ADAKAH HIBURAN DAN KESENIAN DALAM ISLAM?
Jenuhnya suasana dan penatnya pikiran akibat dari kesibukan harian,
telah memunculkan banyak gagasan untuk menghilangkannya, misalnya dengan
menghadirkan hiburan. Maka didesainlah inovasi berbagai hiburan, mulai
dari kelas bergensi hingga tingkat ecek-ecek. Bahkan peluang ini banyak
dilirik para investor media, baik asing maupun lokal.
Tidak bisa ditampik, saat-saat tertentu hidup memang membutuhkan suasana
rilek dan santai untuk mengendurkan urat saraf, memulihkan gairah dan
semangat baru, mengusir gundah dan gelisah, menghasung kondisi penat dan
letih, dan menghilangkan rasa pegal dan capek. Sehingga badan kembali
segar, mental menjadi stabil, gairah kerja tumbuh lestari, dan
produktifitas semakin meningkat, serta kehidupan manusia semakin maju
dan sejahtera. Tetapi semuanya harus seirama dengan Islam dan dalam
rangka beribadah kepada Allah, bukan hanya sekedar mencari kepuasan
syahwat.
Allah berfirman:
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَب
"Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. [Alam Nasyrah/94:7-8]
Dalam Tafsir Ma’alimut-Tanzil disebutkan bahwa Imam Mujahid berkata,
jika kamu telah selesai dari urusan duniamu, maka kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh ibadah kepada Allah dan shalatlah. [1]
Dunia kesenian dan panggung hiburan zaman sekarang sangat bervariasi.
Mulai dari tayangan sinetron religi, pentas dangdut, konser nasyid
marawis, pertunjukan ketoprak, film komedi, festival gambus hingga
manggungnya para pelawak. Semuanya bertujuan untuk menghibur para
pemirsa atau penonton yang sedang mengalami letih batin, capek pikiran
dan lelah badan. Bahkan maraknya tayangan entertainment (pertunjukan) di
layar televise bertujuan menghibur para pemirsa, akhirnya para ustadz
setengah artis dengan tampilan nyentrik dan ganteng, ikut ambil bagian.
Ironisnya, muatan hiburan jarang ditakar dengan norma Islam, hingga
hiburan yang disebut islamipun banyak yang melenceng dari aturan agama,
bahkan lebih cenderung bebas dan bias, jauh dari kendali syariat.
Apalagi kepentingan materi menjadi dominan, target keuntungan menjadi
pertimbangan utama, dan kepuasan penonton sebagai prioritas. Sehingga
bisa dipastikan, hiburan jenis apapun tidak sepi dari kebatilan dan
kemungkaran. Sementara penonton, rata-rata tertarik dengan segala yang
berbau syahwat, semua yang bersifat hura-hura, dan tayangan beraroma
pornografi.
Selingan hidup untuk mengusir bosan dan capek dengan canda dan tawa
merupakan sifat bawaan manusia, sebagai bumbu pergaulan dan garam
kehidupan, karena semua orang kurang betah dengan suasana tegang dan
hidup tanpa sisipan humor. Bercanda dan tertawa bolehboleh saja, asal
masih dalam bingkai syariat, tidak mengandung muatan dusta, memuat
pelecehan dan pamer penghinaan. Karena Nabipun kadang bercanda dengan
sebagian sahabatnya.
Dikisahkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa ada
seorang laki-laki berasal dari daerah pedalaman bernama Zahir bin Haram.
Dia sering memberi hadiah kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
barang-barang dari pedalaman. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu
memberi bekal saat ia ingin kembali ke kampungnya. Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda: “Zahir adalah orang pedalaman kita, dan kita
orang perkotaannya”.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat mencintai Zahir bin Haram,
meskipun orang ini bermuka sangat buruk. Pernah, suatu hari beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam menghampirinya ketika ia sedang berjualan.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memeluknya dari arah belakang,
sehingga Zahir bin Haram tidak bisa melihatnya. Maka ia pun berseru:
“Lepaskan aku. Siapakah ini?”
Maka Rasulullah berkata: “Siapa yang mau membeli budak ini?”
Zahir bin Haram menyahut: “Engkau akan mendapati aku tidak mungkin laku
dijual, wahai Rasulullah,” maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
menimpali:
لَكِنْ عِنْدَ اللَّه لَسْتَ بِكاَ سِدٍ (أوْ قَا لَ) لَكِنْ عِنْدَ ا للَّهِ أنْتَ غَا لٍ
“Tetapi engkau di sisi Allah bukan barang yang tidak laku,” atau beliau
bersabda: “Tetapi engkau di sisi Allah sangat mahal”. [2]
Demikianlah gaya canda beliau, berkelakar tapi serius, bercanda bersih
dari kedustaan, tertawa tetapi jauh dari kehinaan, berhumor ria namun
tidak sampai menghilangkan muru’ah dan wibawa. Bahkan canda dan humor
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berbalas surga dan menebar
keutamaan. Bukankah dengan canda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
ini Zahir bin Haram menunai keutamaan dan kemuliaan di sisi Allah dengan
ucapan beliau, “tetapi engkau di sisi Allah sangat mahal”.
PENTAS KESENIAN LAWAK DALAM PRESPEKTIF ISLAM
Kecenderungan ingin menjadi orang tenar dan populer merupakan watak
dasar manusia, sehingga apapun yang mampu mengantarnya kepada
popularitas dikejar dan menjadi rebutan. Tidak perduli, untuk meraihnya
harus melanggar norma agama dan aturan sosial. Jago-jago panggung dan
pahlawan hiburan bermunculan.
Di antara acara hiburan dan pentas kesenian yang paling banyak diminati
para pemirsa, yaitu yang dikemas dengan humor. Atau lebih dekat dengan
dunia canda, dalam hal ini lawak. Sehingga para humoris (pelawak) pun
menjadi idola, banyak mendapat sorotan mata publik, menjadi tayangan
yang banyak menyedot pemirsa dan menarik perhatian. Acara apapun selalu
dibumbui dengan canda (lawakan), hingga para kyai dan ustadz pun beradu
kepandaian dalam bercanda dan mencari sensasi dengan bergaya seperti
pelawak.
Begitu pula dengan orang kebanyakan, siapakah yang kemudian tidak
tertarik menjadi jago bercanda atau melawak? Dengan imbalan jutaan
rupiah dalam setiap aktingnya, menjadi bintang iklan dengan bayaran
mahal, dan menyandang gelar, menjadi populer di semua kalangan dari
anakanak hingga para pejabat negara.
Inilah yang membuat banyak orang kemudian ikut hijrah ke dunia pentas
penuh humor. Karena setiap acara hiburan dan kesenian selalu diselingi
dengan acara lawakan. Bahkan ustadz yang digemari umat, ialah mereka
yang pintar meniru gaya para pelawak. Memang, hampir setiap orang suka
bercanda dan senang dengan suasana humoris. Bakat seni lawak pun digali,
dan dunia akting pun digeluti. Banyak orang kemudian berpacu untuk
berlaga di dunia humoris ini, dari orang-orang gedongan hingga para
gelandangan, bahkan terkadang sebagian orang terhormat ikut menjadi
ambil bagian. Padahal, jika mengetahui resiko dan ancamannya, pasti akan
lebih banyak yang menangis daripada tertawa.
Adapun Islam tidak melarang hal tersebut, karena Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam juga kadang bercanda dan menghidupkan suasana humoris
ketika bergaul dengan sebagaian sahabatnya. Namun Islam juga membenci
kedustaan dan kemunafikan dalam bergaya. Sehingga barang siapa yang
memancing suasana agar semua tertawa walaupun dengan cara berdusta, maka
ia terkena ancaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya
ada seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat; tidak diucapkan
kecuali untuk membuat orang lain tertawa, maka ia terhempas ke dalam
jurang jahannam sedalam antara langit dan bumi. Dan sungguh
terpelesetnya lisan, lebih berat daripada seseorang terpeleset
kakinya”.[3]
Dari Bahz bin Hakim dari bapaknya dari kakeknya berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ويْلٌ لِلَّذِ ي يُحَدِّ ثُ بِا لْحَدِ يْثِ لِيُضحِكَ بِهِ الْقَوْمَ فَيَكْذِبُ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
Celakalah bagi seseorang yang bercerita dengan suatu cerita, agar orang
lain tertawa maka ia berdusta, maka kecelakaan baginya, kecelakaan
baginya. [4]
MENIMBANG DAMPAK DUNIA LAWAK
Kebanyakan tema yang diangkat para pelawak ialah kosong dari kenyataan,
cenderung bombastis dan tidak mendidik. Yang penting, target opini dari
para pemirsa tercapai, rating acara menanjak dan dukungan dari kalangan
umum melonjak.
Kadang antara pelawak saling melempar hinaan, ledekan dan ejekan untuk
menciptakan suasana segar. Kadang pula bentuk tubuh atau raut muka
pelawak yang kurang sempurna dijadikan sebagai bahan canda untuk
menciptakan suasana humoris. Bahkan kondisi cacat atau kelainan orang
menjadi bumbu dan komoditi lawakan, sehingga kadang sebagian pelawak
meniru gaya bicara, cara berjalan, dan prilaku aneh seseorang untuk
menggelitik tawa penonton. Lebih parah, terkadang simbol agama menjadi
sarana pelecehan para pelawak yang hanya ingin populer. Padahal setiap
kalimat dari lisan kita pasti akan dihisab Allah Subahnahu wa Ta'ala
dengan mudah, dan tercatat secara akurat dalam catatan malaikat,
sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ
قَعِيدٌ مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di
sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun
yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu
hadir. [Qaaf/50:17-18]
Imam Ibnu Rajab berkata: “Para ulama salaf sepakat, bahwa malaikat yang
berada di sebelah kanannya mencatat semua kebaikan, dan malaikat di
sebelah kirinya mencatat semua keburukan”. [5]
Adapun lisan, ia merupakan anggota tubuh sangat mungil, tetapi paling
menentukan surge dan nerakanya seseorang. Bahkan kepribadian seseorang
bisa ditangkap dari lisannya. Sehingga lisan lebih tajam dari pisau, dan
lebih bahaya dibandingkan dengan semua kejahatan, karena kebanyakan
perbuatan jahat berawal dari mulut, atau kurang kontrol terhadap mulut.
Oleh karena itu, Islam sangat perhatian terhadap bahaya lisan, dan
menyuruh untuk menjaganya.
Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يَضْمَنْ لِيْ مَا بَيْنَ لِحْبَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
Barang siapa yang menjaminku mampu menjaga apa yang ada diantara dua
bibirnya dan di antara kakinya, maka aku akan jamin surga.[6]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إَنْ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّم بِا لْكلِمةِ مِنْ رِ ضْوَانِ اللّه لاَ
يُلقِي لَهاَ بَالاً يَرفَعُ اللَّه بِهَا دَ رَجَا تو و إِنَّ الْعَبْدَ
لَيَتَكَمَلَّمُ بِا اكَاِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللّّه لاَيُلقِي لَهَا بَاَلاً
يَهوِِ ي بِهاَ فِي جَهَنَّم
Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat tentang sesuatu
yang diridhai Allah, yang tidak ia sadari, maka Allah mengangkat
dengannya beberapa derajat. Dan sesungguhnya seorang hamba berbicara
dengan satu kalimat tentang sesuatu yang dimurkai Allah, yang tidak ia
sadari, ternyata menghempaskan dirinya dengannya ke dalam jahannam.[7]
Ketika seorang muslim berbicara, ia hanya mempunyai dua pilihan. Yaitu
berbicara tentang suatu kebaikan yang mendatangkan ridha Allah, atau
diam karena takut terhadap murka Allah. Dan berbicara mengenai apapun
harus berdasarkan ilmu, karena setiap kalimat yang keluar dari mulut
kita pasti dimintai pertanggungjawabannya, sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya
akan diminta pertanggunganjawabnya. [al-Isrâ‘/17:36].
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَاَنَ يُؤْ مِنُ بِا للَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أوِلْيَسْكُتْ
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.[8]
WASPADAI PENGHINAAN SIMBOL ISLAM DALAM PENTAS LAWAK
Tema obrolan para pelawak pada umumnya kurang berfaidah dan sia-sia
belaka. Padahal, termasuk tanda kebaikan Islam seseorang, yaitu
meninggalkan sesuatu yang kurang berguna dan tidak bermanfaat,
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan, yang
artinya: Di antara pertanda kebaikan Islam seseorang, ialah meninggalkan
apa yang tidak penting baginya.[9]. Apalagi berbicara dusta dan bohong
untuk mengundang gelak tawa manusia, maka yang demikian itu merupakan
perkataan yang melebihi kesiasiaan. Seandainya mereka mengetahui
akibatnya, sungguh mereka akan banyak menangis daripada tertawa.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَوْ تَغْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلَبَكَيْتُمْ كَشِيْرًا
Jika kalian mengetahui apa yang aku ketahui, maka kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis. [10]
Adakalanya seorang pelawak dengan seenaknya membuat guyonan yang
melecehkan simbol dan syiar Islam. Bahkan pernah ada seorang pelawak
dengan enteng membuat lelucon dengan ucapan “syukur (maksudnya, cukur)
al-Hamdulillah” kepada temannya yangberperan sebagai tukang cukur botak
sebelah. Padahal mengolok-olok agama dan menggunakan ayat-ayat al-Qur`an
untuk bercanda hukumnya haram. Karena mengolok-olok Allah atau
Rasul-Nya atau Sunnah merupakan kekufuran dan riddah (keluar dari
Islam). Yaitu mengeluarkan pelakunya dari keislaman, sebagaimana firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan.
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ
قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لَا
تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ ۚ إِن نَّعْفُ عَن
طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan
itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda
gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah,
ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu
minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema’afkan
segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan
mengadzab golongan (yang lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang
yang selalu berbuat dosa. [at-Taubah/9:65-66]
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan, bahwa Dia bisa memaafkan
segolongan di antara mereka hanya dengan bertaubat kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala dari kekufuran mereka, yang disebabkan oleh sikap
mengolokolok mereka terhadap Allah, ayat-Nya dan Rasul-Nya.
HUKUM MENGOLOK-OLOK SIMBOL AGAMA UNTUK MEMBUAT ORANG LAIN TERTAWA
Berkaitan dengan masalah ini, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin
rahiahullah pernah ditanya: Ada sebagian orang yang bercanda dengan
perkataan yang mengandung ejekan dan hinaan terhadap Allah atau
Rasul-Nya atau agama-Nya.
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullam memberikan jawaban:
Perbuatan mengolok-ngolok Allah, Rasul-Nya dan agama Islam untuk
membuat orang lain tertawa, walaupun hanya sekedar bercanda, merupakan
kekufuran dan kemunafikan. Perbuatan ini seperti pernah terjadi pada
jaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka yang
mengatakan,”Kami belum penah melihat seperti para pembaca (al-Qur‘aan)
di antara kami, yang lebih buncit perutnya, lebih berdusta lisannya, dan
pengecut saat berhadapan dengan musuh”. Maksudnya, ialah Rasulullah dan
para sahabatnya. Lalu turunlah ayat tentang mereka, yang artinya: Jika
kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu
mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan
bermain-main saja”. [at-Taubah/9:65].
Lantas mereka datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
berkata: “Sesungguhnya kami berbicara tentang hal itu ketika kami dalam
perjalanan, hanya bertujuan untuk menghilangkan jenuhnya perjalanan,”
namun Rasulullah n berkata kepada mereka sebagaimana yang diperintahkan
Allah, Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya
kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir
sesudah beriman. [at-Taubah/9:65-66].
Jadi, bahasan materi Rububiyah, kerasulan, wahyu dan agama merupakan
materi agama yang terhormat. Seorang pun tidak boleh bermain-main dengan
itu. Seorangpun tidak boleh menjadikannya sebagai bahan ejekan dan
banyolan, agar membuat orang lain tertawa ataupun menghina. Barangsiapa
berbuat demikian, maka ia telah kafir, karena perbuatan tersebut sebagai
bukti penghinaan terhadap Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan
syariat-syariat-Nya. Maka barangsiapa melakukan perbuatan tersebut,
hendaknya bertaubat kepada Allah, karena perbuaan itu termasuk
kemunafikan, dan hendaklah harus bertaubat kepada Allah, memohon ampunan
dan memperbaiki perbuatannya, serta menumbuhkan di dalam hatinya rasa
takut, pengagungan dan cinta terhadap-Nya. Hanya Allahlah yang kuasa
memberi taufik.[11]
PENGHINAAN TERHADAP ORANG SHALIH DALAM PENTAS LAWAK
Terkadang seorang pelawak berakting (berperan) menjadi sosok seorang
tokoh agama atau ustadz, namun sosok tersebut menjadi bahan ledekan dan
guyonan. Bahkan mereka menirukan gaya, gerakan dan mimik sang ustadz,
tetapi muatan bicara dan perkataannya jauh dari norma kepantasan,
sehingga menjatuhkan kredibilitas sosok dan figur agama.
Ditanyakan kepada Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullah :
Apa hukum mengolok-olok orang-orang yang konsisten dalam menjalankan
perintah-perintah Allah?
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullah memberikan jawaban:
Mengolok-olok orang-orang yang konsisten dan istiqamah dalam
menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya,
dikarenakan konsistensi mereka merupakan perbuatan haram dan sangat
membahayakan pelakunya. Karena dikhawatirkan, ejekan tersebut berangkat
dari sikap ketidaksukaannya terhadap keistiqamahan mereka dalam
menjalankan agama Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka ia serupa dengan yang
disebutkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firman-Nya, yang artinya:
Jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu),
tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan
bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan
Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena
kamu kafir sesudah beriman. [at-Taubah/9:65-66].
Kami belum penah melihat seperti para pembaca (Al Qur’an) di antara
kami, yang lebih buncit perutnya, lebih berdusta lisannya dan pengecut
saat berhadapan dengan musuh. Maksudnya, ialah Rasulullah dan para
sahabatnya. Lalu turunlah ayat tentang mereka, yang artinya: Jika kamu
tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu
mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan
bermain-main saja”. [at-Taubah/9:65].
Oleh karena itu, orang yang suka mengolokolok komunitas atau kelompok
yang menebarkan kebenaran hendaklah berhati-hati, karena mereka yang
diejek dan diolok-olok adalah termasuk para ahli agama yang dimaksudkan
dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya: Sesungguhnya
orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulunya (di dunia)
menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila orang-orang beriman
lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. Dan
apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali
dengan gembira. Dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka
mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang
sesat”, padahal orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga
bagi orangorang mukmin. Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman
menertawakan orang-orang kafir, mereka (duduk) di atas dipan-dipan
sambil memandang. Sesungguhnya orang-orang kafir telah diberi ganjaran
terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. [al-Muthaffifin/83:29-36].
[12]
MUSIK, WANITA SEKSI, DAN WARIA SERONOK DALAM PENTAS LAWAK
Suatu pemandangan yang dianggap lumrah dan biasa, setiap pentas lawakan
selalu dibumbui dengan selingan musik dan tampilnya wanita setengah
bugil serta waria jalang yang berdandan seronok, mengubar aurat dan
bergaya sensual. Otomatis, tampilan demikian itu cukup menjadi candu
sangat membius dan menebar benih kerusakan sangat dahsyat di tengah
kamunitas masyarakat yang lemah iman dan kurang memiliki daya counter
terhadap keburukan. Bukankah haram bagi kaum laki-laki berdandan seperti
wanita, atau sebaliknya? Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam mengutuk laki-laki yang menyerupai wanita dan mengutuk wanita
yang menyerupai laki-laki, seperti telah ditegaskan Ibnu ‘Abbas. [13]
Ditanyakan kepada Syaikh ‘Abdul-Azis bin Baz rahimahullah, bagaimana
hukum mendengarkan musik dan nyanyian? Bagaimana pula hukum menonton
drama atau panggung hiburan yang menampilkan wanitawanita yang
bertabarruj?
Jawaban Syaikh ‘Abdul-Azis bin Baz rahimahullah : Hukumnya terlarang dan
haram, karena hal itu bisa menghalangi seseorang dari jalan Allah,
menimbulkan penyakit hati, dan menjerumuskan seseorang ke dalam bahaya
dan perbuatan kotor yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ
اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ
عَذَابٌ مُّهِينٌ وَإِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِ آيَاتُنَا وَلَّىٰ
مُسْتَكْبِرًا كَأَن لَّمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا ۖ
فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Dan di antara manusia (ada) yang mempergunakan perkataan yang tak
berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan
dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh
adzab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami,
(maka) dia berpaling dengan menyombongkan diri seolaholah dia belum
mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri
kabar gembiralah dia dengan adzab yang pedih. [Luqman/31:6-7]
Dalam dua ayat di atas, terdapat petunjuk bahwa mendengarkan musik dan
nyanyian merupakan sebagian dari penyebab kesesatan dan menyesatkan,
memperolok-olokkan ayatayat Allah Subahnahu wa Ta'ala, dan enggan serta
takabur mendengarkannya. Allah Azza wa Jalla mengancam tindakan-tindakan
tersebut dengan adzab yang menghinakan dan pedih. Kebanyakan ulama
menafsirkan “perkataan yang tidak berguna (lahwul-hadîts)” dalam ayat
tersebut, dengan nyanyian dan musik, serta segala bentuk yang
menghalang-halangi manusia dari jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Diriwayatkan pula dalam Sahih al-Bukhâri, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda:
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْ نَ ا لْحِرَ وَ الْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَا زِفَ
Sungguh akan ada di antara ummatku beberapa kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan musik.”
ا لْحِر dalam hadits tersebut, artinya kemaluan yang haram atau zina.
Adapun الْحَرِيْرَ sutera), telah diketahui diharamkan bagi kaum pria.
Sedangkan الْخَمْرَ juga telah dikenal, yaitu segala sesuatu yang
memabukkan, diharamkan bagi pria maupun wanita. Dan الْمَعَا زِفَ ialah
alat-alat musik, misalnya kecapi, gendang, mandolin, dan sebagainya,
seperti telah dijelaskan dalam an-Nihayah dan al-Qamus. الْعَزْفُ
artinya bermain alat-alat musik, sedangkan العَازِفُ adalah pemain musik
atau penyanyi.
Oleh karena itu, patut diperhatikan peringatan yang disebutkan dalam
Fatawa an-Nadzar wal- Khalwah wal-Ikhtilath, [14] bahwa setiap muslim
dan muslimah wajib menjauhi dan mewaspadai kemungkaran-kemungkaran ini,
termasuk dalam hal menonton sinetron dan panggung hiburan yang
menampilkan wanitawanita bertabarruj. Demikian itu merupakan perbuatan
yang diharamkan, karena mengandung bahaya besar, yaitu timbulnya
berbagai macam penyakit hati, hilangnya kecemburuan, dan terkadang juga
menjerumuskan penontonnya ke dalam perbuatan yang diharamkan Allah, baik
penonton tersebut seorang pria maupun wanita. Semoga Allah Subhanahu wa
Ta'ala memberikan taufiq kepada kita, untuk melaksanakan apa yang
membawa kepada Ridha-Nya dan kepada keselamatan dari sebab-sebab
kemurkaan-Nya.
Wallahul-Muwafiq
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XI/1428H/2007M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Tafsir Ma’alimut-Tanzil, al-Baghawi (8/466).
[2]. Shahîh, diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dan lihat
al-Fathur Rabbani, Ahmad ‘Abdur-Rahman al-Bana (22/239) dan Imam
Muhammad at-Tibrizi dalam Miskatul-Masabih, Bab: Mizah (4889), (3/1370).
Dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni.
[3]. Shahîh, diriwayatkan Imam Muhammad at-Tibrizi dalam Miskâtul- Mashâbih, Bab: Mizah (4835), (3/1360).
[4]. Shahîh, diriwayatkan Imam at-Tirmdzi dalam Sunan-nya (2315) dan
Imam at-Tibrizi dalam Miskâtul- Mashâbih, Bab: Hifzul-Lisan (4834), dan
dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni.
[5]. Lihat Jami’ul Ulum wal-Hikam, Ibnu Rajab (1/336).
[6]. Shahîh, diriwayatkan Imam al-Bukhâri dalam Shahîh-nya (6474) dan
Imam Muhammad at-Tibrizi dalam Miskatul-Masabih, Bab: Mizah (4889),
(3/1370).
[7]. Shahîh, diriwayatkan Imam al-Bukhâri dalam Shahîh-nya (6478) dan Imam Ibnu Majah dalam Sunannya (3970).
[8]. Shahîh, diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya (2/267), Imam
al-Bukhari dalam Shahîh-nya (6018), (6136) dan (6475), Imam Muslim dalam
Shahîh-nya ((47), Abu Dawud dalam Sunan-nya (5154), dan Imam
at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (2500), serta Ibnu Hibban dalam Shahih-nya
(506).
[9]. Shahîh, diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (2317), Imam
Ibnu Majah dalam Sunannya (3976), dan Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya
(229).
[10]. Shahih, diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (2313), dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni.
[11]. Majmu’ Fatâwâ wa Rasail Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin (2/ 156-157).
[12]. Majmu’ Fatâwâ wa Rasail Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin (2/ 157-158).
[13]. Shahîh, diriwayatkan Imam al-Bukhâri dalam Shahîh-nya (5885), Abu
Dawud dalam Sunan-nya (4097), Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (2785),
dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1904).
[14]. Fatâwâ an-Nadzar wal-Khalwah wal-Ikhtilath, Syaikh ‘Abdul-’Azis
bin Bâz, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin, Syaikh Jibrin dan
al-Lajnatud-Dâimah lil Buhûtsil-’Ilmiyah wal-Iftâ`, hlm. 55-56.
Senin, 05 November 2012
- Blogger Comments
- Facebook Comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar