar sampai keluar India melalui beberapa cara. Dari sekian arah penyebaran ajaran agama Hindu sampai juga di Nusantara.
MASUKNYA AGAMA HINDU DI INDONESIA
Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertama kalinya berkembang di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi menerima wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang masuknya Agama Hindu ke Indonesia.
Krom (ahli - Belanda), dengan teori Waisya.
Dalam bukunya yang berjudul "Hindu Javanesche Geschiedenis", menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.
Mookerjee (ahli - India tahun 1912).
Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.
Moens dan Bosch (ahli - Belanda)
Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.
AGAMA HINDU DI INDONESIA
Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi dengan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: "Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman". Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan "Vaprakeswara".
Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa.
Dari prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa "Raja Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu"
Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.
Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi: "Sruti indriya rasa", Isinya memuat tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.
Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.
Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu yang setia.
Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.
Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku Negarakertagama.
Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.
Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.
Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).
Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun 1925 di Singaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Pengaruh Masuknya Agama Hindu di Nusantara
Masuknya unsur-unsur budaya Hindu Budha dari India telah mengubah dan menambah khasanah budaya Indonesia dalam beberapa aspek kehidupan seperti :
1. Di Bidang Agama
Sebelum mendapat pengaruh agama-agama dari India, penduduk nusantara telah memiliki kepercayaan :
Animisme
Keyakinan adanya berbagai roh yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya. Tingkatan tinggi dari animisme adalah pemujaan kepada roh para leluhur.
Dinamisme
Kepercayaan tentang adanya kekuatan gaib yang luar biasa pada benda-benda tertentu : rambut, kepala, batu, akik, dan lain-lain.
Totemisme
Kepercayaan kepada binatang sebagai lambang nenek moyang.
Animatisme
Kepercayaan bahwa benda / pohon tertentu berjiwa dan berfikir seperti manusia : keris, pohon beringin, dan lain-lain.
Fetisisme
Kepercayaan adanya jiwa dalam benda-benda tertentu.
Dengan masuknya budaya India, penduduk nusantara secara berangsur-angsur memeluk agama Hindu dan Budha diawali oleh lapisan elit para datu dan keluarganya. Walaupun demikian, lapisan bawah terutama di pedesaan masih banyak yang tetap menganut kepercayaan asli berupa pemujaan kepada nenek moyang. Dalam perkembangan, agama Hindu-Budha berpadu menjadi agama Siwa Budha. Bahkan agama campuran ini masih diwarnai dengan kepercayaan-kepercayaan asli nusantara.
2. Di Bidang Sosial dan Pemerintahan
Sistem masyarakat di nusantara sebelum kedatangan pengaruh budaya India,diatur dan dibedakan berdasarkan profesi : petani, perajin, peramu, dan lain-lain. Dengan masuknya pengaruh budaya India. Sistem masyarakat ditata berdasarkan sistem kasta : brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Meskipun dalam pelaksanaan di Indonesia tidak dilakukan pembedaan secara ketat. Pada puncak pemerintahan, atau pucuk sistem masyarakat sebelum datangnya budaya pengaruh India terdapat para pemimpin :
Ketua Suku, Ketua adat, dengan gelar Datu / Datuk, Ratu dan Raka. Sejak datangnya pengaruh budaya India, para Datu / Ratu berganti gelar Raja / Maharaja. Meskipun posisi tidak berubah tetap sebagai pucuk pimpinan dalam pemerintahan. Dengan adanya sistem kasta, para dukun / ahli nujum, yang menjadi penasehat Datu / Ratu, meskipun bergelar Brahmana, posisi tetap di bawah raja, rakyat merdeka tetap sebagai waisya, dan para budak tetap sebagai kaum sudra.
3. Di Bidang Arsitektur
Sebelum masuknya pengaruh India, di Indonesia telah dikenal tradisi Megalitikum berupa bangunan Punden berundak. Bentuk bangunan ini berpadu dengan budaya India dan di Nusantara terwujud dalam bentuk bangunan Candi. Hal ini dapat kita saksikan pada bentuk bangunan Candi Borobudur
4. Di Bidang Bahasa dan Tulisan
Pengaruh dari India telah membawa budaya tulisan ke Indonesia. Bahasa Sanksekerta yang berasal dari India juga banyak digunakan di kerajaan-kerajaan Nusantara. Hingga saat ini bangsa Indonesia masih banyak menggunakan bahasa Sanksekerta yang diserap ke dalam bahasa Indonesia.
Karya-karya sastra dari India seperti Ramayana dan Mahabaratha banyak mempengaruhi karya-karya pujangga di Nusantara. Karya-karya sastra yang muncul dengan pengaruh India antara lain:
Arjunawiwaha, karya Mpu Kanwa
Sutasoma, karya Mpu Tantular
Negarakertagama, karya Mpu Prapanca
B. AJARAN-AJARAN AGAMA HINDU
a. DASAR-DASAR AGAMA HINDU
Agama Hindu ini merupakan agama brahma yang sudah bercampur dengan ajaran-ajaran agama Budha kebudayaan Dravida dan filsafat India lainnya. Itulah sebabnya bahwa agama Hindu sering juga disebut orang agama brahma. Secara ringkas perkembangan agama Brahma yaitu perkembangan filsafat Veda yang sering disebut orang dengan nama agama Veda. Agama Brahma dalam perkembangannya tidak dapat terlepas dari perkembangan agama sebelumnya. Prof. Blecker mengatakan dalam bukunya “pertemuan agama-agama dunia” : “Biasanya Brahmanisme itu dikatan kelanjutan dari Vedisme. Tidak mudah untuk menunjukkan dimana titik peralihannya. Begitu juga dengan mempersoalkan dimana perbatasan antara Brahmanisme dan Hinduisme”.
Kebudayaan India terjadi pada saat bangsa Arya yang berasal dari Iran memasuki India melalui jurang-jurang di pegunungan Hindu Kush. Mereka tergolong dalam rumpun Indo-German. Setelah datang di India mereka menetap didataran sungai Shindu yang pada zaman itu masih subur. Jadi di daerah itu mereka menjumpai suatu peradaban tua. Dimana sebelum bangsa Arya itu tiba di India sudah ada bangsa Dravida yaitu penduduk India asli. Mereka adalah bangsa yang berkulit hitam dan berhidung pipih, berperawakan kecil dengan rambut keriting. Bangsa Dravida mempunyai peradaban tinggi waktu itu, mereka pandai bercocok tanam dan juga pandai berlayar menyusur pantai. Sedangkan bangsa Arya, mereka berkulit putih dan berbadan tegap, bentuk hidungnya melengkung sedikit.
Kemudian bangsa Arya telah jauh memasuki India sampa di tepi sungai Gangga dan sampai di sebelah selatan, di situlah bangsa Dravida tinggal. Dan di situ mereka makin bercampur dan dengan demikian terwujudlah suatu kesatuan. Berkat peleburan kebudayaan Dravida yang tua itu dengan kebudayaan Arya maka terjadilah kebudayaan India.
Bangsa Arya yang menduduki India dengan membawa kebudayaan yang tinggi, lama-kelamaan menduduki keseluruhan dataran sungai Indus dan Gangga. Daerah ini mereka namakan Aryavarta, artinya tanah bangsa Arya, atau Hindustan, negeri orang Hindu.
Mereka telah memiliki suatu agama yang didasarkan pada kitab-kitab Weda. Kitab-kitab suci Weda lambat laun menjadi sumber sejarah dan agama, dasar masyarakat dan undang-undang. Kitab-kitab lainnya seperti kitab-kitab Brahmana dan Upanishad ditulis sesudah kitab weda berkembang. Dengan tambahan kitab-kitab ini menyebabkan zaman weda mendapat corak yang kelihatan lebih sempurna dan dinamai zaman Brahmana.
Kitab-kitab Brahmana itu berisikan uraian kitab-kitab Upanishad yang berisi kupasan-kupasan tentang ketuhanan dan makna hidup untuk setiap Wedasamhita, Brahmana dan Upanishadnya sendiri-sendiri. Dari kitab-kitab Weda seluruhnya itu dapatlah diikuti perkembangan keagamaan dan alam pikiran yang menjadi dasar bagi timbulnya agama Hindu.
b. KEYAKINAN DALAM AGAMA HINDU
Hindu seringkali dianggap sebagai agama yang beraliran politeisme karena memuja banyak Dewa, namun tidaklah sepenuhnya demikian. Dalam agama Hindu, Dewa bukanlah Tuhan tersendiri. Menurut umat Hindu, Tuhan itu Maha Esa tiada duanya. Dalam salah satu ajaran filsafat Hindu, Adwaita Wedanta menegaskan bahwa hanya ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang ada (Brahman), yang memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam bentuk.
Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Pancasradha. Pancasradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan tersebut, yakni:
Widhi Tattwa
Omkara. Aksara suci bagi umat Hindu yang melambangkan "Brahman" atau "Tuhan Sang Pencipta".
