728x90 AdSpace

Latest News

Rabu, 06 Juli 2011

Ahwal Asy-Syukur

Oleh:
Nur Mutmainnah
Gemala Desa

Beberapa Pengertian Ahwal

*      Ahwal secara etimologi berasal dari bahasa arab, yaitu bentuk jamak dari kata hal yang berarti keadaan sebagai akhir dari masa lalu dan permulaan masa mendatang, sedang pengertian secara terminologi yang diinginkan dalam pembahasan ini yaitu kondisi ruhani tanpa adanya unsur sengaja,menarik, dan usaha-usaha lainnya, dari rasa at-Tharb atau al-Huzn, leluasa atau tergenggam, rindu atau berontak rasa takut ataukah sukacita.
*      Ahwal atau hal-hal adalah hembusan-hembusan spiritual yang dihirup oleh seorang pesuluk, sehingga jiwa si pesuluk mendapatkan kesegaran ketika menghirup hembusan-hembusan spritual Ilahi (nasamaat ruhiyyah) tersebut. Hembusan ini tidak lama. Ia akan berlalu dan pergi hilang. Jiwa pesuluk terus mendambakan kembalinya hembusan Ilahi. Ahwal sifatnya sementara dan sejenak.
*      Ahwal bentuk jamak dari hal, biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya.
*      Ahwal, bentuk jamak dari hal, adalah keadaan mental yang dirasakan oleh para pengamal tasawuf sebagai anugerah yang datang dari Allah SWT.


Ahwal asy-Syukur
Syukur adalah mengetahui bahwa semua nikmat yang didapat itu berasal dari Allah, dan merasa lapang dada dalam menerimanya, serta menggunakannya untuk jalan ketaatan kepada Allah, bukan pada jalan yang dapat memalingkan diri dari ketaatan kepada Allah. Syukur hanya akan muncul dari pribadi seorang mukmin yang mengesakan Allah, yang sangat mengetahui tentang bagaimana cara mengesakan Allah. Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa Allah mewahyukan kepada Daud a.s. : “Jika telah kamu ketahui bahwa seluyruh nikmat itu berasal dari-Ku, maka Aku akan meridhainya sebagai rasa syukurmu.”
Kata syukur sepadan dengan kata al-hamdu walaupun kata syukur lebih dekat pada pengucapan rasa terimakasih terhadap nikmat yang telah Allah swt. anugrahkan kepada seseorang, sementara kata al-hamdu merupakan ungkapan rasa terimakasih dalam bentuk umum. Para ulama mendefinisikan Syukur sebagai ungkapan aplikatif dengan menggunakan segala apa yang dianugrahkan Allah swt sesuai dengan tujuan penciptaan.
Sikap syukur bagaikan satu bangunan yang didirikan di atas tiga fondasi, yaitu hal, ilmu, dan amal. Hal-nya syukur adalah merasa senang dengan nikmat-nikmat Allah. Amal-nya adalah menggunakan nikmat-nikmat tersebut untuk berbuat taat kepada Allah, sedangkan ilmu-nya adalah mengetahui bahwa nikmat-nikmat tersebut berasal dari Allah.
Seseorang harus menyadari bahwa nikmat itu semata-mata dari Allah, tidak ada yang mampu mendatangkan nikmat itu selain Dia, sekuat apapun. Tanpa kesadaran seperti ini, seseorang tidak mungkin dapat bersyukur. Tidak semua orang memiliki sikap syukur, hanya orang-orang yang mengetahui (ma’rifah) bahwa nikmat-nikmat tersebut adalah berasal dari Allah-lah yang memiliki syukur.
tbqè=yJ÷ètƒ ¼çms9 $tB âä!$t±o `ÏB |=ƒÌ»pt¤C Ÿ@ŠÏW»yJs?ur 5b$xÿÅ_ur É>#uqpgø:$%x. 9rßè%ur BM»uÅ#§ 4 (#þqè=yJôã$# tA#uä yŠ¼ãr#yŠ #[õ3ä© 4 ×@Î=s%ur ô`ÏiB yÏŠ$t6Ïã âqä3¤±9$# ÇÊÌÈ
“Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang Tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih.”
[Q.S. Saba (34) : 13]
            Sikap syukur selalu berkaitan dengan sikap sabar. Di satu sisi, sabar adalah kembaran dari syukur, pada sisi lain, sabar merupakan syukur itu sendiri, karena syukur tidak akan sempurna tanpa kesabaran. Setiap ujian dari Allah, jika dihadapi dengan sabar dan diterima dengan lapang dada, akan berubah menjadi nikmat, bahkan menjadi kelezatan tersendiri yang harus disyukuri. Dengan demikian, perpaduan antara sikap syukur dan sabar ini akan menghasilkan sikap rida atas segala ketentuan Allah kepada dirinya. Ridha adalah gembiranya hati menerima ketentuan Tuhan yang pahit sekalipun. Syukur adalah apabila seorang hamba yang ditimpa musibah harus tetap mendahulukan syukur daripada sabar. Namun demikian antara sabar dan syukur sebenarnya tidak terjadi tumpang tindih ketika seorang hamba harus menyikapi kondisi yang dialaminya.
Mempergunakan nikmat-nikmat Allah untuk mengerjakan ketaatan dan pada tempat-tempat yang diridhai Allah, merupakan tanda-tanda orang yang mensyukuri nikmat, dan itulah puncak segala perwujudan rasa syukur, dan ia akan senantiasa mendapat tambahan nikmat dari Allah. Sebaliknya, orang yang menggunakan nikmat-nikmat Allah di jalan yang tidak diridhai-Nya, adalah orang yang kufur terhadap nikmat Allah, dan ia akan dicampakkan dalam kebinasaan serta nikmatnya akan dicabut kembali oleh Allah.
            Termasuk bersyukur lainnya adalah mengetahui bahwa sikap syukur itu sendiri merupakan nikmat dan pemberian (mauhibah) dari Allah, bersikap tawadhu dengan nikmat-nikmat tersebut sambil mengagungkan Sang Pemberi nikmat, memandang besar suatu nikmat sekalipun nikmat tersebut kecil.

Rukun Syukur
Para ulama menyebutkan bahwa rukun syukur ada tiga, yaitu i’tiraaf (mengakui), tahaddust (menyebutkan), dan Taat.
1.      Al-I’tiraaf
Pengakuan bahwa segala nikmat dari Allah adalah suatu prinsip yang sangat penting, karena sikap ini muncul dari ketawadhuan seseorang. Sebaliknya jika seseorang tidak mengakui nikmat itu bersumber dari Allah, maka merekalah orang-orang takabur. Tiada daya dan kekuatan kecuali bersumber dari Allah saja. “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Fathir: 15)
2.      At-Tahadduts
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.” (Ad-Duhaa: 11)
Abi Nadhrah berkata, “Dahulu umat Islam melihat bahwa di antara bentuk syukur nikmat yaitu mengucapkannya.” Rasul saw. bersabda, “Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih pada manusia.” (Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Berkata Al-Hasan bin Ali, “Jika Anda melakukan (mendapatkan) kebaikan, maka ceritakan kepada temanmu.” Berkata Ibnu Ishak, “Sesuatu yang datang padamu dari Allah berupa kenikmatan dan kemuliaan kenabian, maka ceritakan dan dakwahkan kepada manusia.”
3.      At-Tha’ah
Allah menyebutkan bahwa para nabi adalah hamba-hamba Allah yang paling bersyukur dengan melaksanakan puncak ketaatan dan pengorbanan. Dan contoh-contoh tersebut sangat tampak pada lima rasul utama: Nabi Nuh a.s., Nabi Ibrahim a.s., Nabi Musa a.s., Nabi Isa a.s., dan Nabi Muhammad saw. Allah swt. menyebutkan tentang Nuh a.s. “Sesungguhnya dia (Nuh a.s.) adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (Al-Israa: 3)
Dan lihatlah bagaimana Aisyah r.a. menceritakan tentang ketaatan Rasulullah saw. Suatu saat Rasulullah saw. melakukan shalat malam sehingga kakinya terpecah-pecah. Berkata Aisyah r.a., ”Engkau melakukan ini, padahal Allah telah mengampuni dosa yang lalu dan yang akan datang.” Berkata Rasulullah saw., “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?“ (Muslim)


  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Ahwal Asy-Syukur Description: Rating: 5 Reviewed By: Unknown
Scroll to Top