Dalam Islam, balasan pidana ini adalah qishâsh, sebagai keadilan yang
Allah Azza wa Jallategakkan di muka bumi. Ini menunjukkan bahwa pada
luka juga terdapat hukum qishâsh. Dan ini adalah syariat umat sebelum
umat ini, seperti yang sebutkan pada firman Allah Azza wa Jalla:
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ
بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ
بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya
jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung,
telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada
qishashnya.[1]
Dari ayat di atas, diketahui bahwa hukum asal jinâyah adalah qishâsh.
Akan tetapi, terkadang hukum asal ini (qishâsh) terhalang dengan
beberapa mawâni' (penghalang), sehingga al-jâni (pelaku jinâyah) diberi
hukuman lain sebagai ganti rugi dari kerusakan yang ditimbulkan, yaitu
diyat.
PENGHALANG/ PEMBATAL QISHASH ANGOTA TUBUH
Adapun penghalang-penghalang qishâsh yang telah digariskan syari'at untuk diganti dengan diyat adalah sebagai berikut :
1. Al-Ubuwwah: maksudnya pelaku jinâyah adalah bapak dari korban
tersebut. Dasarnya adalah hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam :
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لاَ يُقَادُ الْوَالِدُ بِالْوَلَدِ
Dari Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu, ia berkata : "Aku mendengar
Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Bapak tidak boleh
diqishâsh pada jinâyahnya terhadap anak”[2]
2. Yang bersangkutan memberikan maaf dan rela dengan diyat. Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ
وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ
وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya,
hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diyat) kepada yang memberi ma'af
dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan
dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih[3].
3. Tidak sekufu', maksudnya tidak sepadan antara al-jâni (pelaku) dan
al-majny 'alaihi (korban). Yang dimaksud sekufu' di sini menurut jumhur
Ulama' ialah dalam dua hal, yang Pertama, huriyyah (status kemerdekaan
atau budak), dan yang Kedua adalah status agama.[4]
4. Ketidaksengajaan (al-khata') atau bahkan menurut Syâfi`iyah dan
Hanâbilah pada kasus syibhul 'amdi (mirip disengaja) termasuk dari
penghalang qishâsh.[5]
5. Tidak adanya mumâtsalah (sesuatu yang semisal/sebanding) antara
pelaku dan korban. Dalam mumâtsalah ini ada pada tiga hal [6], yaitu:
a. Mumâtsalah pada bagian dari anggota tubuh, kadar maupun fungsinya.
Maka tidak diqishâsh tangan selain dengan tangan, bagian kiri dengan
yang kanan, ibu jari dengan telunjuk, karena tidak ada suatu kesamaan
b. Mumâtsalah dalam kesempurnaan dan kesehatan. Maka tidak diqishâsh antara mata buta dengan mata yang normal
c. Mumâtsalah dalam fi'il qishâsh yaitu memungkinkan tidak terjadi
kedzaliman atau pengurangan dalam proses eksekusi qishâsh. Maka tidak
diqishâsh pada kerusakan yang terjadi pada badan karena mumâtsalah dalam
masalah ini sangat sulit diterapkan. Begitu juga jinâyah yang memutus
pertengahan hasta atau lengan maka qishâs hanya berlaku sampai
persendian yang di bawah pertengahan hasta atau lengan tadi, dan
selebihnya diukur dengan kadar diyat, hal ini tidak lain dalam rangka
memberikan hukum dengan seadil-adilnya.
Maka apabila terdapat salah satu dari mawâni' (penghalang) qishâsh tersebut di atas, seketika itu hukuman berubah menjadi diyat.
DIYAT ANGGOTA BADAN
Pada jinâyah ma dûna nafs (non kematian) ini memiliki empat kategori diyat apabila qishâsh terhalang [7], yaitu:
• Diyat pada jinâyah yang berakibat hilangnya salah satu anggota badan
• Diyat pada jinâyah yang menimbulkan hilangnya suatu manfaat dari anggota badan.
• Diyat pada jinâyah yang berupa luka di kepala, wajah atau badan
• Diyat pada jinâyah yang mengakibatkan patah tulang.
Perincian diyat pada jinâyah- jinâyah tersebut ialah:
A. Diyat pada jinâyah yang berakibat hilangnya salah satu anggota badan
Dalam tubuh manusia terdapat 45 anggota badan.[8] Dari anggota itu ada
yang berjumlah satu, dan ada juga yang berjumlah sepasang atau berjumlah
lebih dari itu. Maka, setiap jenis anggota tersebut memiliki diyat yang
berbeda-beda. Adapun pembagiannya yaitu [9] :
1. Bagian tubuh yang berjumlah tunggal seperti; lidah, hidung, dzakar
atau kulup, Shulb/tulang belakang (syaraf reproduksi), saluran kemih,
rambut kepala, jenggot bila tidak tumbuh lagi. Maka diyatnya utuh 100
ekor onta yaitu seperti diyat Nafs (jiwa).
Khusus untuk kasus hidung, maka diyatnya sempurna, dan hidung terdiri
dari tiga bagian, yaitu dua rongga dan satu pembatas rongga hidung.
Apabila kerusakan terjadi pada salah satu bagian tersebut, maka diyatnya
sepertiga.
2. Anggota badan yang berpasangan (berjumlah dua) seperti, mata,
telinga, tangan, bibir, tulang geraham, kaki, puting susu, pantat, biji
dzakar, maka pada diyatnya utuh, dan pada salah satunya diyatnya
setengah.
Kedua hal di atas berasal dari Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عَنْ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَتَبَ لَهُ ، وَكَانَ فِي كِتَابِهِ : وَفِي اْلأَنْفِ إذَا
أُوْعِبَ جَدْعُهُ الدِّيَةُ ، وَفِي اللِّسَانِ الدِّيَةُ ، وَفِي
الشَّفَتَيْنِ الدِّيَةُ ، وَفِي الْبَيْضَتَيْنِ الدِّيَةُ ، وَفِي
الذَّكَرِ الدِّيَةُ ، وَفِي الصُّلْبِ الدِّيَةُ ، وَفِي الْعَيْنَيْنِ
الدِّيَةُ ، وَفِي الرِّجْلِ الْوَاحِدَةِ نِصْفُ الدِّيَةِ
Dari `Amru bin Hazm bahwa Rasullullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam
menulis untuknya, dalam ditulisan itu, “Pada hidung yang terpotong
diyatnya utuh, pada lidah diyatnya utuh, pada kedua bibir diyatnya utuh,
pada dua buah biji dzakar diyatnya utuh, pada batang kemaluan diyatnya
utuh, pada shulb (tulang syaraf reproduksi) diyatnya utuh, pada kedua
mata diyatnya utuh, dan pada satu kaki diyatnya setengah " [10]
Berkata Ibnu Abdil Barr rahimahullah, “Kitab Amru bin Hazm rahimahullah ini terkenal di kalangan fuqaha' [11]
3. Anggota badan yang berjumlah empat seperti; kelopak mata, atau bulu
mata bila membuatnya tidak tumbuh lagi, maka pada setiap bagian tersebut
diyatnya seperempat, dan bila terpotong semua, maka membayar diyatnya
utuh.
4. Jenis anggota badan yang berjumlah sepuluh, seperti jari tangan, jari
kaki. Jika terpotong seluruhnya, maka diyatnya utuh dan pada salah
satunya diyatnya sepersepuluh. Yakni satu jari 10 onta dan pada setiap
ruas tulang dari satu jari sepertiga dari 10 onta, kecuali pada ibu
jari, maka diyat peruasnya tulangnya 5 onta. Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي دِيَةِ اْلأَصَابِعِ الْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ سَوَاءٌ
عَشْرٌ مِنْ اْلإِِبِلِ لِكُلِّ أُصْبُعٍ
Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullâh n bersabda
tentang diyat jari tangan dan kaki, ‘semua sama , setiap satu jari 10
ekor onta.’”[12]
Tidak ada perbedaan antara ibu jari dan kelingking dalam diyat.