Widhi Tattwa merupakan konsep kepercayaan terdapat Tuhan yang Maha Esa dalam pandangan Hinduisme. Agama Hindu yang berlandaskan Dharma menekankan ajarannya kepada umatnya agar meyakini dan mengakui keberadaan Tuhan yang Maha Esa. Dalam filsafat Adwaita Wedanta dan dalam kitab Weda, Tuhan diyakini hanya satu namun orang bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama. Dalam agama Hindu, Tuhan disebut Brahman. Filsafat tersebut tidak mengakui bahwa dewa-dewi merupakan Tuhan tersendiri atau makhluk yang menyaingi derajat Tuhan
Atma Tattwa
Atma tattwa merupakan kepercayaan bahwa terdapat jiwa dalam setiap makhluk hidup. Dalam ajaran Hinduisme, jiwa yang terdapat dalam makhluk hidup merupakan percikan yang berasal dari Tuhan dan disebut Atman. Jivatma bersifat abadi, namun karena terpengaruh oleh badan manusia yang bersifat maya, maka Jiwatma tidak mengetahui asalnya yang sesungguhnya. Keadaan itu disebut Awidya. Hal tersebut mengakibatkan Jiwatma mengalami proses reinkarnasi berulang-ulang. Namun proses reinkarnasi tersebut dapat diakhiri apabila Jivatma mencapai moksa
Karmaphala
Agama Hindu mengenal hukum sebab-akibat yang disebut Karmaphala (karma = perbuatan; phala = buah/hasil) yang menjadi salah satu keyakinan dasar. Dalam ajaran Karmaphala, setiap perbuatan manusia pasti membuahkan hasil, baik atau buruk. Ajaran Karmaphala sangat erat kaitannya dengan keyakinan tentang reinkarnasi, karena dalam ajaran Karmaphala, keadaan manusia (baik suka maupun duka) disebabkan karena hasil perbuatan manusia itu sendiri, baik yang ia lakukan pada saat ia menjalani hidup maupun apa yang ia lakukan pada saat ia menjalani kehidupan sebelumnya. Dalam ajaran tersebut, bisa dikatakan manusia menentukan nasib yang akan ia jalani sementara Tuhan yang menentukan kapan hasilnya diberikan (baik semasa hidup maupun setelah reinkarnasi)
Punarbhawa
Punarbhawa merupakan keyakinan bahwa manusia mengalami reinkarnasi. Dalam ajaran Punarbhawa, reinkarnasi terjadi karena jiwa harus menanggung hasil perbuatan pada kehidupannya yang terdahulu. Apabila manusia tidak sempat menikmati hasil perbuatannya seumur hidup, maka mereka diberi kesempatan untuk menikmatinya pada kehidupan selanjutnya. Maka dari itu, munculah proses reinkarnasi yang bertujuan agar jiwa dapat menikmati hasil perbuatannya (baik atau buruk) yang belum sempat dinikmati. Proses reinkarnasi diakhiri apabila seseorang mencapai kesadaran tertinggi (moksa).
Moksa
Varanasi di Sungai Gangga, sungai suci Hindu. Varanasi menarik ribuan umat Hindu setiap tahun.
akhir yang ingin dicapai oleh umat Hindu.
Dalam keyakinan umat Hindu, Moksa merupakan suatu keadaan di mana jiwa merasa sangat tenang dan menikmati kebahagiaan yang sesungguhnya karena tidak terikat lagi oleh berbagai macam nafsu maupun benda material. Pada saat mencapai keadaan Moksa, jiwa terlepas dari siklus reinkarnasi sehingga jiwa tidak bisa lagi menikmati suka-duka di dunia. Oleh karena itu, Moksa menjadi tujuan
c. KONSEP KETUHANAN
Salah satu bentuk penerapan monoteisme Hindu di Indonesia adalah konsep Padmasana, sebuah tempat sembahyang Hindu untuk memuja Brahman atau "Tuhan Sang Penguasa".
Seorang perempuan Hindu Bali sedang menempatkan sesaji di tempat suci keluarganya.
Kuil Hindu di caldeira Bromo, pegunungan Tengger, Jawa Timur
Agama Hindu merupakan agama tertua di dunia dan rentang sejarahnya yang panjang menunjukkan bahwa agama Hindu telah melewati segala paham ketuhanan yang pernah ada di dunia. Menurut penelitian yang dilakukan oleh para sarjana, dalam tubuh Agama Hindu terdapat beberapa konsep ketuhanan, antara lain henoteisme, panteisme, monisme, monoteisme, politeisme, dan bahkan ateisme. Konsep ketuhanan yang paling banyak dipakai adalah monoteisme (terutama dalam Weda, Agama Hindu Dharma dan Adwaita Wedanta), sedangkan konsep lainnya (ateisme, panteisme, henoteisme, monisme, politeisme) kurang diketahui. Sebenarnya konsep ketuhanan yang jamak tidak diakui oleh umat Hindu pada umumnya karena berdasarkan pengamatan para sarjana yang meneliti agama Hindu tidak secara menyeluruh.
Monoteisme
Dalam agama Hindu pada umumnya, konsep yang dipakai adalah monoteisme. Konsep tersebut dikenal sebagai filsafat Adwaita Wedanta yang berarti "tak ada duanya". Selayaknya konsep ketuhanan dalam agama monoteistik lainnya, Adwaita Wedanta menganggap bahwa Tuhan merupakan pusat segala kehidupan di alam semesta, dan dalam agama Hindu, Tuhan dikenal dengan sebutan Brahman.
Dalam keyakinan umat Hindu, Brahman merupakan sesuatu yang tidak berawal namun juga tidak berakhir. Brahman merupakan pencipta sekaligus pelebur alam semesta. Brahman berada di mana-mana dan mengisi seluruh alam semesta. Brahman merupakan asal mula dari segala sesuatu yang ada di dunia. Segala sesuatu yang ada di alam semesta tunduk kepada Brahman tanpa kecuali. Dalam konsep tersebut, posisi para dewa disetarakan dengan malaikat dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhan tersendiri, melainkan dipuji atas jasa-jasanya sebagai perantara Tuhan kepada umatnya.
Filsafat Adwaita Wedanta menganggap tidak ada yang setara dengan Brahman, Sang pencipta alam semesta. Dalam keyakinan umat Hindu, Brahman hanya ada satu, tidak ada duanya, namun orang-orang bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama sesuai dengan sifatnya yang maha kuasa. Nama-nama kebesaran Tuhan kemudian diwujudkan ke dalam beragam bentuk Dewa-Dewi, seperti misalnya: Wisnu, Brahma, Siwa, Laksmi, Parwati, Saraswati, dan lain-lain. Dalam Agama Hindu Dharma (khususnya di Bali), konsep Ida Sang Hyang Widhi Wasa merupakan suatu bentuk monoteisme asli orang Bali.
Panteisme
Dalam salah satu Kitab Hindu yakni Upanishad, konsep yang ditekankan adalah panteisme. Konsep tersebut menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki wujud tertentu maupun tempat tinggal tertentu, melainkan Tuhan berada dan menyatu pada setiap ciptaannya, dan terdapat dalam setiap benda apapun[10], ibarat garam pada air laut. Dalam agama Hindu, konsep panteisme disebut dengan istilah Wyapi Wyapaka. Kitab Upanishad dari Agama Hindu mengatakan bahwa Tuhan memenuhi alam semesta tanpa wujud tertentu, beliau tidak berada di surga ataupun di dunia tertinggi namun berada pada setiap ciptaannya.
Ateisme
Agama Hindu diduga memiliki konsep ateisme (terdapat dalam ajaran Samkhya) yang dianggap positif oleh para teolog/sarjana dari Barat. Samkhya merupakan ajaran filsafat tertua dalam agama Hindu yang diduga menngandung sifat ateisme. Filsafat Samkhya dianggap tidak pernah membicarakan Tuhan dan terciptanya dunia beserta isinya bukan karena Tuhan, melainkan karena pertemuan Purusha dan Prakirti, asal mula segala sesuatu yang tidak berasal dan segala penyebab namun tidak memiliki penyebab. Oleh karena itu menurut filsafat Samkhya, Tuhan tidak pernah campur tangan. Ajaran filsafat ateisme dalam Hindu tersebut tidak ditemui dalam pelaksanaan Agama Hindu Dharma di Indonesia, namun ajaran filsafat tersebut (Samkhya) merupakan ajaran filsafat tertua di India. Ajaran ateisme dianggap sebagai salah satu sekte oleh umat Hindu Dharma dan tidak pernah diajarkan di Indonesia.
Konsep lainnya
Di samping mengenal konsep monoteisme, panteisme, dan ateisme yang terkenal, para sarjana mengungkapkan bahwa terdapat konsep henoteisme, politeisme, dan monisme dalam ajaran agama Hindu yang luas. Ditinjau dari berbagai istilah itu, agama Hindu paling banyak menjadi objek penelitian yang hasilnya tidak menggambarkan kesatuan pendapat para Indolog sebagai akibat berbedanya sumber informasi. Agama Hindu pada umumnya hanya mengakui sebuah konsep saja, yakni monoteisme. Menurut pakar agama Hindu, konsep ketuhanan yang banyak terdapat dalam agama Hindu hanyalah akibat dari sebuah pengamatan yang sama dari para sarjana dan tidak melihat tubuh agama Hindu secara menyeluruh[12]. Seperti misalnya, agama Hindu dianggap memiliki konsep politeisme namun konsep politeisme sangat tidak dianjurkan dalam Agama Hindu Dharma dan bertentangan dengan ajaran dalam Weda.
Meskipun banyak pandangan dan konsep Ketuhanan yang diamati dalam Hindu, dan dengan cara pelaksanaan yang berbeda-beda sebagaimana yang diajarkan dalam Catur Yoga, yaitu empat jalan untuk mencapai Tuhan, maka semuanya diperbolehkan. Mereka berpegang teguh kepada sloka yang mengatakan:
“
|
Jalan mana pun yang ditempuh manusia kepada-Ku, semuanya Aku terima dan Aku beri anugerah setimpal sesuai dengan penyerahan diri mereka. Semua orang mencariku dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)
|
”
|
d. PUSTAKA SUCI
Ajaran agama dalam Hindu didasarkan pada kitab suci atau susastra suci keagamaan yang disusun dalam masa yang amat panjang dan berabad-abad, yang mana di dalamnya memuat nilai-nilai spiritual keagamaan berikut dengan tuntunan dalam kehidupan di jalan dharma. Di antara susastra suci tersebut, Weda merupakan yang paling tua dan lengkap, yang diikuti dengan Upanishad sebagai susastra dasar yang sangat penting dalam mempelajari filsafat Hindu. Sastra lainnya yang menjadi landasan penting dalam ajaran Hindu adalah Tantra, Agama dan Purana serta kedua Itihasa (epos), yaitu Ramayana dan Mahabharata. Bhagawadgita adalah ajaran yang dimuat dalam Mahabharata, merupakan susastra yang dipelajari secara luas, yang sering disebut sebagai ringkasan dari Weda.
Hindu meliputi banyak aspek keagamaan, tradisi, tuntunan hidup, serta aliran/sekte. Umat Hindu meyakini akan kekuasaan Yang Maha Esa, yang disebut dengan Brahman dan memuja Brahma, Wisnu atau Siwa sebagai perwujudan Brahman dalam menjalankan fungsi sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta.
