Kiblat yang bermuara di Baitullah atau Ka’bah adalah arah-arah Anda setiap kali mendirikan shalat. Tentu arah ini memiliki arti tersendiri dalam hidup Anda. Dan sudah barang tentu hati Anda selalu merindukan untuk memiliki kesempatan beribadah kepada Allah langsung di hadapan Ka’bah. Wajar bila pertama kali Anda berkesempatan untuk beribadah kepada Allah langsung di hadapan Ka’bah, Anda tak kuasa menahan luapan rasa bahagia. Hati Anda berbunga-bunga, dan pikiran Anda terharu dan air matapun mengalir bercucuran. Betapa tidak, arah yang selama ini Anda agungkan ternyata bermuara pada bangunan sederhana, yaitu Ka’bah. Bangunan yang tersusun dari bebatuan hitam, yang sudah barang tentu tidak kuasa memberi Anda apapun.
Kesederhanaan Ka’bah menjadikan Anda menyadari bahwa selama ini ternyata Anda tidaklah menyembah bangunan Ka’bah. Selama ini sejatinya Anda sedang mengagungkan Tuhan Ka’bah, Pencipta dan Penguasa dunia beserta isinya.
فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَٰذَا الْبَيْتِالَّذِي أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍ وَآمَنَهُم مِّنْ خَوْفٍ
“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” [Al-Quraisy : 34]
Walau demikian, mata Anda tak akan pernah puas memandang Ka’bah, dan kerinduan akan selalu melekat dalam hati Anda untuk terus berkunjung dan beribadah di dekatnya.
Saudaraku! Fenomena yang Anda rasakan bersama Ka’bah ini sejatinya adalah efek langsung dari kobaran iman Anda kepada Allah Ta’ala. Anda menyadari bahwa Allah-lah yang memerintahkan Anda untuk meghadapkan wajah ke arahnya, karenanya Anda selalu rindu kepadanya.
Begitu kuat kerinduan Anda kepada Ka’bah hingga menjadikan Anda berusaha sekuat tenaga untuk dapat mengobati kerinduan Anda walau hanya sesaat atau minimal sekali seumur hidup Anda. Sedikit demi sedikit Anda menyisihkan dari hasil kucuran keringat Anda, agar dikemudian hari Anda berkesempatan menikmati kesejukan beribadah di sisi Baitullah Ka’bah. Bahkan mungkin Anda rela menjual berbagai aset Anda, atau bahkan berhutang agar dapat mewujudkan impian Anda ini.
BERHAJI DARI HASIL BERHUTANG
Kerinduan Anda kepada Ka’bah’ menjadikan banyak orang memutar otak dan mencari berbagai terobosan guna mewujudkannya. Dan diantara terobosan yang sekarang banyak ditawarkan ialah dengan mengikuti program arisan atau menggunakan dana talangan haji. Bagi banyak kalangan, program ini terasa bak hembusan angin surga yang mengobati kerinduan hatinya. Akibatnya, banyak dari mereka terbuai dan langsung menerimanya tanpa berpikir lebih dalam tentang hukum dan resikonya.
Andai mereka sedikit meluangkan waktu dan pikiranya guna menimbang-nimbang program ini, nisacaya mereka mewaspadainya, program-program semacam ini, walau pada awalnya terasa empuk, namun pada akhirnya terasa berat dan menyusahkan. Terlebih-lebih bila program dana talangan haji ditinjau dari hukum syar’inya.
Dana talangan haji yang sekarang sedang marak diterapkan di berbagai lembaga keuangan, adalah salah satu bentuk rekayasa melanggar hukum Allah Ta’ala. Praktek yang sekarang sedang menjamur di masyarakat ini sekilas berupa akad qardh (piutang) dan ijarah (sewa menyewa jasa). Dan tidak diragukan bahwa kedua akad ini bila dilakukan secara terpisah adalah halal.
Walau demikian, ketika kedua akad ini dilakukan secara bersamaan dan saling terkait, muncullah masalah besar. Yang demikian itu karena beberapa alasan :
1. Larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ
“Tidak halal menggabungkan antara piutang dengan akad jual-beli” [HR Abu Dawud hadits no. 3506 dan At-Tirmidzy hadits no. 1234]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :”Pada hadits ini Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melarang penggabungan antara piutang dengan jual beli. Dengan demikian bila Anda menggabungkan antara akad piutang dengan akad sewa-menyewa berarti Anda telah menggabungkan antara akad piutang dengan akad jual-beli atau akad yang serupa dengannya. Dengan demikian, setiap akad sosial semisal hibah pinjam-meminjam, hibah buah-buahan yang masih di atas pohonnya, diskon pada akan penggarapan ladang atau sawah, dan lainnya semakna dengan akad hutang piutang, yaitu tidak boleh digabungkan dengan akad jual-beli dan sewa-menyewa” [Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/62]
2. Riba Terselubung
Secara lahir kreditur tidak memungut tambahan atau riba atau bunga dari piutangnya, namun secara tidak langsung ia telah mendapatkannya, yaitu dari uang sewa yang ia pungut. Anda pasti menyadari bahwa sewa menyewa (jual jasa pengurusan administrasi haji) yang dilakukan oleh lembaga keuangan terkait langsung dengan akad hutang piutang. Biasanya, yang telah memiliki dana sendiri untuk biaya hajinya, tidak akan menggunakan layanan “dana talangan haji” ini. Dengan demikian, adanya talangan dana haji ini, menjadikan lembaga keuangan terkait dapat memasarkan jasanya dan pasti mendapatkan keuntungan dari jual-beli jasa tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan hal ini dengan berkata : “Kesimpulan dari hadits ini menegaskan bahwa : Tidak dibenarkan menggabungkan antara akad komersial dengan akad sosial. Yang demikian itu karena keduanya menjalin akad sosial disebabkan adanya akad komersial antara mereka. Dengan demikian akad sosial itu tidak sepenuhnya sosial. Namun akad sosial secara tidak langsung menjadi bagian dari nilai transaksi dalam akad komersial.
Dengan demikian orang yang menghutangkan uang sebesar seribu dirham kepada orang lain, dan pada waktu yang sama kreditur tidak rela memberi piutang kecuali bila debitur membeli barangnya dengan harga mahal. Sebagaimana pembeli tidaklah rela membeli dengan harga mahal melainkan karena ia mendapatkan piutang dari penjual” [Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/63]
3. Memberatkan Masyarakat
Sistem setoran haji yang diterapkan oleh Departemen Agama dengan online, sehingga dapat dilakukan kapan saja, telah mendatangkan masalah besar. Masyarakat berlomba-lomba untuk melakukan pembayaran secepat mungkin, guna mendapatkan kepastian jadwal keberangkatan. Akibatnya , banyak dari mereka yang sejatinya belum mampu menempuh segala macam cara, karena khawatir kelak harus menanti lama. Banyak dari mereka yang memaksakan diri dengan cara menggunakan sistem dana talangan haji atau arisan.
Adanya praktek memaksakan diri ini tidak diragukan membebani masyarakat. Terlebih-lebih menjadikan agama Islam yang pada awalnya terasa mudah, sekarang menjadi terasa sulit nan berat. Untuk dapat berhaji harus menanti sekian lama, dan selama penantian banyak dari mereka yang harus tersiksa dengan cicilan piutang. Bahkan sepulang menunaikan ibadah hajipun, sering kali masih menanggung beban cicilan biaya perjalan hajinya.
Sudah barang tentu melaksanakan ibadah dengan cara memaksakan diri semacam ini tentu tidak selaras dengan syariat Islam.
يَاأَيُّهَاالنَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنَالأَعْمَالِ مَاتُطِيْقُوْنَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَيَمُلُّ حَتَّى تَمُلُّواوَإِنَّ أَحَبَّ اْلأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَادُوْوِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ
“Wahai umat manusia, hendaknya kalian mengerjakan amalan yang kuasa kalian kerjakan, karena sejatinya Allah tidak pernah merasa bosan (diibadahi) walaupun kalian sudah merasakannya. Dan sesungguhnya amalan yang paling dicintai Allah ialah amalan yang dilakukan secara terus menerus, walaupun hanya sedikit” [HR Bukhari hadits no. 1100 dan Muslim hadits no. 785]
Dalam riwayat lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan pesan ini ketika mendengar cerita bahwa Khaula’ binti Tuwait senantiasa shalat malam dan tidak pernah tidur.
Dan dalam urusan haji Allah Ta’ala berfirman.
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” [Ali-Imran : 97]
Semoga paparan singkat ini menjadi pelajaran bagi Anda untuk semakin bertambah yakin bahwa Islam adalah agama yang mudah dan tidak rela bila umatnya sengsara atau ditimpa kesusahan. Dengan demikian Anda dapat bersikap proposional dan terhindar dari hal-hal yang kurang selaras dengan syariat Islam, walau sekilas terasa empuk. Wallahu a‘lam bish shawab.
[Ustadz DR Muhammad Arifin Badri, MA, Alumnus Doktoral Universitas Islam Madinah, lulus dengan predikat summa cum laude, Pembina Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia. Disalin dari Majalah Pengusaha Muslim Edisi 21 Volume 2/Oktober 2011]
Oleh
Ustadz DR Muhammad Arifin Badri MA
0 komentar:
Posting Komentar