728x90 AdSpace

Latest News

Rabu, 06 Juli 2011

Sosiologi Agama

BAB I
KEADAAN SOSIOLOGI

Meskipun Ibn Kholdun telah memperkenalkan sains tentang masyarakat (‘ilm al ‘umran) sejak sekitar tahun 1377,namun dewasa ini umumnya orang menisbatkan akar-akar sosiologi modern kepada tulisan-tulisan seorang filosof prancis,\Auguste Comte (1798-1857),yang lahir hamper 450 tahun setelah Ibn Khaldun. Sosiologi kontemporer merupakan salah satu sjmbangan mutakhir yang diberikan oleh peradaban barat kepada intelek manusia.
Di satu sisi,mereka memusatkan perhatian kepadahubungan antar pribadi dalam siutasi kelompok kecil.Di sisi lain,mereka mempelajari proses-proses lebih luas yang dihasilkan mereka dalam masyrakat-masyarakat manusia.
Persepsi kalangan awam terhadap para sosiologi pun beragam.Sebagian memandang para sosiologi sebagai para filosof social,ataw sebagian orang-orang yang menciptakan teori-teori besar yang bersifat menara daging, yang dipetik dari serjarah.Sedangkan orang-orang yang cenderung memisahkan urusan kemasyaraktan dari urusan politik dan ekonomi, memandang para sosiolog sssebagai para ahli dalam urusa keluarga.

Kecendrungan-kecendrungan Dominan
Menurut bagi para sosiolog modern, Comte nyaris  bukan merupakan suatu sumber yang memberikan banyak inspirasi, tapi penekenennye pada metodologi positif dalam mempelajari fenomena manusia –yang berbeda dengan fulsafat-filsafat politik dan social spekulatif di masa sebelumnya masih menjadi suatu kepercayaan fundamental dalam keyalinan sosiologi modern.karerna sosiologi adalah suatu ilmu, maka para sosiolog diharapkan mendaaasarkan pandangan mereka pada,serta mendiskusikan teori-teori dan hipotesis-hipotesis mereka dari temuan-temuan empiris saja.
Yang pertama adalah pendekatan srtuktural-fungsional.Pendekatan ini, yang menjadi terkenal pada akhir tahun 1930-an, mengandung pandangan makroskopis terhadap masyarakat. Pendekatan ini didasarkan pada dua asumsi dasar: |Pertama,masyarakat terbentuk atas substruktur-substruktur yang dalam fungsi-fungsi mereka masing-masing,saling bergantung,sehingga perubahan yang terjadi dalam struktur atau substruktur,dengan sendirinya akan tercermin pada perubhan-perubahan yang terjadi dalam substruktur-substruktur lainnya pula.Kedua,setiap substruktur yang telah mantap berfungsi sebagai penopang aktivitas-aktivitas atau substruktur lainnya dalam suatu sistem social.
Beberapa pertimbangan metidologis canggih pendekatan ini belum disadari oleh sebagian besar penganutnya. Yang kedua adalah pendekatan Marxian atau pendekatan konflik. Dewasa ini, pendekatan ini merupakan pendekatan alternative paling menonjol terhadap pendekatan structural-fungsional dalam sosiologi makro. Karl marx (1818-1883) adalah tokohyang sangat terkenal sebagai pencetusgerakan sosialis internasional.
Sosiologi marx didasarkan atas dua asumsi pokok: |Pertama,ia memandang kegiatan ekonomi sebagaifaktor penentu utama semua kegiatan kemasyarakata. |Kedua, ia melihat masyasarakat manusia terutama dari sudut konflik di sepanjang sejarah. Bertolak dari memandang sejarah manusia dengan cara seperti ini, marx mengajukan hasil sosialismenya, yakni suatu solusi final agar seluruh sumberdaya dapat dimiliki oleh semua orang.
Di satu pihak,masyarakat manusia dipandang sebagai penuh dengan konflik dan perselisihan,bukannya consensus dan kerjasama.sedangkannpengeksploitasian dan konflik dipandang sebagai proses-proses dasar masyarakat manusia.karena itu, model masyarakatmanusia menurut marx dikenal sebagai model konflik. Di sisi lain,para penganut model ini nampaknya tak menyembunyikankeyakinan mereka bahwa sosialisme merupakan satu-satunya obat untuk menghilangkan pengeksploitasain dan konflikabadi dalam masyarakat ini.
Untuk melihat adanya pengeksploitasian ekonomis di dalam dan di antara masyarakat-masyarakat, kita tidaklah harus menjadi pengikut Marx Dengan demikian, tekanan ideologis teori-teori mereka di satu pihak mencerminkan hasrat untuk mengetahui cara memorak-porandakan masyarakat,dan di pihak lain untuk mengetahui cara mencegah jangan sampai masyarakat menjadi porak-poranda.
Agaknya sosiologi tidak akan lengkap,kalau tidak ada pendekatan yang melihat dari dekat interaksi manusia yang merupakan  landasan masyarakat manusia. Interaksionisme-simbolis atau teori diri (self teory) merupakan sebuah perspektif mikro dalam sosiologi,yang barangkali sangat spekulatif pada tahapananalisis sekarang ini. Sebagaimana dikesankan oleh namanya, interaksionisme simbolis atau teori diri bertolak dari interaksi social pada tingkat paling minimal.hanya tindakan-tindakan repfleks atau tindakan kebiasaan saja yang dianggap tak terkrna kaidah ini.
Akar-akar pendekatan interaksionis tertancap didalam rasionalismenya John Locke dan epistemology idelisnya Kant. Pendekatan interaksionis ini digambarkan sebagai nonilmiah(bukannya tak ilmiah),karena ia mengasumsikan tak terduganya tindakan manusia seraya mencoba mengemukakan suatu pemahaman tentangnya dari perspektif si pelaku.

BAB II
SOSIOLOGI ADALAH APA YANG DILAKUKAN OLEH
PARA SOSIOLOG

Sosiologi kontemporer tidak terbatas pada tiga pendekatan yang dibicarakan dalam bab terdahulu. Ada cara-cara lain dalam memahami sifat masyarakat,diantaranya adalah teori pertukaran,etnometedologi,fenomenologi, dan teori kritis.Dapat dakatakan sedikit banyak  teori-toeri ini merupakan sebab atau akibat terus merosotnya,kendati secara perlahan-lahan,pendekatan structural-fungsional selama dua puluh tahun belakangan ini.
Sosiologi modern masih harus mengatasi dua dilemma utama.yang pertama meperlemah klaimnya sebagai sains sebagai sains yang dapat diterapkan secara universal.yang kedua memperlemah kemampuannya untuk melayani umat manusia.

Benarkah universal?
Sebagaimana dikemukakan oleh Marx: ”sosiologi telah dikembanghkan di sebuah sudut kecil dunia dan,dengan demikian,mat terbatas sebagai suatu skema universal.ini merupakan salah satu dilemma paling serius dalam sosiologi modern yang akan menimbulkan kesulitan bagi para sosiolog yang melecehkannya. Tak sedikit contoh tentangkelemahan dalam sosiologi ini.misalnya teori tentang kejahatan dari pelanggaran serta penyimpangan pada umumnyatidak menerangkan masalah kejahatan dan penyimpangan di Uni Soviet, Pakistan, Mesir, Indonesia,dan di masyarakat-masyarakat serupa lainnya.
Memang telah ada upaya-upaya untuk meredakan perbedaan-perbedaan sosiologi antara satu Negara barat dengan Negara barat lainnya.perbedaan-perbedaan ini bias dihilangkan dengan interaksi yang lebih akrab antara para sosiolog eropa dan amerika, tetapi kita akan kerap merasakan adanya kenyataan yang janggal bahwa pendekatan-pendekatan sosiologi barat didasarkan pada asumsi-asumsi dan penelitian-penelitian asing bagi realitas social di masyarakat –masyarakat non barat.
Bila kita beralih ke masyarakat muslim,maka akan kita lihat bahwa studi sistematis mengenai islam ,merupakan suatu bidang yang benar-benar diperdulikan dalam sosiologi. Para sosiolog barat  pada umumnya bukan hanya mengabaikan islam sebagai sebuah unit analisis,melainkan juga pendekatan mereka tidak konsisten kalaupun mereka sesekali mengkaji islam. Namun kelemahan-kelemahan kainnya, yang bias dilihat dari pandangan islam merupakan cacat paling mencolok dalam sosiologi modern,adalah sikapnya terhadap agama secara umum.
Sementara para teoritisi konflik memandang agama sebagai sesuatu yang niscaya akan buruk atau,seperti ditandaskan oleh karl Marx, sebagai candu bagi massa,maka sebaliknya, sebagaimana aliran structural-fungsional,teori konflik menganggap agama sebagai satu pranata masyarakat. Namun karena kebanyakan penganut interaksionis adalah orang amerika,maka studi-studi mereka terhadap agama sedemikian mirip dengan bagaimana agama dipandang di amerika yakni sebagai salah satu da banyak pola interaksi dalam masyarakat.
Yang dibutuhkan adalah sustu strategi masyarakat (tentang agama dan masyarakat)yang lebih  bersifat mempersoalkan ketimbang mengikuti asumsi-asumsi yang kini dipegang kuat tentang agama dan masyarakat ini.

Sosiologi intuk apa?
Dalam sebagian besar ilmu,terdapat ilmu-ilmi social.kontroversi antara yang murni dan yang terapan dewasa ini kurang akademis,tetapi sosiologi merupakan suatu ilmu yang tetap menghidupkan perdebatan ini sampai sekarang Yang mengerjakan tugas-tugas lain di samping mengejar dan meneliti.jadi sosiolog bukan Cuma berperan sebagai analis social,melainkan juga sebagai perencana dan pemecah masalah.
Tetapi dalam hal ini kita sebaiknya lebih berhati-hati.karena soal penerapan sosiologi niscaya menimbulkan masalah nilai-nilai,maka para sosiologi barat yang melibatkan masalah harus menjawab pertanyaan: nilai-nilai yang mana?.tentu saja,kita tidak berharap mereka menjadikan islam sebagai pedoman.   

BAB III
SUMBANGAN KAUM MUSLIM BAGI SOSIOLOGI

Sumbangan Klasik
Jika kita tinjau lebih dalam, banyak cendikiawan-cendikiawan Islam yang hidup di masa lampau turut  memerikan ‘sumbangan’ terhadap ilmu sosiologi. Sebut saja Ibn Khaldun. Ibn Khaldun agaknya tepat jika disebut sebagai bapak ilmu sosial. Berbeda dengan para pendahulunya, ia mengemukakan suatu kerangka teoritis yang, di satu sisi, dimaksudkan untuk menjernihkan sejarah, dan di sisi lain, kerangka ini memberikan suatu pola deduktif bagi kebiasaan ‘mengumpulkan data’ para ahli etnografi pada masa itu.
Teori yang digagas oleh Ibn Khaldun, menurut Gumplowicz, merupakan teori pertama mengenai konflik dan perubahan sosial yang diupayakan secara universal. Dalam teorinya, Ibn Khaldun menjabarkan teori mengenai sifat manusia dan sifat masyarakat manusia. Menurutnya, manusia itu lemah, pada mulanya bebal, dan pada dasarnya egois. Tapi, di sisi lain, Allah memberi manusia kekuatan untuk melakukan penalaran dan pemikiran yang abstrak. Bertolak dari premis ini, Ibn Khaldun melihat masyarakat sebagai suatu alat manusia yang sengaja diciptakan guna mengimbangi kelemahan manusia dan memperbesar peluang-peluangnya untuk mempertahankan hidupnya.
Hal tersebut, menurutnya, menggambarkan suatu paradoks. Di satu pihak, manusia didorong oleh egoismenya untuk berbuat sesuatu dengan caranya sendiri dan sesuka hatinya. Di sisi lain, peluang-peluangnya untuk mempertahankan hidupnya hanya sedikit sekali jika ia hanya mementingkan egoismenya sendiri dan tidak mau bekerja sama dengan sesamanya. Lantaran situasi yang paradoks ini, masyarakat manusia senantiasa mengidap kemungkinan terjadinya konflik di dalam dan di luar dirinya.
Selain Ibn Khaldun, Bukhari, Tirmidzi, dan Abu Muslim, juga memberikan sumbangannya terhadap ilmu sosiologi. Metode mereka dikenal dengan nama tadwin. Tadwin merupakan metode yang digunakan untuk menilai keshahihan peristiwa-peristiwa sejarah yang melibatkan nabi Muhammad saw. Para pengumpul hadits ini menggunakan metode yang dapat kita sebut pula dengan metode reputasi, yang dipakai untuk menilai karakter orang-orang yang menceritakan dan menyebarluaskan segala sesuatu yang berkenaan dengan nabi pada masa itu.
Monumental lainnya yang mengandung nilai sosiologis yang besar muncul pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Pada masa itu terdapat suatu monumental yang disebut dengan sosiologi hukum. Di masa itu, para ulama-ulama mampu menetapkan aturan-aturan yurisprudensi (hukum) Islam dan mengajukan suatu kumpulan hukum yang dapat diterapkan pada situasi riil dan juga yang diduga akan timbul pada zaman mereka.

Para Sosiolog Muslim Kontemporer
Selama hampir setengah abad belakangan ini, sejumlah mahasiswa Muslim mendapat pendidikan sosilogis di Barat, atau dididik oleh orang-orang yang memperoleh pendidikan dalam tradisi sosiologi Barat. Hal ini kemudian, sedikit-banyak, mempengaruhi pola pikir mereka menjadi pola pikir Barat, dan jauh dari karakter Islam.Perhatian utama mereka kadangkala hanya berkisar pada penerapan secara membuta.
Berbeda halnya dengan perkembangan sosiologi di negara Islam. Jika diperhatikan, sosiologi di dunia Muslim menunjukkan bahwa tema-tema yang sering digarap adalah pembangunan komunitas dan bangsa, sensus dan kependudukan, keluarga berencana, dan dalam beberapa kasus pengendalian terhadap tingkat kejahatan. Jadi tidak seperti rekan-rekan mereka di Barat, para sosiolog Muslim tampaknya tidak mengalami krisis identitas sehubungan dengan peranan sosiologi dalam masyarakat.
Tapi, tentu saja tidak semua mahasiswa Muslim yang belajar di Barat lalu menjadi Barat. Karena, ada sebagian dari mereka yang mempelajari Islam tatkala belajar di universitas-universitas Barat. Kalau kaum Khawarij berjuang dengan menghunus senjata melawan pemerintahan dinasti selama berabad-abad, di zaman modern ini para mahasiswa Muslim berjuang dengan menggunakan intelektualitasnya.
Semasa menjadi mahasiswa di universitas-universitas Barat, para intelektual Muslim ini sudah memberontak terhadap klaim-klaim intelektual Barat dan sistem-sistem ekonomi dan politik yang  usang dan rusak yang dibawa masuk ke hampir semua negeri Muslim, sehingga banyak dari mereka yang menulis sejumlah literatur tentang ekonomi, politik, dan sejarah.
Salah satu tokoh yang produktif dalam membuat literatur adalah Basyarat ‘Ali. Dia menolak watak sekular dan aneka ragam dari sosiologi Barat umumnya, dan sosiologi Amerika khususnya. ‘Ali menganggap kebudayaan ideal terkandung dalam Islam. Tanpa Islam, menurutnya, masyarakat akan membenarkan bahkan mendorong konflik manusia, bukannya meredamnya.
Seperti halnya Basyarat ‘Ali, ‘Ali Syariati (pemuda Iran berpendidikan Prancis) mungkin memiliki ambisius yang sama besarnya. Syari’ati bukanlah seorang teoritikus besar seperti ‘Ali ataupun seorang peneliti lapangan. Dia sesungguhnya adalah sebuah unsur dan sebuah faktor dalam semangat revolusioner.
Syari’ati melihat dengan sangat jelas dua aspek sosilogi, yaitu aspek murni dan aspek terapan, sebagai sebuah disiplin ilmiah. Tugas dari sosilogi murni ialah “mengenal dan mengartikan Islam sebagai sebuah mazhab pemikiran.”. Sedangkan tugas dari sosiologi terapan ialah menjawab pertanyaan dari “Apa faktor pokok yang menyebabkan suatu masyarakat tiba-tiba berubah dan berkembang, atau mendadak rusak dan runtuh?”.

BAB IV
TEORITIS

Berikut ini ialah penjabaran dari asumsi-asumsi pokok sosiologi Islam murni atau teoritis.
·      ASUMSI 1, Sifat Alam: Asumsi ini menjelaskan bahwa Allah merupakan pencipta seluruh alam semesta termasuk manusia, dan Dia memiliki kekuasaan atas segala yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, asumsi ini menolak nilai sekular dalam sosiologi Barat kontemporer. Asumsi ini menolak pernyataan-pernyataan yang menggantikan peran Allah dengan apa yang mereka namakan dengan “alam”, seperti “menurut ketentuan-ketentuan alam…”, “alam mengharuskan supaya…”, dan pernyataan serupa lainnya yang menyingkapkan nilai-nilai atheistis maupun agnostisisme. Hal ini dikarenakan “alam” itu sendiri ialah ciptaan Allah.
·      ASUMSI 2, Sifat Manusia: Sifat manusia dapat diringkaskan menjadi empat karakteristik yang digambarkan dalam, dan bisa dijabarkan langsung dari, Al-Qur’an.
Pertama, manusia terbuat dari unsur-unsur yang berlawanan. Dalam wujudnya, Allah mencampurkan keburukan dan kebaikan. Ada beberapa perujukan ke sumber penciptaan manusia, yaitu: lempung keras (shalshal kal-fakhkhar), lumpur hitam atau tanah busuk (hamain masnun), tanah biasa (thin), dan debu (turab), yang tercantum dalam Q.S 55:14, 15:26, 6:2, 23:12, 17:61, 22:5. Sesudah itu, Allah membentuk tubuhnya, Dia menghembuskan dari Ruh-Nya ke dalamnya, lalu jadilah manusia utuh. Lumpur atau tanah busuk dianggap sebagai sumber dari segala sesuatu yang mendorong manusia menuju ke hal-hal yang duniawi dan temporal, dan Ruh Illahi dianggap sebagai sumber segala yang mendorong ke arah kebaikan.
Kedua, manusia memiliki kehendak bebas di dalm dirinya, yakni kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan. Dalam pengertian luasnya, asumsi ini berarti bahwa eksistensi manusia dapat digambarkan sebagai suatu proses terus-menerus di antara dilema-dilema tanpa akhir.
Ketiga, manusia telah diberikan kemampuan untuk belajar dan memperoleh pengetahuan. Pada Q.S 2:31 tertulis bahwasannya “Dan Allah mengajarkan kepada Adam ‘semua nama’”. ‘Semua nama’ yang tercantum pada ayat tersebut kemudian ditafsirkan oleh sebagian besar pengkaji Islam sebagai hakikat-hakikat dari segala makhluk, dan dengan demikian menunjuk kepada pengetahuan mengenai seluruh makhluk.
Keempat, dengan memberi manusia kualitas-kualitas unik ini, Allah menjadikannya makhluk terbaik di antara semua makhluk, bahkan lebih unggul daripada malaikat.
·      ASUMSI 3, Sifat Tata Sosial: Masyarakat manusia dapat didefinisikan dari segi dua unsur pokok, yaitu pluralitas manusia, dan hukum-hukum yang mengajut mereka bersama serta yang dianggap patuh oleh mereka.
·      ASUMSI 4, Sifat Sejarah Manusia: Manusia tidak hanya terhimpit dalam dilema di dalam dirinya, melainkan juga seluruh sejarah manusia menggambarkan gerak maju dan pilihan-pilihan dialektis antara tata sosial yang adil dan tidak adil dalam sejarah manusia.

Menuju Teori Islam tentang Masyarakat
Dengan mengikuti asumsi-asumsi yang telah dijabarkan sebelumnya, kita dapat menarik kesimpulan yang mencirikannya, yaitu:
·      Pertama, Teori Islam memperhatikan eksistensi material dan juga spiritual manusia, terutama asal-usul penciptaan manusia berikut sifat gandanya.
·      Kedua, Teori ini memusatkan perhatian kepada proses penalaran dan pengambilan keputusan, dengan memilih di antara alternatif-alternatif yang merupakan landasan-landasan pokok interaksi sosial pada tingkat minimum.
·      Ketiga, Teori ini mampu berkembang hingga mencakup proses-proses yang lebih besar, seperti proses konsensus dan kerjasama di satu sisi dengan konflik dan kompetisi di sisi lain.
·      Keempat, Teori ini memiliki kemampuan untuk menjelaskan perubahan pola-pola perilaku individual dan juga tata sosial dari segi proses-proses internal (misalnya evolusi dan revolusi) maupun faktor-faktor eksternal (misalnya asimilasi dan invasi).
·      Kelima, Teori ini harus bisa mencakup proses-proses manusiawi yang mencerminkan kubu-kubu saling berlawanan di dalam lingkup hubungn antar manusia.

BAB V
KRITIS

Teori islam haruslah mengikuti jalan tengah, maksudnya untuk mencakup ekstrem-ekstrem dalam proses-proses manusiawi, ia harus menghindari sikap-sikap ekstrem. Sebelum membahas hal-hal spesifik tentang apa yang dilakukan sosiolog untuk membantu memajukan islam, alangkah baiknya terlebih dahulu menjelaskan gambaran tentang suatu masyarakat ideal islam dalam zaman modern agar gambaran ini digunakan seperti apa yang dinamakan para sosiolog yaitu “tipe ideal”, yang selanjutnya dapat dipakai untuk mengukur tingkat penyimpangan praktek-praktek kaum muslim dari islam. Gambaran ini berfungsi sebagai sebuah model, guna menilai sejarah kaum muslim di masa lalu dan masa kini.

Islam Sebagai Ideologi
Menganggap seluruh dunia hanya memiliki dua posisi ideologis yaitu: demokrasi kapitalis dan sosialisme adalah terlalu sederhana. Seharusnya jauh lebih logis memandang system-sistem yang ada sebagai suatu rangkaian kesatuan, dengan demokrasi kapitalis di satu ujung, dan sosialisme di ujung lainnya. Diantara keduanya, masing-masing memiliki corak yang berbeda. Islam bertujuan menciptakan sebuah system yang terletak di tengah rangkaian kesatuan ini. Tetapi sebenarnya system islam bukan campuran dari keduannya. Ia sendiri memang asli, dengan wawasannya sendiri tentang kehidupan dan alam semesta, selain itu islam sudah dikenal jauh sebelum demokrasi kapitalis dan sosialisme ada sebagai ideology-ideologi yang dikenal, islam sudah tampil sebagai jalan tengah. Karena terletak di tengah antara kedua posisi ideologis tersebut, islam menghindari ekstrem-ekstrem keduanya, sekaligus mempunyai beberapa persamaan dengan keduanya.

Islam Sebagai Sikap Hidup
Islam bukanlah sekedar suatu formula ritual. Ia adalah proses ketaatan terhadap aturan yang telah ditetapkan oleh Allah berkenaan dengan hubungan antara manusia dengan Dia dan hubungan antar sesama manusia, baik urusan keluarga, politik, ekonomi, pendidikan, rekreasi dan semua bidang yang secara bersama-sama menopang sepenuhnya kehidupan kemasyarakatan dan interaksional di muka bumi. Jadi jika suatu masyarakat memilih jalan yang bertentangan dengan islam, maka ia akan menuju kerusakan dan keruntuhan, walaupun masyarakat itu masyarakat muslim. Sebaliknya jika suatu masyarakat mengatur dirinya dengan mengikuti hukum ini, ia akan berhasil mencapai kebaikan, walaupun masyarakat itu masyarakat non muslim. Asumsi ini meletakkan manusia ditengah antara kebebasan penuh dan keterbatasan total. Tak seperti benda-benda lain, manusia diberi kemampuan untuk memilih, tapi potensi ini dibatasi dan disalurkan melalui islam. Masyarakat islam ideal terletak ditengah antara system yang mendukung dan mengklaim tingkat kebebasan berbuat dan berekspresi yang tinggi. Berikut ini contoh kasus dalam bidang pernikahan dan keluarga untuk menjelaskan maksud dari posisi tengah antara kebebasan penuh dan keterbatasan total.
Pernikahan dalam islam hakikatnya adalah sebuah kontrak sosial antara mempelai pria dan mempelai wanita. Kontrak ini harus diselenggarakan dengan penerapan penuh kebebasan memilih. Tetapi dipihak lain, segala praktek pernikahan yang didahului dengan kebebasan melakukan hubungan seks pranikah, kencan, pacaran ataupun sebagaimana yang umum terjadi dalam masyarakat-masyarakat tertentu dilarang tegas. Maka dari itu, anggota keluarga harus berperan sebagai perantara. Dengan demikian, secara ideal islam memberikan kebebasan memilih dalam pernikahan, namun pilihan ini hampir tidak mungkin ada tanpa bantuan orang-orang disekitarnya. Tetapi dalam islam, para kerabat yang mempunyai peranan dalam pernikahan tersebut harus menghormati hak-hak kedua mempelai.
Masalah lain contoh mengenai “jalan tengah” dalam islam, di bidang ekonomi: Masyarakat islam didasarkan pada ekonomi pasar bebas dan menghormati hak milik pribadi. Tapi dipihak lain, islam bertujuan mengurangi deskriminasi antara si kaya dan si miskin dalam masyarakat. Tujuan ini dapat dicapai dengan memeratakan sumber-sumber daya. Sebagaimana etika kerja protestan, etika kerja islam mendorong dan memajukan dedikasi dalam kerja untuk memperoleh penghidupan, tetapi tak seperti etika protestan, islam memandang keberhasilan dalam mengumpulkan kekayaan belum tentu sebagai petunjuk mendapatkan rahmat Allah. Dalam alqur’an mengajarkan mengejar dunia material secara membabi-buta adalah hal yang sia-sia, karena kebaikan sejati terdapat di akhirat nanti.
Contoh lainnya, bidang politik. Islam mengajarkan sebuah system yang terletak di tengah-tengah antara otoritarianisme dan demokrasi. Jadi, dalam hubungan-hubungan kekusaannya, islam bukanlah otoritarian dan bukan juga demokrasi meskipun ia mengandung unsur-unsur kedua system ini. Islam bersifat otoritas maksudnya otoritas tertinggi dalam Negara islam terletak di tangan Yang Mahakuasa sendiri, hukumNyalah yang harus ditegakkan. Orang-orang yang bertanggung jawab menyelenggarakan Negara islam adalah wakil-wakilNya, yang wajib dipatuhi selama mereka menaati aturan Allah dan RasulNya. Hal ini lazim dipahami berdasarkan ayat “”taatilah Allah, dan Rasul serta orang-yang memegang otoritas di antara kalian.” (QS. 24:54).
Sebagai amir dalam menjalankan tugas-tugasnya, ia memperoleh banyak petunjuk dari tradisi nabi. Namun, penerapan hukum-hukum Al-qur’an yang sangat tegas pun mungkin tidak cocok untuk situasi-situasi tertentu dan tradisi nabi juga tidak memberikan contoh cukup, maka ditempuhlah suatu proses yang menunjukkan betapa Negara islam, yang diselenggarakan dalam batas-batas otoritas Allah, mementingkan keikutsertaan rakyat. Berbagai pedoman diberikan untuk mengatasi situasi-situasi probematis semacam itu, misalnya: ijma, ijtihad dan qiyas atau pemikiran kita sendiri dengan mempertimbangkan Alqur’an dan sunnah, jika solusi-solusi yang diperlukan tidak terdapat secara jelas dalam al-qur’an dan sunnah.
Harus diingat, bahwa proses-proses ini berkaitan langsung dengan perintah Al-qur’an: “dan syura merupakan otoritas di antara mereka” (QS. 42:38). Ayat ini sekaligus menjawab permasalahan, yaitu mengenai siapa orang yang memiliki otoritas sebagai wakil Allah atas kaum muslim, dan bagaimana proses munculnya otoritas ini. Permasalahan ini telah terjawab dengan sendirinya, orang yang memiliki otoritas dalam masyarakat islam harus muncul melalui proses syuro. Ayat diatas dalam pengertiannya memberikan cara pemecahan masalah, baik masalah individu maupun masalah yang berkaitan dengan proses-proses dalam masyarakat sebagai suatu keseluruhan.
Pendekatan sosiologis apa pun terhadap islam, hendaknya tidak boleh mengabaikan makna syuro (musyawarah). Syuro bukanlah suatu lembaga konsultasi. Ia merupakan suatu proses dinamis dengan tujuan menemukan solusi atas masalah-masalah yang muncul dalam kancah kehidupan bersama sebagai anggota suatu masyarakat. Dalam bidang politik, syuro tidak hanya mencerminkan suatu proses yang melaluinya otoritas tertinggi dimunculkan, melainkan juga menetapkan mekanisme yang mengatur cara dilahirkan dan dijalankan otoritas tersebut, dan suatu problem tidak akan dapat diselesaikan tanpa mempertimbangkan semua orang yang terlibat dalam masalah itu. Syuro dalam aspek-aspek politiknya, merupakan sebuah system yang berasal dari kehendak Allah, demi Allah, dan melalui otoritas Allah.
Syuro merupakan prinsip organisasi islam. Tanpa adanya syuro tidak akan muncul organisasi di kalangan kaum muslim, baik itu di lembaga kemahasiswaan, perusahaan, kelompok kerja social, ataupun pemerintahan. Tetapi yang mengherankan, syuro hanya mendapat perhatian sedikit dalam praktek dan literature islam. syuro adalah proses ketakwaan, maksudnya proses yang tidak melampaui batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasulNya, yang meliputi:
1. Masalah
2. semua orang yang terlibat dalam masalah tersebut
3. perbedaan pendapat diantara orang-orang tersebut
4. pengambilan keputusan oleh orang-orang tersebut
5. ketaatan kepada keputusan itu.
Dengan contoh ketiga kasus tersebut, masyarakat islam dapat menempuh suatu jalan tengah yang menghindari kebebasan maupun pembatasan yang berlebihan. Ini merupakan satu-satunya cara memahami makna ayat: “Allah tidak pernah membebani setiap jiwa lebih daripada yang mampu dipikulnya” (QS 2:286).

BAB VI
STRATEGIS

       Seperti sudah disebutkan, nestapa terbesar yang menimpa masyarakat-masyarakat muslim kontemporer adalah keterbelakangan ekonomi. Di beberapa negara, jumlah uang yang di investasikan bagi pertumbuhan industri adalah kecil. Sedang dinegara-negara lainnya, kekayaan yang baru diperoleh belum dimanfaatkan untuk memproduksi hal-hal yang bermanfaat. Dan upaya mereka membangun perekonomian masing-masing, negeri-negeri muslim ini mengikuti pedoman-pedoman kapitalisme atau sosialisme, meskipun kenyataannya upaya pembangunan ini telah berlangsung lebih dari seperempat abad, dan problem keterbelakangan tetap saja bercokol kuat.
Masyarakat muslim yang mengenut sistem pembangunan kapitalis barat ternyata merupakan masyarakat-masyarakat yang paling ketrat dililit utang dunia. Di pihak lain, masyrakat-masyrakat muslim yang mengikuti sosialisme mengalami otoritarianisme dan ketidakefesienan birokrasi, yang telah menyebabkan terjadinya pemborosan besar atas sumber-sumber daya nasional, sementara kaum buruhnya mengalami alienasi yang sangat akut. Akibatnya, kemerdekaan politik yang diperoleh negeri-negeri ini dengan perjuangan berat, menjadi hilang karena ketergantungan ekonomi, sebab mereka masih harus membayarkan semua dividen.
Bersama intelektual-intelektual lainnya para sosiolog telah memainkan peranan penting dalam usaha-usaha pembangunan ini dinegeri mereka masing-masing. Para ahli sosiologi pembangunan dinegeri muslim memang telah menyarankan cara-cara dan sarana-sarana untuk mengubah sikap penduduk tradisional supaya menerima, misalnya keluarga berencana atau teknik pertanian.
Tetapi mereka hampir tidak memperdulikan dampak negatif yang mungkin menimpa massa dan keluarga diperkotaan. Masyarakat-masyarakat muslim memperlihatkan tingkat pertumbuhan spektrum tingkat pertumbuhan penduduk yang berbeda-beda. Dalam sebuah karya tentang Asia yang cukup sering dikutip oleh Marydal, menunjukkan unsur korupsi dan birokrasi dubeberapa negara berkembang ini. Dia menyebut  negara-negara ang dililit korupsi dengan istilah “negara lunak”. Di sejumlah negeri penyuapan, penggelapan, dan penyalahgunaan dana-dana pemerintah menggejal sedemikian rupa, sehingga dengan mudah hukum dilanggar dan dikesampingkan oleh para pejabat.
Tetapi ada bentuk lain korupsi yang masih belum dibahas oleh para ahli ilmu sosial. Lantaran tidak ada istilah yang tepat kami menyebutnya “pita merah penekan”. Pita merah penekan merupakan fenomena dimana sang birokrat tak berfungsi sebagai orang yang menjalankan kewajiban, tidak pula menuntut imbalan apa-apa.
Dalam dua kasus tersebut terlihat kurangnya komitmen pribadi terhadap proses pembangunan-pembangunan yang lebih luas. Dari pandangan orang-orang yang berada diambang kelaparan seluruh argumen ini seakan terdengan tak relevan, atau bahkan memedihkan. Ia akan lebih memilih sistem lainyang bisa membebaskannya dari penderitaan. Masyarakat-masyarakat muslim yang mengikuti sistem-sistem initidak akan mampu mengatasi problem rillnya, karena problem tresebut bukanlah semata-mata bersifat ekonomi tapi bersifat manusia. Jiwa manusia yang terdapat dalam tubuh material yang fana, merupakan unsur paling murni yang dikaruniakan oleh Allah kepada manusia.
Yang dibutuhkan dan perlu ditampilkan masyarakat muslim muslim kepada dunia adalah model pembangunan Islam. Model pembangunan Islam bertujuan untuk membentuk suatu masyarakat Islam yang ideal berdasarkan lingkungan politik dan sosial ekonomi yang memenuhi kebutuhan material dan spritual manusia. Perubahan sosial Islam mempunyai dua aspek utama: yang pertama “Orientasi Internal” dan “Orientasi Eksternal”.

Orientasi Internal
Sejak kekhalifahan Islam terhapus, selalu ada gerakan-gerakan dalam setiap dunia muslim untuk membangun kembali sistem tersebut. Tetapi pendekatan yang lebih digunakan oleh Islam kontemporer ini sangat beragam. Sebagian memilih Evolusioner, dan sebagian yang lain tetap bersikeras dengan gagasan revolusi. Karen itu tugas sosiolog Islam adalah menjelaskan kapan revolusi merupakan suatu hal yang bukan hanya diidamkan tapi juga sesuatu yang mungkin. Demikian pula mereka harus menunjukkan kapan dan dalam keadaan apa suatu aktifitas evolusioner baik yang disulut oleh rakyat maupun pemerintah mempunyai peluang yang besar untuk berhasil.

Orientasi Eksternal
Pada saat ini sukar menemukan kaum muslim yang mengupayakan kegiatan dakwah secara serius dan sistematis. Dakwah merupakan hal yang fundamental dalam Islam. Kegiatan inilah yang akhirnya menyebabkan Islam, pada awalnya tersebar diarabia dan tempat-tempat lain. Para sosiolog dapat memberikan sumbangan dan tekhnik-tekhnik dakwah sebagaimana yang digunakan oleh praktisi kegiatan ini yang palin sukses dalam Islam, yaitu Nabi SAW sendiri. Ada dua jenis penduduk yang harus menjadi sasaran dakwah Islam:
·      Minoritas non-muslim diwilayah-wilayah mayoritas muslim.
·      Mayoritas non muslim hidup bersama minoritas muslim.

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Sosiologi Agama Description: Rating: 5 Reviewed By: Unknown
Scroll to Top