Secara umum, pustaka suci Hindu dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kitab Sruti dan kelompok kitab Smerti.
· Sruti berarti "yang didengar" atau wahyu. Yang tergolong kitab Sruti adalah kitab-kitab yang ditulis berdasarkan wahyu Tuhan, seperti misalnya Weda, Upanishad, dan Bhagawadgita. Dalam perkembangannya, Weda dan Upanishad terbagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil, seperti misalnya Regweda dan Isopanishad. Kitab Weda berjumlah empat bagian sedangkan kitab Upanishad berjumlah sekitar 108 buah.
· Smerti berarti "yang diingat" atau tradisi. Yang tergolong kitab Smerti adalah kitab-kitab yang tidak memuat wahyu Tuhan, melainkan kitab yang ditulis berdasarkan pemikiran dan renungan manusia, seperti misalnya kitab tentang ilmu astronomi, ekonomi, politik, kepemimpinan, tata negara, hukum, sosiologi, dan sebagainya. Kitab-kitab smerti merupakan penjabaran moral yang terdapat dalam kitab Sruti.
Kitab Regweda dalam aksara Dewanagari dari abad ke-19.
Krishna Dwaipayana Wyasa, seorang Maharesi yang mengklasifikasi kitab Weda.
Weda
Weda merupakan kitab suci yang menjadi sumber segala ajaran agama Hindu. Weda merupakan kitab suci tertua di dunia karena umurnya setua umur agama Hindu. Weda berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari kata vid yang berarti "tahu". Kata Weda berarti "pengetahuan". Para Maha Rsi yang menerima wahyu Weda jumlahnya sangat banyak, namun yang terkenal hanya tujuh saja yang disebut Saptaresi. Ketujuh Maha Rsi tersebut yakni:
1. Resi Gritsamada
2. Resi Wasista
3. Resi Atri
4. Resi Wiswamitra
5. Resi Wamadewa
6. Resi Bharadwaja
7. Resi Kanwa
Ayat-ayat yang diturunkan oleh Tuhan kepada para Maha Rsi tersebut tidak terjadi pada suatu zaman yang sama dan tidak diturunkan di wilayah yang sama. Resi yang menerima wahyu juga tidak hidup pada masa yang sama dan tidak berada di wilayah yang sama dengan resi lainnya, sehingga ribuan ayat-ayat tersebut tersebar di seluruh wilayah India dari zaman ke zaman, tidak pada suatu zaman saja. Agar ayat-ayat tersebut dapat dipelajari oleh generasi seterusnya, maka disusunlah ayat-ayat tersebut secara sistematis ke dalam sebuah buku. Usaha penyusunan ayat-ayat tersebut dilakukan oleh Bagawan Byasa atau Krishna Dwaipayana Wyasa dengan dibantu oleh empat muridnya, yaitu: Bagawan Pulaha, Bagawan Jaimini, Bagawan Wesampayana, dan Bagawan Sumantu.
Setelah penyusunan dilakukan, ayat-ayat tersebut dikumpulkan ke dalam sebuah kitab yang kemudian disebut Weda. Sesuai dengan isinya, Weda terbagi menjadi empat, yaitu:
1. Regweda Samhita
2. Ayurweda Samhita
3. Samaweda Samhita
4. Atharwaweda Samhita
Keempat kitab tersebut disebut "Caturweda Samhita". Selain keempat Weda tersebut, Bhagawadgita yang merupakan intisari ajaran Weda disebut sebagai "Weda yang kelima".
Bhagawadgita
Bhagawadgita merupakan suatu bagian dari kitab Bhismaparwa, yakni kitab keenam dari seri Astadasaparwa kitab Mahabharata, yang berisi percakapan antara Sri Kresna dengan Arjuna menjelang Bharatayuddha terjadi.
Diceritakan bahwa Arjuna dilanda perasaan takut akan kemusnahan Dinasti Kuru jika Bharatayuddha terjadi. Arjuna juga merasa lemah dan tidak tega untuk membunuh saudara dan kerabatnya sendiri di medan perang. Dilanda oleh pergolakan batin antara mana yang benar dan mana yang salah, Arjuna bertanya kepada Kresna yang mengetahui dengan baik segala ajaran agama.
Kresna yang memilih menjadi kusir kereta Arjuna menjelaskan dengan panjang lebar ajaran-ajaran ketuhanan dan kewajiban seorang kesatria agar dapat membedakan antara yang baik dengan yang salah. Ajaran tersebut kemudian dirangkum menjadi sebuah kitab filsafat yang sangat terkenal yang bernama Bhagawadgita.
Bhagawadgita terdiri dari delapan belas bab dan berisi ± 650 sloka. Setiap bab menguraikan jawaban-jawaban yang diajukan oleh Arjuna kepada Kresna. Jawaban-jawaban tersebut merupakan wejangan suci sekaligus pokok-pokok ajaran Weda.
Salah satu ilustrasi dalam kitab Warahapurana.
Sebuah ilustrasi dalam kitab Mahabharata, salah satu Itihasa (wiracarita Hindu).
Purana
Purana adalah bagian dari kesusastraan Hindu yang memuat mitologi, legenda, dan kisah-kisah zaman dulu. Kata Purana berarti "sejarah kuno" atau "cerita kuno". Penulisan kitab-kitab Purana diperkirakan dimulai sekitar tahun 500 SM. Terdapat delapan belas kitab Purana yang disebut Mahapurana. Adapun kedelapan belas kitab tersebut yakni:
1. Matsyapurana
2. Wisnupurana
4. Warahapurana
5. Wamanapurana
7. Bayupurana
8. Agnipurana
9. Naradapurana
|
10. Garudapurana
11. Linggapurana
12. Padmapurana
13. Skandapurana
14. Bhawisyapurana
15. Brahmapurana
16. Brahmandapurana
18. Kurmapurana
|
Itihasa
Itihasa adalah suatu bagian dari kesusastraan Hindu yang menceritakan kisah kepahlawanan para raja dan kesatria Hindu di masa lampau dan dikombinasikan dengan filsafat agama, mitologi, dan cerita tentang makhluk supranatural, yang merupakan manifestasi kekuatan Brahman. Kitab Itihasa disusun oleh para Resi dan pujangga India masa lampau, seperti misalnya Resi Walmiki dan Resi Byasa. Itihasa yang terkenal ada dua, yaitu Ramayana dan Mahabharata.
Kitab lainnya
Selain kitab Weda, Bhagawadgita, Upanishad, Purana dan Itihasa, agama Hindu mengenal berbagai kitab lainnya seperti misalnya: Tantra, Jyotisha, Darsana, Salwasutra, Nitisastra, Kalpa, Chanda, dan lain-lain. Kebanyakan kitab tersebut tergolong ke dalam kitab Smerti karena memuat ajaran astronomi, ilmu hukum, ilmu tata negara, ilmu sosial, ilmu kepemimpinan, ilmu bangunan dan pertukangan, dan lain-lain.
Kitab Tantra memuat tentang cara pemujaan masing-masing sekte dalam agama Hindu. Kitab Tantra juga mengatur tentang pembangunan tempat suci Hindu dan peletakkan arca. Kitab Nitisastra memuat ajaran kepemimpinan dan pedoman untuk menjadi seorang pemimpin yang baik. Kitab Jyotisha merupakan kitab yang memuat ajaran sistem astronomi tradisional Hindu. Kitab Jyotisha berisi pedoman tentang benda langit dan peredarannya. Kitab Jyotisha digunakan untuk meramal dan memperkirakan datangnya suatu musim.
Karakteristik
Ritual Keagamaan Hindu di Candi Prambanan, Yogyakarta, Indonesia.
Dalam agama Hindu, seorang umat berkontemplasi tentang misteri Brahman dan mengungkapkannya melalui mitos yang jumlahnya tidak habis-habisnya dan melalui penyelidikan filosofis. Mereka mencari kemerdekaan dari penderitaan manusia melalui praktik-praktik askese atau meditasi yang mendalam, atau dengan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui cinta kasih, bakti dan percaya (Sradha).
Umat Hindu juga menyebut agamanya sebagai Sanatana Dharma yang artinya Dharma yang kekal abadi.
Menurut kepercayaan para penganutnya, ajaran Hindu langsung diajarkan oleh Tuhan sendiri, yang turun atau menjelma ke dunia yang disebut Awatara. Misalnya Kresna, adalah penjelmaan Tuhan ke dunia pada zaman Dwaparayuga, sekitar puluhan ribu tahun yang lalu[14]. Ajaran Kresna atau Tuhan sendiri yang termuat dalam kitab Bhagawadgita, adalah kitab suci Hindu yang utama. Bagi Hindu, siapapun berhak dan memiliki kemampuan untuk menerima ajaran suci atau wahyu dari Tuhan asalkan dia telah mencapai kesadaran atau pencerahan. Oleh sebab itu dalam agama Hindu wahyu Tuhan bukan hanya terbatas pada suatu zaman atau untuk seseorang saja. Bahwa wahyu Tuhan yang diturunkan dari waktu ke waktu pada hakekatnya adalah sama, yaitu tentang kebenaran, kasih sayang, kedamaian, tentang kebahagiaan yang kekal abadi, tentang hakekat akan diri manusia yang sebenarnya dan tentang dari mana manusia lahir dan mau ke mana manusia akan pergi, atau apa tujuan yang sebenarnya manusia hidup ke dunia.
e. KONSEP HINDU
Hindu memiliki beragam konsep keagamaan yang diterapkan sehari-hari. Konsep-konsep tersebut meliputi pelaksanaan yajña, sistem Catur Warna (kasta), pemujaan terhadap Dewa-Dewi, Trihitakarana, dan lain-lain.
Dewa-Dewi Hindu
Dalam ajaran agama Hindu, Dewa adalah makhluk suci, makhluk supernatural, penghuni surga, setara dengan malaikat, dan merupakan manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Kata “dewa” berasal dari kata “div” yang berarti “bersinar”. Dalam kitab suci Reg Weda, Weda yang pertama, disebutkan adanya 33 Dewa, yang mana ketiga puluh tiga Dewa tersebut merupakan manifestasi dari kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Di antara Dewa-Dewi dalam agama Hindu, yang paling terkenal sebagai suatu konsep adalah: Brahmā, Wisnu, Siwa. Mereka disebut Trimurti.
Dalam kitab-kitab Weda dinyatakan bahwa para Dewa tidak dapat bergerak bebas tanpa kehendak Tuhan. Para Dewa juga tidak dapat menganugerahkan sesuatu tanpa kehendak Tuhan. Para Dewa, sama seperti makhluk hidup yang lainnya, bergantung kepada kehendak Tuhan. Filsafat Advaita (yang berarti: “tidak ada duanya”) menyatakan bahwa tidak ada yang setara dengan Tuhan dan para Dewa hanyalah perantara antara beliau dengan umatnya.
Sistem Catur Warna (Golongan Masyarakat)
Dalam agama Hindu, dikenal istilah Catur Warna bukan sama sekali dan tidak sama dengan kasta. Karena di dalam ajaran Pustaka Suci Weda, tidak terdapat istilah kasta. yang ada hanyalah istilah Catur Warna. Dalam ajaran Catur Warna, masyarakat dibagi menjadi empat golongan, yaitu:
Menurut ajaran catur Warna, status seseorang didapat sesuai dengan pekerjaannya. Jadi, status seseorang tidak didapat semenjak dia lahir melainkan didapat setelah ia menekuni suatu profesi atau ahli dalam suatu bidang tertentu. Catur Warna menekankan seseorang agar melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Keempat golongan sangat dianjurkan untuk saling membantu agar mereka dapat memperoleh hak. Dalam sistem Catur Warna terjadi suatu siklus “memberi dan diberi” jika keempat golongan saling memenuhi kewajibannya.
Pelaksanaan ritual (Yajña)
Dalam ajaran Hindu, Yajña merupakan pengorbanan suci secara tulus ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada para leluhur, kepada sesama manusia, dan kepada alam semesta. Biasanya diwujudkan dalam ritual yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan umat Hindu. Tujuan pengorbanan tersebut bermacam-macam, bisa untuk memohon keselamatan dunia, keselamatan leluhur, maupun sebagai kewajiban seorang umat Hindu. Bentuk pengorbanan tersebut juga bermacam-macam, salah satunya yang terkenal adalah Ngaben, yaitu ritual yang ditujukan kepada leluhur (Pitra Yadnya).
èSekte (aliran) dalam Hindu
Jalan yang dipakai untuk menuju Tuhan (Hyang Widhi) jalurnya beragam, dan kemudian dikenallah para dewa. Dewa yang tertinggi dijadikan sarana untuk mencapai Hyang Widhi. Aliran terbesar agama Hindu saat ini adalah dari golongan Sekte Waisnawa yaitu menonjolkan kasih sayang dan bersifat memelihara; yang kedua terbesar ialah Sekte Siwa sebagai pelebur dan pengembali yang menjadi tiga sekte besar, yaitu Sekte Siwa, Sekte Sakti (Durga ), dan Sekte Ganesha, serta terdapat pula Sekte Siwa Siddhanta yang merupakan aliran mayoritas yang dijalani oleh masyarakat Hindu Bali, sekte Bhairawa dan Sekte - Sekte yang lainnya. Yang ketiga ialah Sekte Brahma sebagai pencipta yang menurunkan Sekte Agni, Sekte Rudra, Sekte Yama, dan Sekte Indra. Sekte adalah jalan untuk mencapai tujuan hidup menurut Agama Hindu, yaitu moksha (kembali kepada Tuhan), dan pemeluk Hindu dipersilahkan memilih sendiri aliran yang mana menurutnya yang paling baik/bagus.
èToleransi umat Hindu
Agama ini memiliki ciri khas sebagai salah satu agama yang paling toleran, yang mana di dalam kitab Weda dalam salah satu baitnya memuat kalimat berikut:
Alihaksara: Ekam Sat Vipraaha Bahudhaa Vadanti
Cara baca dalam bahasa Indonesia: Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti
Bahasa Indonesia: "Hanya ada satu kebenaran tetapi para orang pandai menyebut-Nya dengan banyak nama."
— Rg Weda (Buku I, Gita CLXIV, Bait 46)
Dalam berbagai pustaka suci Hindu, banyak terdapat sloka-sloka yang mencerminkan toleransi dan sikap yang adil oleh Tuhan. Umat Hindu menghormati kebenaran dari mana pun datangnya dan menganggap bahwa semua agama bertujuan sama, yaitu menuju Tuhan, namun dengan berbagai sudut pandang dan cara pelaksanaan yang berbeda. Hal itu diuraikan dalam kitab suci mereka sebagai berikut:
samo ‘haṁ sarva-bhūteṣu na me dveṣyo ‘sti na priyah
ye bhajanti tu māṁ bhaktyā mayi te teṣu cāpy aham
(Bhagawadgita, IX:29)
Arti:
Aku tidak pernah iri dan selalu bersikap adil terhadap semua makhluk.
Bagi-Ku tidak ada yang paling Ku-benci dan tidak ada yang paling Aku kasihi.
Tetapi yang berbakti kepada-Ku, dia berada pada-Ku dan Aku bersamanya pula
Ye yathā mām prapadyante tāms tathaiva bhajāmy aham,
mama vartmānuvartante manusyāh pārtha sarvaśah
(Bhagawadgita, 4:11)
Arti:
Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku,
Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku
dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)
Yo yo yām yām tanum bhaktah śraddhayārcitum icchati,
tasya tasyācalām śraddhām tām eva vidadhāmy aham
(Bhagawadgita, 7:21)
Arti:
Kepercayaan apapun yang ingin dipeluk seseorang,
Aku perlakukan mereka sama dan
Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih mantap
Meskipun ada yang menganggap Dewa-Dewi merupakan Tuhan tersendiri, namun umat Hindu memandangnya sebagai cara pemujaan yang salah. Dalam kitab suci mereka, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda:
ye ‘py anya-devatā-bhaktā yajante śraddhayānvitāḥ
te ‘pi mām eva kaunteya yajanty avidhi-pūrvakam
(Bhagawadgita, IX:23)
Arti:
Orang-orang yang menyembah Dewa-Dewa dengan penuh keyakinannya
sesungguhnya hanya menyembah-Ku, tetapi mereka melakukannya
dengan cara yang keliru, wahai putera Kunti (Arjuna)
Pemeluk agama Hindu juga mengenal arti Ahimsa dan "Satya Jayate Anertam". Mereka diharapkan tidak suka (tidak boleh) membunuh secara biadab tapi untuk kehidupan pembunuhan dilakukan kepada binatang berbisa (nyamuk) untuk makanan sesuai swadarmanya, dan diminta jujur dalam melakukan segala pikiran, perkataan, dan perbuatan.
f. INTI AJARAN AGAMA HINDU
Hindu ditandai dengan sifat rasional yang sangat kuat. Melalui jalan berliku dari harapan samar dan renunsiasi praktis, dogma-dogma ketat dan petualangan jiwa yang tidak mengenal takut, melalui empat atau lima melinium upaya-upaya tanpa henti dalam bidang menthapisik dan teologi para Maharesi Hindu telah mencoba untuk menangkap masalah-masalah terakhir dalam suatu kesetiaan kepada kebenaran dan perasaan atas kenyataan. Peradaban brahmanikal, terlatih menilai masalah-masalah tanpa emosi dan mendasarkan kesimpulan mereka atas pengalaman-pengalaman fundamental.
Hal yang menuntun para Maharesi Hindu untuk mengangkat pernyataan mengenai Tuhan (Hakikat kenyataan) adalah kefanaan. Dunia terbuka bagi pandangan kita yang obyektif tampak bagi mereka melampaui dirinya tanpa akhir (endless Surpassing of it self). Mereka bertanya: Apakah semua ini akan lenyap, atau apakah kutuk yang menelan hal-hal ini menemukan kendalinya di suatu tempat entah di mana? Dan mereka menjawab: Ada sesuatu di dunia ini tak digantikan, suatu yang mutlak yang tak dapat dihancurkan, yaitu Tuhan. Pengalaman mengenai yang tak terbatas ini (Tuhan) diberikan kepada kita semua pada beberapa kesempatan ketika kita menangkap kilatan rahasia yang amat kuat, dan merasakan kehadiran dari jiwa yang lebih besar dan menyelimuti kita dalam kejayaan. Bahkan pada saat tragis dalam kehidupan, ketika kita merasa diri kita miskin dan yatim-piatu keagungan Tuhan dalam diri kita membuat kita merasa bahwa kesalahan dan kesedihan dunia hanyalah kecelakaan kecil (incident) dalam sebuah drama yang lebih besar yang akan berakhir dalam kekuasaan, kemegahan dan kasih. Upanisad-upanisad mengatakan: "Bila tak ada semangat kebahagian di alam semesta ini, siapa yang dapat hidup dan bernafas dalam dunia kehidupan ini?" Secara filsafah Tuhan adalah Brahman yang memiliki identitas sendiri yang mengungkapkan (mewahyukan) dirinya dalam segalanya, menjadi landasan permanen dari proses dunia. Secara agama ia diihat sebagai kesadaran jiwa yang suci, hamil dengan seluruh gerak dunia, dengan evolusi dan involusinya.
Melalui perjalanan karirnya yang panjang, keesaan Tuhan telah menjadi cita-cita yang menuntun (governing ideal) dari agama Hindu. Reg Weda memberitahu kita mengenai Tuhan, Satu Hakekat Kenyataan Terakhir, Ekam Sat, mengenai Dia para terpelajar menyebutnya dengan berbagai nama. Upanisad-Upanisad juga mengatakan bahwa Tuhan yang satu itu disebut dengan berbagai nama sesuai dengan tingkat kenyataan dimana Dia dilihat berfungsi.
Konsepsi mengenai Tri Murti muncul dari periode epik, dan dimantapkan dalam zaman Purana-Purana. Analogi dari kesadaran manusia, dengan tiga lapis kegiatan, yaitu mengetahui (cognition), merasa (emotion), dan kehendak (will), menyarankan pandangan mengenai Tuhan sebagai Sat, Cit dan ananta Kenyataan (reality), kebijaksanaan (wisdom) dan kebahagian (joy). Triguna yaitu sattwa atau ketenangan, lahir dan kebijaksanaan, rajas atau energi lahir dari rasa yang penuh semangat, dan tamas, kelambanan, lahir sebagai akibatnya kurangnya kendali dan pencerahan, adalah merupakan unsur-unsur dari semua eksistensi. Bahkan Tuhan juga dianggap tidak kecualikan dari hukum serba Tiga ini (trilicity), dari keseluruhan mahluk hidup.
Tiga fungsi dari utpeti (shristi) atau penciptaan stiti atau pemeliharaan dan pamralaya (pralina) atau penghancuran (peleburan) juga berasal dari Tri Guna ini. Wisnu Sang Pemelihara alam semesta adalah Jiwa Tertinggi yang didominasi oleh sifat sattwa, Brahman Sang Pencipta alam semesta adalah Jiwa Tertinggi yang didominasi oleh sifat rajas dan Siwa Sang Pemrelina alam semesta adalah Jiwa Tertinggi yang didominasi oleh sifat tamas. Tiga Sifat dari Tuhan Yang Tunggal dikembangkan menjadi tiga pribadi yang berbeda. Dan masing-masing pribadi itu dianggap berfungsi melalui sakti atau energinya masing-masing: Uma, Saraswati dan Laksmi. Secara harfiah ketiga sifa-sifat dan fungsi-fungsi ini seimbang di dalam Tuhan Yang Tunggal sehingga Dia dikatakan tidak memiliki sifat-sifat sama sekali. Satu Tuhan yang tidak dapat dipahami yang Maha Mengetahui, Maha Kuasa dan ada di mana-mana, tempat berbeda bagi pikiran yang berbeda dalam cara yang berbeda. Satu teks kuno mengatakan bahwa bentuk diberikan kepada yang tak berbentuk bagi kepentingan manusia.
Dengan keterbukaan pikiran yang merupakan sifat dan filsafat, orang Hindu percaya akan relativitas dari keyakinan mayarakat umum yang memeluk keyakinan itu. Agama bukanlah sekedar teori mengenai yang supernatural yang dapat kita pakai atau kita tinggalkan semau kita. Agama merupakan pernyataan dari pengalaman spiritual dari bangsa yang bersangkutan, catatan dari evolusi sosialnya, bagian tak terpisahkan dari suatu mayarakat di atas di mana ia didirikan. Bahwa orang yang berbeda akan memeluk keyakinan yang berbeda, bukanlah sesuatu yang tidak alamiah. Ini adalah semua masalah cita rasa dan temperamen. Ruchinan vaichitriyat. Ketika bangsa Arya bertemu dengan penduduk asli yang menyembah berbagai macam dewa-dewa, meraka merasa tidak terpanggil untuk menggantikannya seketika itu dengan keyakinan mereka. Pada akhirnya semua manusia mencari Tuhan yang satu. Menurut Bagawad Gita Tuhan tidak akan menolak keinginan pemuja-Nya semata-mata karena mereka tidak merasakan kekacauan dan kebingungan. Guru-guru besar dunia yang memiliki cukup penghormatan terhadap sejarah tidak akan mencoba menyelamatkan dunia dalam generasi mereka dengan memaksakan pertimbangan-pertimbangan mereka yang maju terhadap mareka yang tidak mengerti atau menghargainya.
Para Maharesi Hindu, sementara mempraktekan ideal yang tinggi, memahami ketidak siapan rakyat untuk itu, dan karena itu melakukan pelayanan dengan lemah lembut dari pada pemaksaan yang liar. Mereka mengakui dewa-dewa yang lebih rendah dan di puja oleh orang banyak dan memberitahu mereka bahwa dewa-dewa itu semua berkedudukan lebih rendah dari Brahman atau Tuhan Yang Tunggal: sementara beberapa menemukan dewa-dewa di air, yang lain di surga, yang lain dalam benda-benda dunia, orang bijaksana menemukan Tuhan yang benar, yang keagunganNya hadir di mana-mana, di dalam Atman. Sloka yang lain mengatakan: "Manusia tindakan (man of action) menemukan Tuhan dalam api, manusia perasaan (men of feeling) menemukan Tuhan dalam hati, manusia yang masih rendah kemampuan berpikirnya menemukan Tuhan dalam patung, tapi manusia yang kuat secara spiritual menemukan Tuhan di mana-mana."
Sistem agama dan falsafah Hindu mengakui evolusi dan involusi dunia secara periodik yang mempresentasikan detak jantung universal, yang selalu diam dan selalu aktif. Seluruh dunia merupakan pengejawantahan dari Tuhan. Sayana mengamati bahwa segala sesuatu adalah wahana atau kendaraan tadi manifestasi Jiwa Yang Tertinggi (Tuhan). Mahluk dibedakan dalam beberapa tingkatan. "Di antara mahluk, yang bernafas yang tertinggi; di antara ini, mereka yang telah mengembangkan pikirannya; di antara ini, mereka yang telah mempergunakan pengetahuannya; sementara yang tertinggi adalah mereka yang dikuasai oleh perasaan mengenai kesatuan dari semua kehidupan dalam Tuhan. Jiwa yang satu mengungkapkan dirinya melalui tingkatan yang berbeda."
Yang tak terbatas dalam diri manusia tidak dapat dipuaskan oleh bentuk dunia terbatas yang fana. Kebebasan adalah harta milik kita, bila kita lari dari apa yang sementara dan terbatas dalam diri kita. Makin banyak hidup kita memanifestasikan yang tak terbatas dalam diri kita, makin tinggi kita berada dalam tingkatan hidup. Manifestasi yang paling tinggi disebut Awatara atau inkarnasi dari Tuhan. Ini bukanlah suatu yang tidak biasa, satu mikjijat Tuhan, tetapi hanya manifestasi yang lebih tinggi dari prinsip tertinggi, berbeda dari yang umum yang lebih rendah dalam derajat saja. Bagawad Gita mengatakan bahwa sekalipun Tuhan ada dan bergerak dalam segalanya, Dia memanifestasikan dirinya dalam derajat khusus dalam hal-hal yang indah. Para Maharesi dan para Buddha, para Nabi dan Mesiah, merupakan pengungkapan terdalam dari jiwa universal. Bagawad Gita menjanjikan bahwa mereka akan muncul bilamana mereka diperlukan. Bila kecenderungan meteralis yang merendahkan atau mendominasi kehidupan, seorang Rama atau Krishna atau seorang Buddha akan datang kedunia untuk memperbaiki harmoni kebenaran. Dalam manusia yang telah memutuskan kekuasaan indria, membuka hati yang penuh kasih, dan memberikan kita inpirasi akan kasih, kebenaran dan keadilan, kita memiliki konsentrasi yang kuat mengenai Tuhan. Mereka mengungkapkan kepada kita jalan, kebenaran dan hidup. Mereka tentu saja melarang penyembahan buta terhadap diri mereka, karena ini akan menurunkan pengejawantahan dari Jiwa yang Agung. Rama mengungkapkan dirinya tidak lebih dari anak seorang manusia. Seorang Hindu yang mengetahui sesuatu mengenai keyakinannya siap untuk memberikan rasa hormat kepada setiap penolong kemanusiaan. Dia percaya bahwa Tuhan berinkarnasi dalam seorang manusia. Manifestasi suci bukanlah pelanggaran terhadap kepribadian manusia sebaliknya, ia merupakan drajat kemungkinan tertinggi dari pengejawantahan-diri manusia yang alamiah sebab hakikat sebenarnya dari manusia adalah suci.
Tujuan dari hidup adalah pengungkapan secara perlahan dari yang abadi dalam diri kita, dari eksistensi kemanusiaan kita. Kemajuan umum diatur oleh karma atau hukum sebab akibat moral. Agama Hindu tidak percaya akan satu Tuhan yang dari kursi-pengadilannya menimbang tiap kasus secara terpisah dan menetapkan balasannya. Dia tidak melalukan keadilan dari luar, menambah atau mengurangi hukuman berdasarkan kehendakNya sediri. Tuhan ada "dalam" manusia, dan demikian juga karma hukum adalah merupakan bagian organik dari kakekat manusia. Setiap saat ada pada pengadilannya sendiri, dalam setiap usaha yang jujur akan memberikan dia kebaikan dalam upaya internalnya. Karakter yang kita bangun akan berlanjut ke masa depan sampai kita menyadari kesatuan kita dengan Tuhan. Anak-anak Tuhan, yang dalam pandangannya satu tahun adalah seperti satu hari, tidaklah merasa perlu kecil hati bila tujuan kesempurnaan itu tidak tercapai dalam suatu kehidupan. Kelahiran kembali diterima oleh semua penganut Hindu. Dunia ini dipelihara oleh kesalahan-kesalahan kita. Kekuatan-kekuatan yang menyatukan ciptaan adalah hidup kita yang terpatah-patah yang perlu diperbaharui. Alam semesta telah muncul dan lenyap berulang-kali tak terhitung di masa lampau yang panjang, dan akan terus berlanjut dilebur dan dibentuk kembali melalui keadilan yang tak dapat dibayangkan di masa yang akan datang.
g. UPACARA-UPACARA DAN KEBAKTIAN DALAM AGAMA HINDU
1. Upacara dalam agama Hindu
Yang termasuk upacara di dalam agama hindu ini adalah sebagai berikut:
a.Ritual (ritus)
Dalam upacara keagamaan, ritual ini merupakan kepercayaan kepada kesakralan sesuatu menuntut ia diperlakukan secara khusus yang tidak dpat dipahami secara ekonomi dan rasional, seperti cara perlakuan terhadap sesuatu yang disakralkan, yaitu melakukan tawaf di sekeliling ka’bah, pada umumnya tidak dapat dipahami keuntungan dan alasan rasional, upacara, persembahan, sesajen, dan lain-lain.
Sebagai kata sifat, ritual adalah segala yang dihubungkan atau disangkutkan, sedangkan sebagai kata benda adalah segala yang bersifat upacara keagamaan, seperti upacara gereja katolik.
Dalam agama upacara ritual ini biasa dikenal dengan ibadat, kebaktian, berdoa, atau sembahyang.
Sedangkan di dalam agama Hindu, ada dua macam ritual Hindu yang lazim di kalangan orang Hindu masa kini, yaitu sebagai ritual keagamaan vedis dan agamis. Ritual-ritual vedis meliputi kurban-kurban kepada para dewa, suatu upacara kurban berupa melakukan persembahan seperti sesajian makanan-makanan dan dalam kesempatan tertentu berupa binatang.
Biasanya sesajin ini ditempatkn pada baki suci di lemparkan ke dalam api suci yang di nyalakan di atas altar pengorbanan.
Suatu perbedaan antara upacara-upacara keagaman umum yang besar dengan upacara domestik. Upacara-upacara keagaman umum dilakukan dengan rumusan samhita dan memerlukan perapian. Sedangkan upacara keagamaan domestik dilakukan di depan tungku keluarga oleh kepala keluarga yang menggunakan rumusan dari kumpulan doa-doa khusus.
Ritual vedis bertujuan untuk mengangkat, memperkuat prosedur-prosedur sekular yang berkaitan dan bertujuan untuk menetapkan suatu hubungan antara dunia ilahi dengan dunia manusia.
Ritual agamis memusatkan perhatian pada penyembahan antara dunia ilahi dengan dunia manusia.
Ritual agamis memusatkan perhatian pada penyembahan pujaan-pujaan pelaksanaan puasa serta pesta-pesta yang termasuk bagian agama Hindu yang merakyat. Barang pujaan, yang hanya merupakan tanda untuk makhluk tertinggi melambangkan yang ilahi.
Bentuk khas dari praktik keagamaan Hindu adalah cara penyembahan yang disebut puja. Dalam suatu rangkaian ritual, modelnya wang-wangian. Makanan dan minuman di persembahkan kepadanya. Patung tersebut diarak keluar dari halaman kuil.
Dalam agama vedis, Agni adalah dewa yang menjadi tempat kesatuan antara dunia ilahi dan dunia manusiawi. Agni sebagai api melahap pengurbanan dan sebagai imam mempersembahkannya kepada dewa-dewa yang ada di atas. Ia adalah peneggah antara dewa dan manusia
b. Upacara kurba
Ritus-ritus inisiasi dipraktekkan untuk menysucikan situasi-situasi kritis dan marginal dalam hidup indivdu dan kolektif. Persiapan-persiapan sebelum kelairan, upacara-upapcara sekitar kelahiran, inisiasi memberikan nama waktu pubertas, perawinan, sakit dan upacara-upacara pemakaman diselenggarakan di seluruh dunia untuk mencegah bahaya-bahaya yang tersembunyi.
Upacara kurban mempunyai tempat utama karena dengan manusia religus mengadakan pesembahan diri kepada dewa lewat suatu pemberian, dan hubungan serta komunikasi yang erat antara dia dengan dewa ditetapkan lewat keikutsertaan dan ambil bagian dalam persembahan yang disucikan, sebagai unsur dari fenomena sebagai dampak dalam agama-agama di dunia.
Upacara kurban dalam Hindu, yang berupa persembahan hadiah dengan maksud untuk memperoleh keuntungan-keuntungan dari Tuhan, seperti kemakmuran, kesehatan, panjang umur, ternak, keturunan, dan lain-lain. Upacara kurban bukan hanya suatu pesembahan, tetapi juga suatu penyucian, suatu perpindahan dari yang profane kepada yang kudus, yang mengubah bentuk kurban yang dipersembahkan maupun orang yang mempersembahkannya. Melalui kurban itulah komunikasi antara yang kudus dan yang profane di bangun, yang juga merupakan suatu tindakan penghormatan kepada dewa-dewa dengan peribadahan.
Upacara-upacara kurban dibedakan menjadi upacara kurban domestik dan umum sesuai dengan hadir tidaknya imam-imam dan menurut jumlah api yang digunakan upaara-upaara kurban domestik dijalankan dengan mnggungakan api, melemparkan butiran-butiran beras yang direndam dengan minyak mentega dan mengucapkan mantra-mantra. Sedangkan kepala rumah tangga melakukannya di atas perapiannya sendiri, persembahan yang dilakukan merupakan hasil-hasil bumi yang mereka tanam.
Upacara-upacara kurban umum dilakukan oleh imam-imam di altar, dijalankan dengan menggunakan api, melemaparkan butiran-butiran beras Yang direndam dengan minyak mentega dan mengucapkan mantra-mantra. Tetapi upaara-upacara ini tidak menggunakan persembahan dari hasil-hasil bumi, tetapi dengan binatang seperti kurban kuda, upacara ini merupakan pesta kerajaan dan rakyatnya.
Upacara-upacara kurban umum dilakukan oleh imam-imam di altar, dijalankan dengan menggunakan api, melemaparkan butiran-butiran beras Yang direndam dengan minyak mentega dan mengucapkan mantra-mantra. Tetapi upaara-upacara ini tidak menggunakan persembahan dari hasil-hasil bumi, tetapi dengan binatang seperti kurban kuda, upacara ini merupakan pesta kerajaan dan rakyatnya.
Dari aspek lain, upaara kurban adalah suatu penyatuan mistik di dalam mana pengurban melahirkan masa depannya sendiri di altar, dan melalui uptttacara kurbanlah manusia menebus keberadaanya dari para dewa.
c. Sembahyang
Pada tiap hari raya piodalan, tempat-tempat suci dan pada hari-hari tertentu, orang-orang mengadakn upacara persembahyangan yang disertai pula dengan upacara banten. Persembahyangan ini ada yang dilakukan sendiri-sendiri dan ada pula secara besama-sama.
Rangkaian persembahyangan baik yang dilakukan secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang merupakan hasil keputusan mahasabha perisada hidup Dharma Indonesia ke VI di Jakarta tahun 1991, sebagai berikut:
Rangkaian persembahyangan baik yang dilakukan secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang merupakan hasil keputusan mahasabha perisada hidup Dharma Indonesia ke VI di Jakarta tahun 1991, sebagai berikut:
1. Persiapan sembahyang
Yang meliputi persiapan secara lahir dan batin. Secara lahir persiapan itu dapat meliputi kebersihan badan, sikap duduk yang baik, pengaturan nafas, sikap tangan dan lain-lain. Yang merupakan sarana penunjang persiapan ini yaitu pakaian yang bersih yang tidak mengganggu ketenangan pikiran, adanya bunga dan dupa sedangkan persiapan atin adalah ketenangan dan kesucian pikiran.
2. Puja Trisadhya
Setelah sikap badan itu baik, maka dilanjutkan dengan melaksanakan puja Trisdhya, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Asana, merupakan sikap duduk bersila (bagi pria) dan bersimpuh (bagi wanita) serta memusatkan pikiran kehadapan HyangWidhi, dengan mantra-mantra.
b. Pranayama, mengatur jalannya nafas, gunanya untuk menenangkan dan mengheningkan pikiran agar dapat menyatu dengan Hyang Widhi yang di sertai mantra-mantra
c. Karasoddhana (pembersihan tangan)
d. Mantra Trisandhya
3. Urutan-urutan sembah
Urutan-urutan sembah, baik pada waktu sembahyang sendiri maupun bersama-sama yang dipimpin oleh seorang pemangku. Namun terlebih dahulu yang perlu diperhatikan adalah sikap tangan yang baik pada waktu sembahyang ialah kedua telapak tangan dikatupkan dan diletakkan di depan ubun-ubun adapun urutan-urutan sembah tersebut sebagai berikut:
a. Sembahyang puyung
b. Sembah kehadapan Hyang Widhi dalam manifestasnya sebagai sanghyang Aditya
c. Sembah kehadapan HyangWidhi sebagai Ista Dewata pada hari dan tempat persembayangan. Ista Dewata artinya Dewata (pewujudan Tuhan) yang dipuja pada kwatu persembahyangan saat itu.
d. Sembah kepada Hyang Widhi seagai pemberi Anugerah
e. Sembah Puyung, Sebagai Penghormatan pada dewa yang tak terpikirkan yang Maha Tinggi dan Ghaib.
Setelah persembahyangan selesai, maka dilanjutkan dengan mohon tirtha dan bija,. Tirtha adalah air suci, yaitu air yang telah disucikan dengan suatu cara tertentu dan disebut dengan Tirtha Wangsuh pada Hyang Widhi. Tirtha ini dipercikkan di kepala, diminum dan dipakai mencuci muka yang bertujuan agar pikiran dan hati kita menjadi bersih dan suci, yaitu bebas dari kotoran, noda dan dosa, kecemaran dan sejenisnya.
Sedangkan wija adalah biji kertas yang di cuci dengan air cendana. Wiji ini sebagai lambang kumara yaitu putra atau bija Bharata (Dewa) Siwa. Kumara adalah benih ke-siwa-an yang bersemayam di dalam diri setiap orang.
4. Doa
Dalam agama Hindu, doa yang disebut juga mantra, Stawa atau Brahma merupakan bagian yang penting dalam menumbuhkan dan memantapkan keyakinan kita terhadap adanya Hyang Widhi. Doa-doa ini selalu disampikan pada setiap kegiatan atau kejadian untk mencapai tujuan tertentu sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Doa merupakan salah satu unsur keyakinan yang mempunyai kedudukan yang penting dan memiliki kegunaan serta manfat yang besar dalam pembinaan etika, moral, dan spiritual, oleh karena itu doa harus diyakini dan diucapkan atau disampaikan dengan kesucian serta ketulusan hati kepada HyangWidhi, sebagai puja dan puji guna tercapainya satu tujuan yang diharapkan di dalam hidup ini
Fungsi dan tujuan doa dalam kehidupan ini, yaitu sebagai berikut:
Fungsi dan tujuan doa dalam kehidupan ini, yaitu sebagai berikut:
a. Sebagai pernyataan rasa syukur atas anugerah Hyang Widhi yang telah menciptakan dunia dengan segala isinya, termasuk segala sesuatu yang diperlukan bagi kehidupan manusia dan semua makhluk.
b. Sebagai Sadhana untuk mohon perlindungan dan keselamatan serta agar selalu di jauhkan dari segala caobaan, rintangan, godaan hidup yang ingin mengganggu kehidupan kita.
c. Dengan doa, kita memohon anugerah kehadapan Hyang Widhi berupa kesucian lahir dan batin, kesempurnaan moral dan spiritual serta kebahagiaan hidup di dunian dan di akhirat.
Cara dan sikap berdoa, ada beberapa cara dan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Doa yang dilakukan dengan pengucapan kata-kata suci atau mantram
b. Doa yang dilakukan dengan bahasa simbul dalam bentuk upacara
c. Doa yang dilakukan dengan menggunakan upacara dan mantram sekaligus
Doa-doa ini dlakukan dengan mengucapkan mantram sesuai dengan tujuan masing-masing, tanpa menggunakan sarana atau bahasa simbul.
b. Doa yang dilakukan dengan bahasa simbul dalam bentuk upacara
c. Doa yang dilakukan dengan menggunakan upacara dan mantram sekaligus
Doa-doa ini dlakukan dengan mengucapkan mantram sesuai dengan tujuan masing-masing, tanpa menggunakan sarana atau bahasa simbul.
C. PENINGGALAN SEJARAH AGAMA HINDU
Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa dan lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya dalam penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti seperti:
Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):
Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.
Prasasti Porong (Jawa Tengah)
Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.
Kebudayaan Indonesia yang dikenal sekarang ini, merupakan warisan nenek moyang yang harus dijaga dan dirawat. Kelestarianya harus tetap dipertahankan agar dapat diwariskan kepada keturunan anak cucu nanti. Beberapa peninggalan sejarah yang bercorak Hindu dapat di jumpai di beberapa daerah yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, kecuali wilayah Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara. Dari peninggaan-peninggalan yang ada dapat diketahui bahwa itu merupakan bukti nyata adanya sejarah masa lalu. Peninggalan-peninggalan tersebut sangat berharga, karena hanya dari peninggalan itu kita semua dapat mempelajari apa yang sebenarnya terjadi, kapan, dimana, siapa yang berkuasa waktu itu, dean sebagainya. Peninggalan sejarah dapat berupa batu tertulis, patung, candi, kitab, dan sebagainya.
Peninggalan sejarah berupa prasasti
· Yupa (Batu tertulis) peninggalan kerajaan Kutai
· Tujuh Prasasti peninggalan Kerajaan Trumanegara, 5 ditemukan di Bogor, 1 di Cilincing, dan 1 di Lebak Banten. Yaitu Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti Tugu, Prasasti Pasir Awi dan Muara Ciaten, dan Prasasti Lebak.
· Prasasti Canggal (732 M), Prasasti Kalasan (778 M), Prasasti Karang Tengah (824 M), merupakan sumber sejarah yang mengungkapkan keberadaan kerajaan Mataram.
· Prasasti Anjuk Ladang berangka (937 M), sumber sejarah yang mengungkapkan keberadaan Mpuk Sindok (Raja pertama Medang dan pendiri dinasti Isyana)
Beberapa prasasti peningalan kerajaan yang bercorak Hindu disimpan di museum dan beberapa yang lain tetap berada di tempatnya seperti saat ditemukan. Keberadaannya di museum untuk mencegah kerusakannya.
Peninggalan sejarah berupa Candi
· Candi Ceto
Candi Cetho merupakan sebuah candi bercorak agama Hindu peninggalan masa akhir pemerintahan Majapahit (abad ke-15). Laporan ilmiah pertama mengenainya dibuat oleh Van de Vlies pada 1842. A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian mengenainya. Ekskavasi (penggalian) untuk kepentingan rekonstruksi dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda. Berdasarkan keadaannya ketika reruntuhannya mulai diteliti, candi ini memiliki usia yang tidak jauh dengan Candi Sukuh. Lokasi candi berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, pada ketinggian 1400m di atas permukaan laut.
Ciri-cirinya:
Pada keadaannya yang sekarang, Candi Cetho terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman dan di sini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Cetho.
· Candi Asu
Candi Asu adalah nama sebuah candi peninggalan budaya Hindu yang terletak di Desa Candi Pos, kelurahan Sengi, kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, provinsi Jawa Tengah (kira-kira 10 km di sebelah timur laut dari candi Ngawen). Di dekatnya juga terdapat 2 buah candi Hindu lainnya, yaitu candi Pendem dan candi Lumbung (Magelang). Nama candi tersebut merupakan nama baru yang diberikan oleh masyarakat sekitarnya.
Ciri-cirinya :
Disebut Candi Asu karena didekat candi itu terdapat arca Lembu Nandi, wahana dewa Siwa yang diperkirakan penduduk sebagai arca asu ‘anjing’. Disebut Candi Lumbung karena diduga oleh penduduk setempat dahulu tempat menyimpan padi (candi Lumbung yang lain ada di kompleks Taman Wisata candi Prambanan). Ketiga candi tersebut terletak di pinggir Sungai Pabelan, dilereng barat Gunung Merapi, di daerah bertemunya (tempuran) Sungai Pabelan dan Sungai Tlingsing. Ketiganya menghadap ke barat. Candi Asu berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 7,94 meter. Tinggi kaki candi 2,5 meter, tinggi tubuh candi 3,35 meter. Tinggi bagian atap candi tidak diketahui karena telah runtuh dan sebagian besar batu hilang. Melihat ketiga candi tersebut dapat diperkirakan bahwa candi-candi itu termasuk bangunan kecil. Di dekat Candi Asu telah diketemukan dua buah prasati batu berbentuk tugu (lingga), yaitu prasasti Sri Manggala I ( 874 M ) dan Sri Manggala II ( 874 M ).
· Candi Gunung Wukir
Candi Gunung Wukir atau Candi Canggal adalah candi Hindu yang berada di dusun Canggal, kalurahan Kadiluwih, kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah. Candi ini tepatnya berada di atas bukit Gunung Wukir dari lereng gunung Merapi pada perbatasan wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Menurut perkiraan, candi ini merupakan candi tertua yang dibangun pada saat pemerintahan raja Sanjaya dari zaman Kerajaan Mataram Kuno, yaitu pada tahun 732 M (654 tahun Saka).
Ciri-cirinya:
Kompleks dari reruntuhan candi ini mempunyai ukuran 50 m x 50 m terbuat dari jenis batu andesit, dan di sini pada tahun 1879 ditemukan prasasti Canggal yang banyak kita kenal sekarang ini. Selain prasasti Canggal, dalam candi ini dulu juga ditemukan altar yoni, patung lingga (lambang dewa Siwa), dan arca lembu betina atau Andini
· Candi Prambanan
Candi Prambanan yang dikenal juga sebagai Candi Roro Jonggrang ini menyimpan suatu legenda yang menjadi bacaan pokok di buku-buku ajaran bagi anak-anak sekolah dasar. Kisah Bandung Bondowoso dari Kerajaan Pengging yang ingin memperistri dara cantik bernama Roro Jonggrang. Si putri menolak dengan halus. Ia mempersyaratkan 1000 candi yang dibuat hanya dalam waktu semalam. Bandung yang memiliki kesaktian serta merta menyetujuinya. Seribu candi itu hampir berhasil dibangun bila akal licik sang putri tidak ikut campur. Bandung yang kecewa lalu mengutuk Roro Jonggrang menjadi arca, yang diduga menjadi arca Batari Durga di salah satu candi
· Candi Gunung Sari
Candi Gunung Sari adalah salah satu candi Hindu Siwa yang ada di Jawa. Lokasi candi ini berdekatan dengan Candi Gunung Wukir tempat ditemukannya Prasasti Canggal.
Ciri-cirinya:
Candi Gunung Sari dilihat dari ornamen, bentuk, dan arsitekturnya kemungkinan lebih tua daripada Candi Gunung Wukir. Di Puncak Gunung Sari kita bisa melihat pemandangan yang sangat mempesona dan menakjubkan. Candi Gunung Sari terletak di Desa Gulon, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Semoga di masa depan Candi Gunung Sari semakin dikenal oleh banyak orang untuk dapat menemukan inspirasi dan keindahanny
· Candi Cangkuang
Candi Cangkuang adalah sebuah candi Hindu yang terdapat di Kampung Pulo, wilayah Cangkuang, Kecamatan Leles, Garut, Jawa Barat. Candi inilah juga yang pertama kali ditemukan di Tatar Sunda serta merupakan satu-satunya candi Hindu di Tatar Sunda.
Ciri-ciri nya:
Bangunan Candi Cangkuang yang sekarang dapat kita saksikan merupakan hasil pemugaran yang diresmikan pada tahun 1978. Candi ini berdiri pada sebuah lahan persegi empat yang berukuran 4,7 x 4,7 m dengan tinggi 30 cm. Kaki bangunan yang menyokong pelipit padma, pelipit kumuda, dan pelipit pasagi ukurannya 4,5 x 4,5 m dengan tinggi 1,37 m. Di sisi timur terdapat penampil tempat tangga naik yang panjangnya 1,5 m dan lébar 1,26 m.
· Candi Gedong Songo
Candi Gedong Songo adalah nama sebuah komplek bangunan candi peninggalan budaya Hindu yang terletak di Desa Candi, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Indonesia tepatnya di lereng Gunung Ungaran. Di kompleks candi ini terdapat lima buah candi.
Candi ini diketemukan oleh Raffles pada tahun 1804 dan merupakan peninggalan budaya Hindu dari zaman Wangsa Syailendra abad ke-9 (tahun 927 masehi).
Ciri-cirinya:
Candi ini memiliki persamaan dengan kompleks Candi Dieng di Wonosobo. Candi ini terletak pada ketinggian sekitar 1.200 m di atas permukaan laut sehingga suhu udara disini cukup dingin (berkisar antara 19-27°C)
Lokasi 9 candi yang tersebar di lereng Gunung Ungaran ini memiliki pemandangan alam yang indah. Di sekitar lokasi juga terdapat hutan pinus yang tertata rapi serta mata air yang mengandung belerang.
· Candi Pringapus
Candi Pringapus adalah candi di desa Pringapus, Ngadirejo, Temanggung 22 Km arah barat laut ibu kota kabupaten Temanggung. Arca-arca berartistik Hindu yang erat kaitanya dengan Dewa Siwa menandakan bahwa Candi Pringapus bersifat Hindu Sekte Siwaistis. Candi tersebut dibangun pada tahun tahun 772 C atau 850 Masehi menurut prasasti yang ditemukan di sekitar candi ketika diadakan restorasi pada tahun 1932.
Ciri-cirinya:
Candi ini merupakan Replika Mahameru, nama sebuah gunung tempat tinggal para dewata. Hal ini terbukti dengan adanya adanya hiasan Antefiq dan Relief Hapsara-hapsari yang menggambarkan makhluk setengah dewa. Candi Pringapus bersifat Hindu Sekte Siwaistis
· Candi sukuh
Candi Sukuh adalah sebuah kompleks candi agama Hindu yang terletak di Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena ditemukannya obyek pujaan lingga dan yoni. Candi ini digolongkan kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena banyaknya obyek-obyek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas
Peninggalan sejarah berupa Kitab
Masa Kerajaan Kediri
· Kitab Kakawin Bharatayudha, karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh
· Kitab Lubdaka dan Kitab Wartasancaya, Karya Mpu Tanakung
· Kitab Kakawin Hariwangsa dan Gatotkacasraya, karya Mpu Panuluh.
Masa Kerajaan Majapahit
· Kitab Negarakertagama, karya Mpu Prapanca.
· Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular.
· Kitab Pararaton, menceritakan raja-raja Singosari dan Majapahit
· Kitab Sundayana, menceritakan peristiwa Bubat
Sistem Masyarakat
Sejak masuknya agama Hindu, kehidupan di Indonesia berubah dari zaman prasejarah menjadi zaman sejarah, dari belum mengenal tulisan menuju ke peradaban baru yaitu mulai mengenal tulisan.
D. TEMPAT IBADAH UMAT HINDU
Pura adalah istilah untuk tempat ibadah agama Hindu di Indonesia. Pura di Indonesia terutama terkonsentrasi di Bali sebagai pulau yang mempunyai mayoritas penduduk penganut agama Hindu.
Pura dirancang sebagai tempat ibadah di udara terbuka yang terdiri dari beberapa lingkungan yang dikelilingi tembok. Masing-masing lingkungan ini dihubungkan dengan gerbang atau gapura yang penuh berukiran indah. Lingkungan yang dikelilingi tembok ini memuat beberapa bangunan seperti pelinggih yaitu tempat suci bersemayam hyang, meru yaitu menara dengan atap bersusun, serta bale (pendopo atau paviliun). Struktur tempat suci pura mengikuti konsep Trimandala, yang memiliki tingkatan pada derajat kesuciannya, yakni:
1. Nista mandala (Jaba pisan): zona terluar yang merupakan pintu masuk pura dari lingkungan luar. Pada zona ini biasanya berupa lapangan atau taman yang dapat digunakan untuk kegiatan pementasan tari atau tempat persiapan dalam melakukan berbagai upacara keagamaan.
2. Madya mandala (Jaba tengah): zona tengah tempat aktivitas umat dan fasilitas pendukung. Pada zona ini biasanya terdapat Bale Kulkul, Bale Gong (Bale gamelan), Wantilan (Bale pertemuan), Bale Pesandekan, dan Perantenan.
3. Utama mandala (Jero): yang merupakan zona paling suci di dalam pura. Di dalam zona tersuci ini terdapat Padmasana, Pelinggih Meru, Bale Piyasan, Bale Pepelik, Bale Panggungan, Bale Pawedan, Bale Murda, dan Gedong Penyimpenan.
Jenis pura:
Jenis pura:
Terdapat beberapa jenis pura yang berfungsi khusus untuk menggelar beberapa ritual keagamaan Hindu dharma, sesuai penanggalan Bali.
1. Pura Kahyangan Jagad: pura yang terletak di daerah pegunungan. Dibangun di lereng gunung, pura ini sesuai dengan kepercayaan Hindu Bali yang memuliakan tempat yang tinggi sebagai tempat bersemayamnya para dewa dan hyang.
2. Pura Segara: pura yang terletak di tepi laut. Pura ini penting untuk menggelar ritual khusus seperti upacara Melasti.
3. Pura Desa: pura yang terletak dalam kawasan desa atau perkotaan, berfungsi sebagai pusat kegiatan keagamaan masyarakat Hindu dharma di Bali.
Sad Kahyangan
Sad Kahyangan
Sad Kahyangan atau Sad Kahyangan Jagad, adalah enam pura utama yang menurut kepercayaan masyarakat Bali merupakan sendi-sendi pulau Bali. Masyarakat Bali pada umumnya menganggap pura-pura berikut sebagai Sad Kahyangan:
1. Pura Besakih di Kabupaten Karangasem.
2. Pura Lempuyang Luhur di Kabupaten Karangasem.
3. Pura Goa Lawah di Kabupaten Klungkung.
4. Pura Uluwatu di Kabupaten Badung.
5. Pura Batukaru di Kabupaten Tabanan.
6. Pura Pusering Jagat (Pura Puser Tasik) di Kabupaten Gianyar.
Selain pura-pura Sad Kahyangan tersebut di atas, masih banyak pura-pura di lainnya di berbagai tempat di pulau Bali, sesuai salah satu julukannya Pulau Seribu Pura.
Pura Besakih adalah komplek pura utama di Pulau Bali, dan merupakan pusat kegiatan dari seluruh pura yang ada di Bali. Pura Besakih terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem, Bali, Indonesia.
Pura Besakih adalah sebuah komplek pura yang terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem, Bali, Indonesia. Komplek Pura Besakih terdiri dari 1 Pura Pusat (Pura Penataran Agung Besakih) dan 18 Pura Pendamping (1 Pura Basukian dan 17 Pura Lainnya). Di Pura Basukian, di areal inilah pertama kalinya tempat diterimanya wahyu Tuhan oleh Hyang Rsi Markendya, cikal bakal Agama Hindu Dharma sekarang di Bali, sebagai pusatnya.
Pura Besakih merupakan pusat kegiatan dari seluruh Pura yang ada di Bali. Di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih, Pura Penataran Agung adalah pura yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya dan merupakan pusat dan semua pura yang ada di komplek Pura Besakih. Di Pura Penataran Agung terdapat 3 arca atau candi utama simbol stana dari sifat Tuhan Tri Murti, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa yang merupakan perlambang Dewa Pencipta, Dewa Pemelihara dan Dewa Pelebur/Reinkarnasi.
Pura basakih
Keberadaan fisik bangunan Pura Besakih, tidak sekedar menjadi tempat bersemayamnya Tuhan, menurut kepercayaan Agama Hindu Dharma, yang terbesar di pulau Bali, namun di dalamnya memiliki keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung Agung. Sebuah gunung tertinggi di pulau Bali yang dipercaya sebagai pusat Pemerintahan Alam Arwah, Alam Para Dewata, yang menjadi utusan Tuhan untuk wilayah pulau Bali dan sekitar. Sehingga tepatlah kalau di lereng Barat Daya Gunung Agung dibuat bangunan untuk kesucian umat manusia, Pura Besakih yang bermakna filosofis.
Makna filosofis yang terkadung di Pura Besakih dalam perkembangannya mengandung unsur-unsur kebudayaan yang meliputi:
1. Sistem pengetahuan,
2. Peralatan hidup dan teknologi,
3. Organisasi sosial kemasyarakatan,
4. Mata pencaharian hidup,
5. Sistem bahasa,
6. Religi dan upacara, dan
7. Kesenian.
Ketujuh unsur kebudayaan itu diwujudkan dalam wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya material. Hal ini sudah muncul baik pada masa pra-Hindu maupun masa Hindu yang sudah mengalami perkembangan melalui tahap mitis, tahap ontologi dan tahap fungsional.
Perbedaan pura / mandir di India dan Indonesia.
1. Mandir (pura) di India menerapkan sistem konsentris, yaitu : tempat pemujaan utama berada di tengah-tengah bangunan / tempat pemujaan lainnya.
Sedangkan Pura di Bali menerapkan sistem mandala (berlapis / bertingkat), yaitu :
Sedangkan Pura di Bali menerapkan sistem mandala (berlapis / bertingkat), yaitu :
tempat pemujaan utama berada di belakang bangunan / tempat pemujaan lainnya.
Sistem mandala (berlapis / bertingkat) adalah CIRI KHAS ASLI INDONESIA. Bisa dibandingkan dengan candi-candi kuno di Pulau Jawa yang tidak hanya memakai sistem konsentris (seperti di India), tapi juga banyak yang memakai sistem mandala (asli Indonesia).
Sistem mandala (berlapis / bertingkat) adalah CIRI KHAS ASLI INDONESIA. Bisa dibandingkan dengan candi-candi kuno di Pulau Jawa yang tidak hanya memakai sistem konsentris (seperti di India), tapi juga banyak yang memakai sistem mandala (asli Indonesia).
2. Mandir (pura) di India SEBAGIAN BESAR indoor (memiliki atap).
Sedangkan Pura di Bali PASTI open air (terbuka).
Sedangkan Pura di Bali PASTI open air (terbuka).
REFERENSI
Agus, Bustanuddin, Agama dalam Kehidupan Masyarakat, Jakarta, PT Raja Grapindo Persada, 2006.
Depdiknas.2006. KTSP 2006 Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial untuk SMP dan MTs. Jakarta.
Direktorat PLP 2004. Pengetahuan Sosial. Jakarta: Depdiknas
Drs. Moh. Rifai. 1984. Perbandingan Agama. Semarang : Wicaksana
Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu, Bagian III: Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Netra, Anak Agung Gde Dka, Tuntunan Dasar Agama Hindu, Jakarta, Hanoman Sakti, 1997.
Sudharta, Tjok. Rai. Beda Sadkahyangan dengan Sadwinayaka, Kolom Tatwa. Majalah Sarad Bali, Ed. No. 69/Tahun VII, Januari 2006.
http://makalah85.blogspot.com/2008/12/upacara-dan-kebaktian.html
http://www.id.wikipedia.org/wiki/Agama_Hindu
0 komentar:
Posting Komentar