Pernikahan merupakan sunnatullah pada alam ini, tidak ada yang keluar
dari garisnya, manusia, hewan maupun tumbuhan. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman "Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya
kamu mengingat akan kebesaran Allah" -QS adz Dzariyat ayat 49-. Allah
memilih sarana ini untuk berkembang-biaknya alam dan berkesinambungannya
ciptaan, setelah mempersiapkan setiap pasangan tugas dan posisi
masing-masing.
Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan manusia seperti ciptaan yang
lainnya, tidak membiarkan nalurinya berbuat sekehendaknya, atau
membiarkan hubungan antara laki-laki dan perempuan kacau tidak
beraturan. Tetapi Allah meletakkan rambu-rambu dan aturan sebagaimana
telah diterangkan oleh utusanNya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam.[1]
Oleh karenanya, salah satu maqashid syari'ah (pokok dasar syariah),
yaitu menjaga keturunan. Islam menganjurkan umat Islam untuk menikah dan
diharamkan membujang. Islam melarang mendekati zina dan menutup
sarana-sarana yang menjurus kepada perbuatan kotor tersebut. Islam juga
mengharamkan perzinaan yang berbalutkan dengan sampul pernikahan, atau
pelacuran menggunakan baju kehormatan. Di antara pernikahan yang
diharamkan oleh Islam, ialah seperti :
1. Nikah tahlil, yaitu seseorang menikah dengan seorang wanita yang
telah dithalak tiga oleh suaminya, dengan tujuan agar suami pertama
dapat rujuk dengannya.[2]
2. Nikah syighar, yaitu seseorang menikahkan putrinya dengan seseorang,
dengan syarat orang yang dinikahkan tersebut juga menikahkan putrinya,
dan tidak ada mahar atas keduanya.[3]
3. Nikah muhrim, dan seterusnya.
Juga terdapat pernikahan yang diharamkan, yang dikenal dengan nikah
kontrak (kawin kontrak). Nikah yang biasa disebut nikah mut'ah ini
merupakan salah satu pernikahan yang diharamkan Islam. Uniknya, nikah
mut'ah ini bahkan dilanggengkan dan dilestarikan oleh agama Syi`ah
dengan mengatasnamakan agama. Berikut ini penjelasan fiqih Islam tentang
hukum nikah mut'ah.
DEFINISI NIKAH MUT'AH
Yang dimaksud nikah mut'ah adalah, seseorang menikah dengan seorang
wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya,
berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah
selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalak dan
tanpa warisan.[4]
Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa
harus ada wali atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar
(upah) dan batas waktu tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih, atau
kurang. Biasanya tidak lebih dari empat puluh lima hari; dengan
ketentuan tidak ada mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada
nafkah, tidak saling mewariskan dan tidak ada iddah kecuali istibra`
(yaitu satu kali haidh bagi wanita monopouse, dua kali haidh bagi wanita
biasa, dan empat bulan sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal), dan
tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan.[5]
Jadi, rukun nikah mut'ah -menurut Syiah Imamiah- ada tiga :
1. Shighat, seperti ucapan : "aku nikahi engkau”, atau “aku mut'ahkan engkau”.
2. Calon istri, dan diutamakan dari wanita muslimah atau kitabiah.
3. Mahar, dengan syarat saling rela sekalipun hanya satu genggam gandum.
4. Jangka waktu tertentu.[6]
NIKAH MUT'AH PADA MASA PENSYARIATAN, ANTARA BOLEH DAN LARANGAN
Nikah mut'ah, pada awal Islam -saat kondisi darurat- diperbolehkan, kemudian datang nash-nash yang melarang hingga hari Kiamat.
Di antara hadits yang menyebutkan dibolehkannya nikah mut'ah pada awal Islam ialah :
عَن الرَّبيِْع بن سَبْرَة عَنْ أَبِيْه ِرضى الله عنه أَنَّهُ كَانَ مَعَ
رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : ياَ أَيَّهَا النَّاسُ إِنِّي
قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الاسْتِمْتاَعِ مِنَ النِّسَاءِ , وَ
إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ , فَمَنْ كاَنَ
عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخْلِ سَبِيْلَهُ , وَ لَا تَأْخُذُوْا
مِمَّا آتَيْتمُوْهُنَّ شَيْئاً " .
