oleh Ade Zuniarsa Putra
assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu
kawan,patut saya bersyukur kepada Allah atas nikmat dan karunia-Nya yg memberikan saya kesempatan menimba ilmu malam ini, ilmu yang saya dapat pada kesempatan kali ini adalah tentang ghibah, mulai dari perngertiannya, ghibah yg diperbolehkan dan masalah-masalah lain yang muncul setelahnya. yang menjadi tantangan untuk saya dan beberapa kawan saya adalah praktiknya yang sulit,sulit karena sudah menjadi santapan manusia, khususnya di indonesia dan perkotaan yg selalu dihinggapi rasa dengki dan televisi yg selalu menyajikan ghibah itu sendiri, belum sepuluh menit materi tersebut sampai pada kami, secara tidak sengaja kami terjerumus kedalamnya,beruntung ilmu tersebut masih melekat pada kami, sehingga kami langsung sadar bahwa yg kami lakukan adalah salah. namun
hal itu tidak melunturkan semangat kami untuk mengamalkan ilmu yg kami tersebut, ilmu yg sangat berharga yg akan membimbing kami menjadi manusia yg berakhlak karimah. oleh karena itu, walaupun sulit, kami pasti yakin BISA!!! untuk mengamalkan ilmu tersebut.
tanpa berpanjang kalam, saya bermaksud membagi ilmu yg saya dapat kepada kawan-kawan, karena dalam makna sebuah hadits dikatakan, bahwa "tidak sempurna keimana seseorang, sehingga ia mencintai (kebaikan) saudaranya sebagaimana ia mencintai (kebaikan) untuk saudaranya. berikut pembahasannya ^_^
GHIBAH
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
اتدرون ما الغيبه؟ قالوا: الله ورسوله أعلم .قال:الْغِيبَة ذِكْرك أَخَاك بِمَا يَكْرَه قِيلَ : أَفَرَأَيْت إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُول ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُول فَقَدْ اِغْتَبْته ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَقَدْ بَهَتّه
“Tahukah kalian apa itu ghibah?”
Mereka (para sahabat) menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Kemudian beliau shallahu’alaihi wasallam bersabda, “Engkau menyebut-nyebut saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.”
Kemudian ada yang bertanya, “Bagaimana menurutmu jika sesuatu yang aku sebutkan tersebut nyata-nyata apa pada saudaraku?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Jika memang apa yang engkau ceritakan tersebut ada pada dirinya itulah yang namanya ghibah, namun jika tidak berarti engkau telah berdusta atas namanya.” (HR Muslim 2589 Bab: Al-Bir Wash Shilah Wal Adab)
Larangan Berbuat Ghibah dalam Al Qur’an
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS al Hujurat:12)
Berkata ibnu Katsir rahimahullah di dalam tafsirnya bahwa di dalam ayat ini terkandung larangan ghibah. Lalu beliau membawakan hadist diatas
Pelajaran Penting
Syaikh Abdullah al Bassam rahimahullah dalam kitab beliau Taudhihul Ahkam Min Bulughil Maram(IV/599, Kairo) menjelaskan poin-poin penting yang bisa diambil dari hadits diatas:
Definisi Ghibah
Nabi shallallhu’alaihi wasallam menjelaskan makna ghibah dengan menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang ia benci, baik tentang fisiknya maupun sifat-sifatnya. Maka setiap kalimat yang engkau ucapkan sementara saudaramu membenci jika tahu engkau mengatakan demikian maka itulah ghibah. Baik dia orang tua maupun anak muda, akan tetapi kadar dosa yang ditanggung tiap orang berbeda-beda sesuai dengan apa yang dia ucapkan meskipun pada kenyataannya sifat tersebut ada pada dirinya.
Adapun jika sesuatu yagn engkau sebutkan ternyata tidak ada pada diri saudaramu berarti engkau telah melakukan dua kejelekan sekaligus: ghibah dan buhtan (dusta).
Nawawiy rahimahullah mengatakan, “Ghibah berarti seseorang menyebut-nyebut sesuatu yang dibenci saudaranya baik tentang tubuhnya, agamanya, duniannya, jiwanya, akhlaknya,hartanya, anak-anaknya,istri-istrinya, pembantunya, gerakannya, mimik bicarnya atau kemuraman wajahnya dan yang lainnya yang bersifat mngejek baik dengan ucapan maupun isyarat.”
Beliau rahimahullah melanjutkan, “Termasuk ghibah adalah ucapan sindiran terhadap perkataan para penulis (kitab) contohnya kalimat: ‘Barangsiapa yang mengaku berilmu’ atau ucapan ’sebagian orang yang mengaku telah melakukan kebaikan’. Contoh yang lain adalah perkataa berikut yang mereka lontarkan sebagai sindiran, “Semoga Allah mengampuni kami”, “Semoga Allah menerima taubat kami”, “Kita memohon kepada Allah keselamatan”.
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shalallahu’alaihi wasallam ذِكْرك أَخَاك (engkau meneybut-nyebut saudaramu) ini merupakan dalil bahwa larangan ghibah hanya berlaku bagi sesama saudara (muslim) tidak ada ghibah yang haram untuk orang yahudi, nashrani dan semua agama yang menyimpang, demikian juga orang yang dikeluarkan dari islam (murtad) karena bid’ah yang ia perbuat.”
Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Para ulama telah sepakat bahwasanya ghibah termasuk dosa besar. Mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالكُمْ وَأَعْرَاضكُمْ حَرَام عَلَيْكُم
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian adalah haram atas (sesama) kalian”.( HR Muslim 3179, Syarh Nawai ‘ala Muslim)
Adakah Ghibah yang Diperbolehkan?
Imam Nawawi rahimahullah setelah menjelaskan makna ghibah beliau berkata, dalam kitab riyadush shalihin," Akan tetapi ghibah itu diperbolehkan oleh syar’iat pada enam perkara:
1. Kedzoliman, diperbolehkan bagi orang yang terdzolimi menngadukan kedzoliman kepada penguasa atau hakim yang berkuasa yang memiliki kekuatan untuk mengadili perbuatan tersebut. Sehingga diperbolehkan mengatakan,”Si Fulan telah mendzalimi diriku”atau “Dia telah berbuat demikian kepadaku.”
"Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. An-Nisa' : 148)
Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang teraniaya boleh menceritakan keburukan perbuatan orang yang menzhaliminya kepada khalayak ramai. Bahkan jika ia menceritakannya kepada seseorang yang mempunyai kekuasaan, kekuatan, dan wewenang untuk menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, seperti seorang pemimpin atau hakim, dengan tujuan mengharapkan bantuan atau keadilan, maka sudah jelas boleh hukumnya. Tetapi walaupun kita boleh mengghibah orang yang menzhalimi kita, pemberian maaf atau menyembunyikan suatu keburukan adalah lebih baik. Hal ini ditegaskan pada ayat berikutnya, yaitu Surat An-Nisa ayat 149: "Jika kamu menyatakan kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa." (QS. An-Nisa: 149)
2. Meminta bantun untuk menghilangkan kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran. Maka seseorang diperbolehkan mengatakan, “Fulan telah berbuat demikian maka cegahlah dia!”
3. Meminta fatwa kepada mufti (pemberi fatwa,pen) dengan mengatakan:”Si Fulan telah mendzolimi diriku atau bapakku telah mendzalimi diriku atau saudaraku atau suamiku, apa yang pantas ia peroleh? Dan apa yang harus saya perbuat agar terbebas darinya dan mampu mencegah perbuatan buruknya kepadaku?”
Atau ungkapan semisalnya. Hal ini diperbolehkan karena ada kebutuhan. Dan yang lebih baik hendaknya pertanyaan tersebut diungkapkan dengan ungkapan global, contohnya:
“Seseorang telah berbuat demikian kepadaku” atau “Seorang suami telah berbuat dzalim kepaada istrinya” atau “Seorang anak telah berbuat demikian” dan sebagainya.
Meskipun demkian menyebut nama person tertentu diperbolehkan, sebagaimana hadits Hindun ketika beliau mengadukan (suaminya)kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang sangat pelit.”
4. Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan, contohnya memperingatkan kaum muslimin dari perowi-perowi cacat supaya tidak diambil hadits ataupun persaksian darinya, memperingatkan dari para penulis buku (yang penuh syubhat). Menyebutkan kejelekan mereka diperbolehkan secara ijma’ bahkan terkadang hukumnya menjadi wajib demi menjaga kemurnian syari’at.
<span></span>
- Mencela para perawi-perawi (hadits) atau para saksi yang tidak memenuhi syarat. Hal ini dibolehkan secara ijma’ kaum muslimin bahkan bisa jadi hal tersebut wajib hukumnya.
- Meminta pendapat/musyawarah orang lain dalam hal menikahi seseorang atau bergaul dengannya atau meninggalkannya atau dalam hal bermuamalah dengannya dll. Maka wajib bagi yang diajak bermusyawarah untuk tidak menyembunyikan sesuatupun tentang keadaan orang tersebut bahkan dia harus menyebutkan semua kejelekannya dengan niat saling menasehati.
- Apabila seseorang melihat penuntut ilmu sering berkunjung kepada ahli bid’ah (dai penyesat-pent) atau fasik untuk mengambil ilmu darinya dan dia khawatir si penuntut ilmu itu akan terkena racun kesesatan orang tersebut maka wajib baginya untuk menasehati si penuntut ilmu dengan menjelaskan hakekat (kesesatan) sang guru/dai penyesat itu dengan syarat tujuannya untuk menasehati. Dalam hal ini ada sebagian orang yang salah mempraktekkannya, dia tujuannya bukan untuk menasehati tapi karena hasad/dengki dengan orang yang ditahdzir (dighibahi itu), yang telah dihiasi oleh syaitan seolah-olah dia menasehati tapi hakekatnya dia hasad dan dengki.
- Seseorang yang memiliki tanggung jawab/tugas tapi dia tidak menjalankannya dengan baik atau dia itu fasik dan lalai dll. Maka boleh bagi yang mengetahuinya untuk menyebutkan keadaan orang tersebut kepada atasannya agar memecatnya dan menggantinya dengan yang lebih baik atau agar hanya diketahui keadaannya saja lalu diambil tindakan hingga atasannya tidak tertipu dengannya atau agar atasannya tersebut menasehatinya kepada kebaikan.
5. Ghibah terhadap orang yang melakukan kefasikan atau bid’ah secara terang-terangnan seperti menggunjing orang yang suka minum minuman keras, melakukan perdagangan manusia, menarik pajak dan perbuatan maksiat lainnya. Diperbolehkan menyebutkannya dalam rangka menghindarkan masyarakat dari kejelekannya.
6.Menyebut identitas seseorang yaitu ketika seseorang telah kondang dengan gelar tersebut. Seperti si buta, si pincang, si buta lagi pendek, si buta sebelah, si buntung maka diperbolehkan menyebutkan nama-nama tersebut sebagai identitas diri seseorang. Hukumnya haram jika digunakan untuk mencela dan menyebut kekurangan orang lain. Namun lebih baik jika tetap menggunakan kata yang baik sebagai panggilan, Allahu A’lam. (Syarhun Nawawi ‘ala Muslim, Hal.400).
(Keenam perkara tersebut di atas disampaikan oleh Imam Nawawi, salah seorang ulama madzhab Syafi’i yang meninggal tahun 676 H mengatakan dalam kitabnya “Riyadhus Shalihin” bab “Penjelasan ghibah yang dibolehkan”)
tambahan dari ulama yang lain
7. Membicarakan para perawi hadist
Imam Abu Isa (At-Tirmidzi) berkata: “Sebagian orang yang tidak paham akan (agama ini) mencela para ahli hadits dalam ucapan mereka tentang perawi-perawi hadits.
Sungguh kita telah mendapati banyak dari para Imam dari kalangan tabi’in membicarakan (menggunjing/mencela) para perowi diantara mereka adalah Hasan Al-Bashri & Thowus mereka berdua mencela Ma’bad al-Juhani, Sa’id bin Jubeir membicarakan Tholq bin Habib, Ibrahim an-Nakho’i dan Amir asy-Sya’bi membicarakan al-Harits al-A’war. Demikian pula yang diriwayatkan dari Ayyub as-Sakhtiyani, Abdullah bin ‘Aun, Sulaiman at-Taimi, Syu’bah bin Hajjaj, Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, al-’Auza’i, Abdullah bin Mubarak, Yahya bin Sa’id al-Qoththon, Waki’ bin Jarrah, Abdurrohman bin Mahdi dan selain mereka dari para ahli ilmu, mereka semua pernah membicarakan para perawi-perawi dan mendhoifkannya.
(Imam Ibnu Rajab Al-Hambali v mengatakan dalam kitab “Syarh ‘ilal At-Tirmidzi” 1/43-44).
8. Pelaku maksiat yang menceritakan sendiri kemaksiatannya.
“Semua umatku akan diampuni (tidak boleh dighibah) kecuali orang yang melakukan kemaksiatan dengan terang-terangan. Dan sesungguhnya termasuk melakukan kemaksiatan dengan terang-terangan, yaitu seseorang yang melakukan perbuatan (kemaksiatan) pada waktu malam dan Allah telah menutupinya (yakni, tidak ada orang yang mengetahuinya, Pent), lalu ketika pagi dia mengatakan : “Hai Fulan, kemarin aku melakukan ini dan itu”, padahal pada waktu malam Allah telah menutupinya, namun ketika masuk waktu pagi dia membuka tirai Allah terhadapnya” [HR Al-Bukhari, no. 6069, Muslim no. 2990, Pent]
9. Pengutang yang mampu tapi menunda pembayaran hutangnya.
Ini merupakan peringatan bagi orang yang berhutang. Semestinya memperhatikan kewajiban untuk melunasinya. Allah S.w.t. memerintahkan agar kita menunaikan amanah. Hutang merupakan amanah di pundak penghutang yang baru tertunaikan (terlunaskan) dengan membayarnya. Allah S.w.t. berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimnya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [An-Nisa : 58].
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, telah bersabda Rasulullah s.a.w. :
“Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan senang jika tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk pembayaran hutang” [HR Bukhari no. 2390].
Orang yang menahan hutangnya padahal ia mampu membayarnya, maka orang tersebut berhak mendapat hukuman dan ancaman, diantaranya :
a. Berhak mendapat perlakuan keras.
Dari Abu Hurairah r.a. berkata. : “Seseorang menagih hutang kepada Rasulullah s.a.w., sampai dia mengucapkan kata-kata pedas. Maka para sahabat hendak memukulnya, maka Nabi s.a.w. berkata, “Biarkan dia. Sesungguhnya si empunya hak berhak berucap. Belikan untuknya unta, kemudian serahkan kepadanya”. Mereka (para sahabat) berkata : “Kami tidak mendapatkan, kecuali yang lebih bagus dari untanya”. Nabi s.a.w. bersabda, “Belikan untuknya, kemudian berikan kepadanya. Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang paling baik dalam pembayaran”.
Imam Dzahabi mengkatagorikan penundaan pembayaran hutang oleh orang yang mampu sebagai dosa besar dalam kitab Al-Kabair pada dosa besar no. 20
b. Berhak dighibah (digunjing) dan diberi pidana penjara. Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, telah bersabda Rasulullah s.a.w. :
“Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman”
Dalam riwayat lain Nabi s.a.w. bersabda. :
“Menunda pembayaran bagi yang mampu membayar, (ia) halal untuk dihukum dan (juga) kehormatannya”.
HAL-HAL YANG HENDAK DIPERHATIKAN DALAM GHIBAH YANG DIPERBOLEHKAN
Namun ada hal – hal yang harus diperhatikan dalam masalah ghibah yang diperbolehkan di atas, yaitu :
1. Ikhlas karena Allah di dalam niat. Maka janganlah kamu katakan ghibah yang dibolehkan bagimu untuk menghilangkan kemarahan, mencela saudaramu atau merendahkannya.
2. Tidak menyebut nama seseorang selagi bisa dilakukan
3. Agar ketika membicarakan seseorang hanya tentang apa yang telah diperbuatnya dengan sesuatu yang diijinkannya, dan janganlah membuka pintu ghibah untuk menjatuhkan, sehingga menyebutkan aib-aibnya.
4. Berkeyakinan kuat tidak akan terjadi kerusakan yang lebih besar dari manfaatnya.
HAL-HAL YANG TIDAK DIANGGAP GHIBAH, PADAHAL SEBENARNYA GHIBAH
Hal ini yang harus diwaspadai, seringkali kita tidak sadar bahwa perbuatan yang sebenarnya itu adalah ghibah, karena ketidaktahuan kita atau karena menuruti hawa nafsu sehingga menganggap hal tersebut bukan ghibah. Hal-hal yang dianggap ghibah tapi sebenarnya adalah ghibah diantaranya :
1. Terkadang seseorang menggunjing saudaranya, dan jika dia dicegah/diingkari, dia malah berkata,” Aku siap mengatakan di hadapannya.” Dan, hal ini bias dibantah dengan beberapa bantahan diantaranya:
a. Bahwasannya kamu telah membicarakan orang di belakangnya dengan sesuatu yang dibenci, dan ini adalah ghibah.
b.Kesiapanmu untuk mengatakan di hadapannya, adalah suatu perkara lain yang berdiri sendiri. Di dalamnya, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwasannya kamu boleh membicarakan saudaramu dibelakangnya dengan apa yang dibencinya.
2. Ucapan seseorang di tengah-tengah sekelompok orang sewaktu menggunjing orang tertentu,” Kami berlindung kepada Allah dari sedikit malu,”Kami berlindung kepada Allah dari kesesatan,” dan lain sebagainya. Sesungguhnya dia menggabungkan antara celaan terhadap orang yang digunjing dan antara pujian terhadap hawa nafsu.
3. Begitu pula, perkataan seseorang,” Si fulan sedang diuji dengan ini,” atau “Kita semua melakukan ini”.
4. Perkataan seseorang,” Sebagian orang telah melakukan hal ini,” atau “…sebagian ulama fikih,” dan lain sebagainya, jika yang diajak bicara memahaminya sendiri, demi tercapainya pemahaman.
5. Perkataan seseorang,” Afandi telah berbuat begini,” atau “Paduka tuan” dan sebagainya, jika bermaksud untuk merendahkannya.
6. Ucapan mereka,”Ini perkara kecil boleh digunjingkan.”Tetapi,manakah dalil yang membolehkan ghibah semacam ini, selama nash-nash yang muncul bersifat mutlak ?
7. Menganggap remeh masalah ghibah kepada pelaku maksiat. Adapun orang yang terang-terangan melakukan maksiat, maka diperbolehkan untuk menggunjingnya. Sedangkan menganggap enteng masalah ghibah terhadap pelaku maksiat secara mutlak, itu tidak boleh. Karena sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda “Ghibah itu kamu membicarakan saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya”
Dalam hal ini mencakup orang muslim yang taat, dan durhaka atau berbuat maksiat.
8. Ucapanmu,” Ini orang India, Mesir, Palestina, Yordania, ‘ajam ( non arab ), keturunan Arab, Badui, Kampungan, tukang sepatu, tukang batu atau tukang besi.” Jika ucapan itu mengandung unsure ejekan atau penghinaan.
Insya Allah dengan sedikit ilmu di atas memudahkan kita untuk terhindar dari salah satu bahaya lisan yaitu ghibah dan sepatutnya kita berlindung kepada Allah dari segala perbuatan dosa dan maksiat.
semoga bermanfaat
0 komentar:
Posting Komentar