Dalam Shahîh al-Bukhâri disebutkan:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ هَذِهِ وَهَذِهِ سَوَاءٌ - يَعْنِي الْخِنْصَرَ وَاْلإِبْهَامَ
Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, beliau bersabda, “Ini dan ini sama (diyatnya), yaitu kelingking
dan jempol”[13]
5. Diyat Pada gigi, untuk setiap gigi 5 ekor onta, dalilnya adalah hadits `Amru bin Hazm,
وَفِيْ السِّنِّ خَمْسٌ مِنَ اْلإِبِلِ
Dan pada setiap gigi diyatnya 5 ekor onta[14]
Ibnu Qudâmah rahimahullah mengatakan, “Kami tidak mendapatkan perbedaan
pendapat dalam masalah gigi bahwa diyat setiap gigi adalah 5 onta.” [15]
B. Diyat pada jinâyah yang menimbulkan hilangnya suatu manfaat dari anggota badan.
Manfaat yang dimaksud di sini ialah manfaat atau fungsi anggota badan
yang telah kami sebutkan, Seperti panca indra pendengaran, penglihatan,
penciuman, dan perasa. Jika salah satu dari panca indra ini hilang, maka
wajib atasnya membayar diyat secara utuh. Hal yang serupa juga berlaku
pada hilangnya manfaat dari anggota tubuh yang berjumlah tunggal seperti
akal, kemampuan bicara, kemampuan sex, kemampuan berjalan, dll. Hal ini
sebagaimana keputusan `Umar bin Khatthâb z ketika beliau mengadili
seseorang yang memukul telah kawannya dan mengakibatkan hilangnya
penglihatan, pendengaran, kemampuan sex, dan akal darinya dan ia masih
hidup. Oleh Umar Radhiyallahu anhu orang itu di beri sangsi empat kali
diyat (400 ekor onta)[16]
Kaidah dalam masalah ini, setiap anggota tubuh yang berjumlah tunggal
maka diyatnya penuh (100 ekor onta) dan untuk anggota badan yang
berjumlah dua atau empat atau sepuluh, bila terjadi kerusakan fungsi
tanpa kehilangan bentuk anggota badan seperti lumpuh dan sebagainya,
maka diyatnya sebesar prosentase hilangnya manfaat anggota tubuh
tersebut dari diyat, karena darah majny alaihi tidak boleh disia-siakan
tanpa ganti rugi.[17]
C. Diyat pada jinâyah yang berupa luka di kepala, wajah atau badan
Luka di kepala dan wajah dalam Bahasa Arab dinamakan Syajjah, dan luka
pada selainnya dinamakan Jarh. Jinâyah pada kepala atau wajah (syajjah)
ini memiliki sepuluh tingkatan yang diambilkan dari Bahasa Arab. Setiap
jenisnya memiliki nama dan hukum tersendiri pula.[18] Adapun sepuluh
macam tersebut yaitu:
1. Al-Hârishah: yaitu robeknya kulit ari dan tidak mengakibatkan keluar darah.
2. Al-Bâzilah: yaitu luka yang merobek kulit dan mengeluarkan darah sedikit. Luka ini juga dinamakan ad-Dâmi'ah
3. Al-Badli'ah: yaitu luka yang merobek kulit hingga daging bagian atas.
4. Al-Mutalâhimah : yaitu luka yang merobek hingga daging bagian dalam
5. As-Simhaq: yaitu luka yang merobek hingga daging bagian bawah dekat
dengan tulang, akan tetapi masih terhalang satu lapisan yang menutupi
tulang. (tulang yang putih belum terlihat)
Lima keadaan ini tidak ada ketentuan diyatnya, akan tetapi hukumnya
diserahkan kepada hakim untuk menentukan kadar ganti rugi jinâyah
tersebut.
6. Al-Mûdlihah ialah luka yang menembus kulit dan daging hingga
mengakibatkan tulang dapat terlihat jelas. Pada luka ini diyatnya 5 ekor
onta. Hal ini disebutkan dalam hadis `Amru bin Hazm,
وَفِيْ الْمُوْضِحَةِ خَمْسٌ مِنَ اْلإِبِلِ
Dan pada luka mûdlihah diyatnya 5 ekor onta. [19]
7. Al-Hâsyimah: yaitu luka yang membuat tulang terlihat dan
meretakkannya. Diyatnya adalah 10 ekor onta. Hal ini sebagaimana
diriwayatkan oleh Zaid bin Tsâbit Radhiyallahu anhu dan tidak ada
seorang Sahabat pun yang menyelisihi pendapat beliau dalam masalah ini.
8. Al-Munaqqilah: yaitu luka yang lebih parah dari al-Hasyimah, yang
menyebabkan tulang pindah dari tempatnya. Maka diyatnya 15 ekor onta.
Hal ini berdasarkan hadist `Amru bin Hazm Radhiyallahu anhu. Rasullullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَفِيْ الْمُنَقِّلَةِ خَمْسَ عَشْرَةَ مِنَ اْلإِبِلِ
Dan pada luka Al-Munaqqilah diyatnya 15 ekor onta.[20]
9. Al-Ma'mûmah: adalah luka yang sampai pada lapisan pelindung otak kepala.
10. Ad-Dâmighah: yaitu luka yang merobek lapisan pelindung otak.
Hukuman diyat untuk kedua jenis luka ini adalah sepertiga dari diyat
utuh. Hal itu bersumber dari hadis yang sama dari riwayat `Amru bin Hazm
Radhiyallahu anhu :
وَفِيْ الْمَأْمُوْمَةِ ثُلُثُ الدِّيَّةِ
Pada luka al-Ma'mûmah diyatnya sepertiga.[21]
Adapun pada luka Dâmighah, tentu lebih parah dari ma'mumah, maka ia
lebih berhak untuk mendapat sepertiga diyat, akan tetapi karena biasanya
korban yang terkena luka ini sering tidak tertolong jiwanya, maka tidak
ada nash yang jelas yang menyebutkan jumlah diyatnya. Para Ulama'
menetapkan bahwa diyat Dâmighah adalah sepertiga apabila tidak terjadi
kematian.
Kemudian untuk luka yang bukan pada wajah Atau kepala yang disebut Jarh,
maka ada satu jenis yang memiliki diyat yang datang dari nash, yaitu
luka al-Jaifah, diyatnya adalah sepertiga dari diyat utuh. Dasar hukum
ini masih diambil dari hadits `Amru bin Hazm Radhiyallahu anhu
وَفِيْ الْجَائِفَةِ ثَلُثُ الدِّيَةِ
Dan pada luka Jaifah diyatnya sepertiga.[22]
Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan, “Dan ini (diyat Jaifah) merupakan
perkataan kebanyak ahli ilmu, di antaranya Ulama Madinah, Ulama Kufah,
Ulama Hadits dan ashabu ra'yi [23].
Adapun arti dari jaifah ialah luka yang dalam pada tubuh selain dari
tangan, kaki maupun kepala, yang mana luka tersebut masuk sampai ke
dalam tubuh dari arah dada atau perut, lambung kanan maupun kiri,
punggung, pinggang, dubur, tenggorokan dan lainnya.[24]
Apabila badan tersebut terkena senjata kemudian tembus sampai pada sisi
lainnya maka diyatnya dua jaifah karena lukanya ada pada dua sisi [25]
D. Diyat pada jinayah yang mengakibatkan patah tulang
Pada kasus patah tulang ini, menurut Ibnu Qudâmah rahimahullah ada 5
jenis tulang yang ada kadar diyatnya yaitu tulang rusuk, dua tulang iga,
dan zand(lengan dan hasta).[26]
Kadar diyat pada 5 tulang tersebut yaitu,
1. Diyat pada tulang rusuk yang patah, apabila bisa kembali tersambung
dengan normal maka diyatnya seekor onta, begitu pula pada tulang iga.
Sebagaimana diriwayatkan dari Umar Radhiyallahu anhu bahwa ia berkata,
“Pada tulang rusuk diyatnya satu ekor onta [27] dan pada satu tulang iga
seekor onta.[28] Akan tetapi bila tulang tersebut tidak kembali seperti
keadaan semula, maka ia dikenakan denda hukumah.
2. Diyat Zand adalah dua ekor onta, yang mana pada tulang hasta seekor onta dan pada tulang lengan sekor onta.
Hal ini berdasarkan atsar dari Umar bin Khatthâb Radhiyallahu anhu bahwa
ketika beliau ditanya melalui surat oleh `Amru bin al-'Ash c tentang
diyat zand (hasta dan lengan). Beliau menulis jawaban bahwa diyatnya
(lengan dan hasta) adalah dua ekor onta dan pada dua zand 4 ekor
onta.[29]
Demikian semoga pembahasan ini menambah kecintaan kita kepada syariat Islam.
Marâji:
1. Shahîhul-Bukhâri
2. Sunan an-Nasâ`i
3. Musnad Imam Ahmad
4. Mushannaf Ibnu Abi Syaibah jilid 5
5. Musannaf Abdurrazâq jilid 9
6. Al-Mughni, Al- Muwaffaq Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudâmah al-Maqdisy
al-Jama'ily, Percetakan Dâr Alimil Kutub KSA, cet. Ketiga, Th. 1417 H
/1997 M. jilid 12.
7. Ar-Raudul Murbi' Syarh Zâdul Mustaqni' Bihasyiyah Ibnu Utsaimîn,
Mansûr bin Yûnus al-Bahuty , Ibnu Utsaimîn, Percetakan Muassasah
ar-Risâlah Beirut.
8. Al-Fiqhul-Islâmy wa Adillatuhu, DR. Wahbah az-Zuhaily, Percetakan, Dâr Fikr cet. Kedua Th.1405 H / 1985 M , jilid 7
9. Al-Mulakhas al-Fiqhy, DR. Shaleh bin Fauzân al-Fauzân, Percetakan, Dâr 'Ashimah cet. Pertama, th 1423 H, jilid 2.
10. At-Ta'liqat Radliyyah 'Ala ar-Raudlatunnâdiyyah, Lil Allâmah Sidiq
Hasan Khan at-Tanûhy, Nâshiruddîn al-Albâni, Percetakan, Dâr Ibnu
'Affân, Riyâdl, cet.pertama th.1423M/2003H. jilid 3
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII/1430H/2009M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Surat an-Maidah 5/45
[2]. HR.at-Tirmidzi No. 1320 , Imam Ahmad 1/98
[3]. Surat al-Baqarah 2/178
[4]. Al-Fiqhul-Islâmy wa Adillatuhu, DR. Wahbah az-Zuhaily, Percetakan , Dâr Fikr cet. Kedua Th.1405 H / 1985 M , 6/334
[5]. Ibid
[6]. Ibid
[7]. Al-Mughni, Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudâmah al-Maqdisy al-Jama'ily,
Percetakan, Dâr Alimil Kutub KSA, cet. Ketiga, Th. 1417 H /1997 M.
12/105
[8]. Al-Mulakhas Al-Fiqhy, DR. Shaleh bin Fauzân al-Fauzân, Percetakan, Dâr 'Ashimah cet. Pertama, th 1423 H, 2 /500.
[9]. Al-Mughni hlm. 105
[10]. HR. an-Nasâ`i , Kitab Al-Qasâmah Hadits No.4853 , Imam Malik dalam Al-Muwatta' Kitab Uqûl, 2/869
[11]. Al Mugni
[12]. HR. at-Tirmidzi dalam kitab Diyyat No. 1391
[13]. HR. al-Bukhâri dalam kitab diyat Hadits No. 6500
[14]. HR an Nasâ'i kitab Qasâmah No. 4853
[15]. Al-Mughni, Ibnu Qudâmah al-Maqdisi, hlm. 130
[16]. Ar-Raudul Murbi' Syarh Zadul Mustaqni' Bihasyiyah Ibnu Utsaimîn, Mansûr bin Yûnus al-Bahuty , Ibnu Utsaimîn, hlm.653
[17]. At-Ta'lîqât Radliyyah 'Ala ar-Raudlatunnadiyyah, Lil Allâmah Sidiq
Hasan Khan at-Tanuhy, Nâshiruddîn al-Albâni, percetakan Dâr Ibnu
'Affân, Riyâdl, cet.Pertama th.1423M/2003H. 3/383
[18]. Lihat Al-Mulakhas Al-Fiqhi 2/505
[19]. HR. an Nasâ`i , kitab Al-Qasâmah Hadits No. 4853
[20]. Ibid
[21]. Ibid
[22]. Ibid
[23]. Al-Mughni, 12/166
[24]. Lihat Al-Mulakhas al-Fiqhy, 2/507, Ar-Raudul Murbi', hlm.656
[25]. Locit, hlm.168
[26]. Al-Mughni 166
[27]. Ibnu Abi Syaibah, kitab diyat, 5/380 no. 27162, `Abdurrazâq , Kitâbul Uqûl 9/ 367 no.17607
[28]. Ibnu Abi Syaibah, kitab diyat, 5/365 no. 27162, `Abdurrazâq , Kitâbul Uqûl 9/ 362 no.17578
[29]. Al-Mulakhas al-Fiqhy. 2/507-508
Sabtu, 10 November 2012
- Blogger Comments
- Facebook Comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar