728x90 AdSpace

Latest News

Rabu, 06 Juli 2011

Rethinking Islam - Muhammad Arkoun

BAB I
PENDAHULUAN
Sejak abad ke-13 M. pemikiran Islam tidak mengalami perkembangan yang berarti. Bangunan pemikiran konservatif telah mendominasi alampikir mayoritas umat Islam hingga saat ini. Alam pikir konservatif telah menjadi pandangan dunia Islam (world  view) yang mapan sejak masa pembentukannya. Sejak saat itu, hampir tidak ada geliat pemikiran yang berarti, karena setiap upaya kelompok tertentu yang berusaha keluar dari mainstream selalu harus berhadapan dengan kekuatan status quo yang sulit ditaklukkan.
Pada awal pertumbuhannya pemikiran Islam bergerak secara dinamis dan menghasilkan khazanah ilmu pengetahuan dan peradaban yang tinggi, bagai mercusuar yang sulit tertandingi. Namun, sejak abad ke-13, khazanah pemikiran Islam mengalami kemandekan, justru di saat Barat mulai menampakkan kreatifitasnya dalam membangun peradaban. Hingga pada akhirnya, Barat berhasil menyusul dan mengunggulinya.
Hingga saat ini, perkembangan literatur keislaman tidak tampak menunjukkan orisinalitasnya, bahkan cenderung mengulang-ulang apa yang telah ditulis para pendahulu.
Mohammed Arkoun (selanjutnya disebut Arkoun saja), menyatakan bahwa kenyataan Islam yang dialami masyarakat muslim dewasa ini telah dikuasai oleh nalar Islami yang memiliki karakter logosentris. Ada beberapa ciri yang menunjukkan adanya kenyataan itu.  Pertama, nalar Islam dikuasai oleh nalar dogmatis dan sangat terkait dengan kebenaran abadi (Tuhan) yang tentu saja lebih bersifat estetis-etis daripada ilmiah.  Kedua, nalar yang bertugas untuk mengenali kembali kebenaran (fungsi ‘aql) telah menjadi sempit dan hanya berkutat di dalam wilayah tempat kelahirannya saja, misalnya bidang metafisika, teologi, moral dan hukum.  Ketiga, nalar hanya bertiti tolak dari rumusan-rumusan umum dan menggunakan metode analogi, implikasi dan oposisi. 
Keempat, data-data empiris digunakan secara sederhana dan terus dikaitkan dengan kebenaran transendental, serta dimaksudkan sebagai alat legitimasi bagi penafsiran serta menjadi alat apologi. Kelima, pemikiran Islam cenderung menutup diri dan tidak melihat aspek kesejarahan, sosial, budaya dan etnik, sehingga cenderung dijadikan sebagai satu-satunya wacana yang harus diikuti secara seragam dan taklid.  Keenam, pemikiran Islam lebih mementingkan suatu wacana yang lahir di dalam ruang bahasa yang terbatas, sesuai kaidah bahasa dan cenderung mengulang-ulang sesuatu yang lama. Selain itu, wacana batin yang melampaui batas-batas logosentris, dalam arti kekayaan spiritual, cenderung diabaikan.
Bagi Arkoun tidak ada yang dapat disebut pinggiran atau pusat, tidak ada kelompok yang terpinggirkan atau yang dominan, tidak ada kepercayaan yang dapat dikategorikan sebagai rendah maupun agung, pikiranlah yang menciptakan kebenaran.[1] Sejarah masyarakat Islam sangat berkaitan dengan sejarah Barat: Tidak ada dikotomi antara pemikiran Barat dan pemikiran Islam. Keduanya telah saling menyatu. Keduanya harus dihargai sekaligus dievaluasi.[2]
Para ilmuan telah mempelajari permusuhan antara pemikiran dan tindakan universal Islam dan Kristen Eropa, antara modern dan sekuler. [3]Arkoun mencoba membebaskan wacana kritis mengenai islam dan apa yang disebut dengan masyarakat islam[4], dari semua pembatasan dan kontradiksi denganlebih memilih visi dinamis daripada presentasi yang mandek. Apolog muslim bersama dengan militan muslim membuat ideology tersendiri yang lahir akibat studi Barat mengenai keontetikan sejarah dan doktrin islam. Dalam pandangan mereka, hanya islamlah yang langgeng sepanjang masa dan mampu melalui beragam social budaya dimana Islam berada.[5]

 BAB II
PEMBAHASAN

A.      BIOGRAFI MUHAMMAD ARKOUN
a.      Latar Belakang Sosial dan Intelektual
Muhammad Arkoun lahir pada 1 Februari 1928[6] di Taorirt-Mimoun, Kabilia, Aljazair. Kabilia adalah suatu wilayah pegunungan berpenduduk Berber yang terletak di sebelah timur Aljir.[7] Keluarganya berada pada strata fisik dan sosial yang rendah (ibunya buta huruf) dengan bahasa Kabilia Berber sebagai bahasa ibu dan bahasa Arab sebagai bahasa nasional Aljazair.
Kabilia terdiri dari Kabilia Besar da Kabilia Kecil. Penduduknya hidup dari hasil pertanian (buah tin dan zaitun), mengembala ternak, dan berdagang kerajinan tangan. Sedangkan Berber merupakan sebutan untuk penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara, dari Libya hingga Samudera Atlantik. Mereka berbicara dengan pelbagai logat non-Arab (‘ajamiyyah). Meskipun demikian, hingga saat ini sebagian mereka masih tetap menggunakan bahasa Berber.
Menurut catatan sejarah, Aljazair ditaklukan oleh bangsa Arab pada 682 dibawah pimpinan ‘Uqbah ibn Nafi’ (w. 683), pada masa kekhalifahan Yazid ibn Mu’awiyyah dari Dinasti Bani Umayyah. Sebagian besar penduduk Berber memeluk Islam bersama ‘Uqbah.
Orang-orang Berber yang tinggal diperkotaan berbaur dengan orang-orang Arab. Sedangkan yang lain berdiam dipegunungan Auras (sebelah tenggara), pegunungan Atlas (terbentang abtara Maroko, Aljazair, dan Tunisia), pegununga Rif (sebelah utara Maroko) dan di Kabilia. Hingga kini sebagian mereka masihmempertahankan dan memelihara adat istiadat dan bahasa mereka. Lingkungan Arkoun, yang terdiri dari penduduk Berber itu, sarat dengan nafas dan aktivitas keislaman.[8] Penyebaran Islam dengan aktivitas politik di lingkungan kaum Berber sangat terkait dengan aktivitas sufisme. Tokoh sufi yang paling penting dalam penyebaran sufisme di Afrika Utara adalah Abu Madyan dari Themcen. Ia menekankan pada pemusatan mutlak Tuhan dan tidak terlalu memperhatikan masalah keduniaan.[9]
Sebagai anak yang dilahirkan di Kabilia, Arkoun mengenal dengan baik bahasa tidak tertulis Kabilia yang merupakan alat untuk mengungkapkan tradisi dan nilai yang udah ribuan tahun usianya. Sebagai penduduk Aljazair, Arkoun juga mengenal dengan baik bahsa Arab, yang merupakan bahasa keagamaan tertulis. Sedangkan sebagai orang yang dididik dalam tradisi Prancis, ia menguasai bahasa Prancis dengan baik sebagai bahasa non keagamaan tertulis dan alat untuk mengenal nilai-nilai dan tradisi keilmuan Barat.[10]
Karena hidup dalam tiga bahasa itu, Arkoun mendapat penyadaran bahwa bahasa lebih dari sekedar sarana teknis belaka untuk mengungkapkan diri, yang dapat diganti dengan bahasa lain tanpa masalah apapun. Setiap bahasa memiliki latar belakangnya tersendiri.
b.      Pendidikan dan Pengalaman
Pendidikan dasar Arkoun ditempuh di desa asalnya, dan kemudian melanjutkan sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, sebuah kota utama di Aljazair bagian barat, yang jauh dari Kabilia. Kemudian, Arkoun melanjutkan studi bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir (1950-1954), sambil mengajar bahasa Arab pada sebuah Sekolah Menengah Atas di al-Harach, yang berlokasi di daerah pinggiran ibukota Aljazair. Pada saat perang kemerdekaan Aljazair dari Perancis (1954-1962), Arkoun melanjukan studi tentang bahasa dan sastra Arab di Universitas Sorbonne, Paris. Sejak itulah ia menetap di Prancis.[11] Ketika itu, dia sempat bekerja sebagai agrege bahasa dan kesusasteraan Arab di Paris serta mengajar di sebuah SMA (Lycee) di Strasbourg (daerah Perancis sebelah timur laut) dan diminta memberi kuliah di Fakultas Sastra Universitas Strasbourg (1956-1959).
Pada tahun 1961, Arkoun diangkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris, sampai tahun 1969, saat ketika dia menyelesaikan pendidikan doktor di bidang sastra pada Universitas tersebut. Arkoun menulis desertasi doktor mengenai humanisme dalam pemikiran etis Miskawaih (w. 1030 M), seorang pemikir Arab di Persia pada abad X M yang menekuni kedokteran dan filsafat. Miskawaih dikenal sebagai tokoh yang menguasai berbagai bidang ilmu dan menekuni persamaan dan perbedaan antara Islam dengan tradisi pemikiran Yunani. Semenjak menjadi dosen di Universitas Sorbonne tersebut, Arkoun menetap di Perancis dan menghasilkan banyak karya yang dipengaruhi oleh perkembangan mutakhir tentang islamologi, filsafat, ilmu bahasa dan ilmu-ilmu sosial di dunia Barat, terutama di dunia tradisi keilmuan Perancis.
 Jenjang pendidikan dan pergulatan ilmiah yang ditempuh Arkoun membuat pergaulannya dengan tiga bahasa (Berber Kabilia, Arab dan Perancis) dan tradisi serta kebudayaannya menjadi semakin erat. Di kemudian hari, barangkali inilah yang cukup mempengaruhi perhatiannya yang begitu besar terhadap peran bahasa dalam pemikiran dan masyarakat manusia.
Ketiga bahasa tersebut sesungguhnya mewakili tiga tradisi, orientasi budaya, cara berpikir dan cara memahami yang berbeda. Bahasa Berber Kabilia merupakan alat untuk mengungkapkan berbagai tradisi dan nilai mengenai kehidupan sosial dan ekonomi yang sudah ribuan tahun usianya, bahasa Arab merupakan alat untuk melestarikan tradisi keagamaan Islam di Aljazair dan di berbagai belahan dunia Islam lainnya. Sedangkan bahasa Perancis merupakan bahasa administrasi pemerintahan serta alat untuk mengenal nilai-nilai dan tradisi keilmuan Barat, terutama Perancis.
Pada tahun 1970-1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon dan kembali lagi ke Paris sebagai guru besar sejarah pemikiran Islam di Universitas Sorbonne, yang sekarang sudah pensiun namun tetap membimbing karya penelitian di sana. Karena kepakarannya, Arkoun sering diundang untuk memberi kuliah dan ceramah ilmiah di sejumlah universitas dan institusi keilmuan dunia, seperti University of California, Princeton University, Temple University, Lembaga Kepausan untuk Studi Arab dan Islam di Roma, Universitas Katolik Louvain-la Neuve di Belgia, Universitas Amsterdam, Institut of Ismaili Studies di London, dan sebagainya. Dia juga pernah memberi kuliah di Rabat, Fez, Aljir, Tunis, Damaskus, Beirut, Berlin, Kolumbia, Denver, Indonesia, dan sebagainya. Di dalam menjalani profesinya sebagai pengajar, Arkoun selalu menyampaikan pendapatnya secara logis berdasarkan analisis yang memiliki bukti dan interaksi falsafati-religius, sehingga dapat membangkitkan kebebasan berbicara dan berekspresi secara intelektual, serta tentu saja, membuka peluang terhadap kritik. Selain mengajar, Arkoun juga mengikuti berbagai kegiatan ilmiah dan menduduki jabatan penting di dunia akademis dan masyarakat. Dia menjabat sebagai direktur ilmiah jurnal Arabica, anggota Panitia Nasional Perancis untuk Etika dan Ilmu Pengetahuan Kehidupan dan Kedokteran, anggota Majelis Nasional Perancis untuk AIDS dan anggota Legiun Kehormatan Perancis (chevalier de la Legion d’ honneur). Dia pernah mendapat gelar kehormatan, diangkat sebagai Officier des Palmes Academiques, sebuah gelar kehormatan Perancis untuk tokoh terkemuka di dunia universitas dan pernah menjabat sebagai direktur Lembaga Kajian Islam dan Timur Tengah pada Universitas Sorbonne Neuvelle (Paris) Sosok Arkoun yang demikian ini, dapat dinilai sebagai cendekiawan yang engage, melibatkan diri dalam berbagai kegiatan dan aksi yang menurutnya penting bagi kemanusiaan, sebab, baginya, pemikiran dan aksi harus saling berkaitan.
Pengamatan Arkoun terhadap bahasa yang pada awalnya hanya berdasarkan pengalaman pribadi, kini lebih didukung oleh beberapa kajian mutakhir tentang bahasa melalui karya beberapa ilmuan, filsuf, antropolog, dan teolog Barat. Karena itu, dapat dipahami mengapa kebanyakan tema utama kajian Arkoun berkaitan dengan bahasa. Meskipun demikian, pada akhirnya pelbagai tema yang dibahas oleh Arkoun bermuara pada satu tujuan, yakni bagaimana memadukan pelbagai cara berfikir yang berbeda.[12]
c.       Karya-karya
Sebagai ilmuwan yang produktif, Arkoun telah menulis banyak buku dan artikel di sejumlah jurnal terkemuka seperti Arabica (Leiden/Paris),  Studia Islamica (Paris),  Islamo-Christiana (Vatican),  Diogene (Paris),  Maghreb-Machreq  (Paris),  Ulumul Qur’ an (Jakarta), di beberapa buku dan ensiklopedi.
Arkoun juga menerbitkan beberapa kumpulan makalah dan karya bersama yang dilakukan dengan cendekiawan lain. Beberapa karya Arkoun yang penting adalah,  Traite d’ ethique (tradution francaise avec introduction et notes du Tahdhib al-Akhlaq) (sebuah pengantar dan catatan-catatan tentang etika dari  Tahdzib al-Akhlaq Miskawaih),  Contribution a l’ etude de l’ humanisme arabe au IVe/Xe siecle: Miskawayh philosophe et historien (sumbangan terhadap pembahasan humanisme Arab abad IV H/ X M: Miskawaih sebagai filosof dan sejarahwan),  La pensee arabe (pemikiran Arab), dan  Ouvertures sur l’ islam (catatan-catatan pengantar untuk memahami Islam). Buku-buku Arkoun yang merupakan kumpulan artikelnya di beberapa jurnal antara lain adalah  Essais sur la pensee islamique (Esai-esai tentang pemikiran Islam), Lectures du Coran  (Pembacaan-pembacaan Alqur’ an),  dan Pour une critique de la raison islamique (Demi kritik nalar islami). Buku-bukunya yang lain adalah  Aspects de la pensee musulmane calssique (Aspek-aspek pemikiran Islam klasik),  Deux Epitres de Miskawayh (Dua surat Miskawaih),  Discours coranique et pensee scientifique (Wacana-wacana al-Qur’ an dan pemikiran ilmiah), L’ islam, hier, demain (Islam, kemarin dan esok, karya bersama Louis Gardet), dan  L’ islam, religion et societe (Islam, agama dan masyarakat). Selain itu, masih banyak lagi beberapa karya
lainnya yang belum diterbitkan, di samping beberapa artikel penting, seperti pada  Encyclopaedia Universalis dalam entri “Islam, les expression de l’ islam”, “Rethinking Islam Today” dalam buku  Liberal Islam: A Source Book,  “History as an  Ideology of Legitimation: A Comparative Approach in Islamic and Eurepan Contexts” dalam buku  Islam, Modernism and the West dan sebagainya Karya Arkoun mayoritas dibuat dalam bahasa Perancis, dan kemudian tersebar dalam bentuk karya terjemahan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Beberapa karya terjemahan yang penting antara lain adalah  al-Fikr al-Islami; Qira’ ah ‘ Ilmiyyah, al-Fikr al-Islami, Naqd wa Ijtihad, al-Islam;  Asalah wa Mumarasah (bahasa Arab),  Rethinking Islam, Common Questions Uncommon Answers, Arab Thought (bahasa Inggris),  Nalar Islami dan Nalar Modern: Pelbagai Tantangan dan Jalan Baru, Islam: Kemarin dan Esok, Berbagai Pembacaan Al-Qur’ an,  dan Rethinking Islam (bahasa Indonesia).
Karya-karya Arkoun tersebut, kalau dicermati ternyata banyak diilhami oleh ilmuwan-ilmuwan Perancis seperti Paul Ricoeur, Michel Fouchault, Jack Derrida, Roland Barthes, dan Piere Bourdieu. Di samping itu, juga oleh ahli bahasa Swiss, Ferdinand de Saussure, antropolog Inggris, Jack Goody, ahli sastra Kanada, Northtrop Frye, dan sebagainya. Pengaruh-pengaruh tersebut tampak misalnya pada anggitan tentang myth16 dan  imaginaire social17 dari Ricoeur, episteme, discours dan archeology dari Foucault18,  signifiant dan  signifie   dari de Saussure dan Derrida19,  deconstruction, unthought (l’ impense), unthinkable (l’ impensable)  dan  thinkable  (le pense) dari Derrida20 dan sebagainya.
Arkoun terus mencoba pemahaman-pemahaman yang baru tentang Islam dan kaum Muslim dengan menggunakan teori-teori mutakhir yang berkembang di dunia Barat modern. Upaya tersebut dilakukan Arkoun untuk memadukan unsur yang sangat mulia di dalam pemikiran Islam dengan unsur yang sangat berharga di dalam pemikiran Barat modern (rasionalitas dan sikap kritis). Dengan begitu, Arkoun berharap akan muncul suatu pemikiran yang bisa memberikan jawaban atas berbagai persoalan yang dihadapi oleh kaum Muslim akhir-akhir ini dan dapat membebaskannya dari belenggu yang mereka buat sendiri.[13]
d.      Kerangka Pemikiran Arkoun
Kegelisahan Arkoun yang mewarnai hampir seluruh pemikirannya adalah kenyataan adanya dikotomi-dikotomi di dalam masyarakat, khususnya masyarakat Muslim. Dikotomi-dikotomi tersebut secara garis besar banyak bersentuhan dengan persoalan-persoalan  particularity versus  (vs) universality, dan  marginality  vs  centrality. Problem-problem tampak tercermin dari adanya pembagian-pembagian dunia secara berhadap-hadapan, seperti Sunni dengan Syi’ i, kaum mistik dengan kaum tradisionalis, Muslim dengan non-Muslim, Berber (non-Arab) dengan Arab, Afrika (Asia) dengan Eropa dan sebagainya. Oleh karena itu, dunia yang dituju oleh Arkoun adalah dunia yang tidak ada pusat, tidak ada pinggiran, tidak ada kelompok yang mendominasi, tidak ada kelompok yang terpinggirkan, tidak ada kelompok yang superior dan tidak ada kelompok yang inferior di dalam menghasilkan sebuah kebenaran. Arkoun berusaha mengajukan pertanyaan yang kritis kepada kita, yaitu “Bagaimana seluruh manusia bisa menjadi diri mereka sendiri dengan identitas mereka sendiri tanpa menyendiri dari tetangga-tetangga dan sesama manusia lainnya?” Bagi orang Islam, Arkoun bertanya-tanya, “Dapatkah identitas-identitas Muslim itu didamaikan dengan identitas-identitas non-Muslim?”

e.       Metodologi dan Pendekatan dalam Pemikiran Arkoun
Di dalam melakukan  ijtihad (dengan menafsirkan Islam) yang tidak pernah berhenti, ada dua kekuatan tradisi pemikiran yaitu, budaya Timur Tengah kuno yang memiliki tempat spesial di dalam pemikiran Yunani dan monoteisme yang dipikirkan (dibawa) oleh para Nabi. Secara jelas, Arkoun mengemukakan dirinya sebagai pengguna metodologi historis-kritis yang menebarkan rasa ingin tahu secara modern, karena metodologi ini dinilainya dapat menelusuri studi tentang pengetahuan mitis yang tidak hanya dibatasi dengan mentalitas lama, yaitu dengan definisi-definisi yang diberikan oleh aliran sejarah positivistik yang diajarkan sejak abad ke-19.
Dengan demikian, usaha intelektual utama yang harus dipresentasikan ke dalam pemikiran tentang Islam atau tentang agama lainnya pada saat ini, adalah ditujukan untuk mengevaluasi karakteristik-karakteristik dari sistem ilmu pengetahuan yang historis dan mitis, dengan perspektif epistemologis yang baru. Tujuan yang ingin diraih dengan proyek ini adalah untuk mengembangkan sebuah strategi epistemologi baru bagi studi perbandingan terhadap budaya-budaya, melalui contoh yang ikembangkan oleh Islam sebagai agama dan sebagai sebuah produk sosial sejarah. Di dalam pembicaraan yang didasarkan pada postulat-postulat kaum metafisik klasik yang esensialis dan substansialis, Islam digambarkan sebagai suatu sistem pemikiran, kepercayaan, dan ketidakpercayaan yang khusus, esensial, dan tidak berubah, sehingga memunculkan adanya kelompok-kelompok superior dan inferior (menurut orang Islam atau non-Islam) ketika dihadapkan dengan sistem Barat (Kristen).
Menurut Arkoun, inilah saat yang tepat untuk menghentikan pertentangan-pertentangan antara dua sikap dogmatis yang berupa klaim kebenaran teologis dari orang-orang yang beriman dan postulat-postulat ideologis dari rasionalisme kaum positivistik. Sejarah  agama telah mengumpulkan fakta-fakta dan gambaran-gambaran dari berbagai macam agama, akan tetapi agama sebagai dimensi universal dari manusia belum didekati dengan perspektif epistemologis yang relevan. Kelemahan dalam pemikiran modern ini nampak secara jelas dari literatur yang miskin, seragam dan kadang-kadang cukup polemik dalam menggambarkan agama-agama wahyu. Untuk menghilangkan semua halangan tersebut, perlu diberikan perhatian lebih terhadap pengajaran dan studi sejarah sebagai antropologi masa lalu dan tidak hanya sebagai pemaparan fakta-fakta sejarah yang naratif.
Oleh karena itu, Arkoun mengajukan pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis yang dilakukan bukan dengan tujuan untuk menghilangkan pentingnya pendekatan teologis dan filosofis, namun dengan tujuan untuk memperkaya pendekatan tersebut dengan memasukkan keadaan-keadaan historis dan sosial yang selalu dipraktekkan di dalam Islam. Metode Arkoun ini disebutnya sebagai salah satu bentuk metode dekonstruksi. Strategi dekonstruksi tersebut hanya mungkin dilakukan dengan epistemologi modern yang kritis. Dengan demikian, nalar (reason) harus dibebaskan dari ontologi, transendentalisme, dan substansionalisme yang memenjarakannya, terutama di dalam nalar yang dielaborasikan di dalam berbagai macam teologi melalui metafisika dan logika Yunani. Semua ini hanya bisa dilakukan oleh kelompok-kelompok pemikir, penulis, seniman, sarjana, politisi dan produsen ekonomi. Dalam melaksanakan proyek besar tersebut, menurut Arkoun harus dimulai dari suara atau teori yang memiliki otoritas, karena hanya dia yang dapat memberikan penampakan Islam pada mentalitas modern yang ilmiah, dan sekaligus juga di dalam pengalaman keagamaan orang Islam.
Menurut Arkoun, kita mempunyai tanggung jawab terhadap terwujudnya nalar kritis dan oleh karena itu, kita bertanggung jawab untuk mencari pemahaman yang lebih baik tentang hubungan antara makna dan realitas. Pertama-tama, kita harus meningkatkan peralatan intelektual, yaitu yang menyangkut mengenai kosa kata, metodologi, strategi prosedur, definisi dan wawasan penelitian. Dengan begitu, berarti Arkoun mengakui adanya “petanda transendental” sebagai petanda terakhir yang merupakan pendekatan yang melampaui batas semiotika dalam metodologi struktural linguistik.

B.       IDE-IDE PEMIKIRAN MUHAMMAD ARKOUN
I.          Mencitrakan Islam
Dapatkah orang berbicara tentang pemahaman saintifik terhadap Islam di Barat atau sebaliknya orang harus berbicara tentang cara Barat mencitrakan Islam?
 Pada kenyataannya kita heran apakah pemahaman Barat terhadap Islam itu valid dan Objektif. Kejadian-kejadian antara Islam yang bersentuhan dengan Barat telah membangkitkan dan memperkarya cara Barat dalam mencitrakan Islam. Perang Teluk merupakan klimaks lain dalam konfrontasi antara dua cita kolektif: Arab-Islam dan Barat.
Konsep “mencitrakan” yang digunakan dalam pertanyaan ini adalah baru. Untuk singkatnya Arkoun menyatakan bahwa “citra” seorang individu, kelompok social, atau sebuah Negara adalah kumpulan citra yang dibawa oleh budaya itu tentang dirinya sendiri atau budaya lain.
Media-media di Barat menggunakan pandangan Islam monolitik fundamenta-lis yang mendominasi citra umat islam kontemporer dan mengubahnya menjadi wacana yang sesuai dengan citra social Negara-negara Barat tanpa kritik perantara dan ilmu-ilmu social.
Praktek keilmuan Barat telah bekerja dengan berstandar pada sifat obyektivisme yang terselubung, dibalik upaya untuk mengetahui kebenaran yang memiliki aspirasi-aspirasi yang bermanfaat. Ia menyembunyikan generalisasi mengenai hipotesis-hipotesis yang merupakan pusat perdebatan dan diskusi.[14]
Antara tahun 610 samapai 632 sudah ada persaingan kontinu diantara ketiga komunitas agama ini- Yahudi, Kristen, dan Islam- yang semuanya berjuang keras untuk membangun monopoli berdasarkan managemen capital simbolik yang dikaitkan dengan apa oleh ketiga tradisi ini disebut “wahyu”. Pencampuradukan antara Islam sebagai agama dan Islam sebagai kerangka historis bagi pengembangan budaya dan peradaban telah dilanggengkan dan pernah berkembang lebih kompleks hingga hari ini. Namun demikian, masyarakat Islam harus dikaji dalam dan untuk dirinya sendiri, sebagaimana halnya masyarakat Prancis, Jerman, Amerika Serikat atau masyarakat Polandia.[15]
Dalam bidang intelegibilitas baru, diluar definisi-definisi dogmatik yang terus melindungi kekuatan ideologis yang memobilisir dalam agama-agama wahyu, inilah fenomena agama yang harus dikaji ulang. Hanya ketika perspektif ini bergoyanglah maka analisis multidisiplin dan lintas disiplin terhadap suatu fenomena dengan banyak dimensi dan fungsi akan mempenetrasi citra radikal yang umum bagi masyarakat-masyarakat ahli kitab.[16]
Sekarang apa yang dapat dikatakan tentang persepsi “Barat” dan Islam “Kontemporer”?
Salah satu pemutusan kerangka-kerangka klasik berawal pada seorang pelancong Mesir di Prancis pada abad ke-19, Rifa’ah Tahtawi, yang merasakan sebuah laporan yang berubah tentang “penemuan-penemuanya” di Prancis. Peradaban Barat mengetuk hatinya dengan menimbulkan kekaguman sekaligus rasa cemburu. Ia meledakkan keinginan yang tak terbendung bagi cita-cita perbahan dan gerakan dalam masyarakat Islam. Tokoh politik, sastra, seni, dan tokoh universitas membuka diri terhadap pelajaran-pelajaran pencerahan. Mereka percaya bahwa mereka dapat membawa umat Islam ke jalan historis yang sama yang telah ditempuh oleh Barat menuju peradaban yang dianggap superior, efektif, dan membebaskan.
Dengan “revolusi Islam”, restorasi hukum dan praktek ritual lebih sistematis, tetapi problem-problem krusial yang diwarisi dari apa yang Arkoun sebut tradisi Islam yang menyeluruh (exhaustive)lebih jauh dan pernah disingkirkan dari kajian saintik dan filosofis.[17]
Kita harus mencoba, sekuat kita, untuk memikirkan kembali situasi historis yang diciptakan oleh perkembangan masyarakat-masyarakat Islam selama tiga puluh tahun yang silam, suatu dase dimana pemikiran kritis—yang mengakar dalam modernitas tetapi mengkritik modernitas itu sendiri dan meneruskan pengkayaannya dengan bertumpu pada contoh islam—harus menyertai atau bahkan untuk sekali mendahului, tindakan politik, keputusan-keputusan ekonomi dan gerakan-gerakan sisal yang besar.
II.        Wahyu dan Teks Al-Qur’an
Dalam kata “Qur’an” itu sendiri, akar kata q-r-‘ memiliki pengertian lebih dari sekedar membaca, karena tidak mensyaratkan adanya sebuah teks tertulis ketika pertama kali mengucapkan wahyu yang ia terima.[18]
Konsepsi islam tentang wahyu disebut tanzil (turun). Tzil merujuk kepada obyek dari sebuah wahyu; Al-Qur’an juga berbicara tentang wahyu, yang merupakan aksi dasar pewahyuan oleh Tuhan kepada para Nabi.
Teks-teks Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, dan Mushaf (yaitu kitab dimana wacana Qur’an tertulis) diangkat pada tingkat status Corpus Resmi yang Tertutup, yang secara lebih umum disebut Kitab Suci atau Fiman Allah. Wahyu merupakan akses menuju ruang dalam seorang manusia—menuju hati, qalb, kata Al-Qur’an—dari arti baru tertentu yang membuka kesempatan-kesempatan yang tidak terbatas bagi eksistensi manusia.[19]
Kita membutuhkan sebuah strategi intelektual baru untuk mendekati gagasan tentang wahyu dalam Tradisi Muslim, dan tradisi-tradisi kaya lainnyayang berkembang dan mengalami strtifikasi budaya dan praktik ideologis selama berabad-abad.[20] Dalam mengembangkan strategi baru ini, kita harus secara hati-hati menguji sumber-sumber tradisional dengan maksud untuk, pertama-tama, menghilangkan konsep sentral mengenai ortodoksi.
Ortodoksi dapat didefinisikan sebagai sebuah system nilai yang fungsi utamanya adalah untuk menjamin perlindungan dan keamanan kelompok tersebut.[21] Konsep ortodoksi secara jelas digambarkan dalam semua literature heresiografis yang ditulis oleh kaum Muslim selama periode klasik.
Dalam membahas fakta Al-Qur’an kita akan membatasi diri kepada pertimbangan-pertimbangan yang diperhitungkan dengan sanagt cermat untuk membantu dalam memahami pemikiran yang kemudian harus diangkat diatasnya.[22] Untuk mencapai tujuan ini, secara singkat kita akan membahas masalah-masalah berikut ini :
-          Sejarah kritis tentang teks yang diterima dibawah nama Qur’an
Disini sejarah kritis bukan hanya diartikan sebagai penelitian yang telah dilakukan untuk membangun edisi kritis tentng Qur’an, tetapi juga ikhtisar berbagai bacaan yang telah disempurnakan oleh Al-Qur’an sejak manifestasinya. Sejarah kritis tentang Qur’an tidak lain kecuali penyusunan Corpus autentik tentang semua ujaran-ujaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad dibawah nama kebenaran yang diwahyukan.[23]
Mari kita segera menuju kepada masalah-masalah yang dihadapkan oleh sejarah kritis teks Al-Qur’an di zaman kita.
1.      Penyensoran yang dilakukan Utsman menimbulkan sejumlah keputusan yang patut disesalkan.
2.      Dengan ukuran apa keputusan al-Hajjaj, Gubernur Irak, yang melakukan pembakuan ortografi mushaf Utsmani.
3.      Hukuman mati yang dijatuhkan oleh ‘ulama-‘ulama “ortodoks” kepada dua partisan penafsiran bebas Qur’an –yakni Ibn Muqsim (w. 965) dan Ibn Syannabudh (w. 939) diawal abad ke-4/ke-10.[24]
-          Definisi kebahasaan tentang Firman Tuhan
Definisi kita tentang Qur’an memungkinkan bagi kita untuk mengkaji Firman Tuhan sebagai konsep kebahasaan. Kita hendak meneliti proses kebahasaan dan kesusastraan manakah yang benar-benar menyebabkan diskursus Qur’an menciptakan hubungan-hubungan persepsi-persepsi yang terpusat kepada Tuhan yang hidup, kreatif sekaligus trasenden. Diskursus Qur’an dalam tiga tingkat kesusastraan : tingkat metaforis, naratif, dan gaya bahasa.[25]
-          Makna penting fungsi kenabian
Esensi fungsi kenabian menurut Qur’an dan kehidupan Muhammad, terletak pada penyeimbangan sempurna antara pengalaman keagamaan dan aksi sejarah. Setiap aksi nabi membuka harapan baru bagi manusia. [26]
Sebuah analisis gramatikal tidak cukup untuk menunjukkan cara-cara Al-Qur’an mempengaruhi kesadaran religious melalui proses-proses linguistic dan semiotic. Untuk itu kita harus mempertimbangkan tiga hal utama yang terdapat dalam wacana Al-Qur’an:
a)      Susunan metaforik, peran metafora dan metonomia dalam bahasa religious belum pernah secara matang dipertimbangkan hingga saat ini,
b)      Struktur semiotik, dan
c)      Intertekstualitas[27]
Untuk kepentingan analisisnya, Arkoun membedakan tiga tingkatan anggitan tentang wahyu. 
1.      Wahyu  sebagai Firman Allah yang transenden, tidak terbatas dan tidak diketahui oleh manusia. Untuk menunjuk realitas wahyu seperti ini, biasanya dipakai anggitan  al-Lauh al-Mahfudh atau Umm al-Kitab.
2.      Wahyu yang diturunkan dalam bentuk pengujaran lisan dalam realitas sejarah yang disebut sebagai discours religious dan berfragmen dalam bentuk kitab Bibel (Taurat dan Zabur), Injil dan Alqur’ an. Berkenaan dengan Alqur’ an, realitas yang ditunjuk adalah Firman Allah yang diwahyukan ke dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih dua puluh tahun.
3.      Wahyu yang direkam di dalam catatan, yang ternyata menghilangkan banyak hal, terutama situasi pembicaraan (sementara  asbab al-nuzul  ternyata belum dapat mengembalikan hal-hal yang hilang ketika suatu pembicaraan direkam ke dalam tulisan). Pencatatan Alqur’ an tersebut memiliki sejarah sendiri, yaitu bermula dari tulisan parsial yang terserak-serak sampai pada penetapan corpus officiel clos (mushaf resmi tertutup). Pada awalnya, mushaf resmi tertutup ini masih memungkinkan pembacaan yang berbeda-beda, namun kemudian ditutup dengan adanya dua “pembakuan”. “Pembakuan” tersebut, adalah pertama oleh Abu Bakr Ibn Mujahid pada tahun 324 H yang mengakhiri kemungkinan varian-varian bacaan dengan hanya mengesahkan tujuh bacaan saja, dan kedua, oleh adanya penerbitan Alqur’ an standar di Kairo tahun 1924 M yang kemudian disebarluaskan ke seluruh dunia. 
Penyebaran dalam skala teks ini membuat tidak bisa dipikirkannya kembali persoalan-persoalan besar dalam teologi klasik dan tidak bisa dibukanya kemungkinan adanya suatu penyelidikan yang bertujuan untuk membedakan Qur’ anic fact (le fait coranique) dengan  Islamic fact (le fait islamique). Kenyataan qur’ ani memiliki sifat transenden, transhistoris, dan terbuka terhadap berbagai kemungkinan pemaknaan, sedangkan kenyataan islami memiliki sifat historis dan merupakan pengejawantahan dari salah satu garis makna yang terkandung di dalam kenyataan qur’ ani. Kenyataan islami lahir melalui penafsiran manusia (baik oleh ahli  fiqh maupun  kalam) terhadap kenyataan qur’ ani, yang dapat dibuktikan dengan banyaknya garis, aliran, dan corak pemikiran, seperti  sunni, syi’ i, khariji dan berbagai cabangnya  yang berusaha mendapat pengakuan sebagai pemilik kebenaran tertentu, walaupun sebenarnya merupakan gerakan politik. 
Problem tersebut kemudian diteruskan dengan munculnya  corpus interpretes (korpus-korpus penafsir) yang lahir sebagai produktifitas teks dan bukan sebagai produktifitas wacana. Ternyata, kesemua itu kemudian disebut sebagai ajaran suci yang menghasilkan sejarah penyelamatan manusia.
III.    Pembacaan Al-Qur’an
Kapan Al-Qur’an ditulis dan oleh siapa?
Proses pemilihan dan pemusnadan ini mengharuskan kita bertumpu pada gagasan Corpus Resmi yang tertutup. sejarawan-sejarawan modern telah mengkaji pertanyaan ini dengan semangat kritik, yang secara prinsip dikarenakan Al-Qur’an dikumpulkan dalam Suasana politik yang sangat kacau.[28]
Ini berarti bahwa fenomena penulisan sebagai suatu sarana transisi menuju pemungsian bahasa yang berbeda dan sebagai landasan kearsipan yang dikaitkan dengan otoritas negaraditolak atas nama posisi teologis yang secara kategoris ditolak oleh sejumlah ayat Al-Qur’an yang tegas.
Al-Qur’an meletakkan pengetahuan yang benar dan mencerahkan (‘ilm) sebagaimana telah dipelihara dalam kitab, yang dipahami sebagai risalah tertulis, hukum yang adil, kisah-kisah teladan (qashash) yang mengingatkan sejarah penyelamatan dan perjanjian abadi antara Tuhan dan manusia dimana semua fakta politik dan judicial (‘ahd) bagi kota dunia harus disimpulkan.
Mushaf menjadi obyek intrepretasi ang abadi yang ditujukan pada seluruh orang yang beriman, dan ideology-ideologi dibangun untuk menggantikan kebenaran teologi dan kebenaran “ortodoks”.
Tingkat signifikansi dan pemungsian apa yang biasa dan secara amat umum kita sebut Al-Qur’an dapat dijelaskan dan di cerminkan dalam bentuk diagram.[29]
Firman Tuhan
(Umm al-Kitab)


                                                                                                Sejarah
                                                                                                Penyelamatan


Wacana Qur’ani ------ à CRT ------àCI ------------------àSejarah Duniawi
                                                _______________________________
Komunis Interpretatif
CRT = Corpus Resmi yang Tertutup
CI = Corpus Interpretatif
Dengan memperhatikan seluruh analisis ini, orang harus mengakui bahwa menjelaskan kandungan-kandungan Al-Qur’an itu sulit. Dalam upaya melakukan hal itu, orang beresiko akan segera terjatuh ke dalam stile Corpus Interpretatif, yang karenanya memberikan andil kepada citra religious tradisional. Demikian pula, urutan surat-surat dan ayat-ayat dalam mushaf tidak merefleksikan criteria kronologis, rasional maupun formal. “ketidakaturan” menyembunyikan keteraturan semiotic yang dalam dan menunjuk kepada kebutuhan untuk membedakan antara tipe-tipe wacana yang digunakan dalam Al-Qur’an. Arkoun membedakan lima : legislative, naratif, hikmah dan hymnal (puitis) kandungan-kandungan dan tingkat-tingkat signifikansi tipe-tipe wacana ini mudah dibedakan, tetapi semuanya menegaskan tujuan wahyu.[30]
Hubungan antara bacaan yang berorientasi keagamaan dan penelitian yang murni “ilmiah”, nonteistik, nonspiritual, dan nonaksiologis harus diakui dan diangkat.[31]
Arkoun menyadari bahwa dengan kelahiran teks Al-Qur’an, perubahan mendasar di kalangan umat dalam memahami wahyu telah terjadi.  Raison graphique (nalar grafis) telah mendominasi cara berpikir umat, sehingga logos kenabian (prophetique) didesak oleh logos (professoral). Selain itu juga telah terjadi pemiskinan kemungkinan untuk memahami wahyu dari segala dimensinya. Dalam kategori semiotik, teks Alqur’ an sebagai parole didesak oleh teks sebagai langue, sehingga Alqur’ an kini tetap menjadi  parole bagi kaum mukmin. Langue adalah keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara pasif yang diajarkan oleh masyarakat bahasa, dan  parole adalah keseluruhan apa yang diujarkan orang dan merupakan manifestasi individu dari bahasa. Untuk itulah, menurut Arkoun, tujuan  qira’ ah adalah untuk  comprendre, mengerti komunikasi kenabian yang hendak disampaikan lewat teks yang bersangkutan, yaitu mencari makna yang hendak disampaikan lewat teks tersebut, dengan cara mengoptimalkan setiap kemungkinan untuk mereproduksi makna.
Arkoun melihat, paling tidak ada tiga macam cara pembacaan Alqur’ an. 
1.         Secara liturgis, yaitu memperlakukan teks secara ritual yang dilakukan pada saat-saat shalat dan doa-doa tertentu. Pembacaan liturgis ini bertujuan untuk “mereaktualisasikan saat awal ketika Nabi mengujarkannya untuk pertama kali” agar didapatkan kembali keadaan ujaran (situation de discours) dari “ujaran 1”. Dengan cara ini, manusia melakukan komunikasi rohani, baik secara horisontal maupun vertikal, dan sekaligus melakukan pembatinan terhadap kandungan wahyu. 
2.         Pembacaan secara eksegesis yang berfokus utama pada “ujaran 2”, yaitu ujaran yang termaktub di dalam  mushaf, seperti yang dilakukan oleh Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H/1209 M).
3.         Cara baca yang ingin dikenalkan oleh Arkoun, yaitu dengan cara memanfaatkan temuan-temuan metodologis yang disumbangkan oleh ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu bahasa.
Menurut Arkoun, ketiga cara baca tersebut tidak saling menyisihkan satu sama lain, dan  bahkan saling memberikan sumbangan untuk memahami teks-teks Illahi yang tidak akan pernah tuntas dikupas oleh manusia.
Untuk pembacaan seperti itu, Arkoun mengajukan tahap pembacaan Al-Qur’ an ke dalam dua tahap kritis, yaitu tahap linguistik kritis dan tahap hubungan kritis. Dalam tahap pertama, pembacaan dilakukan dengan memakai data-data linguistik (seperti tanda-tanda bahasa, modalisateurs du discours, aras sintaksis, aras semantik dan sebagainya) untuk mengetahui maksud dari pengujar (locateurs). Dan pada tahap kedua, pembacaan dilakukan dengan menempuh dua langkah, langkah kesatu eksplorasi historis (meneliti khazanah tafsir klasik dan berupaya menemukan petanda terakhir di dalamnya dengan kode-kode linguistik, keagamaan, kultural, simbolis, anagogis, dan sebagainya) dan langkah kedua eksplorasi antropologis (dilakukan dengan analisis mitis/simbolis, dengan memeriksa tanda, simbol dan mitos yang menyertai sebuah qira’ ah).Pemikiran-pemikiran Arkoun yang telah dikemukakan tersebut, ternyata mendapatkan sambutan di kalangan intelektual Muslim di seluruh dunia. Corak pemikiran model Arkoun dinilai oleh beberapa kalangan sebagai corak yang sangat berbeda dengan pemikiran Islam yang telah ada. Telaah Arkoun, berbeda dengan telaah model orientalis (yang juga dikritiknya) dan berbeda dengan model pemikiran kaum Muslim lainnya.
Arkoun berbeda dengan Hassan Hanafi yang bobot kalam dan filsafatnya sangat kental, atau berbeda dengan Sayyid Hussein Nasr yang bobot tasawwuf dan filsafatnya sangat menonjol dan lebih-lebih lagi berbeda dengan model Ismail Raji al-Faruqi dan Syed Muhammad Naquib al-Attas yang lebih bernuansa islamisasi ilmu pengetahuan. Arkoun yang post-modernis berbeda dengan Fazlur Rahman yang modernis dengan belum begitu tegas dan tandas dalam menguraikan metodologi dan alat keilmuan yang diperlukan untuk mencapai tujuan rekonstruksi sistematis dan bahkan sesekali ragu jika harus dihadapkan dengan pilihan antara model pemikiran Islam yang beraroma “normatif” atau “historis empiris”, yang kemudian dijawab secara tegas oleh Arkoun dengan memilih yang “historis empiris”. Arkoun bahkan juga mengkritik pemikiran Taha Husein dan Ali Abd Raziq sebagai pemikiran yang tidak didasarkan pada kebijaksanaan untuk mencari kompromi antara kebebasan intelektual yang tercerahkan dengan prasangka-prasangka keagamaan dari massa.
Namun demikian, Arkoun dapat ditempatkan sama dengan Edward Said, Fatima Mernissi dan Hassan Hanafi yang melihat hasil dan pembacaan teks sebagai tindakan politik. Atau bahkan dapat dinilai sama seperti Nasr Hamid Abu Zayd yang menempatkan teks al-Qur’ an sebagai hasil sosial budaya dan mengajukan pembacaan al-Qur’ an dengan tinjauan ilmu semiotik historis.
IV.    Tafsir
Sampai saat ini belum ada sejarah yang tuntas tentang tafsir Al-Qur’an yang dapat berbicara tentang dua hal :
1.      Penentuan diverifikasi genesis, hubungan keluarga dan historis literature yang agak lebih luas, dengan perhatian khusus pada masa-masa awal.
2.      Menelaah kondisi-kondisi bagi kajian nalar islami dalam masing-masing komentar kuno atau kontemporernya.
Tafsir-tafsir kontemporer menawarkan contoh lain tentang ketidakteraturan semantic dan kebingungan yang berbahaya tentang Al-Qur’an dan apa yang dapat dideduksi darinya dalam konteks ideology-ideologi pembebasan mutakhir. Jenis tafsir macam ini menyebabkan orang melupakan fungsi utama wahyu untuk mengungkapkan makna-makna tanpa mereduksi misteri, karakter yang tidak dapat diekspresikan, apa yang diwahyukan. Singkatnya untuk membangun hubungan antara ummat manusia dengan Tuhan.
Bagi praktisi-praktisi klasik, otentisitas pengalaman keagamaan mereka menyediakan bagi inadekuasi tafsir; kaum mulitan kontemporer telah mengambil jarak dari yang Ilahi dan kondisi-kondisi untuk memainkan tuan rumah untuk kata-kata Ilahi yang mewahyukan.[32]
V.         Hadis
Disamping Al-Qur’an, apa teks-teks fundamental Islam lainnya?
Para sahabat dan pengikut-pengikut selanjutnya merupakan matarantai kesaksian (isnad) yang menjamin keotentikan isi hadis (matan). Sepeninggal Nabi, sabda-sabda ini menjadi obyek penelitian serius sehingga dapat dikumpulkan dan dibukukan seperti halnya Al-Qur’an. Di sini juga terjadi transisi lisan menuju tradisi tulis.
Pengumpulan dan pengeditan koleksi-koleksi ini menimbulkan kontroversi-kontroversi yang terus terjadi diantara tiga besar masyarakat muslim.
Tradisi profentik (hadis) merupakan fondasi (ashl) kedua bagi pengembangan hukum. Pendekatan kritis terhadap kompilasi teoritis dan praktis bagi dua ilmu hukum, ushul dan furu’.
Kritik yang dilakukan dari perspektif tradisi islam yang utuh juga akan membuka persoalanaliran, heresiografi, yang karenanya juga ortodoksi. Tak ada otoritas selain otoritas Tuhan! (ta hukma illa li-llah). Tetapi kita juga sudah melihat perbedaan-perbedaan dalam penafsiran dan betapa sulitnya membaca Al-Qur’an secara seragam yang akan mengantarkan pada ortodoksi yang mengikat semua orang yang beriman dan menentukan bagi semua poin yang akan diperdebatkan.
Jadi fungsi ideologis ortodoksi yang diungkap tidak memiliki nama dalam wacana teologis, jadi kita memerlukan suatu konsep, yang meringkas capital simbolik yang merupakan file “eksplisit” dalam kompetisi antara kekuatan politik dan ekonomi, suatu file yang konkret tetapi disembunyikan oleh kosakata “religious”. Analisis semacam itu berlaku baik bagi abad pertama islam maupun bagi petualang-petualang gerakan Islamis mutakhir.[33]
VI.    Komunitas Ideal
Bagaimana Al-Qur’an dan Sunnah mendefin isikan komunitas ideal?
Marilah kita mulai dari jawaban-jawaban Al-Qur’an dan Sunnah. Komunitas Ideal adalah ummat muhammadiyyah, kelompok murid, yang pada mulanya kecil, lemah, dan terancam, yang berkembang lebih luar berkat bantuan langsung dari Allah dan tindakan Nabi, yang secara onsisten dibimbing oleh wahyu. Setelah Nabi wafat, para khalifah atau imam melindungi warisan spiritual secara saleh dan bersemangat, memperluas penyebaran islam dan mengkonsolidasikan bagi sejarah duniawi panggilan umat sebagai tumpuan, saksi dan pelaku wahyu pamungkas, yang dibuat bagi penutup para Nabi (khatam al-anbiya’).[34]
    Anggota-anggota umat ini dianggap telah meniru dalam bentuk yang ideal semua kebiasaan yang membentuk antropologi Al-Qur’an. Dalam wacana Al-Qur’an, manusia (insan) selalu dipertanyakan. Anggota ideal umat ini mengambil bentuk secara psikologis, spiritual, dan secara jasadiah (melalui praktek-praktek ritual). Umat ideal tidak dapat memiliki eksistensi tanpa postulat-postulat ini untuk membangun suatu kesadaran mistis, yang bergantung pada potret zaman permulaan bagi keefektifan dan terjemahannya ke dalam sejarah.[35]
Konsep toleran merupakan prestasi modern yang tidak dapat dipisahkan dari kritik filosofis terhadap kebenaran.[36] Toleransi berlaku bagi semua perangkat hak-hak azazi manusia.

BAB III
PENUTUP
Hampir seluruh pemikiran Arkoun tentang kajian ulang pemikiran Islam, ternyata merupakan pemikiran epistemologis yang tidak praktis dan belum tuntas. Hal tersebut merupakan nilai tambah dan sekaligus merupakan nilai kurang dalam pemikiran Arkoun.
Arkoun banyak menemukan hambatan psikologis dari pembaca Muslim yang menolak “diganggunya” wilayah-wilayah sakral. Hal ini terjadi karena Arkoun berusaha membongkar “kekeramatan” yang dilekatkan pada berbagai sumber dan wilayah bangunan pemikiran Islam yang telah ada dan memberikan alternatif pemikiran yang bercorak historis empiris.
Karena karya Arkoun berada di dalam wilayah kajian epistemologi murni dan kurang menyentuh secara langsung pada bangunan pemikiran keagamaan, maka karya Arkoun dinilai oleh sementara kalangan kurang memperoleh gaung di dalam masyarakat, pengikut berbagai agama. Bahasa yang digunakan Arkoun juga dinilai serba rumit dengan memakai istilah dan anggitan yang tanpa rumusan secara jelas dalam berbagai artinya yang berbeda-beda, sehingga cukup menyulitkan untuk dipahami, meskipun begitu mampu menumbuhkan kesadaran untuk memperluas cakrawala ilmu pengetahuan para pembacanya. 
DAFTAR PUSTAKA

Arkoun, Mohammed.  Rethinking Islam, Yogyakarta: LPMI, 1966.
_________, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
_________, Pemikiran Arab, Pustaka Pelajar
Arkoun, Louis Gardet, Islam Kemarin dan Hari Esok, Bandung: Pustaka, 1997.
Putro, Suadi. Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas, Jakarta: Paramadina, 1998.


LAMPIRAN
Cover Buku Referensi
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                               











































[1] Dr. Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, Yogyakarta: LPMI, 1966, hal. x.
[2] Ibid. hal. xiv.
[3] Ibid. hal. xxiii.
[4] Ketika Arkoun merujuk “istilah” masyarakat Islam, dia mengartikan bahwa terminology ini walaupun dikenal luas, tidaklah tepat sebab hal ini meliputi seluruh masyarakat dengan label yang mungkin berguna membantu dalam menjelaskan perilaku beberapa anggota masyarakat pada suatu waktu.
[5] Dr. Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, hal. xxiv.
[6] Drs. Suadi Putro, MA, Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas, Jakarta: Paramadina, 1998, hal. 11. Ada perbedaan pendapat untuk tanggal kelahiran Arkoun, namun saya lebih memilih tanggal 1 karena lebih banyak dijumpai dalam beberapa buku.
[7] Meuleman, “Pengantar” dalam Arkoun, Nalar Islami, hal. 1.
[8] Drs. Suadi Putro, MA, Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas, hal. 12.
[9] Fazlur Rahman, Islam, Chicago: University of Chicago Press, 1979, hal. 162.
[10] Drs. Suadi Putro, MA, Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas, hal. 14.
[11] Ibid. hal. 15.
[12] Ibid. hal. 17.
[13] Ibid. hal. 24.
[14] M. Arkoun, Louis Gardet, Islam Kemarin dan Hari Esok, Bandung: Pustaka, 1997, hal.114.
[15] Dr. Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, hal. 6.
[16] Ibid. hal. 7.
[17] Ibid. hal 10-13.
[18] Ibid. hal. 45.
[19] Ibid. hal. 50-53.
[20] Muhammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hal. 101.
[21] Ibid. hal. 102.
[22] Dr. Muhammed Arkoun, Pemikiran Arab, Pustaka Pelajar, hal. 2.
[23] Ibid. hal. 3.
[24] Ibid. hal. 4-5.
[25] Ibid. hal. 6-7.
[26] Ibid. hal. 13.
[27] Muhammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, hal. 112.
[28] Dr. Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, hal. 56.
[29] Ibid. hal. 59-60.
[30] Ibid. hal. 61.
[31] Ibid hal. 63.
[32] Ibid. hal. 65-67.
[33] Ibid. hal.77.
[34] Ibid. hal. 84.
[35] Ibid. hal. 85-86.
[36] Ibid. hal. 87.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Rethinking Islam - Muhammad Arkoun Description: Rating: 5 Reviewed By: Unknown
Scroll to Top