Dari Rabi` bin Sabrah, dari ayahnya Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya ia
bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda:
"Wahai, sekalian manusia. Sebelumnya aku telah mengizinkan kalian
melakukan mut'ah dengan wanita. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala
telah mengharamkannya hingga hari Kiamat. Barangsiapa yang mempunyai
sesuatu pada mereka , maka biarkanlah! Jangan ambil sedikitpun dari apa
yang telah diberikan”.[7]
وَ عَنْهُ قَالَ : أَََمَرَناَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
باِلْمُتْعَةِ عَامَ اْلفَتْحِ حِيْنَ دَخَلْنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ
نَخْرُجْ حَتَّى نَهَاناَ عَنْهَا
Dari beliau, juga berkata : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan kami untuk mut'ah pada masa penaklukan kota Mekkah, ketika
kami memasuki Mekkah. Belum kami keluar, beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah mengharamkannya atas kami". [8]
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلَأكْوَع ِرضى الله عنه قَالَ: رَخَّصَ رَسُولُ اللهِ
صلى الله عليه وسلم عَامَ أَوْطاَس فِي اْلمُتْعَةِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ
ثُمَّ نَهَى عَنْهَا
Dari Salamah bin Akwa`Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : "Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan keringanan dalam mut'ah
selama tiga hari pada masa perang Awthas (juga dikenal dengan perang
Hunain), kemudian beliau melarang kami". [9]
Muncul pertanyaan, semenjak kapan Islam melarang mut'ah? Untuk
menjawabnya, kita dapatkan riwayat-riwayat yang menerangkan masalah ini
terkesan simpang-siur, disebabkan tempat dan waktu pengharaman mut'ah
berbeda-beda.
Berikut kami sebutkan secara ringkas waktu pengharaman mut'ah, sesuai dengan urutan waktunya.[10]
1. Ada riwayat yang mengatakan, bahwa larangan mut'ah dimulai ketika perang Khaibar (Muharram 7H).
2. Ada riwayat yang mengatakakan pada umrah qadha (Dzul Qa`dah 7H).
3. Ada riwayat yang mengatakan pada masa penaklukan Mekkah (Ramadhan 8H).
4. Ada riwayat yang mengatakan pada perang Awthas, dikenal juga dengan perang Hunain (Syawal 8H).
5. Ada riwayat yang mengatakan pada perang Tabuk (Rajab 9H).
6. Ada riwayat yang mengatakan pada Haji Wada` (Zul Hijjah 10H).
7. Ada riwayat yang mengatakan, bahwa yang melarangnya secara mutlak adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu 'anhu.
Berikut ini penjelasan tentang riwayat-riwayat tersebut.
• Riwayat yang menyatakan, bahwa larangan mut'ah dimulai pada umrah
qadha [11], perang Tabuk[12] dan Haji Wada [13] tidak lepas dari
kritikan, dan tidak dapat dijadikan pegangan.
Tinggallah tiga riwayat yang shahih, yang menerangkan pengharaman
mut'ah. Yaitu saat perang Khaibar, Penaklukan kota Mekkah, perang
Awthas. Riwayat-riwayat tersebut sebagai berikut :
Riwayat pengharaman nikah mut'ah pada masa perang Khaibar :
عَنْ مُحّمَّد بنِ عَلي أََنَّ عَليِاًّ رضى الله عنه قاَلَ لِابْنِ
عَبَّاسٍ رضى الله عنهما : إِنَّ النَِّي صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنِ
الْمُتْعَة ِوَ عِنْ لُحُوْمِ الْأَهْليِة ِزَمَنَ خَيْبَرَ
Dari Muhammad bin Ali (yang dikenal dengan sebutan Muhammad bin
Hanafiah), bahwa ayahnya Ali (bin Abu Thalib) berkata kepada Ibnu Abbas
Radhiyalahu 'anhuma : “Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
melarang mut'ah dan daging keledai pada masa Khaibar”.[14]
Riwayat pengharaman nikah mut'ah pada penaklukan kota Mekkah, yaitu
riwayat dari Rabi' bin Sabrah Radhiyallahu 'anhu, bahwa ayahnya
berperang bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pada
penaklukkan kota Mekkah. Kami tinggal lima belas hari. Kemudian, oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kami diperbolehkan untuk
mut'ah. Akupun keluar bersama seseorang dari kabilahku. (Kebetulan) aku
mempunyai sedikit ketampanan, sedangkan kerabatku tersebut lebih
mendekati jelek. Setiap kami membawa sal, salku jelek, sedangkan sal
anak pamanku tersebut baru dan mengkilap. Ketika kami sampai di kaki
Mekkah atau di puncaknya, kami bertemu dengan seorang gadis perawan,
panjang lehernya semampai. Kami berkata,”Apakah engkau mau bermut'ah
dengan salah seorang dari kami?" Dia berkata,”Dengan apa kalian bayar?”
Maka setiap kami membentangkan salnya. Lalu wanita itu melihat kami, dan
sahabatku itu melihat ketiaknya dan berkata: “Sesungguhnya sal dia
jelek, sedangkan salku baru, mengkilap". Dia berucap,"Salnya tidak
apa-apa,” dua kali atau tiga. Lalu aku melakukan mut'ah dengannya. Belum
usai aku keluar dari Mekkah, kiranya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah mengharamkannya.[15]
Sedangkan riwayat yang mengharamkan nikah mut'ah pada saat perang Awthas, yaitu hadits Salamah bin al Akwa`.
• Mengkombinasikan antara riwayat-riwayat di atas, para ulama menggunakan dua metode.
Pertama : Metode tarjih (mengambil riwayat yang lebih kuat).
Sebagian para ulama mengatakan [16], bahwa lafadz hadits Ali, yaitu
riwayat Ibnu Uyainah dari Zuhri ada kalimat yang didahulukan dan
diakhirkan, karena beliau berucap kepada Ibnu 'Abbas jauh setelah
kejadian [17]. Seharusnya ucapan beliau, "Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam melarang makan daging keledai pada masa Khaibar dan melarang
mut'ah". Dengan demikian, larangan mut'ah dalam riwayat ini tidak lagi
ada secara tegas waktu Khaibar.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Para ulama berselisih, apakah mut'ah
dilarang pada masa Khaibar? Ada dua pendapat. Dan yang shahih, larangan
hanya pada masa penaklukan kota Makkah, sedangkan pelarangan waktu
Khaibar hanya sebatas daging keledai. Hanya saja Ali berkata kepada Ibnu
'Abbas, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang
mut'ah pada hari Khaibar, dan juga melarang makan daging keledai untuk
memberi alasan (pengharaman) pada dua permasalahan tersebut kepada Ibnu
'Abbas. Maka para rawi menyangka, bahwa ikatan hari Khaibar kembali
kepada dua hal itu, lalu mereka meriwayatkan dengan makna".[18]
Sedangkan riwayat pengharaman mut'ah pada perang Awthas atau Hunain,
yaitu hadits Salamah bin Akwa`. Berhubung perang Awthas dan tahun
penaklukan Mekkah pada tahun yang sama, maka sebagian ulama
menjadikannya satu waktu, yaitu pada penaklukan Mekkah.
Kedua : Metode jamak (menggabungkan antara riwayat-riwayat).
Melihat pada semua riwayat yang shahih tentang pengharaman nikah mut'ah,
bahwa telah berlaku pembolehan kemudian pelarangan beberapa kali.
Diperbolehkan sebelum Khaibar, lalu diharamkan, kemudian diperbolehkan
tiga hari penaklukan Mekkah, kemudian diharamkan hingga hari Kiamat.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,"Tidak ada keraguan lagi, mut'ah
diperbolehkan pada permulaan Islam. Sebagian ulama berpendapat, bahwa ia
dihalalkan kemudian dimansukhkan (dihapus), lalu dihalalkan kemudian
dimansukhkan. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa penghalalan dan
pengharaman berlaku terjadi beberapa kali." [19]
Al Qurthubi berkata,"Telah berkata Ibnul 'Arabi,'Adapun mut'ah, maka ia
termasuk salah satu keunikan syari'ah; karena mut'ah diperbolehkan pada
awal Islam kemudian diharamkan pada perang Khaibar, lalu diperbolehkan
lagi pada perang Awthas kemudian diharamkan setelah itu, dan berlangsung
pengharaman. Dan mut'ah -dalam hal ini- tidak ada yang menyerupainya,
kecuali permasalahan kiblat, karena nasakh (penghapusan) terjadi dua
kali, kemudian baru hukumnya stabil'."[20]
Bahkan sebagian ulama yang belum menyaring semua riwayat tentang mut'ah,
mereka mengatakan telah terjadi tujuh kali pembolehan dan tujuh kali
pelarangan.[21]
Kesimpulan Dari Pembahasan Di Atas.
Pertama : Telah terjadi perselisihan tentang waktu pengharaman. Ibnul
Qayyim rahimahullah menguatkan riwayat yang mengatakan, bahwa
pengharaman berlaku pada tahun penaklukan Mekkah.[22]
Kedua : Bagaimanapun perselisihan ini tidak mengusik haramnya nikah
mut'ah; karena, sekalipun terjadi perselisihan, akan tetapi telah
terjadi kesapakatan Ahlus Sunnah tentang haramnya.
Al Qurthubi berkata,”Pengharaman mut'ah telah berlaku stabil. Dan
dinukilkan dari Ibnul 'Arabi, bahwa tekah terjadi Ijma' (kesepakatan)
atas pengharamannya (yaitu ijma` Ahlus Sunnah yang datang kemudian,
wallahu a`lam, Pen)." [23]
HUKUM ISLAM TENTANG NIKAH MUT'AH
Nikah mut'ah telah diharamkan oleh Islam dengan dalil Kitab, Sunnah dan Ijma', dan secara akal.
• Dari al Qur`an :
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ
إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari
yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.
[al Maarij : 29-31]
Allah Subhanahu wa Ta'ala menerangkan, sebab disahkan berhubungan badan
hanya melalui dua cara. Yaitu: nikah shahih dan perbudakan. Sedangkan
wanita mut'ah, bukanlah istri dan bukan pula budak. [24]
وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلًا أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ
الْمُؤْمِنَاتِ فَمِن مَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ
الْمُؤْمِنَاتِ ۚ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُم ۚ بَعْضُكُم مِّن
بَعْضٍ ۚ فَانكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ
أَخْدَانٍ ۚ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ
نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ
الْعَنَتَ مِنكُمْ ۚ وَأَن تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ
رَّحِيمٌ
Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaanya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh
mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah
mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain,
karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah
maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang
memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil
laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri
dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina),
maka atas mereka separo hukuman dari hukuman bagi wanita-wanita merdeka
bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang
takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu,
dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. [an Nisa`: 25].
Dalam ayat ini ada dua alasan. Pertama, jika nikah mut'ah diperbolehkan,
maka tidak ada lagi alasan untuk tidak melakukannya bagi orang yang
kesulitan menjaga diri atau keperluan untuk menikahi budak atau bersabar
untuk tidak menikah [25]. Kedua, ayat ini merupakan larangan terhadap
nikah mut'ah, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman "karena itu
kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka". Sebagaimana diketahui,
bahwa nikah seizin orang tua atau wali, itulah sebenarnya nikah yang
disyariatkan, yaitu dengan wali dan dua orang saksi. Adapun nikah
mut'ah, tidak mensyariatkan demikian. [26]
• Dalil dari Sunnah, yaitu semua riwayat yang telah disebutkan di atas merupakan dalil haramnya mut'ah.
• Adapun Ijma`, para ulama ahlus sunnah telah menyebutkan, bahwa para
ulama telah sepakat tentang haramnya nikah mut'ah. Di antara pernyataan
tersebut ialah :
1. Perkataan Ibnul 'Arabi rahimahullah , sebagaimana telah disebutkan di muka.
2. Imam Thahawi berkata,"Umar telah melarang mut'ah di hadapan para
sahabat Rasulullah, dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Ini
menunjukkan, bahwa mereka setuju dan menuruti apa yang telah dilarang.
Dan juga bukti Ijma' mereka atas larangan tersebut adalah, bahwa hukum
tersebut telah dihapus.[27]
3. Qadhi Iyadh berkata,"Telah terjadi Ijma' dari seluruh ulama atas
pengharamannya, kecuali dari kalangan Rafidhah (kelompok Syi'ah, Pen)".
[28
4. Dan juga disebutkan oleh al Khattabi: “Pengharaman mut'ah nyaris
menjadi sebuah Ijma' (maksudnya Ijma' kaum Muslmin, Pen.), kecuali dari
sebagian Syi'ah”. [29]
• Adapun alasan dari akal dan qiyas, sebagai berikut :[30]
1. Sesungguhnya nikah mut'ah tidak mempunyai hukum standar, yang telah
diterangkan dalam kitab dan Sunnah dari thalak, iddah dan warisan, maka
ia tidak berbeda dengan pernikahan yang tidak sah lainnya.
2. 'Umar telah mengumumkan pengharamannya di hadapan para sahabat pada
masa khilafahnya dan telah disetujui oleh para sahabat. Tentu mereka
tidak akan mengakui penetapan tersebut, jika pendapat 'Umar tersebut
salah.
3. Haramnya nikah mut'ah, dikarenakan dampak negatif yang ditimbulkannya sangat banyak. Di antaranya
a. Bercampurnya nasab, karena wanita yang telah dimut'ah oleh seseorang dapat dinikahi lagi oleh anaknya, dan begitu seterusnya.
b. Disia-siakannya anak hasil mut'ah tanpa pengawasan sang ayah atau pengasuhan sang ibu, seperti anak zina.
c. Wanita dijadikan seperti barang murahan, pindah dari tangan ke tangan yang lain, dan sebagainya.
SEPUTAR IJTIHAD IBNU ABBAS RADHIYALLAHU 'ANHU DALAM MASALAH MUT'AH [31]
Dalam permasalahan ini, Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu mempunyai tiga pendapat.[32]
• Membolehkannya secara mutlak.
Disebutkan dari 'Atha`, beliau mendengar Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berpendapat bahwa nikah mut'ah boleh …[33]
• Membolehkannya dalam keadaan darurat. Riwayat ini yang termasyhur dari beliau.
Di antaranya riwayat dari Ubaidillah [34] : "Bahwa Abdullah bin Abbas
berfatwa tentang mut'ah. Para ahli ilmu mencelanya karenanya, akan
tetapi beliau tidak bergeming dari pendapatnya, hingga para ahli syair
melantunkan syair tentang fatwanya :
Wahai kawan, kenapa engkau tidak melakukan fatwa Ibnu 'Abbas?
Apakah engkau tidak mau dengan si perawan sintal, dan seterusnya …
Maka berkatalah Ibnu Abbas: “Bukan itu yang aku maksud, dan bukan begitu
yang aku fatwakan. Sesungguhnya mut'ah tidak halal, kecuali bagi yang
terpaksa. Ketahuilah, bahwa ia tidak ubahnya seperti makan bangkai,
darah dan daging babi”.
• Melarangnya secara mutlak, akan tetapi riwayat ini lemah. [35]
TANGGAPAN ULAMA TENTANG FATWA IBNU ABBAS RADHIYALLAHU A'NHU
• Tanggapan Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Salim budak Ibnu 'Umar, ia berkata :
Dikatakan kepada Ibnu Umar: "Ibnu Abbas memberi keringanan terhadap
mut'ah". Beliau (Ibnu 'Umar, Red) berkata,"Aku tidak percaya Ibnu Abbas
mengucapkan itu." Mereka berkata,"Benar, demi Allah, beliau telah
mengucapkannya,” lalu Ibnu Umar berkata,"Demi Allah, dia tidak akan
berani mengucapkan itu pada masa Umar. Jika dia hidup, tentu dia hukum
setiap yang melakukannya. Aku tidak mengetahuinya, kecuali (mut'ah, Red)
itu perbuatan zina." [36]
• Khattabi berkata,"Ibnu Abbas membolehkannya bagi orang yang terdesak,
karena lamanya membujang, kurangnya kemampuan. Lalu beliau berhenti dari
fatwa tersebut (yaitu rujuk) [36]." Hal yang sama juga disampaikan oleh
Ibnul Qayyim. [38]
• Al Hafizh Ibnu Hajar berkata,"Kalangan ulama menilai fatwa Ibnu Abbas
dalam masalah mut'ah merupakan satu-satunya fatwa yang mengatakan
boleh." [39]
Demikian permasalahan nikah mut'ah, atau padanan dalam bahasa kita
dikenal dengan istilah kawin kontrak. Tak syak lagi, bahwa Rasulullah n
telah mengharamkan praktek nikah mut'ah ini. Islam menutup sarana-sarana
yang menjurus kepada perbuatan kotor dan menjijikan. Islam mengharamkan
perzinaan yang berbalutkan pernikahan, atau pelacuran menggunakan baju
kehormatan. Billahi taufiq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun IX/1427H/2006M
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.
8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Silahkan lihat Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq, Maktabah Ubaikan (2/104).
[2]. Jami' Ahkamin Nisaa`, Mushthafa al Adawi, Darus Sunnah (3/137).
[3]. Zadul Ma'ad, Ibnul Qayyim, Muassasah Risalah (5/108).
[4]. Jami' Ahkamu Nisaa` (3/169-170), dan silahkan lihat juga
definisinya di dalam Subulus Salam, Ash Shan'ani, Darul Kutub Ilmiyah
(3/243); al Mughni, Ibnu Qudamah, Dar Alam Kutub (10/46).
[5]. Subulus Salam, ash Shan'ani, Darul Kutub Ilmiyah (3/243).
[6]. Fiqhus Sunnah, Sayid Sabiq (2/132).
[7]. HR Muslim, 9/159, (1406).
[8]. HR Muslim, 9/159, (1406).
[9]. HR Muslim, 9/157, (1405).
[10]. Silahkan lihat pembahasan ini di dalam Jami' Ahkamin Nisaa`, Mushthafa al Adawi, Darus Sunnah (3/171-205).
[11]. Haditsnya diriwayatkan oleh Ibnu Manshur di dalam Sunan-nya (1/217), akan tetapi haditsnya mursal.
[12]. Haditsnya diriwaytakan oleh Ibnu Hibban, no.1267. Di dalam
sanadnya terdapat rawi Mukmal bin Ismail dan Ikrimah bin Ammar. Keduanya
tidak lepas dari kritikan, Jami' Ahkam Nisaa' (3/193).
[13]. Hadistnya diriwayatkan oleh Ahmad (3/404), Thabrani (6532), al
Baihaqi di Sunan Kubra (7/204) dan yang lainnya. Riwayatnya Syaz (yaitu
penyelisihan hadits ini dengan riwayat yang lebih kuat). Lihat Irwa`
Ghalil (6/312).
[14]. HR Muslim, 9/161, (1407).
[15]. HR Muslim, 9/158, (1406).
[16]. Silahkan lihat Fathul Bari (9/168-169),
[17]. Di dalam riwayat Muslim disebutkan, bahwa terjadi perdebatan
antara Ali yang memandang haramnya mut'ah dengan Ibnu Abbas yang awalnya
membolehkan mut'ah. Kemudian Ali berkata kepadanya: “Engkau, orang yang
bingung. Bahwasanya Nabi telah melarang kita dari daging keledai dan
mut'ah pada perang Khaibar”.
[18]. Zadul Ma'ad, Ibnul Qayyim (4/111).
[19]. Tafsir al Qur`anil 'Azhim, Ibnu Katsir, Maktabah Ulum wal Hikam (1/449).
[20]. Jami' Ahkamil Qur`an, al Qurthubi, Dar Syi'ib (5/130-131).
[21]. Ibid. (5/131).
[22]. Silahkan lihat Zadul Ma'ad (3/460).
[23]. Jami' Ahkamil Qur`an (5/87).
[24]. Mukhtashar Itsna Asy'ariah, Mahmud Syukri al Alusi, hlm. 228.
[25]. Ibid.
[26]. Jami' Ahkamil Qur`an, al Qurthubi (5/130).
[27]. Syarh Ma'anil Atsar (3/27).
[28]. Fathul Bari, Ibnu Hajar (9/173).
[29]. Aunul Ma'bud, Khattabi, Darul Kutub Ilmiyah (6/59).
[30]. Silahkan lihat asy Syi'ah wal Mut'ah, Muhammad Malullah, Maktabah
Ibnu Taimiyah, hlm.19; Mukhtashar Itsna Asy'ariah, Mahmud Syukri al
Alusi, hlm. 227-228 dan Fiqih Sunnah, Sayid Sabiq (2/130-131).
[31]. Sebagian ulama menyebutkan nama sebagian sahabat yang berpendapat
bolehnya mut'ah, akan tetapi sengaja tidak kami sebutkan, karena
lemahnya riwayat dari mereka, atau rujuknya mereka tentang hal itu.
Silahkan lihat Fahul Bari (9/174).
[32]. Silahkan lihat Irwa` Ghalil (6/319) dan Jami` Ahkamin Nisaa` (3/195).
[33]. HR Mushannaf, Abdurrazzaq (14022)
[34]. HR Muslim (9/174), dan ucapan Ibnu Abbas di atas disebutkan oleh al Baihaqi di dalam Sunan-nya (7/205).
[35]. Dikeluarkan oleh at Tirmidzi (1122) dan al Baihaqi (7/205). Dalam
sanadnya terdapat Musa bin 'Ubaidah ar Rabzi, dan dia dha'if.
[36]. HRAbdur Razaq di Mushannaf-nya (14020) dengan sanad shahih. Lihat Jami` Ahkamin Nisaa' (3/199).
[37]. A'unul Ma'bud, Khattabi, Darul Kutub Ilmiyah (6/59).
[38]. Zadul Ma'ad (5/112).
[39]. Fathul Bari, Ibnu Hajar (9/173).
Oleh
Ustadz Armen Halim Naro
Jumat, 02 November 2012
- Blogger Comments
- Facebook Comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar